//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Show Posts

This section allows you to view all posts made by this member. Note that you can only see posts made in areas you currently have access to.


Topics - Utphala Dhamma

Pages: [1] 2 3
1
SEANDAINYA Pancakkhandha, Kelima Khandha, adalah "Diri, Milik Diri"

Bila fenomena JASMANI [rupa] adalah diri & milik diri, jasmani bisa mutlak kita kuasai & inginkan sesuka hati kita tanpa tergantung suatu kondisi-kondisi penyebab/penunjangnya (bisa bebas dari mekanisme keterkondisiannya, proses alami sebab akibat impersonal); memiliki bentuk & pertumbuhan sesuka kita, bebas mengatur denyut jantung, bebas menentukan seberapa cepat pertumbuhan rambut/kuku/dsb, tidak perlu bernapas & makan minum, tidak melapuk, tidak menua, tidak rusak, kekal, bebas dari ketidakkekalan, selalu memuaskan, tidak pernah tak memuaskan, dsb.

Bila fenomena PERASAAN [vedana] adalah diri & milik diri, perasaan bisa mutlak kita kuasai & inginkan sesuka hati kita tanpa tergantung suatu kondisi-kondisi penyebab/penunjangnya (bisa bebas dari mekanisme keterkondisiannya, proses alami sebab akibat impersonal); selalu bahagia, tidak pernah sakit atau sedih atau menderita, kekal, selalu memuaskan, tidak pernah tak memuaskan, dsb.

Bila fenomena PERSEPSI [sañña] adalah diri & milik diri, persepsi bisa mutlak kita kuasai & inginkan sesuka hati kita tanpa tergantung suatu kondisi-kondisi penyebab/penunjangnya (bisa bebas dari mekanisme keterkondisiannya, proses alami sebab akibat impersonal); bisa bebas mengatur persepsi dari pancaindera & persepsi dari pikiran, 'seperti ini', 'jangan seperti itu' tanpa tergantung keterbatasan mekanisme indera, bisa lenyap atau ada seperti yang kita inginkan, kekal, selalu memuaskan, tidak pernah tak memuaskan, dsb.

Bila fenomena BENTUK-BENTUK BATIN/AKTIVITAS PIKIRAN [sankhara] adalah diri & milik diri, sankhara bisa mutlak kita kuasai & inginkan sesuka hati kita tanpa tergantung suatu kondisi-kondisi penyebab/penunjangnya (bisa bebas dari mekanisme keterkondisiannya, proses alami sebab akibat impersonal); bebas dari bentuk-2 batin yg tak diinginkan (nafsu, kebencian, kebodohan), bebas mempertahankan yang diinginkan (welas asih, konsentrasi, ketenangan, kegiuran, dll), 'semoga kehendak seperti ini tidak seperti itu', 'semoga sankhara selalu membentuk di alam bahagia', 'semoga sankhara tidak membentuk di alam menderita', 'semoga sankhara membentuk di alam tertentu saja', 'semoga sankhara tidak membentuk lagi', 'semoga sankhara lekas terbebas dari avijja & segala kekotoran batin', bisa dipertahankan, kekal, selalu memuaskan, tidak pernah tak memuaskan, dsb.

Bila fenomena KESADARAN [viññana] adalah diri & milik diri, kesadaran bisa mutlak kita kuasai & inginkan sesuka hati kita tanpa tergantung suatu kondisi-kondisi penyebab/penunjangnya (bisa bebas dari mekanisme keterkondisiannya, proses alami sebab akibat impersonal); dapat bebas sekehendak hati mengaturnya agar selalu terjaga menerima rangsangan objek di 6 gerbang indera siang maupun malam; tak terpengaruh obat-obatan, makanan, atau minuman, tidak terpengaruh kondisi jasmani, atau bebas mengaturnya hadir pada gerbang indera tertentu saja dalam waktu yang tak terbatas sekehendak kita, bisa dipertahankan, kekal, selalu memuaskan, tidak pernah tak memuaskan, dsb.

--->> TAPI KARENA mereka BUKAN DIRI/BUKAN PERSONAL & BUKAN MILIK KITA, mereka memiliki sifat tipikal, kondisi-kondisi penunjang, mekanisme keterkondisiannya, & perilaku alaminya sendiri, dan bekerja atau berproses sesuai proses sebab akibat impersonal, mengikuti hukum alaminya.

KARENA bukan diri/personal (ANATTA) & kosong dari suatu diri/ personal (SUÑÑATA), Mereka timbul, ada, berubah, berproses, & lenyap; berperilaku sesuai kondisi-kondisi penunjangnya dan mengikuti hukum alaminya, DENGAN atau TANPA SEPENGETAHUAN kita, SEJALAN atau TIDAK SEJALAN dengan keinginan/kehendak...

2
KETIDAKTAHUAN ADALAH PENYEBAB PENDERITAAN
Oleh: Bhikkhu Atthadhiro (26 September 2010)

Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammāsambuddhassa 3x

...Jadilah pelita bagi dirimu sendiri. Jadilah pelindung bagi dirimu sendiri.
Jangan menyandarkan dirimu pada orang lain. Pegang teguh Dhamma
sebagai pelita. Pegang teguh Dhamma sebagai pelindungmu.
(Mahāparinibbāna Sutta)

Penderitaan merupakan hal yang sering dijumpai dalam kehidupan kita. Banyak orang yang sering mengeluh, mungkin juga bosan akan hal ini, mengingat bahwa setiap orang selalu ingin mendapatkan sebanyak mungkin kebahagiaan dan berkeinginan untuk sedikit mungkin akan penderitaan. Tetapi apa yang terjadi ternyata kebahagiaan yang diharapkan, justru penderitaan yang datang. Supaya kita tidak semakin menderita, maka Sang Buddha mengajarkan Dhamma kepada kita, sehingga kegelapan di dalam batin kita semakin berkurang.

Banyak orang yang hidup di dunia ini yang masih belum mengetahui akan sifat atau corak dari kehidupan. Ketika seseorang belum memahami atau mengetahui sifat dari kehidupan, maka yang terjadi adalah penderitaan. Apakah sifat atau corak dari kehidupan yang perlu kita ketahui?

Sang Buddha sabdakan bahwa:

Sabbe saṅkhārā aniccā,
Sabbe saṅkhārā dukkhā,
Sabbe dhammā anattā.



SABBE SAṅKHĀRĀ ANICCĀ
Inilah corak dari kehidupan yang pertama yang perlu kita ketahui, bahwa segala bentukan adalah tidak kekal adanya. Pada umumnya, orang masih menganggap apa yang dimilikinya sebagai sesuatu yang kekal adanya. Mereka akan menolak akan kebenaran ini, karena mereka takut kehilangan apa yang mereka cintai dan karena mereka tidak mau berpisah dengan apa yang mereka cintai, sehingga mereka tidak mempedulikan kebenaran ini. Akibatnya, ketika seseorang tidak mengetahui akan kebenaran ini, maka yang muncul adalah derita, ratap tangis, sedih, dan lain-lain. Seperti orang yang panik, akan bertanya-tanya; “Mengapa ini bisa begini? Mengapa ini bisa terjadi?”

Kalau kita amati di sekitar kita atau diri kita sendiri, baik menggunakan penginderaan maupun pemikiran, kita akan menyimpulkan bahwa segala bentukan memang tidak ada yang tetap dan akan terus berubah. Setelah muncul akan mengalami kelenyapan. Tidak hanya fisik kita, tetapi apa saja yang merupakan kumpulan dari bentukan akan mengalami perubahan atau ketidakkekalan. Kebenaran ini bukan membuat manusia menjadi pesimis, tetapi kebenaran ini mengajarkan manusia untuk melihat realitas yang sesungguhnya, karena kebenaran ini pasti akan terjadi dalam hidup manusia.

Karena ini kebenaran yang ada dalam hidup ini, maka kita sekarang seyogyanya berlatih untuk mengamati, mencermati akan kebenaran ini. Agar sewaktu apa yang kita miliki berpisah, apa yang kita cintai berpisah atau meninggalkan kita, kita tidak lagi menderita, andai kata menderita tidak larut terlalu lama.


SABBE SAṅKHĀRĀ DUKKHĀ

Inilah corak dari kehidupan kita yang kedua yang perlu kita ketahui. Bahwa segala bentukan yang merupakan perpaduan adalah dukkha. Pengertian dukkha sangatlah kompleks, tidak hanya pada derita, tetapi dukkha juga memiliki makna sukar bertahan, keberadaan yang menekan, menghimpit. Kebanyakan orang sesungguhnya sudah mengenalnya, tetapi hanya bersifat pemahaman biasa. Mereka pada umumnya masih menganggap kehidupan ini sebagai sukha. Ketika seseorang belum memahami corak kehidupan ini, maka yang muncul adalah derita, kecewa, sedih, ratap tangis, dan lain-lain.

Kebenaran ini sesungguhnya adalah realita yang sering muncul dalam hidup kita. Coba kita renungkan kembali, ‘Banyak mana antara bahagia dan derita?’ Tentu lebih banyak derita. Tetapi yang namanya manusia berkeinginan terbalik, inginnya banyak bahagia, sedikit derita. Apa yang terjadi, sudah menderita jadi bertambah menderita, itulah yang akan dialami. Manusia memang ingin selalu bahagia, bahagia muncul tidak harus dengan merubah derita, tetapi bahagia akan muncul tatkala seseorang bisa memahami akan derita. Dengan memahami akan kebenaran ini, derita yang kita alami akan semakin berkurang.


SABBE DHAMMĀ ANATTĀ
Inilah corak dari kehidupan kita yang ketiga yang perlu kita ketahui, bahwa segala bentukan maupun bukan bentukan adalah bukan diri. Mengapa dikatakan bukan diri? Sebab keberadaannya tidak bisa kita atur, ia tidak bisa mengikuti kehendak kita. Sebagai contoh: kulitku jangan keriput ia tetap saja keriput, rambutku jangan menjadi putih ia tetap putih. Apakah sesuatu yang tidak bisa kita atur, tidak bisa kita perintah bisa kita sebut sebagai diriku, aku atau milikku.

Banyak sekali orang masih beranggapan diri sebagai aku, atau milikku, maka ketika apa yang disebut aku atau milikku berubah yang timbul adalah derita. Sang Buddha menjelaskan kebenaran ini dengan jelas dalam Anattalakkhana Sutta.

Dengan melepas persepsi tentang keakuan akan bebas dari kemelekatan, bebas dari derita, bebas dari kesedihan. Sebagai contoh: ketika ada keluarga kita sendiri sakit, kenapa kita sedih, tetapi kalau ada tetangga yang sakit kita tidak sedih. Ini disebabkan karena masih adanya kemelekatan terhadap keakuan bahwa itu adalah keluargaku. Kata ”ku” inilah yang menjadikan ia menderita.
Jadi dengan memahami akan corak yang ketiga ini, kita akan bebas dari penderitaan.

Dengan memahami ketiga hal itu, maka kita akan tahu corak atau sifat kehidupan ini dengan sebagaimana adanya, sehingga kita akan bisa menyikapi permasalahan atau fenomena hidup dengan bijak.


www.dhammacakka.org/index.php?option=com_content&view=article&id=478%3Abd-ketidaktahuan-penyebab-penderitaan&catid=95%3A2010-september&Itemid=126

3
AN 3.134. DHAMMANIYĀMA  SUTTA

Demikianlah telah kudengar:Pada suatu ketika Sang Bhagavā bersemayam di dekat Savatthi di hutan Jeta milik Anathapindika.

Sang Buddha berkata kepada para Bhikkhu:“O, para bhikkhu.”
“Ya, Bhante,” jawab para Bhikkhu.Selanjutnya Sang Bhagavā berkata:


“O, para bhikkhu, apakah para Tathāgata muncul di dunia atau tidak,
terdapat hukum yang tetap dari segala sesuatu [dhamma],
terdapat hukum yang pasti dari segala sesuatu, bahwa:
SEGALA YANG TERBENTUK adalah TIDAK KEKAL.”
[sabbe saṅkhārā aniccā"ti]

Tathāgata mengetahui dan mengerti sepenuhnya hal itu,
Setelah sepenuhnya mengetahui dan mengerti,
Ia Memaklumkannya, Menunjukkannya,Menegaskan, Menandaskan,Menjelaskan, Menguraikan, dan Membentangkan bahwa:
SEGALA YANG TERBENTUK adalah TIDAK KEKAL.”
[sabbe saṅkhārā aniccā"ti]



“O, para bhikkhu, apakah para Tathāgata muncul di dunia atau tidak,
terdapat hukum yang tetap dari segala sesuatu [dhamma],
terdapat hukum yang pasti dari segala sesuatu, bahwa:
SEGALA YANG TERBENTUK adalah TIDAK MEMUASKAN.”
[sabbe saṅkhārā dukkhā"ti]

Tathāgata mengetahui dan mengerti sepenuhnya hal itu,
Setelah sepenuhnya mengetahui dan mengerti,
Ia Memaklumkannya, Menunjukkannya,Menegaskan, Menandaskan,Menjelaskan, Menguraikan, dan Membentangkan bahwa:
SEGALA YANG TERBENTUK adalah TIDAK MEMUASKAN.”
[sabbe saṅkhārā dukkhā"ti]



“O, para bhikkhu, apakah para Tathāgata muncul di dunia atau tidak,
terdapat hukum yang tetap dari segala sesuatu [dhamma],
terdapat hukum yang pasti dari segala sesuatu, bahwa:
SEGALA SESUATU (yang terbentuk maupun yang tidak terbentuk) adalah BUKAN DIRI/BUKAN PERSONAL.”
[sabbe dhammā anattā"ti]

Tathāgata mengetahui dan mengerti sepenuhnya hal itu,
Setelah sepenuhnya mengetahui dan mengerti,
Ia Memaklumkannya, Menunjukkannya,Menegaskan, Menandaskan,Menjelaskan, Menguraikan, dan Membentangkan bahwa:
SEGALA SESUATU (yang terbentuk maupun yang tidak terbentuk) adalah BUKAN DIRI/BUKAN PERSONAL.”
[sabbe dhammā anattā"ti]


<AN 3.134. DHAMMANIYĀMA  SUTTA>
----------------------------


Evamme sutaṃ.
Ekam samayaṃ Bhagavā sāvatthiyaṃ viharati jetavane anāthapindikassa ārāme.

Tatra kho Bhagavā bhikkhū āmantesi bhikkhavo’ti.
Bhadante’ti te bhikkhū Bhagavato paccassosuṃ.
Bhagavā etadavoca:

Uppādā vā bhikkhave tathāgatānaṃ anuppādā vā tathāgatānaṃ ṭhitāva sā dhātu dhammaṭṭhitatā dhammaniyāmatā "sabbe saṅkhārā aniccā"ti. Taṃ tathāgato abhisambujjhati abhisameti. Abhisambujjhitvā abhisametvā ācikkhati deseti paññāpeti paṭṭhapeti vivarati vibhajati uttānī karoti "sabbe saṅkhārā aniccā’ti.
 
Uppādā vā bhikkhave tathāgatānaṃ anuppādā vā tathāgatānaṃ ṭhitāva sā dhātu dhammaṭṭhitatā dhammaniyāmatā "sabbe saṅkhārā dukkhā"ti. Taṃ tathāgato abhisambujjhati abhisameti. Abhisambujjhitvā abhisametvā ācikkhati deseti paññāpeti paṭṭhapeti vivarati vibhajati uttānī karoti "sabbe saṅkhārā dukkhā’ti.
 
