EMPAT KEBENARAN MULIA DALAM MEDITASI VIPASSANA
(Oleh : Y.M. Santacitto)
Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammā-Sambuddhassa
Terpujilah Sang Bhagava Yang Maha Suci Yang Telah Mencapai
Penerangan Sempurna
Kālena dhammasavanaṁ
Etammaṅgalamuttamaṁ
Mendengarkan Dhamma pada saat yang sesuai
Itulah berkah utama
Bapak, ibu, saudara sekalian, apa yang ingin saya sampaikan malam hari ini adalah berkaitan dengan Empat Kebenaran Mulia. Bagaimana Empat Kebenaran Mulia ini ditemukan di dalam meditasi buddhis, terutama meditasi vipassanā. Saya ingin mengangkat tema ini karena kita semua tahu bahwa Empat Kebenaran Mulia adalah ajaran yang paling tinggi, ajaran yang paling utama dalam Agama Buddha. Ajaran yang ketika itu direalisasi, dipahami, itulah ajaran yang membawa pada pencerahan. Kemudian disatu sisi, meditasi vipassanā juga telah dianggap oleh para guru meditasi atau oleh umat Buddha sebagai jalan untuk mencapai kebebasan. Dua hal, yaitu Empat Kebenaran Mulia dan vipassanā, sebagai jalan untuk mencapai pembebasan, ini perlu diketahui, karena jika tidak, nanti akan menjadi salah paham bahwa dua hal ini merupakan dua hal yang tidak ada koneksinya. Padahal kalau kita mengkaji lebih lanjut, Empat Kebenaran Mulia dengan vipassanā, meskipun istilahnya berbeda, tetapi merupakan satu kesatuan.
Ketika kita berbicara tentang Empat Kebenaran Mulia, ajaran ini, doktrin ini, merupakan ajaran yang paling prinsipil. Ajaran yang boleh dikatakan paling utama di dalam ajaran Sang Buddha, sehingga suatu kali Sang Buddha di dalam salah satu khotbahNya mengatakan “pubbe cāham bhikkhave etarahi ca, dukkhañca paññāpemi dukkhanirodhañca’, wahai para bhikkhu, dari dulu sampai sekarang Saya mengajarkan hanya dukkha dan lenyapnya dukkha”. Dari dulu sampai sekarang Sang Buddha hanya mengajarkan apa itu dukkha, apa itu penderitaan dan apa itu lenyapnya penderitaan. Artinya, apapun yang diajarkan Sang Buddha, apakah itu tentang Paticcasamuppāda (sebab musabab yang saling bergantungan), Tilakkhaṇa (tiga karakteristik umum universal), ataukah tentang analisis pañcakkhandhā, analisis tentang unsur dan lain sebagainya, semua bertujuan agar kita lebih memahami apa itu Empat Kebenaran Mulia. Ketika dikatakan bahwa yang Beliau ajarkan adalah tentang dukkha dan lenyapnya dukkha, disitu sebenarnya Beliau mengatakan Empat Kebenaran Mulia, karena tanpa mengajarkan misalnya sebab dukkha, bagaimana Sang Buddha mengatakan ada dukkha, dan ketika Beliau mengatakan ada lenyapnya dukkha berarti disitu Sang Buddha mengajarkan ada jalan untuk melenyapkan dukkha.
