Pertapa Yang Berjudi
Pembaca yang bijaksana, bagaimana pendapat anda jika suatu hari anda menyaksikan seorang pertapa memasuki sebuah rumah perjudian dan berjudi di dalam sana? Salahkah pertapa itu? Dosakah seorang pertapa berjudi? Pertanyan sederhana ini menghasilkan berbagai tanggapan dan jawaban dengan kesimpulan hampir semua orang yang di tanyai menyatakan bahwa seorang Pertapa berjudi, pasti bersalah dan dosa.
Semua ini karena pada umumnya kita selalu menarik suatu kesimpulan, hanya berdasarkan kejadian / peristiwa yang melintas di hadapan kita pada saat itu saja. Dengan kata lain, kita selalu menjatuhkan vonis berdasarkan sebagian kecil tragedy yang kebetulan kita saksikan. Memang tidak dapat kita pungkiri segala bentuk perjudian adalah salah, jika di lihat dari sudut pandang hukun dan agama. Tetapi sebelum kita memberikan pendapat lebih lanjut, mari kita ikuti kisah berikut ini.
Dahulu kala di salah satu pegunungan yang terpencil, hiduplah dua orang pemuda yang melakukan pembinaan diri ( bertapa ) untuk mencapai pencerahan. Sebut saja namanya pertapa
Ming dan pertapa
Wang. Mereka berdua menjalani pembinaan diri sesuai keyakinan masing-masing.
Ming menjalani kehidupan pertapa dengan suatu keyakinan ia tidak akan menyusahkan orang dan rajin berbuat kebaikan serta selalu berusaha menciptakan kedamaian & kebahagiaan sepanjang perjalanan yang dilaluinya.
Disampin gitu, Ming seanntiasa mempelajari dan mempraktekkan Dhamma. Tetapi dalam hal makanan, Ming masih belum sepnuhnya dapat mengatasi selera makannya. Sehingga kadang kala ia masih mengkonsumsi daging hewan, hasil pindapatta.
Itulah salah satu alasan
Wang, yang selalu menasehati Ming dalam hal menu makanan. Wang menjalani hidup bervegetarian dan benar-benar menerapkan sila dalam kehidupan pertapaan nya.
Ia memiliki keyakinan asalkan ia rajin membina diri, menghindari segala kehidupan / urusan keduniawian, maka ia akan segera mencapai pencerahan. Setiap makhluk hidup harus menjalani karma masing-masing dalam hidup ini, jadi ia tak dapat berbuat apapun untuk meringankan penderitaan makhluk hidup. Jika ia menolong mereka yang sedang menderita, itu berarti ia melanggar takdir.
Demikianlah prinsip Wang.Suatu ketika dalam meditasi, Ming dan Wang bertemu seorang Mahasattva. Dalam pertemuan itu, Sang Mahasattva melantunkan syair kepada mereka berdua. Bunyi syair itu antara lain :
Suka & Dukkha mencengkerami kehidupan manusia
Ibarat kesetiaan bayangan mendampingi
Tidak seorangpun yang dapat lolos dari cengkraman Suka & Dika
Mereka yang berhasil meninggalkannya, itulah yang di sebut sebagai ARIYA.
Telah ratusan reinkarnasi mempelajari Dhamma
Memahami dan membabarkan Dhamma dengan sempurna
Semua adalah percuma
Mengutamakan keberhasilan diri, mengacuhkan derita di depan mata
Bagaimana di katakan berjodoh pada ajaran Buddha
Sia-sialah segala usaha
Roda reinkarnasi mengantarkan ke awal perjalanan.
Menjunjung Langit & Bumi
Merupakan keputusan Bijaksana dari para Ariya.Setelah mendengarkan syair tersebut, Ming segera menyadari makna yang terkandung dalam syair itu. Yang mengingatkan kepada
mereka untuk mempraktekkan Dhamma, menebar kebaikan dalam hidup mereka.Sedangkan menurut
Wang, syair itu mengandung
makna agar mereka segera menegakkan disiplin diri dalam upaya membina diri
untuk mencapai pencerahan. Demikianlah syair yang dilantunkan Sang Mahasattva menghasilkan dua pengertian yang berbeda.