Uppādā vā bhikkhave tathāgatānaṃ anuppādā vā tathāgatānaṃ ṭhitāva sā dhātu dhammaṭṭhitatā dhammaniyāmatā "sabbe dhammā anattā"ti. Taṃ tathāgato abhisambujjhati abhisameti. Abhisambujjhitvā abhisametvā ācikkhati deseti paññāpeti paṭṭhapeti vivarati vibhajati uttānī karoti "sabbe dhammā anattā’ti.

<AN 3.134. DHAMMANIYĀMA  SUTTA>
Quote



4
...
 
"Tissa, seumpama ada dua orang, yang satu tidak tahu jalan,  yang lain tahu jalan. Dalam hal ini, yang tidak tahu jalan bertanya pada  orang yang tahu jalan. Ia menjawab, 'Benar, Sobat, inilah jalannya. Teruskanlah selama beberapa saat dan engkau akan tiba pada suatu persimpangan. Jangan ambil yang kiri, tapi ambillah jalan yang di  sebelah kanan. Teruskan sedikit, dan engkau akan sampai pada sebuah hutan rimba yang lebat. Lanjutkan sedikit lagi, dan engkau akan melihat sebuah rawa yang luas. Lanjutkan sedikit lebih jauh, dan engkau  akan  melihat jurang yang dalam. Tetap lanjutkan sedikit lebih jauh lagi, dan  engkau akan melihat sebidang tanah lapang yang menyenangkan.'

Aku membuat perumpamaan ini untuk menjelaskan maksudku:

Orang yang tidak tahu jalan mewakili umat awam (yang belum memasuki arus),
dan orang yang tahu jalan mewakili Sang Tathagata, Arahat, Samma Sambuddha, yang telah mencapai Penerangan Sempurna.

PERSIMPANGAN JALAN mewakili keragu-raguan.

CABANG sebelah kiri mewakili jalan yang salah,
dan CABANG sebelah kanan mewakili Jalan Mulia Beruas Delapan:
1.  Pengertian/Pandangan Benar
2.  Pikiran Benar
3.  Ucapan Benar
4.  Perbuatan Benar
5.  Mata Pencaharian Benar
6.  Daya Upaya/Ikhtiar Benar
7.  Perhatian/Kewaspadaan Benar
8.  Konsentrasi Benar

HUTAN yang lebat mewakili ketidaktahuan.

RAWA yang luas mewakili nafsu indera.

JURANG yang dalam melambangkan kejengkelan dan keputusasaan. 

SEBIDANG TANAH LAPANG yang menyenangkan mewakili Nibbana.

Bergembiralah, Tissa, Bergembiralah.
Aku di sini untuk menasihatimu, mendukungmu, dan memberimu petunjuk!"

~ KUTIPAN SN 22.84. Tissa Sutta: Dorongan Semangat dari Sang Buddha kepada Bhikkhu Tissa

********


Karena ada persimpangan, perumpamaan dari keraguan, kita jadi tak bergerak.

Karena hutan rimba ketidaktahuan, kegelapan batin, kebingungan, kita mungkin mundur menyerah terhadap Dhamma dan pelaksanaannya.

Tapi begitu titik terang mulai di dapat, hutan rimba dilalui, nafsu indera menggoda.

Begitu nafsu indera dilemahkan, rawa-rawa dilalui, muncul keinginan untuk segera mendapat hasil.

Bila tak waspada, timbul kejengkelan dan keputus-asaan (karena masih diliputi gagasan atau persepsi laten yang keliru mengenai adanya "diri") seumpama melewati jurang yang dalam. Bila pada waktu itu belum memasuki arus atau tak memiliki keyakinan pada Tiratana, pada magga (JMB 8), cenderung mengarah pada kesesatan pandangan atau nafsu pelenyapan "diri" yang halus [*VIBHAVA TANHA], karena masih diliputi gagasan atau persepsi laten yang keliru mengenai adanya "diri".

Tapi bila terus berjalan dengan keyakinan, semangat, kewaspadaan, konsentrasi, & kebijaksanaan [*PANCA BALA - 5 Kekuatan/Modal], akhirnya kita terus mematangkan kondisi-kondisi yang diperlukan, sampai akhirnya segala kekotoran batin dan kegelapan batin lenyap total.

Note:
1. VIBHAVA TANHA (craving for non-becoming) adalah nafsu keinginan terhadap KELENYAPAN suatu keberadaan [sehubungan dengan gagasan salah mengenai adanya "diri" - ditthi asmi mano]. Vibhava tanha disertai pandangan keliru bahwa pancakkhandha dianggap sebagai penyebab atau asal mula dukkha, dengan kata lain tidak melihat hukum Paticcasamuppada, hukum sebab musabab yang saling bergantungan, dimana di sana terlihat hubungan mata rantai antara Avijja, Tanha, & Dukkha.

2. PANCA BALA (5 Kekuatan):
1. Saddha (keyakinan),
2. Viriya (ketekunan, semangat)
3. Sati (perhatian, kesadaran, kewaspadaan)
4. Samadhi (konsentrasi yang tenang)
5. Pañña (kebijaksanaan)

Saddha menunjang Viriya.
Viriya menunjang Sati.
Sati menunjang Samadhi.
Samadhi menunjang Pañña.
Pañña menunjang Saddha, Saddha menunjang Viriya,
Viriya menunjang Sati.
Sati menunjang Samadhi,
dst...

5
Apa yang harus diperhatikan dengan Pandangan Benar (SAMMA DITTHI) sehingga menuntun pada Perhatian/Kewaspadaan & Pemahaman Jernih (SATI SAMPAJANNA), dan akhirnya menuntun pada patahnya semua belenggu, hancurnya kekotoran batin, lenyapnya Lobha, Dosa, & Moha?


SN 22.122. SILAVANT SUTTA: Bermoral & Terlatih
 
 
Pada suatu ketika Yang Mulia Sàriputta dan Yang Mulia Mahakotthita sedang berdiam di Baranasi di Taman Rusa di Isipatana. Pada suatu malam, Yang Mulia Mahakotthita keluar dari keheningannya, mendekati Yang Mulia Sariputta, saling bertukar sapa, dan berkata kepadanya: “Sahabat Sàriputta, hal-hal apakah yang harus diperhatikan dengan benar oleh seorang bhikkhu yang bermoral?”
 
“Sahabat Kotthita, seorang bhikkhu yang bermoral harus memperhatikan dengan seksama lima kelompok unsur kehidupan (PANCAKKHANDHA) yang menjadi subjek kemelekatan ini SEBAGAI TIDAK KEKAL, sebagai PENDERITAAN, sebagai penyakit, sebagai tumor, sebagai anak panah, sebagai kesengsaraan, sebagai kemalangan, sebagai benda asing, sebagai kehancuran, sebagai KOSONG, sebagai BUKAN-DIRI.
 

Apakah lima itu? Kelompok unsur  JASMANI yang menjadi subjek kemelekatan, kelompok unsur PERASAAN yang menjadi subjek kemelekatan, kelompok unsur PERSEPSI yang menjadi subjek kemelekatan, kelompok unsur BENTUKAN-BENTUKAN PIKIRAN yang menjadi subjek kemelekatan, kelompok unsur KESADARAN (consciousness) yang menjadi subjek kemelekatan.
 
Seorang bhikkhu yang bermoral harus memperhatikan dengan saksama lima kelompok unsur kehidupan (PANCAKKHANDHA) yang menjadi subjek kemelekatan ini SEBAGAI TIDAK KEKAL … sebagai BUKAN-DIRI. Ketika, Sahabat, seorang bhikkhu yang bermoral memerhatikan dengan saksama lima kelompok unsur kehidupan yang menjadi subjek kemelekatan ini, adalah mungkin ia dapat menembus buah Memasuki-arus.”
   
“Tetapi, Sahabat Sàriputta, hal-hal apakah yang harus diperhatikan oleh seorang bhikkhu yang adalah seorang Pemasuk-arus (SOTAPANNA)?”
 
“Sahabat Kotthita, seorang bhikkhu yang adalah seorang Pemasuk-arus harus memperhatikan dengan seksama lima kelompok unsur kehidupan (PANCAKKHANDHA) yang menjadi subjek kemelekatan ini SEBAGAI TIDAK KEKAL … sebagai BUKAN-DIRI. Ketika, Sahabat, seorang bhikkhu yang adalah seorang Pemasuk-arus memerhatikan dengan saksama lima kelompok unsur kehidupan yang menjadi subjek kemelekatan ini, adalah mungkin ia dapat menembus buah Yang-kembali-sekali.”
 
“Tetapi, Sahabat Sàriputta, hal-hal apakah yang harus diperhatikan oleh seorang bhikkhu yang adalah seorang Yang-kembali-sekali (SAKADAGAMI)?”
 
“Sahabat Kotthita, seorang bhikkhu yang adalah seorang Yang-kembali-sekali harus memperhatikan dengan seksama lima kelompok unsur kehidupan (PANCAKKHANDHA) yang menjadi subjek kemelekatan ini SEBAGAI TIDAK KEKAL … sebagai BUKAN-DIRI. Ketika, Sahabat, seorang bhikkhu yang adalah seorang Yang-kembali-sekali memerhatikan dengan saksama lima kelompok unsur kehidupan yang menjadi subjek kemelekatan ini, adalah mungkin ia dapat menembus buah Yang-tidak-kembali.”
   
“Tetapi, Sahabat Sàriputta, hal-hal apakah yang harus diperhatikan oleh seorang bhikkhu yang adalah seorang Yang-tidak-kembali (ANAGAMI)?”
 
“Sahabat Kotthita, seorang bhikkhu yang adalah seorang Yang-tidak-kembali harus memperhatikan dengan seksama lima kelompok unsur kehidupan (PANCAKKHANDHA) yang menjadi subjek kemelekatan ini SEBAGAI TIDAK KEKAL … sebagai BUKAN-DIRI. Ketika, Sahabat, seorang bhikkhu yang adalah seorang Yang-tidak-kembali memerhatikan dengan saksama lima kelompok unsur kehidupan yang menjadi subjek kemelekatan ini, adalah mungkin ia dapat menembus buah Kearahatan.”
 
“Tetapi, Sahabat Sàriputta, hal-hal apakah yang harus diperhatikan oleh seorang bhikkhu yang adalah seorang ARAHAT?”
 
“Sahabat Kotthita, seorang bhikkhu yang adalah seorang Arahat harus memperhatikan dengan seksama lima kelompok unsur kehidupan (PANCAKKHANDHA) yang menjadi subjek kemelekatan ini SEBAGAI TIDAK KEKAL, sebagai PENDERITAAN, sebagai penyakit, sebagai tumor, sebagai anak panah, sebagai kesengsaraan, sebagai kemalangan, sebagai benda asing, sebagai kehancuran, sebagai KOSONG, sebagai BUKAN-DIRI. Bagi Arahat, Sahabat, tidak ada lagi lebih jauh yang harus dilakukan dan tidak ada penambahan atas apa yang telah ia lakukan. Akan tetapi, ketika hal-hal ini dikembangkan dan dilatih, maka hal-hal itu menuntun menuju kediaman yang nyaman dalam kehidupan ini dan menuju PERHATIAN (kewaspadaan) dan PEMAHAMAN JERNIH.
 
-----------------------------------------------------------
 

Quote
SN 22.122. SILAVANT SUTTA: : Virtuous
translated from the Pali by Thanissaro Bhikkhu © 1998–2011
 
On one occasion Ven. Sariputta & Ven. Maha Kotthita were staying near Varanasi in the Deer Park at Isipatana. Then Ven. Maha Kotthita, emerging from seclusion in the late afternoon, went to Ven. Sariputta and, on arrival, exchanged courteous greetings with him. After an exchange of friendly greetings & courtesies, he sat to one side. As he was sitting there, he said to Ven. Sariputta, "Sariputta my friend, which things should a virtuous monk attend to in an appropriate way?"
 
 "A virtuous monk, Kotthita my friend, should attend in an appropriate way to the five clinging-aggregates (PANCAKKHANDHA) as inconstant, stressful, a disease, a cancer, an arrow, painful, an affliction, alien, a dissolution, an emptiness, not-self. Which five? FORM as a clinging-aggregate, FEELING... PERCEPTION... FABRICATIONS... CONSCIOUSNESS as a clinging-aggregate. A virtuous monk should attend in an appropriate way to these five clinging-aggregates as INCONSTANT, STRESSFUL, a disease, a cancer, an arrow, painful, an affliction, alien, a dissolution, AN EMPTINESS, NOT-SELF. For it is possible that a virtuous monk, attending in an appropriate way to these five clinging-aggregates as inconstant... not-self, would realize the fruit of stream-entry."
   
"Then which things should a monk who has attained stream-entry (SOTAPANNA) attend to in an appropriate way?"
 
"A monk who has attained stream-entry should attend in an appropriate way to these five clinging-aggregates (PANCAKKHANDHA) as INCONSTANT, STRESSFUL, a disease, a cancer, an arrow, painful, an affliction, alien, a dissolution, AN EMPTINESS, NOT-SELF. For it is possible that a monk who has attained stream-entry, attending in an appropriate way to these five clinging-aggregates as inconstant... not-self, would realize the fruit of once-returning."
   
"Then which things should a monk who has attained once-returning (SAKADAGAMI) attend to in an appropriate way?"
 
"A monk who has attained once-returning should attend in an appropriate way to these five clinging-aggregates (PANCAKKHANDHA) as INCONSTANT, STRESSFUL, a disease, a cancer, an arrow, painful, an affliction, alien, a dissolution, AN EMPTINESS, NOT-SELF. For it is possible that a monk who has attained once-returning, attending in an appropriate way to these five clinging-aggregates as inconstant... not-self, would realize the fruit of non-returning."
 
"Then which things should a monk who has attained non-returning (ANAGAMI) attend to in an appropriate way?"
 
"A monk who has attained non-returning should attend in an appropriate way to these five clinging-aggregates (PANCAKKHANDHA) as INCONSTANT, STRESSFUL, a disease, a cancer, an arrow, painful, an affliction, alien, a dissolution, AN EMPTINESS, NOT-SELF.  For it is possible that a monk who has attained non-returning, attending in an appropriate way to these five clinging-aggregates as inconstant... not-self, would realize the fruit of arahantship."
   
"Then which things should an ARAHANT attend to in an appropriate way?"
 
"An arahant should attend in an appropriate way to these five clinging-aggregates (PANCAKKHANDHA) as INCONSTANT, STRESSFUL, a disease, a cancer, an arrow, painful, an affliction, alien, a dissolution, AN EMPTINESS, NOT-SELF. Although, for an arahant, there is nothing further to do, and nothing to add to what has been done, still these things — when developed & pursued — lead both to a pleasant abiding in the here-&-now and to MINDFULNESS & ALERTNESS (Clear Comprehension)."
 
 
"Silavant Sutta: Virtuous" (SN 22.122),
translated from the Pali by Thanissaro Bhikkhu.
Access to Insight, June 29, 2010,
http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/sn/sn22/sn22.122.than.html.

6
Meditasi Anapanasati, sebagai bagian dari perenungan jasmani (Kayanupassana), menyediakan kesempatan seluas-luasnya untuk mengamati betapa alami dan betapa bukan-dirinya fenomena jasmani berupa masuk-dan-keluarnya nafas.

Dengan Anapanasati, dapat terlihat sifat bukan diri/bukan personifikasi dari fenomena jasmaniah maupun fenomena batiniah.