Empat Kebenaran Mulia adalah doktrin, ajaran yang sangat penting, prinsipil di dalam ajaran Sang Buddha. Sehingga sering sekali pada zaman Sang Buddha, terkadang ada seorang petapa bahkan seorang bhikkhu datang kepada Beliau dan bertanya sesuatu yang tidak penting, yang salah satu contohnya adalah suatu kali seorang bhikkhu bernama Mālunkyā bertanya tentang sepuluh pertanyaan spekulatif yang disebut sebagai abyakata dhamma, Sang Buddha tidak mau menjawab, dalam arti Sang Buddha mengatakan bahwa Saya tidak membahas ini. Seperti pertanyaan tentang apakah dunia ini terbatas atau tidak terbatas, yang dicari oleh para ilmuwan, bahkan apakah dunia ini kekal atau tidak kekal, dalam arti alam semesta ini kekal atau tidak kekal, itu termasuk pertanyaan spekulatif, itu tidak dibahas oleh Sang Buddha, atau apakah jiwa ini sama dengan jasmani, yaitu taṃ jīvaṃ taṃ sarīraṃ ataukah jiwa ini berbeda dengan jasmani, aññaṃ jīvaṃ aññaṃ sarīraṃ Sang Buddha tidak mau membahas, kenapa? Karena walaupun dijawab ‘iya’ atau ‘tidak’, tidak ada gunanya, tidak mengantar seseorang kepada pembebasan, tidak mengantar seseorang untuk memahami apa itu dukkha, tidak mengantar seseorang untuk melenyapkan dukkha (penderitaan). Sang Buddha tidak mau membahas.
Sehingga pada suatu kali ketika Beliau berada di Hutan Siṁsapa, hutan dimana terdapat banyak Pohon Siṁsapa. Beliau mengambil segenggam daun siṁsapa dan bertanya kepada para bhikkhu, “Mana yang lebih banyak, daun yang ada di genggaman Saya atau daun yang berada di Hutan Siṁsapa ini?” Tentu para bhikkhu menjawab, daun yang berada di genggaman Sang Buddha adalah jauh lebih sedikit dibandingkan daun yang berada di Hutan Siṁsapa. Kemudian Sang Buddha mengatakan “Seperti halnya daun yang berada di genggaman Saya dan juga daun yang berada di Hutan Siṁsapa, pengetahuan yang Saya ketahui itu seperti halnya daun yang berada di Hutan Siṁsapa, tetapi yang Saya berikan, yang Saya babarkan seperti halnya daun yang ada di genggaman Saya”. Dan daun yang ada di genggaman Beliau tiada lain adalah pengetahuan tentang Empat Kebenaran Mulia. Itulah yang diajarkan, itulah yang akan membawa kepada pencerahan, itulah yang akan membawa kepada Nibbāna (pembebasan).
Ketika seseorang berbicara tentang pertanyaan spekulatif seperti yang tadi telah saya sebutkan, Sang Buddha mengatakan bahwa orang demikian itu seperti orang yang terkena anak panah beracun. Kemudian ia, ketika keluarganya membawa kepada dokter, ia mengatakan bahwa saya tidak mau panah ini dicabut sebelum saya mengetahui siapa yang memanah, darimana asalnya, apa sukunya, apa nama keluarganya, terbuat dari apa panahnya, dan seterusnya. Sebelum pertanyaan-pertanyaannya itu terjawab, ia akan mati terlebih dahulu. Demikian pula kalau kita hanya berdebat dalam hal yang sifatnya spekulatif, maka hal seperti itu tidak ada gunanya. Maka Sang Buddha mengatakan kepada Bhikkhu Mālunkyā, bahwa apa yang Beliau ajarakan hanya Empat Kebenaran Mulia, karena Empat Kebenaran Mulia inilah yang membawa kepada pencerahan.
Lantas apa itu Empat Kebenaran Mulia? Tentu kita semua tahu bahwa ada kebenaran mulia tentang penderitaan, kebenaran mulia tentang sebab penderitaan, tentang lenyapnya penderitaan, dan kebenaran mulia tentang jalan untuk melenyapkan penderitaan. Sang Buddha menunjukkan kebenaran mulia bahwa selama kita hidup di alam saṃsāra, di alam tumimbal lahir, betapa kita telah banyak mengalami penderitaan. Sang Buddha mengatakan, selama kita hidup di alam saṃsāra maka mau tidak mau kita harus berhadapan dengan sokaparidevadukkhadomanassupāyāsā, kita harus menghadapi dan harus mengalami apa itu kesedihan, ratap tangis, kemudian penderitaan fisik, depresi, stress, dan kita juga mau tidak mau harus, terkadang, sering sekali kita harus berasosiasi dengan apa yang tidak kita sukai, apakah dengan orang yang tidak kita sukai, atau dengan suara yang tidak kita sukai, itu sudah menjadi makanan kita saat kita berada di alam tumimbal lahir ini. Dan juga, mau tidak mau kita harus berpisah dengan apapun yang kita cintai, apakah berpisah dengan keluarga kita, bisnis kita, kekayaan kita, kemasyuran kita, itu semua harus kita tinggalkan. Itulah yang disebut sebagai penderitaan.