Ming memutuskan untuk melakukan pengembaraan,
menyebarkan Dhamma dan kebajikan, seiring dalam usaha pembinaaan diri mencapai pencerahan. Begitu pula dengan Wang. Hanya saja Wang kurang dalam menebar kebajikan.
Karena menurutnya, semua derita disebabkan karma. Kita tak dapat berbuat apa-apa untuk mengubah karma seseorang, karena hal itu dapa bertentangan dengan takdir yang telah di putuskan Langit.
Pengembaraan mengantarkan mereka tiba di sebuah desa terpencil. Ketika memasuki desa itu, mereka berdua melihat seorang anak cacat memohon belas kasih di pintu desa. Kedua kaki anak tersebut buntung dan ia tidak mengenakan pakaian yang layak. Tubuhnya kurus kering, sesekali ia berguman dengan suara yang lirih karena kondisi tubuhnya yang lemah.
“Tuan..kasihanilah saya…” seraya mengulurkan tangannya penuh harapan.
Karuna yang telah bersemayan di ladang hati Ming menggerakan dia menghampiri anak malang itu. Kemudian Ming memberikan semangkuk beras kepada anak tersebut. Melihat tindakan Ming, Wang segera menegurnya karena bekal beras yang mereka bawa hanya sebanyak tiga mangkuk saja.
Menurut Wang, kondisi anak itu berhubungan dengan karma yang telah dilakukan anak itu. Baik di kehidupan ini ataupun di kehidupan sebelumnya.
Langit telah mengatur nasib yang harus di jalani anak tersebut. Jadi mereka tidak boleh melawan takdir. Mendengar perkataan Wang, Ming hanya tersenyum simpul seraya melanjutkan perjalanan. Pembaca yang baik, benarkah pendapat Wang?
Bagaimana jika suatu hari dia yang mengalami nasib seperti anak cacat itu. Ketika itu seseorang berkata kepadanya,
“ini telah merupakan karmamu, saya tak dapat membantumu.”Beberapa saat kemudian seorang pemuda yang melihat kewelas asihan mereka, menghampiri pertapa Ming & Wang. Pemuda ia bersimpuh di depan kaki mereka berdua, memohon belas kasih. Pertapa Ming segera menuntun pemuda itu berdiri.
Kepada pertapa Ming & Wang, pemuda itu menceritakan telah lama ibunya menderita penyakit paru-paru. Hidup mereka sangat miskin, sehingga untuk menebus obat saja tidak mampu. Tabib dan penjual obat, tidak ada yang bersedia memberikan setitik belas kasih. Sekalipun dalam bentuk pinjaman yang akan di lunaskan di kemudian hari.
Sampai disini pertapa Wang mohon pamit kepada pertapa Ming. Ia hendak meneruskan perjalanannya dan terbebas dari berbagai kepelikan kemalangan masalah kehidupan. Alasan dia tetap sama,
“semua itu telah merupakan karma mereka, yang harus mereka jalani. Kita tak dapat berbuat apa-apa.”Pertapa Ming kemudian mengikuti pemuda itu pulang ke rumah dan melihat kondisi kesehatan ibu pemuda itu sudah sangat parah serta harus segera mendapatkan perawatan. Ming yang tidak memilki uang, menemui para tabib dan penjual obat di desa itu. Namun ternyata tak seorang pun yang memiliki sedikit kewelas asihan untuk mengulurkan tangan mereka.
“Tak ada uang, tak ada obat ataupun pengobatan.”
Begitulah mereka bersikeras, menunjukkan kekokohan sifat ke egoisan sebagian manusia di permukaan bumi ini. Padahal mereka sanggup untuk melakukannya tanpa mengalami kerugian yang berarti.