Saat berdiam mengamati betapa alami & bukan dirinya masuk-dan-keluarnya nafas (salah satu fenomena jasmani, satu fenomena alam yang khas), menyadari KEBERADAANNYA, menyadari keberadaan masuk-dan-keluarnya nafas,  menyadari & memaklumi keberadaan JASMANI;
Dapat terlihat pula sifat alami & bukan diri dari fenomena BATIN (PERASAAN atau PIKIRAN) yang timbul lenyap, berubah-ubah.

Saat perasaan timbul lenyap, kita memaklumi keberadaan fenomena batin, tanpa terlibat. Batin itu memang ada.

Saat  pikiran timbul lenyap (gerakan, dorongan/kehendak, atau warnanya/bentuk-bentuk batin, misal: Panca Nivarana), kita memaklumi  keberadaan fenomena batin, tanpa terlibat. Batin itu memang ada.

Setelah memaklumi keberadaan batin, kita mengembalikan kesadaran atau  perhatian, dengan rileks/lembut, terhadap keberadaan masuk-dan-keluarnya  napas, kembali mengamati fenomena jasmani tersebut, dan seterusnya.

"BATIN memang ada, tapi hanya fenomena batin semata dengan segala sifat & perilaku tipikalnya.."

"JASMANI memang ada, tapi hanya fenomena jasmani semata dengan segala sifat & perilaku tipikalnya.."

Beginilah BATIN dan unsur-unsurnya...
Beginilah JASMANI dan unsur-unsurnya...

7
Buddhisme untuk Pemula / Sakkhaya Ditthi
« on: 02 December 2010, 03:33:27 AM »
Sebelum kemunculan Buddha atau sebelum mendengar Dhamma, kita cenderung menganggap bahwa dalam suatu makhluk ada satu komponen utama yang bersifat personifikasi, atau suatu unsur utama, atau inti diri berupa jiwa, suatu ruh, atta. Persis perumpamaan yang diberikan Sang Buddha mengenai seorang raja yang terpesona oleh suara kecapi lalu menganggap suara tersebut adalah salah satu unsur, atau unsur utama, atau komponen inti, dari kecapi.

Kutipan SN 35.205. VINA SUTTA:

Quote
... Misalkan ada seorang raja atau menteri kerajaan yang belum pernah mendengar suara musik kecapi. Kemudian pada suatu hari ia mendengarkannya dan berkata,"Orang baik beritahukanlah kepadaku , suara apakah itu, yang begitu mempesona, begitu menyenangkan, begitu memabukkan, begitu menggairahkan, dengan kekuatan yang begitu mengikat?"

Lalu mereka berkata kepadanya,"Paduka, itu adalah suara musik kecapi."

Maka ia berkata,"Pergilah, bawakan aku kecapi itu!"

Lalu mereka membawakan kecapi itu kepadanya tetapi ia berkata,"Cukup sudah dengan kecapi ini. Bawakan saja aku musiknya!"

Mereka lalu berujar,"Paduka, kecapi ini terdiri dari berbagai dan banyak bagian: perut, kulit, tangkai, kerangka, senar, kuda-kuda, dan upaya pemain. Dan kecapi itu bersuara karena mereka. Kecapi itu bersuara karena banyak bagian".

Lalu raja tersebut memecahkan kecapi itu menjadi ratusan bagian, memecah dan memecahnya lagi, membakarnya, menaruh abunya dalam sebuah timbunan, dan menampinya dalam sebuah tong atau mencucinya dengan air agar dapat menemukan suara musiknya.

Setelah melakukan hal ini, ia berkata, "Kecapi merupakan benda yang sungguh jelek; apapun gerangan sebuah kecapi itu, dunia telah terbawa sesat oleh benda itu".

Demikian pula, pada seseorang yang menyelidiki badan JASMANI sejauh apapun badan jasmani mengada dan berubah, menyelidiki PERASAAN..., menyelidiki PERSEPSI (pencerapan)..., menyelidiki BENTUK-BENTUK BATIN/PIKIRAN..., menyelidiki KESADARAN sejauh apapun kesadaran mengada dan berubah, tidak akan ditemukan atau muncul gagasan atau pandangan mengenai "Diriku, Milikku, Aku".

<SN 35.205. Vina Sutta, Samyutta Nikaya>
************

Di Vajira Sutta, Bhikkhuni Vajira, seorang Arahat, saat menegur dan memberi penjelasan pada Mara yg berusaha menggodanya, mengatakan bahwa yg kita sebut "diri" ini adalah semata kumpulan dari sankhara/bentukan ("fabrications") seumpama "kereta" hanya ada karena komponen-komponennya berkumpul, berpadu atau terintegrasi. Anattalakkhana, Culasaccaka, Mahapuññama Sutta dll, menjelaskan bhw masing-masing dari pancakhandha bukanlah atta/diri/aku/personifikasi.

Kutipan SN 5.10 VAJIRA SUTTA:

Quote
Mara, dengan tujuan mengganggu dan menteror, mendekat dan bertanya:

"Oleh siapa makhluk itu diciptakan?
Dimana Sang Pencipta berada?
Di mana makhluk diciptakan?
Di mana lenyapnya makhluk?"

Bhikkhuni Vajira, seorang Arahat, menjawab:

"Makhluk, kau bilang? Itukah pemikiranmu?
Yang ada di sini, hanyalah kumpulan/tumpukan bentukan-bentukan (sankhara) semata. Tidak bisa ditemukan makhluk di tumpukan ini."

Lanjut Sang Bhikkhuni:

"Seperti halnya bila komponen-komponennya lengkap berkumpul, ada istilah 'kereta'; begitupula halnya bila khandha-khandha hadir berkumpul, maka sebagai perjanjian umum ada istilah 'makhluk'."

"Hanya penderitaan (dukkha) yang mengada menjelma tercipta;
Penderitaanlah yang tercipta dan lenyap;
Tiada apapun melainkan penderitaan yang tercipta.
Tiada apapun melainkan penderitaan yang lenyap."

Menyadari Sang Bhikkuni mengenalinya, Mara kecewa dan segera menghilang.

<SN 5.10 Vajira Sutta>

8
Sang Buddha mengatakan bahwa ketujuh faktor-faktor batin ini bila terkembang dalam batin akan mengkondisikan pandangan terang. Mereka adalah:

1. SATI (perhatian/kesadaran/kewaspadaan)
2. DHAMMAVICAYO (penyelidikan terhadap dhamma/realita/fenomena),
3. VIRIYA (ketekunan),
4. PITI (kegiuran batin),
5. PASSADDHI (kondisi rileks/santai/tidak tegang; kondisi batin & jasmani yang rileks),
6. SAMADHI (konsentrasi), &
7. UPEKKHA (keseimbangan batin).

Note:
Ada 2 jenis PASSADDHI (kondisi rileks/santai/tidak tegang):

1. Kaya Passaddhi  (Jasmani yang rileks)
2. Citta Passaddhi (Batin yang rileks)

Dalam Samyutta Nikaya dikatakan bahwa meditasi seperti memasak masakan. Unsur-unsurnya harus seimbang, pas racikannya, tidak baik bila ada yang berlebih, disesuaikan dengan kondisi batin saat itu. Begitulah 7 Faktor-faktor Pencerahan dikembangkan dan diseimbangkan, di mana Sati selalu bertindak sebagai faktor batin yang memimpin.

Semoga semua makhluk terbebas dari segala bentuk penderitaan. _/\_

9
Ibarat raja yang waspada, cerdik, & bijak melindungi dan selalu ingat pada ibu kota dan seluruh cakupan wilayah-wilayahnya yang terdalam maupun terluar, begitupula seseorang dalam mengembangkan 4 Landasan Perhatian/Kewaspadaan (4 SATIPATTHANA).

Jasmani, Perasaan, & Pikiran bak ibu kota yang dibentengi.

Fenomena/dhamma (Pancakhanda atau 6 Gerbang Indera, 5 Nivarana, 7 Faktor Pencerahan, dan 4 Kesunyataan Mulia) bak seluruh wilayah kekuasaannya.

10
Buddhisme untuk Pemula / 7 FAKTOR PENERANGAN SEMPURNA (Satta Bojjhanga)
« on: 06 October 2010, 01:03:19 PM »
Tipitaka, kitab suci agama Buddha berbahasa Pali, penuh dengan keterangan mengenai faktor-faktor penerangan sempurna yang dibabarkan oleh Buddha pada pelbagai kesempatan dalam keadaan- keadaan yang berbeda. Dalam Book of the Kindred Sayings V (Samyutta Nikaya, Maha Vagga) kita temukan bagian khusus dengan judul Bojjhanga Samyutta, Buddha berkhotbah mengenai bojjhanga dengan berbagai cara. Di bagian ini kita membaca satu seri dari tiga khotbah yang dilafalkan oleh umat sejak zaman Buddha sebagai suatu perlindungan (paritta atau pirit) menghadapi penderitaan, penyakit, kemalangan dan lain-lain.

Istilah “bojjhanga“ terdiri dari kata bodhi dan anga. “Bodhi“ berarti penerangan sempurna, tepatnya pencerahan dengan merealisasi Empat Kebenaran Mulia; yaitu Kebenaran Mulia tentang derita; Kebenaran Mulia tentang asal mula derita; Kebenaran Mulia tentang lenyapnya derita; dan Kebenaran Mulia tentang jalan menuju lenyapnya derita. "Anga" berarti faktor-faktor atau cabang-cabang. Karena itu bodhi + anga (bhojjanga) berarti faktor-faktor penerangan sempurna atau faktor-faktor pencerahan, kebijaksanaan.

Quote
“ 'Bhojjhanga! Bhojjhanga!' ucap Sang Bhagava, seberapa jauhkah istilah itu dapat dipakai?“ tanya seorang Bhikkhu.
“Bodhaya samvattantiti kho bhikkhu tasma Bhojjanga ti vuccati “.
“Mereka menimbulkan penerangan (pencerahan), Bhikkhu, karena itulah disebut demikian.“ jawab Sang Bhagava.[/b] 1

Sang Buddha melanjutkan,
Quote
“Para Bhikkhu, sama seperti bagian-bagian puncak atap rumah, seluruhnya menuju puncak, miring ke puncak, menyatu di puncak dan bagi mereka semua puncak dianggap sebagai kepalanya, demikian pula Bhikkhu, Bhikkhu yang mengembangkan dan memajukan ketujuh faktor penerangan sempurna condong menuju Nirwana/Nibbana, mendaki menuju Nirwana, cenderung ke Nirwana “. 2 [/b]

Ketujuh faktor itu adalah :
1.   Perhatian, kesadaran mengingat (sati),
2.   Penyelidikan terhadap Dharma (dhammavicaya),
3.   Usaha yang bersemangat/tekun (viriya),
4.   Kegiuran, kegairahan yang mendalam (piti),
5.   Ketenangan/rileks (passaddhi ,
6.   Konsentrasi (samadhi), dan
7.   Keseimbangan batin (upekkha).


Agar lebih jelas bagi pembaca, satu dari khotbah-khotbah mengenai bhojjhanga dapat dikutipkan di sini.
Dimulai dengan:
Quote
Demikian yang kedengar. Pada suatu ketika Buddha tinggal di Rajagaha, di Veluvana, Hutan Bambu, di tempat pemeliharaan tupai. Pada saat itu Bhikkhu Maha Kassapa, yang ada di Gua Pipphali, sedang sakit, menderita penyakit yang parah.

Kemudian Buddha bangkit dari meditasiNya di malam hari, mengunjungi Bhikkhu Maha Kassapa, duduk dan berbicara kepadanya sebagai berikut : “ Nah, Kassapa, ada apa denganmu ? Dapatkah engkau bertahan ; apakah engkau dapat menanggungnya ? Apakah sakitmu berkurang atau bertambah ? Adakah tanda-tanda penderitaanmu berkurang dan tidak bertambah ? “

“ Tidak, Bhante, aku tidak dapat bertahan. Aku tidak dapat menanggungnya. Penderitaan ini sangat berat. Tak ada satu tanda pun penderitaan ini berkurang, melainkan bertambah “.

“ Kassapa, tujuh faktor penerangan sempurna ini telah Kuuraikan dengan jelas, yang Kulatih dan lebih Kukembangkan dan ketika dilatih dan lebih dikembangkan mereka menimbulkan kesadaran penuh, kebijaksanaan sempurna, menuju Nirwana. Apa sajakah ketujuh faktor itu?
Kesadaran mengingat. Hal ini, kassapa, telah Kuuraikan dengan jelas, yang Kulatih dan lebih Kukembangkan dan ketika dilatih dan lebih dikembangkan, ia menghasilkan kesadaran penuh, kebijaksanaan sempurna, menuju Nirwana. Penyelidikan terhadap Dharma … Usaha yang bersemangat … Kegairahan yang mendalam … Ketenangan … Konsentrasi … Keseimbangan batin …

Kassapa, sungguh, ketujuh faktor penerangan sempurna ini Kuuraikan dengan jelas, yang Kulatih dan lebih Kukembangkan dan ketika dilatih dan lebih dikembangkan, mereka menghasilkan kesadaran penuh, kebijaksanaan sempurna, menuju Nirwana “.

“ Sesungguhnya, Bhagawa, mereka adalah faktor – faktor penerangan sempurna. Sesungguhnya, Sugata, mereka adalah faktor – faktor penerangan sempurna ! “ Ujar Maha Kassapa. Demikianlah yang telah dinyatakan oleh Buddha dan Bhikkhu Maha Kassapa merasa gembira, menyambut kata -kata Buddha. Lalu Bhikkhu Maha Kassapa sembuh dari penyakit itu. Seketika itu juga penderitaan Bhikkhu Maha Kassapa lenyap.4

Khotbah lainnya (Maha Cunda Bojhjhanga Sutta) dari tiga khotbah yang telah disebut di atas menyatakan bahwa suatu ketika Sang Buddha sendiri jatuh sakit dan Bhikkhu Maha Cunda membacakan bojjhanga, faktor-faktor penerangan sempurna, lalu penyakit Sang Buddha yang menyusahkan itu lenyap.5

Pikiran kita sungguh amat berpengaruh dan berakibat pada tubuh. Jika dibiarkan berfungsi dengan tidak benar dan menimbulkan pemikiran-pemikiran yang tidak baik dan menyakitkan, pikiran dapat menyebabkan bencana dan bahkan membunuh makhluk hidup ; tetapi pikiran juga dapat menyembuhkan tubuh yang sakit. Ketika berkonsentrasi pada pemikiran – pemikiran dengan pengertian benar, hasil yang dapat ditimbulkan pikiran amatlah besar.

Pikiran tak hanya menimbulkan penyakit, ia juga menyembuhkan. Seorang pasien yang optimis memiliki kesempatan sembuh lebih banyak daripada seorang pasien yang cemas dan tidak bahagia. Kejadian-kejadian penyembuhan berkat keyakinan yang tercatat mencakup kasus-kasus yang bahkan merupakan penyakit organik, disembuhkan dengan sekejap.6

Ajaran Buddha (Buddhadharma) adalah ajaran mengenai penerangan. Orang yang tekun dalam mencapai penerangan seharusnya pertama-tama mengetahui dengan jelas rintangan-rintangan yang menutup jalan menuju penerangan.