Penderitaan demikian adalah penderitaan yang memang mudah sekali kita lihat, tetapi Sang Buddha memberikan definisi yang disebut sebagai penderitaan disini adalah apapun yang kita alami, yang berkaitan dengan lima gugusan. Kita sebagai makhluk sebenarnya merupakan komposisi, merupakan gabungan dari lima gugusan yang disebut sebagai pañcakkhandhā. Apa yang kita sebut sebagai makhluk, pengalaman-pengalaman yang kita alami berkaitan dengan pañcakkhandhā sesungguhnya tidak kekal, tidak bisa kita pertahankan, akan berubah. Perubahan pada pañcakkhandhā inilah yang Sang Buddha katakan sebagai penderitaan.
Kita lihat jasmani kita, kita tidak bisa mempertahankan jasmani kita untuk tetap muda, tetapi kita harus mengalami ketuaan. Kita tidak bisa mempertahankan jasmani kita untuk tetap sehat, tetapi kita harus mengalami berbagai macam penyakit, jasmani kita adalah sarang penyakit, jasmani kita adalah tumpukan luka, itulah penderitaan. Dan kita tidak bisa mempertahankan jasmani kita untuk tetap hidup, tetapi suatu saat, cepat atau lambat, kita semua harus mengalami kematian, itulah penderitaan.
Demikian pula perasaan kita, jadi pañcakkhandhā pertama adalah jasmani, kedua adalah perasaan, ketiga adalah persepsi, keempat adalah bentuk-bentuk pikiran, dan yang kelima adalah kesadaran. Seperti halnya jasmani yang tidak bisa kita pertahankan sesuai dengan keinginan kita, perasaan juga sama, terus berubah, kita tidak bisa mempertahankan perasaan kita untuk tetap mendapatkan perasaan yang menyenangkan, tetapi perasaan yang tidak menyenangkan juga menjadi makanan sehari-hari kita, setiap momen kita terus mengalami perasaan yang menyenangkan, tidak menyenangkan, perasaan netral, dan seterusnya. Apakah itu perasaan yang muncul ketika kita melihat, mendengar, mencium bau, merasakan melalui sentuhan atau perasaan yang muncul dari pikiran kita, kita terus mengalami berbagai macam perasaan, menyenangkan, tidak menyenangkan, perasaan netral, akan terus mengalami perubahan. Itulah yang disebut sebagai penderitaan.
Seperti bapak, ibu, saudara sekalian sekarang sedang duduk, apakah bisa ketika duduk bertahan terus dengan perasaan yang sama? Walaupun ketika duduk kita merasa nyaman, tetapi ketika kita susuk selama satu jam, dua jam, maka perasaan tidak menyenangkan juga akan muncul, dan kita harus mengubah posisi kita, apakah berdiri, berjalan atau berbaring. Tapi kita juga tidak bisa selamanya berbaring, saat pertama berbaring kita merasakan kenyamanan tetapi perasaan yang muncul dari jasmani kemudian memunculkan perasaan yang tidak menyenangkan, dan kita terus merasakan perasaan yang terus-menerus berubah, itulah yang disebut penderitaan, perubahan.