Salah seorang penjual obat memperolok pertapa Ming dengan mengajurkan ia ke rumah perjudian untuk mengadu nasib. Ming kemudian menuju ke rumah perjudian, menemui sang majikan untuk memohon kemurdahan hatinya memolong ibu yang malang itu. Setelah mendengarkan kisah ibu yang sedang membutuhkan pertolongan,. Nurani sang majikan tergerak. Ia memberikan sedikit uang kepada pertapa Ming untuk berjudi, mengadu nasib.
Majikan :Uang ini memang tak cukup untuk menebus pengobatan ibu itu, pertapa. Tetapi uang ini sebagai modal untuk anda berjudi. Saya telah menunjukkan kewelas asihanku, sekarang giliran anda menunjukkan kewelas asihanmu. Sanggupkah engkau melanggar sila demi nyawa seseorang? Jika keberuntungan juga memberikan dukungan kepada ibu itu, hari ini anda akan menang.
Sebenarnya majikan rumah perjudian telah siap memberikan bantuan kepada ibu yang malang itu, sekalipun jika pertapa Ming kalah. Namun ia hendak mneguji sejauh mana kewelas asihan Pertapa Ming. Sedangkan Pertapa Ming berpendapat itulah kesempatan satu-satunya yang ada pada saat itu untuk menyelamatkan nyawa seseorang. Akhirnya ia mulai memasang taruhan di meja judi. Untuk kedua kalinya pertapa Ming melanggar sila.
Karena dalam perjudian yang dilakukannya, ia menggunakan kekuatan bathin menembus pandang dadu-dadu yang tertutup di dalam mangkuk, sehingga pertapa Ming dapat melihat dengan jelas angka yang ditunjukkan dadu-dadu di dalam mangkuk yang tertutup. Perjudian berakhir dengan kemenangan mutlak di raih Ming. Merasa uang untuk menbus pengobatan ibu yang malang itu telah cukup, Ming menghentikan permainan. Setelah mengucapkan terima kasih, Ming segera meninggalkan rumah perjudian itu dan menolong ibu malang tersebut.
Tabib mata duitan tertawa menyeringai melihat sjumlah uang dihadapannya. Menyulap sikap tabib yang sebelumnya angkuh menjadi bersikap manis, semanis madu. Beberapa hari kemudian, kesehatan ibu itu mulai pulih. Hingga akhirnya sembuh dalam beberapa minggu. Ibu dan anak bersembah sujud di hadapan pertapa Ming, mengucapkan terima kasih. Mereka menganggap pertapa Ming sebagai Buddha hidup yang telah menolong mereka. Setelah menuntun mereka berdiri, pertapa Ming mengatakan ia hanya perantara dari kewelas asihan THIEN.
Hari itu pertapa Ming meneruskan pengembaraannya, menjalankan misi menyebarkan Dhamma dan kebajikan sepanjang jalan yang di laluinya. Namun sepanjang perjalanan meninggalkan desa itu, ia harus menerima cacian dan makian bahkan beberapa lemparan telur busuk dari penduduk desa yang menganggap pertapa Ming sebagai pertapa gadungan yang telah melanggar sila ( Berjudi ). Tidak seorangpun yang mengetahui kemuliaan Pertapa Ming dibalik tindakan nya. Selain majikan rumah perjudian, ibu yang malang dan anaknya serta…THIEN.
Pembaca yang baik, demikianlah sikap yang ditunjukkan sebagian umat manusia atas suatu kebaikan yang mulia. Dimana kadang mereka hanya dapat memberikan berbagai komentar tidak bermanfaat, tanpa melakukan suatu tindakan positif. Salahkah perbuatan yang telah di lakukan Pertapa Ming demi menyelamatkan nyawa seseorang? Kembali THIEN jugalah yang Maha tahu dan dapat memberikan jawaban pasti.
Syair Moralitas
Keagungan sebuah Kebaikan
Hanya dapat di rasakan oleh mereka yang pernah menerima dan menyadarinya.
Mereka yang dapat meneladani Kebaikan di hadapannya,
Adalah mereka yang di sebut sebagai Muliawan.