Menurut Buddha, berdasar pengertian benar, hidup adalah penderitaan dan penderitaan itu berakar pada kebodohan atau avijja. Kebodohan adalah perbuatan-perbuatan yang tak berguna, yaitu kejahatan. Lebih jauh lagi tidak memahami sifat kelompok agregat (khandanam rasattham) ; tidak memahami organ-organ indra dan objek indra masing-masing dan sifat-sifatnya yang objektif (ayatananam ayatanattham) ; tidak memahami kekosongan atau relativitas unsur-unsur (dhatunam sunnattham) ; tidak memahami sifat dominan dari alat yang mengendalikan indra (indriyanam adhipatittham) ; tidak memahami apa adanya kemutlakan dari Empat Kebenaran Mulia (saccanam tathattham).

Dan lima rintangan (panca nivarana) merupakan masukan (makanan atau pemberi kondisi) bagi kebodohan ini. Mereka disebut rintangan sebab mereka sepenuhnya menutup, memutuskan dan menghalangi. Mereka merintangi pemahaman mengenai jalan untuk terbebas dari penderitaan. Lima rintangan ini adalah nafsu indrawi (kamacchanda) ; keinginan jahat (vyapada) ; kemalasan dan kelesuan (thinamiddha) ; kegelisahan dan kekhawatiran (uddhacca kukkucca), dan keragu- raguan (vicikiccha).

Dan apakah masukan bagi rintangan ini ? Tiga cara hidup yang buruk (tini duccaritam) ; perbuatan yang jahat yang dilakukan melalui jasmani, ucapan dan pikiran. Ketiga jenis masukan ini terpelihara dengan tiadanya pengendalian nafsu indra (indriya asamvaro) yang dijelaskan oleh komentator sebagai masuknya hawa nafsu dan kebencian ke dalam enam alat indra, yaitu mata, telinga, hidung, lidah, tubuh dan pikiran (cakkadinam channam indriyanam ragapatighappavesanam).

Masukan yang menimbulkan tiadanya pengendalian digambarkan sebagai tiadanya perhatian kesadaran mengingat dan kesadaran memahami dengan jelas (asati asampajanna). Dalam konteks masukan tersebut berlalunya objek ( dhamma ) hilangnya pengetahuan dari pikiran tentang lakkhana atau sifa- sifat kehidupan berupa ketidakkekalan, penderitaan dan kekosongan substansi inti ( anicca, dukkha dan anatta ) dan terlupakannya sifat-sifat sejati dari segala sesuatu adalah sebab dari tiadanya pengendalian. Ketika orang melupakan kesementaraan dan sifat-sifat lain dari segala sesuatu ia membiarkan dirinya bebas berbicara dan melakukan apa saja dan membatasi pemikiran yang menyeluruh membayangkan suatu hal yang tak baik. Tiada memahami dengan jelas maksudnya tiadanya keempat hal ini : pemahaman yang jelas tentang tujuan ( sattha sampajanna ) ; tentang keserasian ( sappaya sampajanna ) ; tentang usaha ( gocara sampajanna ) : dan tentang mengatasi kebodohan ( asammoha sampajanna ). Ketika seseorang bertindak, ketika ia melakukan sesuatu tanpa tujuan yang benar, ketika ia melihat berbagai hal ataupun melakukan tindakan yang tidak menolong pertumbuhan kebaikan, ketika ia melakukan hal- hal yang bertentangan dengan kemajuan, ketika ia melupakan Dharma yang merupakan usaha yang benar dari orang yang berjuang, ketika ia dengan bodohnya mempercayai sesuatu sebagai hal yang menyenangkan, indah, permanen dan substansial, ketika ia bersifat demikian, maka dengan itu nafsu yang tak terkendali juga terpelihara.

Dan pada keadaan tiadanya kesadaran mengingat dan memahami dengan jelas ini terletak perhatian yang tidak sistematis atau diarahkan dengan bijaksana (ayoniso manasikara). Perhatian yang tidak sistematis adalah perhatian di luar jalan yang benar. Seperti menganggap yang tidak kekal sebagai kekal, yang menyakitkan sebagai kenikmatan, yang tak bersubstansi jiwa sebagai substansi jiwa, kejahatan sebagai kebaikan ataupun yang menjijikkan sebagai keindahan. Yang tetap berputar, berkelana, yaitu samsara berakar dalam pemikiran yang tidak sistematis. Ketika pemikiran yang tak sistematis bertambah, ia mengisi dua hal : kebodohan dan nafsu penjelmaan. Dengan adanya kebodohan, asal mula dari seluruh penderitaan pun muncul. Jadi orang yang berpikiran dangkal, seperti sebuah kapal yang hanyut terbawa angin, seperti sekumpulan ternak yang tersapu pusaran air sungai, seperti seekor lembu yang menarik bajak, terus berputar dalam lingkaran kehidupan, samsara.

Dan dikatakan bahwa keyakinan yang tak sempurna (assaddhiyam) kepada Buddha, Dharma dan Sangha adalah kondisi yang mengembangkan pemikiran yang tidak sistematis dan keyakinan yang tak sempurna disebabkan karena tidak mengenal hukum kebenaran, Dharma (asaddham masavanam). Yang terakhir, orang tidak mengenal Dharma karena kurangnya berhubungan dengan orang yang bijaksana, karena tidak bergaul dengan orang yang baik (asappurisasamsevo). Jadi tiadanya kalyana mittata, persahabatan yang baik, tampaknya merupakan alasan yang mendasar dari terjadinya kejahatan di dunia. Sebaliknya dasar dan sumber seluruh kebaikan datang dari persahabatan yang baik, yang menyediakan santapan Dharma yang luhur bagi seseorang yang pada saatnya menghasilkan keyakinan kepada Tiga Permata (Tiniratanani , Triratna, Buddha, Dharma dan Sangha. Ketika seseorang memiliki keyakinan kepada Tiga Permata, maka muncullah pemikiran yang mendalam dan sistematis, kesadaran mengingat dan memahami dengan jelas, pengendalian indra, tiga cara hidup yang baik, empat keadaan yang membangunkan kesadaran, tujuh faktor penerangan sempurna dan kebebasan melalui kebijaksanaan, satu persatu sesuai urutannya.7

I. SATI

Sekarang kita bahas faktor-faktor penerangan sempurna satu persatu. Yang pertama adalah perhatian atau kesadaran mengingat (sati). Ia merupakan alat yang paling manjur untuk menguasai diri dan siapa pun yang melatihnya menemukan jalan menuju kebebasan. Kesadaran tersebut ada empat jenis : kesadaran yang terdiri dari perenungan pada jasmani (kayanupassana), perasaan (vedananupassana), pikiran (cittanupassana), dan segala realita/fenomena unsur-unsur batin dan jasmani (dhammanupassana).8

Manusia yang tidak mempunyai semua sifat yang penting dari kesadaran ini tidak dapat mencapai apa pun yang berguna. Nasehat terakhir dari Buddha kepada murid-muridNya ketika sedang berbaring menjelang parinirwana adalah sebagai berikut :

Quote
“Segala sesuatu yang terjadi dari paduan unsur adalah sasaran perubahan.
Berjuanglah mencapai kebebasan dengan sadar, waspada“.
(vayadhamma sankhara appamadena sampadetha).9

Dan kata-kata terakhir yang diucapkan oleh Arahat Sariputra, murid Buddha yang paling terkenal yang meninggal mendahului gurunya.
Quote
“Berjuanglah dengan sadar waspada. Inilah nasihatKu untuk kalian“
(Sampadetha appamadena esa me anusasana)

Dalam kedua amanat ini kata yang paling mengandung arti adalah “ appamada “ yang secara harfiah berarti kewaspadaan, kesadaran, perhatian yang cermat. Manusia tak dapat menjadi waspada kecuali ia sadar sepenuhnya pada perbuatannya, baik pikiran, ucapan ataupun tindakan di setiap momen sepanjang hidupnya. Hanya ketika ia sadar sepenuhnya dan menyadari aktivitasnyalah ia dapat membedakan yang baik dari yang jahat dan yang benar dari yang salah. Dalam cahaya kesadaranlah ia akan melihat keindahan maupun keburukan dari perbuatannya.

Kata “ appamada “ dalam Tipitaka digunakan untuk menyatakan sati, perhatian atau kesadaran. “ Pamada “ didefinisikan sebagai kurangnya kesadaran ( sati vossagga ). Kata Buddha dalam Anguttara Nikaya :
“ Para Bhikkhu, Aku tahu tidak ada satu hal lain dari kekuatan yang menyebabkan timbulnya pemikiran-pemikiran baik, jika belum muncul ; ataupun yang menyebabkan surutnya pemikiran-pemikiran jahat yang telah muncul, selain perhatian. Bagi mereka yang waspada memperhatikan, pemikiran-pemikiran baik yang belum muncul menjadi muncul dan pemikiran-pemikiran jahat jika telah muncul menjadi surut.“

Kesadaran dan kewaspadaan yang terus menerus diperlukan untuk menghindari kejahatan dan merealisasi perbuatan baik. Manusia yang memiliki kesadaran, yang meliputi dirinya dengan ingatan waspada ( satima ), orang yang gagah, maju seperti kuda pacu yang melampaui kuda tua. Pentingnya sati, kesadaran menyangkut seluruh urusan kita dinyatakan dengan jelas oleh Buddha dalam kalimat sebagai berikut :

Quote
“Para Bhikkhu, kesadaran Kunyatakan penting bagi seluruh makhluk di mana pun. Ia bagaikan garam bagi kari “.
(Satim ca kho aham bhikkhave sabbatthikam vadami. Sabba byanjanepi lonadupanam viya icchitabba).10
[/b]

Kehidupan Buddha sendiri merupakan satu gambaran yang utuh dari kesadaran. Beliau adalah sada sato, yang selalu sadar, yang selalu waspada. Beliau sungguh – sungguh penjelmaan kesadaran. Tak pernah sesaat pun Buddha menunjukkan tanda – tanda kemalasan atau kecerobohan. Marilah kita mengikuti jejak Buddha dan menjadi sadar. Marilah kita hentikan pikiran dan faktor – faktor batin yang bandel dan memahami bahwa kemalasan dan kelesuan menghalangi kita mempertahankan perbuatan – perbuatan yang baik; karena itu adalah jalan yang pasti menuju keabadian, kebahagiaan dan kebebasan.

Perhatian benar di satu sisi lebih unggul dari pengetahuan, karena dengan tidak adanya perhatian kesadaran tidaklah mungkin bagi manusia untuk mengambil manfaat dari apa yang dipelajarinya. Kepandaian intelektual tanpa kesadaran cenderung menyesatkan manusia dan menariknya dari jalan kebenaran dan kewajiban. Bahkan manusia yang tahu benar dan pandai, gagal melihat sesuatu hal dalam perspektif yang sebenarnya ketika mereka kehilangan seluruh sifat – sifat penting dari kesadaran ini. Manusia yang berkedudukan baik, karena perbuatan dan kata – kata yang telah diucapkan dengan sembrono dan tanpa pertimbangan yang tepat mengenai akibat – akibatnya, seringkali menjadi sasaran kritik yang keras dan tepat. Kesadaran adalah ciri terpenting dari seluruh perbuatan baik yang membawa manfaat untuk dirinya sendiri dan orang lain.

“ Appamado mahato atthaya samvattati “ 11 “ kesadaran menghasilkan keuntungan yang besar “, yaitu perkembangan batin yang tertinggi dan melalui pencapaian yang demikian pembebasan dari penderitaan samsara menjadi mungkin. “ Manusia yang gembira dalam kewaspadaan dan melihat bahaya dari kelengahan, tidak mungkin lagi terperosok. Ia berada di ambang Nirwana “.12


II. DHAMMAVICAYO (Penyelidikan terhadap Dharma)

Faktor penerangan sempurna yang kedua adalah penyelidikan terhadap Dharma (dhammavicaya). Ini merupakan pengetahuan analitis yang tajam dengan memahami sifat sebenarnya dari seluruh unsur pokok segala sesuatu, hidup atau tak hidup, manusia ataupun dewa. Melihat segala sesuatu seperti apa adanya, melihatnya dalam perspektif yang tepat. Ini merupakan analisis terhadap segala sesuatu yang terjadi dari paduan ke dalam unsur =unsur dasarnya, sampai yang penghabisan. Melalui penyelidikan yang cermat orang mengerti bahwa segala sesuatu yang terdiri dari gabungan unsur mengalami momen appada, thiti dan bhanga atau momen timbul, mencapai puncaknya dan lenyap, cepatnya tak terkira, sama seperti sebuah sungai yang meluap mencapai puncaknya dan berlalu. Seluruh alam semesta terus menerus berubah, tidak tetap sama untuk dua saat yang berurutan. Segala sesuatu sebenarnya merupakan sasaran kondisi sebab dan akibat (paccaya, hetu dan phala). Pemikiran yang sistematis atau diarahkan dengan tepat (yoniso manasikara) timbul secara alami melalui perhatian benar dan ia mendorong seseorang untuk membedakan, mempertimbangkan dan meneliti. Pikiran dangkal, pemikiran yang tidak sistematis (ayonisomanasikara) menjadikan manusia bingung sehingga gagal meneliti sifat barang sesuatu. Orang tersebut tidak dapat memahami aksi dan reaksi, sebab dan akibat, benih dan buah, timbul dan lenyapnya segala sesuatu yang terjadi dari paduan unsur. Kata Buddha:
Quote
"Pannavantassayam dhammo nayam dhammo duppannassa“
(Ajaran ini untuk mereka yang bijaksana dan bukanlah untuk yang tidak bijaksana ).
13

(BERSAMBUNG)

11
(X, 61) Para bhikkhu, awal pertama dari kebodohan tidak dapat dilihat dengan jelas.56 Tidaklah dapat dikatakan, "Sebelum hal itu tidak ada kebodohan, dan baru setelah hal itulah kebodohan datang." Meskipun demikian, para bhikkhu, kondisi khusus kebodohan itu terlihat jelas. Kebodohan juga memiliki makanan penopangnya, kunyatakan; dan kebodohan bukannya tanpa makanan penopang.

Dan apakah makanan kebodohan itu? "Lima penghalang/rintangan (5 NIVARANA)" adalah jawabannya.57

(X, 62) Awal pertama dari keserakahan terhadap dumadi, O para bhikkhu, tidak dapat dilihat dengan jelas. Tidak dapat dikatakan, "Sebelum hal itu tidak ada keserakahan terhadap dumadi, dan baru setelah hal itulah keserakahan datang." Meskipun demikian, para bhikkhu, kondisi khusus keserakahan terhadap dumadi itu terlihat jelas. Keserakahan terhadap dumadi juga memiliki makanan penopangnya, kunyatakan; dan keserakahan terhadap dumadi bukannya tanpa makanan penopang. Apakah makanan keserakahan terhadap dumadi itu? "Kebodohan" adalah jawabannya. Tetapi kebodohan juga memiliki makanan penopangnya; kebodohan bukannya tanpa makanan penopang.

Dan apakah makanan kebodohan itu? "Lima penghalang/rintangan (5 NIVARANA)" adalah jawabannya.

Tetapi lima penghalang itu juga memiliki makanan penopangnya, para bhikkhu; mereka bukannya tanpa makanan penopang. (X, 61 & 62)
Dan apakah makanan bagi Lima penghalang itu? "Tiga cara perilaku salah" adalah jawabannya.58

Tiga cara perilaku salah juga memiliki makanan penopangnya; mereka bukannya tanpa makanan penopang.
Dan apakah makanannya? "Kurangnya Pengendalian indera" adalah jawabannya.

Kurangnya pengendalian indera juga memiliki makanan penopangnya; ia bukannya tanpa makanan penopang.
Dan apakah makanannya? "Kurangnya Kewaspadaan dan Pemahaman yang jernih (SATI SAMPAJANNA)" adalah jawabannya.