Dan berkaitan dengan persepsi, persepsi adalah semacam gambaran-gambaran yang ada pada batin kita, pada saat kita mengingat sesuatu maka muncul gambaran, apakah gambaran rumah, gambaran bentuk, gambaran warna, gambaran manusia, yang sebenarnya hanya dua yaitu gambaran bentuk dan warna. Ketika kita mengingat sesuatu maka akan muncul gambaran-gambaran yang sering kali kita sebut sebagai kenangan atau memori, itu berkaitan dengan persepsi. Kita juga tidak bisa mendapatkan satu persepsi saja, misalnya menginginkan bahwa persepsi saya harus persepsi yang menyenangkan atau kenangan-kenangan yang menyenangkan, memori yang menyenangkan, tidak bisa, tetapi berbagai macam memori, berbagai macam kenangan, berbagai macam gambaran batin akan datang silih berganti. Itulah yang disebut sebagai penderitaan.
Jadi, perubahan disinilah yang oleh Sang Buddha sebenarnya disebut sebagai penderitaan. Ketika ada anicca, maka disitu ada dukkha, maka apapun yang masih dikategorikan di dalam perubahan, itulah yang disebut sebagai dukkha, sehingga bahkan apa yang kita anggap sebagai menyenangkan, apa yang kita anggap sebagai sebuah kenikmatan, itu juga merupakan bagian dari dukkha, termasuk perasaan kita, sehingga Sang Buddha mengatakan yaṃ vedayitaṃ sabbantaṃ dukkhaṃ, apapun yang dirasakan semua itu merupakan penderitaan. Sehingga disini tidak hanya yang berkaitan dengan perasaan yang menderita, perasaan yang tidak menyenangkan saja, namun perasaan yang menyenangkan sekalipun itu juga merupakan bagian dari dukkha, merupakan bagian dari penderitaan, sehingga bahkan jhāna yang menimbulkan sebuah perasaan menyenangkan, itu sendiri juga merupakan bagian dari dukkha. Dan Sang Buddha tidak hanya menunjukkan kepada kita apa itu dukkha, tetapi Beliau juga menunjukkan bahwa dukkha itu sendiri sebenarnya ada sebabnya, ada sumbernya.
Ketika seseorang belajar Agama Buddha, apalagi ia baru belajar, begitu ditunjukkan hidup adalah penderitaan, ada beberapa yang kemudian menganggap bahwa ajaran Buddha itu pesimis. Kalau Sang Buddha hanya mengajarkan apa itu dukkha tanpa mengajarkan apa itu sebab dukkha ataupun jalan untuk melenyapkan dukkha, maka memang dikatakan bahwa ajaran Sang Buddha adalah ajaran yang pesimis. Tetapi Sang Buddha tidak hanya menunjukkan apa itu dukkha, Beliau juga menunjukkan kita semua sebab dukkha, bahwa dukkha, penderitaan, ada yang menyebabkan. Kenapa kita menderita itu ada sebabnya, disini Sang Buddha mengatakan bahwa yang menyebabkan dukkha tiada lain adalah nafsu keinginan, yāyaṃ taṇhā ponobbhavikā nandīrāgasahagatā tatratatrābhinandinī, yang menyebabkan kita menderita adalah karena nafsu keinginan kita, nafsu keingian yang disertai oleh kesenangan dan kemelekatan untuk mencari kenikmatan ke sana kemari.
Sebenarnya, hanya sekedar usia tua itu bukanlah penderitaan, tetapi kalau kita menginginkan saya tidak mau tua, itulah penderitaan. Sekedar merasakan sakit, itu bukan merupakan penderitaan, tetapi kalau kita menginginkan saya tidak mau sakit, ada nafsu keinginan, ada taṇhā, itulah penderitaan, termasuk kematian itu bukan penderitaan, tetapi kalau kita ingin tidak mati, kita inginnya hidup, itulah penderitaan. Demikian juga dengan perasaan, sekedar perasaan yang tidak menyenangkan, itu bukan penderitaan, itu hanya sekedar perasaan, sekedar sebuah perubahan dari perasaan yang menyenangkan, tidak menyenangkan, yang netral, sebuah fenomena yang wajar. Tapi begitu kita menginginkan satu perasaan tertentu, itulah penderitaan. Kita tidak mau mendapatkan perasan yang tidak menyenangkan, itu adalah penderitaan, maka ketika menginginkan perasaan yang menyenangkan itu juga penderitaan.