Kurangnya kewaspadaan dan pemahaman yang jernih juga memiliki makanan penopangnya; ia bukannya tanpa makanan penopang.
Dan apakah makanan bagi kurangnya kewaspadaan dan pemahaman yang jernih? "Perhatian yang tidak benar (AYONISO MANASIKARA)" adalah jawabannya.

Perhatian yang tidak benar juga memiliki makanan penopangnya; ia bukannya tanpa makanan penopang.
Dan apakah makanan bagi Perhatian yang tidak benar? "Kurangnya Keyakinan" adalah jawabannya.

Kurangnya keyakinan juga memiliki makanan penopangnya; ia bukannya tanpa makanan penopang.
Dan apakah makanan bagi kurangnya keyakinan? "Mendengarkan ajaran yang salah" adalah jawabannya.

Mendengarkan ajaran yang salah juga memiliki makanan penopangnya; ia bukannya tanpa makanan penopang.
Dan apakah makanan bagi mendengarkan ajaran yang salah? "Berhubungan dengan orang-orang yang tidak baik" adalah jawabannya.

Oleh sebab itu, ketika hubungan dengan orang-orang yang tidak baik terjadi, mendengarkan ajaran yang salah pun terjadi.59 Ketika mendengarkan ajaran yang salah terjadi, kurangnya keyakinan pun terjadi. Ketika kurangnya keyakinan terjadi, perhatian yang tidak benar pun terjadi. Ketika perhatian yang tidak benar terjadi, kurangnya kewaspadaan dan perhatian yang jernih pun terjadi. Ketika kurangnya kewaspadaan dan perhatian yang jernih terjadi, kurangnya pengendalian indera pun terjadi. Ketika kurangnya pengendalian indera terjadi, tiga cara perilaku salah pun terjadi. Ketika tiga cara perilaku salah terjadi, lima penghalang pun terjadi. Ketika lima penghalang terjadi, kebodohan pun terjadi (X, 62 menambahkan: Ketika kebodohan terjadi, keserakahan terhadap dumadi pun terjadi). Itulah makanan bagi kebodohan (X, 62: bagi keserakahan terhadap dumadi), dan demikianlah kebodohan terjadi.

Sama seperti ketika hujan lebat turun di atas gunung dan langit bergemuruh, sehingga air yang meluap ke bawah akan mengisi celah, jurang, dan retakan di gunung-gunung, dan ketika semuanya sudah penuh, air akan mengisi kolam-kolam kecil; kolam-kolam kecil yang penuh itu akan mengisi danau-danau; danau-danau yang penuh itu akan mengisi sungai-sungai kecil; sungai-sungai kecil yang penuh itu akan mengisi sungai-sungai besar; sungai-sungai besar yang penuh itu akin mengisi samudera yang luas. Itulah makanan bagi samudera yang luas dan demikianlah samudera menjadi penuh.

Dengan cara yang sama, para bhikkhu, ketika hubungan dengan orang-orang yang tidak baik terjadi, mendengarkan ajaran yang salah pun terjadi ... ketika lima penghalang terjadi, kebodohan (dan keserakahan terhadap dumadi) pun terjadi. Itulah makanan bagi kebodohan (dan keserakahan terhadap dumadi), dan demikianlah kebodohan terjadi.

Pembebasan oleh pengetahuan tertinggi, O para bhikkhu, juga memiliki makanan penopangnya, kunyatakan; ia bukannya tanpa makanan penopang.
Dan apakah makanan bagi Pembebasan oleh Pengetahuan tertinggi? "Tujuh Faktor Pencerahan" adalah jawabannya.

Tujuh faktor pencerahan juga memiliki makanan penopangnya, kunyatakan; ia bukannya tanpa makanan penopang.
Dan apakah makanan bagi Tujuh Faktor Pencerahan? "Empat Landasan Kewaspadaan (4 SATIPATTHANA)" adalah jawabannya.

Empat landasan kewaspadaan juga memiliki makanan penopangnya; mereka bukannya tanpa makanan penopang.
Dan apakah makanan bagi Empat Landasan Kewaspadaan? "Tiga cara perilaku benar" adalah jawabannya.

Tiga cara perilaku benar juga memiliki makanan penopangnya; mereka bukannya tanpa makanan penopang.
Dan apakah makanan bagi Tiga cara perilaku benar? "Pengendalian indera" adalah jawabannya.

Pengendalian indera juga memiliki makanan penopangnya; ia bukannya tanpa makanan penopang.
Dan apakah makanan bagi Pengendalian indera? "Kewaspadaan dan Pemahaman yang jernih" adalah jawabannya.

Kewaspadaan dan pemahaman yang jernih juga memiliki makanan penopangnya; mereka bukannya tanpa makanan penopang.
Dan apakah makanan bagi kewaspadaan dan pemahaman yang jernih? "Perhatian yang benar/terarah dengan bijaksana (YONISO MANASIKARA)" adalah jawabannya.

Perhatian yang benar juga memiliki makanan penopangnya; ia bukannya tanpa makanan penopang.
Dan apakah makanan bagi Perhatian yang Benar? "Keyakinan" adalah jawabannya.

Keyakinan juga memiliki makanan penopangnya; ia bukannya tanpa makanan penopang.
Dan apakah makanan bagi keyakinan? "Mendengarkan Dhamma sejati" adalah jawabannya.

Mendengarkan Dhamma sejati juga memiliki makanan penopangnya; ia bukannya tanpa makanan penopang.
Dan apakah makanan bagi mendengarkan Dhamma sejati? "Berhubungan dengan orang-orang Mulia" adalah jawabannya.

Oleh sebab itu, ketika hubungan dengan orang-orang yang mulia terjadi, mendengarkan Dhamma sejati pun terjadi ... Ketika tujuh faktor pencerahan terjadi, pembebasan oleh pengetahuan tertinggi pun terjadi. Itulah makanan bagi pembebasan oleh pengetahuan tertinggi, dan demikianlah pembebasan oleh pengetahuan tertinggi terjadi.

Sama seperti ketika hujan turun di atas gunung dan langit bergemuruh, sehingga air yang meluap ke bawah akan mengisi celah, jurang, dan retakan di gunung-gunung, dan ketika semuanya sudah penuh, air akan mengisi kolam-kolam kecil; kolam-kolam kecil yang penuh itu akan mengisi danau-danau, danau-danau yang penuh itu akan mengisi sungai-sungai kecil; sungai-sungai kecil yang penuh itu akan mengisi sungai-sungai besar; sungai-sungai besar yang penuh itu akan mengisi samudera yang luas. Itulah makanan bagi samudera yang luas, dan demikianlah samudera menjadi penuh.

Dengan cara yang sama, para bhikkhu, ketika hubungan dengan orang-orang yang mulia terjadi, mendengarkan Dhamma sejati pun terjadi. Ketika mendengarkan Dhamma sejati terjadi, keyakinan pun terjadi. Ketika keyakinan terjadi perhatian yang benar pun terjadi. Ketika perhatian yang benar terjadi, kewaspadaan dan pemahaman yang jernih pun terjadi. Ketika kewaspadaan dan pemahaman yang jernih terjadi, pengendalian indera pun terjadi. Ketika pengendalian indera terjadi, tiga cara perilaku yang baik pun terjadi. Ketika tiga cara perilaku yang baik terjadi, empat landasan kewaspadaan pun terjadi. Ketika empat landasan kewaspadaan terjadi, tujuh faktor pencerahan pun terjadi. Ketika tujuh faktor pencerahan terjadi, pembebasan oleh pengetahuan tertinggi pun terjadi. Itulah makanan bagi pembebasan oleh pengetahuan tertinggi, dan demikianlah pembebasan oleh pengetahuan tertinggi terjadi.


CATATAN:

56 Kebodohan (avijja) adalah mata rantai pertama di dalam rantai asal mula yang saling bergantungan. Dengan menunjukkan bahwa kebodohan itu sendiri terkondisi, teks kami mengesampingkan konsep yang salah bahwa kebodohan adalah Penyebab Pertama yang metafisik; demikian juga tentang nafsu keinginan, yang menurut Kebenaran Mulia kedua, merupakan asal mula penderitaan, yang juga bukan merupakan penyebab yang tanpa sebab. Demikianlah pernyataan-pernyataan serupa tentang kebodohan dibuat tentang nafsu keinginan di alinea berikutnya. Kebodohan dan nafsu keinginan, walaupun merupakan kondisi akar yang sangat kuat bagi samsara, tetap saja merupakan fenomena terkondisi sehingga dapat dihapus; tanpa itu, pembebasan tidak akan mungkin. Lihat Vism XVII, 36-39.

 
LIMA PENGHALANG (5 Nivarana), yaitu:
1.   LOBHAMULA CITTA :
-   Nafsu keinginan/keserakahan (kāmacchanda)

2.   DOSAMULA CITTA :
-   Kebencian / Ketidaksukaan termasuk kemarahan (byāpāda, vyāpāda)

3.   MOHAMULA CITTA :
-   Kegelisahan & Rasa sesal (uddhacca-kukkucca)
-   Keragu-raguan/Kebingungan (vicikicchā)

4.   THIDUKA CETASIKA :
-   Kemalasan & Kelambanan batin (thīna-middha)

58 Perilaku yang salah lewat perbuatan, ucapan dan pikiran.

59 Harfiah: "Ketika hubungan dengan orang-orang yang tidak baik menjadi penuh, hubungan ini akan mengalir pada mendengarkan ajaran-ajaran yang salah." Demikian juga di alinea berikutnya. Ekspresi "menjadi penuh" berhubungan dengan perumpamaan di alinea berikutnya.

http://www.samaggi-phala.or.id/tipitaka_dtl.php?cont_id=745





Anguttara Nikaya 10.01:  MANFAAT-MANFAAT PERILAKU BERMORAL

Pada suatu ketika Yang Terberkahi berdiam di Savatthi di Hutan Jeta di Vihara Anathapindika. Pada waktu itu Y.M. Ananda menghampiri Yang Terberkahi, memberi hormat kepada Beliau dan bertanya:1

"Bhante, apakah manfaat perilaku bermoral, dan apakah perolehannya?"
"Tidak adanya penyesalan, Ananda, adalah manfaat dan perolehan perilaku bermoral."

"Dan, Bhante, apakah manfaat dan perolehan dari tidak adanya penyesalan?"
"Kegembiraan, Ananda."

"Dan, Bhante, apakah manfaat dan perolehan dari kegembiraan?"
"Sukacita."

"Dan, Bhante, apakah manfaat dan perolehan dari sukacita?"
"Ketenangan."

"Dan, Bhante, apakah manfaat dan perolehan dari ketenangan?"
"Kebahagiaan."

"Dan, Bhante, apakah manfaat dan perolehan dari kebahagiaan?"
"Konsentrasi pikiran."

"Dan, Bhante, apakah manfaat dan perolehan dari konsentrasi?"
"Pengetahuan dan pandangan akan hal-hal seperti apa adanya."

"Dan, Bhante, apakah manfaat dan perolehan dari pengetahuan dan pandangan akan hal-hal seperti apa adanya?"
"Rasa muak dan hilangnya nafsu (hilangnya keterpesonaan dan ketertarikan)."

"Dan, Bhante, apakah manfaat dan perolehan dari rasa muak dan hilangnya nafsu?"
"Pengetahuan dan pandangan bahwa pembebasan telah tercapai."

"Demikianlah, Ananda, perilaku bermoral memberikan tidak adanya penyesalan sebagai manfaat dan perolehannya; tdak adanya penyesalan memberikan kegembiraan sebagai manfaat dan perolehannya; kegembiraan memberikan sukacita sebagai manfaat dan perolehannya; sukacita memberikan ketenangan sebagai manfaat dan perolehannya; ketenangan memberikan kebahagiaan sebagai manfaat dan perolehannya; kebahagiaan memberikan konsentrasi sebagai manfaat dan perolehannya; konsentrasi memberikan pengetahuan dan pandangan akan hal-hal seperti apa adanya sebagai manfaat dan perolehannya; pengetahuan dan pandangan akan hal-hal seperti apa adanya memberikan rasa muak dan hilangnya nafsu sebagai manfaat dan perolehannya; rasa muak dan hilangnya nafsu memberikan pengetahuan dan pandangan bahwa pembebasan telah tercapai sebagai manfaat dan perolehannya. Dengan demikian Ananda, perilaku bermoral membawa kita selangkah demi selangkah menuju yang tertinggi."
(X, 1)

--------------------------------------

Anguttara Nikaya 10.06:  KEABSAHAN KEMAJUAN

Bagi orang yang bermoral dan memiliki kemoralan, tidak perlu ada tindakan dengan keinginan: "Semoga tidak ada penyesalan yang muncul di dalam diriku." Sudah merupakan hukum alam, para bhikkhu, bahwa tidak akan ada penyesalan yang muncul di dalam diri orang yang bermoral.

Bagi orang yang bebas dari penyesalan, tidak perlu ada tindakan dengan keinginan: "Semoga kegembiraan muncul di dalam diriku!" Sudah merupakan hukum alam bahwa kegembiraan akan muncul di dalam diri orang yang bebas dari penyesalan.

Bagi orang yang gembira di dalam hati, tidak perlu ada tindakan dengan keinginan: "Semoga sukacita muncul di dalam diriku!" Sudah merupakan hukum alam bahwa sukacita akan muncul di dalam diri orang yang gembira di dalam hati.

Bagi orang yang bersukacita, tidak perlu ada tindakan dengan keinginan: "Semoga tubuhku tenang!" Sudah merupakan hukum alam bahwa tubuh akan tenang bila orang bersukacita.

Bagi orang yang tubuhnya tenang, tidak perlu ada tindakan dengan keinginan: "Semoga aku merasakan kebahagiaan!" Sudah merupakan hukum alam bahwa orang yang tenang akan merasakan kebahagiaan.

Bagi orang yang bahagia, tidak perlu ada tindakan dengan keinginan: "Semoga pikiranku terkonsentrasi!" Sudah merupakan hukum alam bagi orang yang bahagia bahwa pikirannya akan terkonsentrasi.

Bagi orang yang memiliki konsentrasi, tidak perlu ada tindakan dengan keinginan: "Semoga aku mengetahui dan melihat hal-hal seperti apa adanya!" Sudah merupakan hukum alam bagi orang yang pikirannya terkonsentrasi untuk mengetahui dan melihat hal-hal seperti apa adanya.

Bagi orang yang mengetahui dan melihat hal-hal seperti apa adanya, tidak perlu ada tindakan dengan keinginan: "Semoga aku mengalami rasa muak dan hilangnya nafsu!" Sudah merupakan hukum alam bagi orang yang mengetahui dan melihat hal-hal seperti apa adanya untuk mengalami rasa muak dan hilangnya nafsu.

Bagi orang yang mengalami rasa muak dan hilangnya nafsu, tidak perlu ada tindakan dengan keinginan: "Semoga aku merealisasikan pengetahuan dan pandangan akan pembebasan!" Sudah merupakan hukum alam bagi orang yang mengalami rasa muak dan hilangnya nafsu untuk merealisasikan pengetahuan dan pandangan akan pembebasan.

Demikianlah, para bhikkhu, rasa muak dan hilangnya nafsu memberikan pengetahuan dan pandangan akan pembebasan sebagai manfaat dan perolehannya ... (berlanjut sama seperti bagian atas, kembali ke) ... perilaku bermoral memberikan tidak adanya penyesalan sebagai manfaat dan perolehannya.

Demikianlah, para bhikkhu, kualitas-kualitas sebelumnya mengalir ke dalam kualitas-kualitas berikutnya; kualitas-kualitas berikutnya membawa kualitas-kualitas sebelumnya menuju kesempurnaan, untuk pergi dari pantai sebelah sini ke pantai seberang.2
(X, 6)

12
METTA menunjang dan memelihara Jalan Mulia Beruas 8


Jalan Mulia Beruas Delapan membawa pada pencapaian Nibbana. Faktor kedua dalam JMB 8 adalah Pikiran Benar; sementara Pikiran Benar (kemudian diikuti Ucapan Benar, Perbuatan Benar, Penghidupan Benar, .. Konsentrasi Benar) ditunjang atau dipelihara dengan mengembangkan cinta kasih.

Katamo ca, bhikkhave, sammāsaṅkappo? Nekkhammasaṅkappo abyāpādasaṅkappo avihiṁsāsaṅkappo, ayaṁ vuccati bhikkhave, sammāsaṅkappo.

Bagaimanakah, wahai para Bhikkhu, pikiran benar?
Pikiran pada pelepasan (kesenangan terhadap nafsu indrawi),
pikiran tanpa kehendak buruk, pikiran tidak menyakiti.
Ini, wahai para Bhikkhu, disebut pikiran benar.

-----------

... Enam unsur yang mengarah menuju pembebasan (nissaraniya dhatuyo):
Di sini, seorang bhikkhu mengatakan:

(a) “Aku telah mengembangkan pembebasan pikiran (ceto-vimutti) dengan
cinta-kasih (metta), memperluasnya, menjadikannya kendaraan dan landasan,
kokoh, mengusahakannya dengan baik, melatihnya dengan baik.
Namun, kebencian masih membelenggu pikiranku.”

Ia harus diberitahu:

“Tidak, jangan berkata begitu!
Jangan keliru memahami Sang Bhagava, tidaklah benar memfitnah Beliau
demikian, karena Beliau tidak akan mengatakan hal-hal seperti itu!
Kata-katamu tidak beralasan dan tidak mungkin.
Jika engkau mengembangkan pembebasan pikiran dengan cinta-kasih.
Pembebasan melalui cinta-kasih adalah penawar bagi kebencian.”

   
(b) Atau ia mengatakan: “Aku telah mengembangkan pembebasan pikiran dengan
belas-kasihan (karuna), dan kekejaman masih membelenggu pikiranku ....” Atau

(c) “Aku telah mengembangkan pembebasan pikiran dengan kegembiraan
simpatik (mudita), dan ketidaksenangan (arati) masih membelenggu
pikiranku ....”  Atau

(d) ia mengatakan: “Aku telah mengembangkan pembebasan pikiran dengan
keseimbangan (Upekkha), dan nafsu (rago) masih membelenggu pikiranku ....”
Atau

(e) ia mengatakan: “Aku telah mengembangkan kebebasan tanpa gambaran
dari pikiran (animitta ceto-vimutti),(92) namun pikiranku masih menginginkan
gambaran (nimittanusari hoti) ....” Atau

(f) ia mengatakan: “Aku telah menolak gagasan ‘Aku’, aku tidak memedulikan
gagasan ‘Aku’. Namun keragu-raguan, kebimbangan, dan masalah masih
membelenggu pikiranku ....” (dst dijawab serupa dengan (a)).’
(DN 33. SANGITI SUTTA, Oleh YA Sariputta)
-----------


... "Jika mereka bertanya: 'Sahabat, apakah penyebab dan alasan bagi tidak munculnya nafsu yang belum muncul, dan bagi lenyapnya nafsu yang telah muncul?' Kalian harus menjawab: 'Objek yang menjijikkan: bagi orang yang memperhatikan objek yang menjijikkan secara benar, maka nafsu yang belum muncul tidak akan muncul dan nafsu yang telah muncul akan ditinggalkan.'

"Jika mereka bertanya: 'Sahabat, apakah penyebab dan alasan bagi tidak munculnya kebencian yang belum muncul, dan bagi lenyapnya kebencian yang telah muncul?' Kalian harus menjawab: 'Pembebasan pikiran oleh cinta kasih: bagi orang yang memperhatikan secara benar kebebasan pikiran oleh cinta kasih, maka kebencian yang belum muncul tidak akan muncul dan kebencian yang telah muncul akan ditinggalkan.'

"Jika mereka bertanya: 'Sahabat, apakah penyebab dan alasan bagi tidak munculnya kebodohan batin yang belum muncul, dan bagi lenyapnya kebodohan batin yang telah muncul?' Kalian harus menjawab: 'Perhatian yang benar: bagi orang yang memperhatikan hal-hal secara benar, maka kebodohan batin yang belum muncul tidak akan muncul dan kebodohan batin yang telah muncul akan lenyap."'
(Anguttara Nikaya 3.68)
-----------


Jika, O para bhikkhu, pembebasan pikiran dengan cinta kasih dikembangkan dan ditumbuhkan, sering dilatih, dijadikan kendaraan dan landasan seseorang, ditegakkan dengan mantap, disatukan, dan dijalankan dengan tepat, maka sebelas berkah bisa diharapkan. Apakah yang sebelas itu?

Dia tidur dengan tenang; dia tidak bermimpi buruk; dia dicintai oleh manusia; dia dicintai oleh makhluk bukan-manusia; dia akan dilindungi oleh para dewa; api, racun dan senjata tidak bisa melukainya; pikirannya mudah terkonsentrasi; kulit wajahnya jernih; dia akan meninggal dengan tidak bingung; dan jika tidak menembus lebih tinggi, dia akan terlahir kembali di alam Brahma.6
(Anguttara Nikaya 11.16)

13
BAB A : PENDAHULUAN

Di Vajira Sutta, Bhikkhuni Vajira, seorang Arahat, saat menegur dan memberi penjelasan pada Mara yg berusaha menggodanya, mengatakan bahwa yg kita sebut "diri" ini adalah semata kumpulan dari sankhara/bentukan ("fabrications") seumpama "kereta" hanya ada karena komponen-komponennya berkumpul, berpadu atau terintegrasi. Anattalakkhana, Culasaccaka, Mahapuññama Sutta dll, menjelaskan bhw masing-masing dari pancakhandha bukanlah atta/diri/aku.

Kutipan SN 5.10 VAJIRA SUTTA:
Mara, dengan tujuan mengganggu dan menteror, mendekat dan bertanya:
"Oleh siapa makhluk itu diciptakan?
Dimana Sang Pencipta berada?
Di mana makhluk diciptakan?
Di mana lenyapnya makhluk?"

Bhikkhuni Vajira, seorang Arahat, menjawab:
"Makhluk, kau bilang? Itukah pemikiranmu? Yang ada di sini, hanyalah kumpulan/tumpukan bentukan-bentukan (sankhara) semata. Tidak bisa ditemukan makhluk di tumpukan ini."

Lanjut Sang Bhikkhuni:
"Seperti halnya bila komponen-komponennya lengkap berkumpul, ada istilah 'kereta'; begitupula halnya bila khandha-khandha hadir berkumpul, maka sebagai perjanjian umum ada istilah 'makhluk'."

"Hanya penderitaan yang mengada menjelma tercipta;
Penderitaanlah yang tercipta dan lenyap;
Tiada apapun melainkan penderitaan yang tercipta.
Tiada apapun melainkan penderitaan yang lenyap."

Menyadari Sang Bhikkuni mengenalinya, Mara kecewa dan segera menghilang.

----------------------------------------------------------------------------------------------

Kutipan SN.22.86 ANURADHA SUTTA, saat Bhikkhu Anuradha mempertanyakan di mana Sang Buddha akan berada bila Beliau telah mangkat:
"Anuradha, bagaimana menurutmu? Apakah kau menganggap RUPA adalah Tathagata?"
"Bukan, Yang Mulia"

"Apakah kau menganggap VEDANA adalah Tathagata?"
"Bukan, Yang Mulia"

"Apakah kau menganggap SAÑÑA adalah Tathagata?"
"Bukan, Yang Mulia"

"Apakah kau menganggap SANKHARA adalah Tathagata?"
"Bukan, Yang Mulia"

"Apakah kau menganggap VIÑÑANA adalah Tathagata?"
"Bukan, Yang Mulia"

----------------------------------------------------------------------------------------------

Kutipan dari SN 22.59. Anattalakkhana Sutta, Kotbah Tentang Sifat Bukan Diri, kotbah kedua dari Sang Guru Agung Pengenal Segenap Alam Semesta:
"Jasmani, para bhikkhu, adalah bukan diri.
JIKA JASMANI ADALAH DIRI, JASMANI INI TIDAK AKAN MENYEBABKAN KEKECEWAAN.
Akan mungkin [untuk mengatakan] sehubungan dengan jasmani,
'Semoga jasmani ini menjadi demikian. Semoga jasmani ini tidak menjadi demikian.'
TETAPI KARENA JASMANI BUKAN DIRI, MAKA JASMANI MENYEBABKAN KEKECEWAAN.
Dan tidaklah mungkin [untuk mengatakan] sehubungan dengan jasmani, '
Semoga jasmani ini menjadi demikian. Semoga jasmani ini tidak menjadi demikian'.”
 
"Perasaan (Sensasi) bukanlah diri...
"Persepsi bukanlah diri...
"Bentukan [batin] bukanlah diri...
 
"Kesadaran bukanlah diri.
JIKA KESADARAN ADALAH DIRI, KESADARAN INI TIDAK AKAN MENYEBABKAN KEKECEWAAN.
Adalah mungkin [untuk mengatakan] sehubungan dengan kesadaran,
'Semoga kesadaranku menjadi demikian. Semoga kesadaranku tidak menjadi demikian.'
TETAPI KARENA KESADARAN BUKAN DIRI, KESADARAN MENYEBABKAN KEKECEWAAN.
Dan tidaklah mungkin [untuk mengatakan] sehubungan dengan kesadaran, '
Semoga kesadaranku menjadi demikian. Semoga kesadaranku tidak menjadi demikian'.”

...
Demikian, O, para bhikkhu, apapun jasmani.. perasaan.. persepsi.. bentuk-bentuk mental/pikiran.. kesadaran...
BAIK yang lalu, akan datang, maupun kini ada,
BAIK kasar maupun halus,
BAIK dalam "diri" sendiri maupun di luar "diri" sendiri,
BAIK rendah maupun luhur,
BAIK jauh maupun dekat,
SEPATUTNYA dipandang dengan Pengertian Benar..
"INI BUKAN MILIKKU, INI BUKAN AKU, INI BUKAN DIRIKU"

----------------------------------------------------------------------------------------------

Dalam Alagaddupama Sutta, Sang Buddha menjelaskan bahwa masing-masing dari pancakhandha ini adalah bak daun dan ranting kering di hutan sana, yang bukan milik kita dan bukan milik siapa-siapa. Dalam Vina Sutta, beliau mengatakan bahwa suatu "diri" takkan dapat ditemukan di manapun di seluruh komponen batin jasmani ini, laksana suara musik yang keluar dari kecapi takkan dapat ditemukan di bagian atau komponen manapun pada alat musik tersebut, udara maupun pada pemain yang memetiknya.

Seumpama ada seseorang yang ingin bunuh diri untuk memusnahkan dirinya, selama batinnya belum bebas dari Avijja tentunya komponen-komponen khandhanya masih akan terbentuk kembali. Orang itu tidak bisa memerintahkan masing-masing komponen pancakhandha yang membentuk "dirinya" atau yang dianggap milik "dirinya" untuk tidak membentuk lagi. Orang tersebut tidak bisa meminta masing-masing dari komponen pancakhandha yang dianggap berisi (mengandung) "dirinya/atta/aku" agar musnah dan tidak membentuk lagi.

RUPA, VEDANA, SAÑÑA, VIÑÑANA dan SANKHARA (pancakhandha) memang memiliki karakter, sifat, properties atau corak alamiahnya sendiri.

Dan tak ubahnya dengan komponen-komponen jasmani ini (seperti jantung, otak, ginjal, hati, usus, tulang, dll), tak dapat ditemukan suatu "diri/atta" pada masing-masing dari komponen-komponen batin ini. Tak ada yang bisa diajak chatting, ngobrol, curhat, berkelahi, dllnya dari masing-masing komponen batin dan jasmani ini. (",)

Seiring kita maju dalam meditasi vipassana, yang kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari, akan semakin terlihat jelas sifat ANICCA, DUKKHA dan ANATTA pada batin jasmani. Jasmani kian melapuk tak dapat dicegah. Perasaan datang dan pergi sesukanya, bahkan pada objek yang sama dia bisa berubah, menjadi bosan misalnya. Ingatan yang tidak diharapkan untuk muncul bisa menghantui kita, sebaliknya kita tanpa sengaja malah bisa menjadi lupa akan hal-hal yang kita ingin ingat terus. Ginkgo Biloba? (",). Persepsi yang terangkai dari ingatan-ingatan kita pun bisa berubah sesuai dengan pengalaman yang kita lalui. Mungkin kita pernah mendengar (atau mengalaminya) seseorang melakukan tindakan yang "berlebihan" dan merusak karena suatu hal (mulai dari sakit perut kebelet ke WC, alkohol, nafsu, amarah dll) kemudian setelah sadar dia minta maaf "Maaf, yang tadi itu bukan saya...!". Emosi termasuk kehendak dan segala bentuk-bentuk batin baik positif, negatif, maupun netral adalah semata mekanisme khas atau atribut tipikal yang dimiliki semua makhluk. Bentuk-bentuk batin atau pikiran timbul dan lenyap karena terkondisi juga oleh kontak atau pertemuan antara kesadaran, keenam indera dan objek-objeknya. Kesadaran (consciousness) tidak bisa prima sepanjang hari, bahkan adakalanya di saat harusnya tidur, dia masih terang bak lampu 100 Watt, dsb. Kita tahu betapa kesadaran sangat dipengaruhi oleh jasmani, kondisi kebugaran, kesehatan, jenis makanan, minuman, atau obat-obatan yang kita konsumsi. Kesadaran hanyalah atribut arus kesadaran tipikal yang dijumpai pada setiap makhluk.

PANCAKKHANDHA, Jasmani (rupa), Perasaan (vedana), Persepsi (sañña), Bentuk-bentuk Mental/Pikiran (sankhara) dan Kesadaran (viññana) adalah berubah-ubah, timbul lenyap, tak memuaskan, tak bisa diandalkan, bukan suatu diri, tidak mengandung atau kosong dari suatu diri, bukan milik diri, tak berhubungan dengan suatu diri, tunduk pada proses perubahan, memiliki sifat, karakter, corak, mekanisme, prilaku, kondisi-kondisi penunjang dan hukumnya sendiri yang alami dan khas (tipikal).

"RUPA, semata mekanisme jasmaniah yang terkondisi, BUKAN MAKHLUK.
VEDANA, semata reaksi kontak dengan indera, BUKAN MAKHLUK.
SAÑÑA, semata produk & rekaman sensorik indera, BUKAN MAKHLUK.
SANKHARA, semata adonan/lapisan/matriks kompleks tapi kosong, yang terus membentuk, berproses & berubah selama kondisi penunjangnya masih ada, BUKAN MAKHLUK.
VIÑÑANA, semata atribut tipikal arus daya kesadaran yg timbul lenyap, BUKAN MAKHLUK.
SEMATA fenomena alam dengan sifat alami & kondisi penunjangnya sendiri yang khas atau tipikal."
Itulah sebabnya dikatakan bahwa mereka adalah semata fenomena yang bukan suatu "diri/atta", kosong dari suatu "diri/atta", dan bukan milik "diri/atta" atau siapapun jua.