Keinginan inilah yang sebenarnya menjadi sumber penderitaan, sekedar jasmani itu bukan penderitaan, sekedar perasaan itupun bukan penderitaan, tetapi menginginkan jasmani dalam kondisi tertentu, menginginkan perasaan dalam kondisi tertentu itulah yang disebut sebagai penderitaan, termasuk gambaran-gambaran batin ataupun persepsi kita. Kalau kita menginginkan sebuah persepsi tertentu, kita menginginkan saya tidak ingin mendapatkan kenangan-kenangan yang pahit, saya tidak ingin muncul memori-memori yang tidak menyenangkan, kalau keinginan itu muncul, itulah yang disebut sebagai penderitaan. Hanya sekedar memori, hanya sekedar kenangan, itu hanya sekedar fenomena yang sebenarnya bukan penderitaan. Tetapi kalau kita menginginkan satu persepsi tertentu itulah yang disebut sebagai penderitaan.
Atau pada saat kita melakukan meditasi, muncul berbagai macam saṅkhāra, termasuk batin yang terkonsentrasi, kalau kita menginginkan konsentrasi itu, ingin mendapatkan konsentrasi, saya tidak mau batin saya kacau, galau, itulah penderitaan. Termasuk kita menginginkan konsentrasi, itu yang menimbulkan penderitaan, karena pada saat tidak mendapatkan konsentrasi, muncullah kekecewaan, muncullah penderitaan. Jadi yang menyebabkan penderitaan adalah nafsu keinginan kita, hanya sekedar pikiran yang mengembara, hanya sekedar pikiran yang mengkonsep, itu bukan penderitaan, tetapi menginginkan satu bentuk pikiran itu adalah penderitaan.
Termasuk kesadaran kita, kesadaran terdiri dari lima, apakah kesadaran mata, telinga, hidung, lidah, jasmani, dan kesadaran pikiran itu sendiri yang terus berubah dari satu kesadaran ke kesadaran yang lain dan kita tidak bisa menginginkan satu kesadaran saja yang eksis pada waktu itu, misalnya apakah kita bisa hanya mata kita melotot kemudian kita mempertahankan kesadaran mata saja, apakah bisa? Tidak bisa, tetapi akan berubah dengan kesadaran yang lain, suara muncul, muncullah kesadaran telinga. Kalau kita menginginkan satu kesadaran saja, maka penderitaan yang muncul.
Termasuk misalnya pada saat seseorang mencapai jhāna, kesadaran yang hanya kesadaran pikiran saja, itupun sifatnya berubah, tidak kekal, tidak bisa dipertahankan. Dan kalau kemudian seseorang menginginkan sesuatu yang tidak bisa dipertahankan, maka akibatnya, efek yang akan muncul, cepat atau lambat adalah penderitaan. Karena begitu apa yang diinginkan tidak tercapai, tidak terpenuhi, maka penderitaan yang muncul. Sehingga disini yang menyebabkan kita menderita, sebab penderitaan sebagai kebenaran mulia disini adalah nafsu keinginan itu sendiri. Dan sesuai dengan hukum Paticcasamuppāda, sebab musabab yang saling bergantungan, ketika ini ada maka akibat yang seharusnya muncul juga ada, dan sebaliknya. Penderitaan itu lenyap maka dikatakan kebenaran mulia yang ketiga, lenyapnya penderitaan adalah lenyapnya nafsu keingian itu sendiri. Ketika nafsu keinginan lenyap maka penderitaan juga lenyap, nafsu keingian sebagai bahan bakarnya, yang menyebabkan kita menderita di alam saṃsāra, bertumimbal lahir dari satu kelahiran ke kelahiran yang lain, ketika itu lenyap maka penderitaan akan lenyap. Dan dalam ajaran Sang Buddha, juga telah diajarkan tentang Jalan Mulia Berunsur Delapan yaitu pandangan benar, pikiran benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, upaya benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar. Dan jalan ini adalah jalan untuk melenyapkan nafsu keinginan, adalah jalan untuk pembebasan itu sendiri. Inilah Empat Kebenaran Mulia.