JASMANI bak pohon yang terus tumbuh menua, layu dan mati.
PERASAAN bak getaran khas/tipikal, yang dimiliki semua lonceng di seluruh dunia.
PERSEPSI bak mekanisme khas/tipikal yang dimiliki semua kamera di seluruh dunia.
BENTUKAN BATIN bak mekanisme khas/tipikal gaya menarik dan menolak yang dimiliki semua magnet di seluruh dunia.
KESADARAN bak daya listrik yang dipakai semua gadget di seluruh dunia.



BAB B : TUMIMBAL LAHIR, HUKUM KARMA, PATICCASAMUPPADA, & ANATTA ADALAH SATU KESATUAN UTUH

Setelah mengenal ANATTA, lalu bila timbul pertanyaan:
1. Siapa yang terlahir kembali?
2. Siapa pewaris kamma? Bila tidak ada diri, kenapa harus takut berbuat jahat atau masuk neraka?
3. Kok bisa ada makhluk yg bisa mengingat kelahirannya di masa lampau?

Sebelumnya ijinkan saya mencoba menjawab dengan catatan bahwa kerangka berpikirnya adalah:
a. Tidak ada "Diri/Atta", yang ada hanya mekanisme sankhara dan bentukan2nya menjadi pancakhandha/namarupa.
b. Sankhara selama diliputi avijja tentu terus membentuk namarupa, yg bila kematian datang namarupa terurai, sankhara melalui patisandhi vinnana mencari media yg sesuai dan membentuk namarupa lagi, terurai, dst.
c. Sankhara bersifat individual tapi bukan atta. Misal di kebun kelapa sawit, ada ribuan pohon kelapa individual tapi pohon kelapa tetap saja bukan makhluk. Vipallasa (kesalahan persepsi) lah yang menyebabkan efek individual/separatisme menjadi terlihat sebagai personifikasi. INDIVIDUALITAS tidak sama dengan PERSON. Misalnya pohon kelapa pun bila punya bentuk-bentuk batin dan enam indera, pasti dia akan berpikir bahwa itu adalah aku.
d. Atta Vipallasa (persepsi keliru mengenai adanya atta) memang sudah sejak awal tak terelakkan. Sejak Viññana memungkinkan NAMA RUPA membentuk enam landasan indera (indera mata, telinga, hidung, pengecap, peraba, dan indera pikiran) dan mereka mengadakan kontak dengan objek luar, otomatis tak terelakkan akan timbul Atta Vipallasa atau persepsi tentang adanya Diri/Aku/Atta. Tapi melalui samadhi dan vipassana akan makin dipahami bahwa pancakhandha ini bukan diri dan "nyeleneh, ngeyel atau bandel" karena memang punya sifat khas dan alaminya sendiri.

Dalam Milindapanha dikatakan yang terlahir kembali adalah tidak berbeda tapi juga tidak sama. Misal ibu Pangeran Siddharta, Ratu Mahamaya adalah terdiri dari 5 khandha. Begitu meninggal, karena sankhara beliau masih diliputi Avijja maka sankhara tersebut masih membentuk di tempat yang sesuai dengan kondisi si sankhara, yang ternyata adalah alam deva. {Perhatian: Jangan lupa sankhara adalah fenomena alam impersonal (bukan atta) yang bisa berubah-ubah kondisinya, tergantung perbuatan (kamma) dan pengarahannya.} Sankhara Ratu Mahamaya sesaat setelah beliau meninggal di alam manusia membentuk ("fabricate") namarupa baru di alam tersebut, dengan viññana baru sesuai kamma sebelumnya, rupa baru sesuai kamma sebelumnya, dll. membentuk "sosok" baru. (*)

Catatan:
*. Sankhara adalah laksana matrlks / pondasi (bak gedebong pisang, bawang merah, adonan kue) yang bertindak sebagai fenomena aktif ("agent") pembentuk sekaligus juga produk/hasil-hasil bentukannya yang termasuk kamma, sifat batin, pola kebiasaan dsb. Sankhara diibaratkan oleh Sang Buddha dalam <em>SN 22.95. Phena Sutta</em> sebagai gedebong pisang yang berlapis-lapis tapi tidak memiliki inti; karena pada hakekatnya hanya terdiri dari lapisan-lapisan atau bentuk-bentuk batin yang tipikal. Struktur dan substansinya berubah-ubah dan tidak kekal dari waktu ke waktu. Contoh: Sankhara Ratu Mahamaya saat beliau berusia balita sangat berbeda saat beliau remaja, dan berubah lagi saat beliau dewasa, ... dst.
*. Tahukah kita? Dari kisah Jataka, pada kehidupan lampau Devadatta pernah menjadi ayah kandung Sang Boddhisatta (calon Buddha Gotama). Dan jauh di kehidupan lampau, Sang Bodhisatta pernah terlahir sebagai wanita, seorang putri kerajaan sebagai saudara tiri bodhisatta lainnya yang kelak menjadi Buddha Purana pada kehidupan beliau saat itu.

KESIMPULAN JAWABAN:

1. Setelah makhluk tumimbal lahir ke alam berikut, apakah akan menjadi pribadi yg sama?
Jawabnya, ada tumimbal atau tidak, sesungguhnya tidak ada atta. Yang ada hanyalah sankhara yang terus berproses selama ada Avijja. Bila Avijja lenyap, sankhara tak memiliki bahan bakar lagi, menjadi inert, berhenti berproses atau padam.

Tapi sebagai perjanjian umum, dalam bahasa "duniawi" atau sehari-harinya boleh dikatakan bahwa "makhluk" yang lahir di alam berikut adalah kelanjutan proses sebelumnya, tidak beda tapi juga tidak sama.

2. Buat apa takut masuk neraka, toh "DIRI" di kehidupan yang akan datang bukan "DIRI INI"?
Sekali lagi, tidak ada "Diri/Atta" yang terlibat. Tempat timbulnya perasaan senang maupun derita (sebagai hasil/akibat buah kamma baik atau buruk) adalah TETAP di mekanisme sankhara ini (yang kita persepsikan secara salah sebagai "Aku"), di mana mekanisme sankhara ini akan selalu berproses aktif membentuk namarupa selama Avijja belum lenyap. Ingat, sankhara bukan "Diri/Atta".

Tapi dalam "bahasa duniawi" boleh dikatakan bahwa "diri" inilah pewaris kamma. Jadi hendaknya kita tak ragu meninggalkan kejahatan dan hendaknya kita berbahagia dalam melakukan kebajikan, dengan tentunya tetap berlatih agar terbebas dari kegelapan dan segala bentuk penderitaan.

Menarik untuk dicermati bahwa dalam SN.12.46. Aññatra Sutta, saat Sang Buddha ditanya siapa yang mewarisi kamma, beliau menegaskan ada dua pandangan ekstrim:
1. Yang menerima akibat adalah "diri" ini
2. Yang menerima akibat adalah "bukan diri" ini
Lalu Sang Buddha menjelaskan bahwa untuk menghindari dua pandangan di atas, beliau mengajak kita menggunakan Dhamma sebagai jalan tengah. Lalu beliau mengulang kotbah tentang Paticcasamupada sehubungan dengan pertanyaan itu.

3. Bagaimana dengan makhluk yang mengingat dirinya di kehidupan sebelumnya?
Wajar, karena persepsi atau memorinya masih tersimpan. Bak sebuah komputer yang diganti seluruh komponennya tapi tidak diganti hard disk dan memori BIOS-nya. Bila komputer tsb "memiliki kesadaran dan pikiran" dia pasti BERPERSEPSI dan bilang "Tadi yang casingnya lapuk dan pakai prosesor Pentium 3 itu AKU, sekarang AKU pakai prosesor Pentium 4 dan casingku sekarang bagus, loh".

Sankhara bak chipset dan BIOS, Viññana bak arus listrik, Sañña bak memori dan harddisk, rupa bak casing, fan dan rangkanya, Mano (indera pikiran) bak prosesor, Panca indera yang lain bak interface (keyboard, touchscreen, mouse, microphone, dll).
CATATAN: Jelas perumpamaan di atas tidak sesederhana itu. Bahkan komputer pun bukan merupakan perumpamaan yang baik untuk menggambarkan pancakhandha, karena komputer tidak memiliki sankhara atau viññana yang terbentuk sesuai hukum Paticcasamupada. Hanya sekedar ilustrasi yang mudah-mudahan membuat kita tersenyum. (",)

BAB C : MANFAAT MENGENAL & MERENUNGKAN SIFAT ANICCA, DUKKHA & ANATTA DALAM KESEHARIAN

Memahami atau menembus kebenaran Anicca, Dukkha & Anatta, yang membawa pada kebebasan akhir, secara total tentu dicapai melalui meditasi dan vipassana. Namun sejak mulai mengenal kebenaran tersebut melalui mendengar Dhamma dan kemudian mengamati dan merenungkan gerak-gerik batin jasmani, sedikit demi sedikit kita akan melihat bahwa pancakhandha ini ternyata hanyalah fenomena batin jasmani yang tidak kekal, tidak dapat diandalkan, tidak memuaskan, yang bukan "diri/aku/atta", tanpa "diri/aku/atta", bukan milik "diri/aku/atta" yang memiliki sifat dan corak khasnya sendiri. Dengan bijaksana melihatnya, pemahaman ini akan:

1. "Membantu sedikit demi sedikit" mengurangi ego/keakuan, sifat egosentris, sifat membanding-bandingkan diri, dan segala perwujudannya.

2. "Membantu sedikit demi sedikit" mengurangi kemelekatan, ketidaksukaan, kegelisahan, dan PENDERITAAN batin jasmani. Meningkatkan kemampuan melepas dan ikhlas (letting go).
*karena kita MULAI menjadi "tidak terlalu" terpesona, melekat, tergantung pada jasmani, perasaan, persepsi, bentuk-bentuk batin, dan kesadaran (pancakhandha ini) juga semua fenomena di luar itu.

3. "Membantu sedikit demi sedikit" untuk lebih sabar, santai, toleran, pengertian, memaklumi dan memaafkan sesama, SEANEH APAPUN atau BETAPAPUN TIDAK MASUK AKALNYA tindakan seseorang; termasuk memaafkan "diri sendiri" secara bijaksana. Semoga kita bisa mengurangi, mencegah, atau menyembuhkan kerusakan yang belum atau mungkin telah kita timbulkan baik pada diri sendiri, orang-orang terdekat, bahkan semua makhluk.

4. Menyemai benih, menyuburkan dan mengokohkan welas asih tulus tanpa batas dalam batin, karena memahami bahwa semua makhluk tak berdaya diliputi Anicca, Dukkha, dan Anatta sehingga patut dilindungi dan dibalut dengan welas asih yang melindungi. Welas asih yang dipancarkan pun akan semakin tulus dan tanpa pamrih seiring melemahnya "sakkhaya ditthi" atau pandangan keliru mengenai adanya "Aku/Diri/Atta". Tak mengherankan bahwa para Buddha dan para Arya memiliki perlindungan welas asih tulus tanpa batas kepada semua makhluk.

5. "Membantu sedikit demi sedikit" agar kita tidak terlalu melekat, terbebani, terbawa, terhanyut, terlena, terikat, terbelenggu, terperangkap, terlumpuhkan, terganggu, tersiksa, bergantung, atau terpengaruh oleh pancakhandha ini sehingga dengan sikap batin "melepas" (letting go) kita bisa lebih efektif, efisien dan leluasa dalam memanfaatkan setiap momen, yang laksana harta karun tak ternilai, untuk mengasihi, berbagi, berlatih dan berkarya.. dalam kehidupan sehari-hari.

"... Singkatnya, pancakhandha adalah tidak memuaskan" <Sang Buddha, Mahasatipatthana Sutta>
*****************************

14
SN 22.84. Tissa Sutta: Khotbah Dorongan Semangat dari Sang Buddha kepada Bhikkhu Tissa
Adaptasi terjemahan dari Pali oleh Thanissaro Bhikkhu dan Walshe.
 
    "Tissa, seumpama ada dua orang, yang satu tidak tahu jalan, yang lain tahu jalan. Dalam hal ini, yang tidak tahu jalan bertanya pada orang yang tahu jalan. Ia menjawab, "Benar, Sobat, inilah jalannya. Teruskanlah selama beberapa saat dan engkau akan tiba pada suatu persimpangan. Jangan ambil yang kiri, tapi ambillah jalan yang di sebelah kanan. Teruskan sedikit, dan engkau akan sampai pada sebuah hutan rimba yang lebat. Lanjutkan sedikit lagi, dan engkau akan melihat sebuah rawa yang luas. Lanjutkan sedikit lebih jauh, dan engkau akan melihat jurang yang dalam. Tetap lanjutkan sedikit lebih jauh lagi, dan engkau akan melihat sebidang tanah lapang yang menyenangkan.
     
    "Aku membuat perumpamaan ini untuk menjelaskan maksudku: Orang yang tidak tahu jalan mewakili umat awam (yang belum memasuki arus), dan orang yang tahu jalan mewakili Sang Tathagata, Arahat, Samma Sambuddha, yang telah mencapai Penerangan Sempurna. Persimpangan jalan mewakili keragu-raguan. Cabang sebelah kiri mewakili jalan yang salah dan cabang sebelah kanan mewakili Jalan Mulia Beruas Delapan. Hutan yang lebat mewakili ketidaktahuan. Rawa yang luas mewakili nafsu indera. Jurang yang dalam melambangkan kejengkelan dan keputusasaan. Sebidang tanah lapang yang menyenangkan mewakili Nibbana.
   
    " Bergembiralah, Tissa, Bergembiralah. Aku di sini untuk menasihatimu, Aku di sini untuk mendukungmu, Aku di sini untuk memberimu petunjuk!"


 

LENGKAPNYA:

    Di Savatthi. Pada suatu kesempatan Bhikkhu Tissa, kemenakan laki-laki Sang Bhagava, mengatakan kepada sejumlah bhikkhu, "Sahabat, seolah-olah tubuh saya terbius, saya telah kehilangan arah. Hal-hal menjadi tidak jelas bagi saya. Batin saya terus diliputi dengan kemalasan & ketumpulan. Saya tidak bahagia menjalani kehidupan suci ini. Saya memiliki keraguan mengenai Dhamma.. "

    Kemudian sejumlah besar bhikkhu pergi ke Sang Bhagava dan, pada kedatangan, setelah sujud kepada Beliau, duduk di satu sisi. Ketika mereka duduk di sana, mereka menceritakan apa yang telah Bhikkhu Tissa katakan. Kemudian Sang Bhagava berkata kepada salah seorang bhikkhu, "Oh bhikkhu, panggilkan Tissa untukku"

    "Seperti yang Anda katakan, Yang Mulia," bhikkhu itu menjawab, dan setelah menjumpai Bhikkhu Tissa, ia berkata, "Guru memanggil anda, sahabat."
     
    "Seperti yang Anda katakan, sahabat," Bhikkhu Tissa menjawab. Kemudian ia pergi ke Sang Bhagava dan setelah sujud kepada Beliau, ia duduk di satu sisi. Kemudian, Sang Bhagava berkata kepadanya, "Apakah benar, Tissa, yang telah engkau katakan pada sejumlah besar bhikkhu, ‘Sahabat, seolah-olah tubuh saya terbius, saya telah kehilangan arah.. Hal-hal menjadi tidak jelas bagi saya. Batin saya terus diliputi dengan kemalasan & ketumpulan. Saya tidak bahagia menjalani kehidupan suci ini. Saya memiliki keraguan mengenai Dhamma’.. ? "
     
    "Benar, Yang Mulia."

    "Apa pendapatmu, Tissa: Pada seseorang yang tidak terbebas dari kegairahan, keinginan, kerinduan, kehausan, demam, & ketagihan terhadap jasmani, … perasaan, … persepsi, … bentuk-bentuk pikiran, ... kesadaran, apakah timbul kesedihan, ratapan, penderitaan, dukacita, & keputus-asaan dari perubahan dan ketidak-kekalan jasmani, … perasaan, … persepsi, … bentuk-bentuk pikiran, … kesadaran ? "

    "Iya, Yang Mulia."

    "Bagus, Tissa, bagus. Itulah bagaimana seseorang yang tidak terbebas dari kegairahan terhadap jasmani, … perasaan, … persepsi, … bentuk-bentuk pikiran, … kesadaran.”

    "Sekarang bagaimana menurutmu, Tissa: Pada seseorang yang terbebas dari kegairahan, keinginan, kerinduan, kehausan, demam, & ketagihan terhadap jasmani, … perasaan, … persepsi, … bentuk-bentuk pikiran, ... kesadaran, apakah timbul kesedihan, ratapan, penderitaan, dukacita, & keputus-asaan dari perubahan dan ketidak-kekalan jasmani, … perasaan, … persepsi, … bentuk-bentuk pikiran, … kesadaran ? "
   
    "Tidak, Yang Mulia."   

    "Bagus, Tissa, bagus. Itulah bagaimana seseorang yang terbebas dari kegairahan terhadap jasmani, … perasaan, … persepsi, … bentuk-bentuk pikiran, … kesadaran.”

    "Apa pendapatmu, Tissa - Apakah jasmani konstan (kekal) atau tidak konstan (tidak kekal)?"
    "Tidak kekal, Yang Mulia."
   
    "Dan apakah hal yang tidak kekal itu memberikan kenyamanan atau penderitaan?"
    "Penderitaan, Yang Mulia."     

    "Dan apakah tepat sesuatu yang tidak kekal, menyebabkan penderitaan, tunduk pada hukum perubahan sebagai: 'Ini milikku. Ini adalah diriku. Ini adalah aku'?"
    "Tidak, Yang Mulia."
   
    "... Apakah sensasi kekal atau tidak kekal?"
    "Tidak kekal, Yang Mulia."...
   
    "... Apakah persepsi kekal atau tidak kekal?"
    "Tidak kekal, Yang Mulia."...
     
    "...Apakah bentukan kekal atau tidak kekal?"
    "Tidak kekal, Yang Mulia."...
     
    "Bagaimana menurutmu, para bhikkhu — Apakah kesadaran kekal atau tidak kekal?"
    "Tidak kekal, Yang Mulia."
     
    "Dan apakah hal yang tidak kekal itu memberikan kenyamanan atau penderitaan?"
    "Penderitaan, Yang Mulia."
     
    "Dan apakah tepat sesuatu yang tidak kekal, menyebabkan penderitaan, tunduk pada hukum perubahan sebagai: 'Ini milikku. Ini adalah diriku. Ini adalah aku'?"
    "Tidak, Yang Mulia."
     
    "Karena itu, para bhikkhu, apapun jasmani di masa lampau, masa depan, atau masa sekarang; di dalam atau di luar; kasar atau halus; rendah atau luhur; jauh atau dekat; apapun jasmani dilihat sebagai apa adanya dengan pemahaman benar sebagai: 'Ini bukan milikku. Ini bukan diriku. Ini bukan aku.'
     
    "Perasaan (sensasi) apapun...
    "Persepsi apapun...
    "Bentukan [batin] apapun...
   
    "Kesadaran apapun di masa lampau, masa depan, atau masa sekarang; di dalam atau di luar; kasar atau halus; rendah atau luhur; jauh atau dekat: apapun kesadaran dilihat sebagai apa adanya dengan pemahaman benar sebagai: 'Ini bukan milikku. Ini bukan diriku. Ini bukan aku.'
     
    "Melihat demikian, siswa Ariya, yang telah memahaminya dengan baik, menjadi tak terpesona pada jasmani, tak terpesona pada perasaan, tak terpesona pada persepsi, tak terpesona pada bentukan [batin], tak terpesona pada kesadaran. Setelah tak terpesona dia menjadi tidak tertarik. Setelah tidak tertarik, dia terbebas sepenuhnya. Dengan terbebas penuh, disana ada pengetahuan, 'Terbebas sepenuhnya.' Dia mengerti bahwa 'Kelahiran telah berakhir, kehidupan suci telah terpenuhi, tugas telah selesai. Tidak ada lagi lebih jauh untuk dunia ini (lingkaran samsara terpatahkan).'"
     
    "Tissa, seumpama ada dua orang, yang satu tidak tahu jalan, yang lain tahu jalan. Dalam hal ini, yang tidak tahu jalan bertanya pada orang yang tahu jalan. Ia menjawab, "Benar, Sobat, inilah jalannya. Teruskanlah selama beberapa saat dan engkau akan tiba pada suatu persimpangan. Jangan ambil yang kiri, tapi ambillah jalan yang di sebelah kanan. Teruskan sedikit, dan engkau akan sampai pada sebuah hutan rimba yang lebat. Lanjutkan sedikit lagi, dan engkau akan melihat sebuah rawa yang luas. Lanjutkan sedikit lebih jauh, dan engkau akan melihat jurang yang dalam. Tetap lanjutkan sedikit lebih jauh lagi, dan engkau akan melihat sebidang tanah lapang yang menyenangkan.
     
    "Aku membuat perumpamaan ini untuk menjelaskan maksudku: Orang yang tidak tahu jalan mewakili umat awam (yang belum memasuki arus), dan orang yang tahu jalan mewakili Sang Tathagata, Arahat, Samma Sambuddha, yang telah mencapai Penerangan Sempurna. Persimpangan jalan mewakili keragu-raguan. Cabang sebelah kiri mewakili jalan yang salah dan cabang sebelah kanan mewakili Jalan Mulia Beruas Delapan (pandangan benar, pikiran benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, daya upaya benar, perhatian benar dan konsentrasi benar). Hutan yang lebat mewakili ketidaktahuan. Rawa yang luas mewakili nafsu indera. Jurang yang dalam melambangkan kejengkelan dan keputusasaan. Sebidang tanah lapang yang menyenangkan mewakili Nibbana.
     
    " Bergembiralah, Tissa, Bergembiralah. Aku di sini untuk menasihatimu, Aku di sini untuk mendukungmu, Aku di sini untuk memberimu petunjuk!"

     
    Demikian yang dikatakan Sang Bhagava. Berterimakasih, Bhikkhu Tissa bergembira atas kata-kata Sang Bhagava. 
     

DAFTAR PUSTAKA:

1. BUDDHA VACANA (Sabda-sabda Sang Buddha), Y.A. Shravasti Dhammika, Yayasan Penerbit Karaniya.

2. Untuk lebih memahami Jalan Mulia Beruas 8, saya merekomendasikan buku berikut yang bisa didownload di:

http://www.scribd.com/doc/35834750/Jalan-Menuju-Akhir-Penderitaan

JUDUL BUKU :
Jalan Menuju Akhir dari Penderitaan

JUDUL ASLI :
The Noble Eightfold Path: The Way to the End
of Suffering

PENULIS :
Bhikkhu Bodhi

PENTERJEMAH :
Anne Martani, Jimmy Halim, Laura Perdana,
Leonard Halim , Laurensius Widyanto

15
Studi Sutta/Sutra / MN 131. Bhaddekaratta Sutta: Hari Keberuntungan
« on: 29 August 2010, 04:38:56 AM »
MN 131. Bhaddekaratta Sutta: Hari Keberuntungan
Adaptasi terjemahan dari Pali oleh Bhikkhu Thanissaro dan Bhikkhuni Upalavanna


Aku mendengar bahwa pada suatu kesempatan Sang Bhagava tinggal di Savatthi, di Hutan Jeta, di biara pemberian Anathapindika. Di sana beliau berbicara pada para bhikkhu:
"Bhikkhu!"
"Ya, Yang Mulia," jawab para bhikkhu.

Sang Bhagava berkata: 
"Bhikkhu, aku akan mengajarkan pada kalian ringkasan dan pemaparan bagaimana seseorang  menggunakan hari  dengan baik (hari keberuntungan). “
"Baiklah, Yang Mulia," jawab para bhikkhu

Sang Bhagava berkata:
 
Jangan mengejar masa lalu atau merindukan masa depan.
Yang telah berlalu telah lewat. Masa depan belum terjangkau.
Apa pun fenomena yang hadir, lihatlah dengan kewaspadaan dan kebijaksanaan.
(Realitas  masa kini yang timbul di enam gerbang indera dilihat dengan kewaspadaan dan kebijaksanaan * <1>)
Tidak terhanyut, tak tergoyahkan, itulah bagaimana kalian seharusnya mengembangkan pikiran.
Dengan semangat melakukan apa yang harus dilakukan hari ini, - siapa tahu - esok kematian tiba.
Tidak ada tawar-menawar dengan kematian & bala tentaranya* <2>.
Siapa pun yang hidup dengan penuh semangat, waspada tanpa henti, baik siang maupun malam, telah benar-benar memanfaatkan hari dengan baik (hari keberuntungan)..
Begitulah kata para bijaksana.
 

"Dan bagaimana, bhikkhu,  apakah yang menyebabkan seseorang mengejar masa lalu?
Seseorang terhanyut oleh kegairahan atau keinginan  'Di masa lalu aku memiliki jasmani seperti itu...  perasaan...  persepsi...  bentuk-bentuk batin...  kesadaran seperti itu. "
Ini disebut mengejar  masa lalu.”
 
"Dan bagaimana seseorang tidak mengejar masa lalu?
Seseorang tidak terhanyut oleh kegairahan atau keinginan  'Di masa lalu aku memiliki jasmani seperti itu...  perasaan...  persepsi...  bentuk-bentuk batin...  kesadaran seperti itu.  "
Ini disebut TIDAK mengejar  masa lalu.”
 

"Bagaimana seseorang merindukan masa depan?
Seseorang terhanyut oleh kegairahan atau keinginan  'Di masa depan aku mungkin memiliki jasmani seperti itu...  perasaan...  persepsi...  bentuk-bentuk batin...  kesadaran seperti itu.
Ini disebut merindukan  masa depan.”

"Dan bagaimana seseorang tidak merindukan masa depan?
Seseorang tidak terhanyut oleh kegairahan atau keinginan  'Di masa depan aku mungkin memiliki jasmani seperti itu...  perasaan...  persepsi...  bentuk-bentuk batin...  kesadaran seperti itu.  "
Ini disebut TIDAK merindukan masa depan.”

 
"Bagaimana seseorang terhanyut dalam kaitannya dengan saat kini?

"Ada kasus, bhikkhu, di mana orang yang tidak terpelajar, tidak terlatih, tidak mengenal para Yang Tercerahkan, tidak memahami dan berdisiplin dalam Dhamma, mereka yang tidak mengenal para bijaksana yang memiliki keteguhan; menganggap Jasmani (Rupa) sebagai "diri", atau menganggap Jasmani (Rupa) dimiliki oleh "diri", atau menganggap Jasmani (Rupa) berada di dalam "diri", atau menganggap "diri" terkandung atau berada di dalam Jasmani (Rupa).

"Dia menganggap Perasaan (Vedana) sebagai "diri", atau menganggap Perasaan (Vedana) dimiliki oleh "diri" , atau menganggap Perasaan (Vedana) berada di dalam "diri", atau menganggap "diri" terkandung atau berada di dalam Perasaan (Vedana).
 
"Dia menganggap Persepsi (Saňňa) sebagai "diri", atau menganggap Persepsi (Saňňa) dimiliki oleh "diri", atau menganggap Persepsi (Saňňa) berada di dalam "diri", atau menganggap "diri" terkandung atau berada di dalam Persepsi (Saňňa).

"Dia menganggap Bentuk-bentuk Pikiran (Sankhara) sebagai "diri", atau menganggap Bentuk-bentuk Pikiran (Sankhara) dimiliki oleh "diri", atau menganggap Bentuk-bentuk Pikiran (Sankhara) berada di dalam "diri", atau menganggap "diri" terkandung atau berada di dalam Bentuk-bentuk Pikiran (Sankhara).

"Dia menganggap Kesadaran (Viňňana) sebagai "diri", atau menganggap Kesadaran (Viňňana) dimiliki oleh "diri", atau menganggap Kesadaran (Viňňana) berada di dalam "diri", atau menganggap "diri" terkandung atau berada di dalam Kesadaran (Viňňana).”

Ini disebut terhanyut dalam kaitannya dengan saat kini."

"Dan bagaimana seseorang tidak terhanyut dalam kaitannya dengan saat kini?

"Ada kasus, bhikkhu, di mana orang yang terpelajar, terlatih, mengenal para Yang Tercerahkan, memahami dan berdisiplin dalam Dhamma, mereka yang mengenal para bijaksana yang memiliki keteguhan;  TIDAK menganggap Jasmani (Rupa) sebagai "diri", atau menganggap Jasmani (Rupa) dimiliki oleh "diri", atau menganggap Jasmani (Rupa) berada di dalam "diri", atau menganggap "diri" terkandung atau berada di dalam Jasmani (Rupa).

"Dia TIDAK menganggap Perasaan (Vedana) sebagai "diri", atau menganggap Perasaan (Vedana) dimiliki oleh "diri" , atau menganggap Perasaan (Vedana) berada di dalam "diri", atau menganggap "diri" terkandung atau berada di dalam Perasaan (Vedana).
 
"Dia TIDAK menganggap Persepsi (Saňňa) sebagai "diri", atau menganggap Persepsi (Saňňa) dimiliki oleh "diri", atau menganggap Persepsi (Saňňa) berada di dalam "diri", atau menganggap "diri" terkandung atau berada di dalam Persepsi (Saňňa).

"Dia TIDAK menganggap Bentuk-bentuk Pikiran (Sankhara) sebagai "diri", atau menganggap Bentuk-bentuk Pikiran (Sankhara) dimiliki oleh "diri", atau menganggap Bentuk-bentuk Pikiran (Sankhara) berada di dalam "diri", atau menganggap "diri" terkandung atau berada di dalam Bentuk-bentuk Pikiran (Sankhara).

"Dia TIDAK menganggap Kesadaran (Viňňana) sebagai "diri", atau menganggap Kesadaran (Viňňana) dimiliki oleh "diri", atau menganggap Kesadaran (Viňňana) berada di dalam "diri", atau menganggap "diri" terkandung atau berada di dalam Kesadaran (Viňňana).”

Ini disebut TIDAK terhanyut dalam kaitannya dengan saat kini."


Jangan mengejar masa lalu atau merindukan masa depan.
Yang telah berlalu telah lewat. Masa depan belum terjangkau.
Apa pun fenomena yang hadir, lihatlah dengan kewaspadaan dan kebijaksanaan.
(Realitas  masa kini yang timbul di enam gerbang indera dilihat dengan kewaspadaan dan kebijaksanaan * <1>)
Tidak terhanyut, tak tergoyahkan, itulah bagaimana kalian seharusnya mengembangkan pikiran.
Dengan semangat melakukan apa yang harus dilakukan hari ini, - siapa tahu - esok kematian tiba.
Tidak ada tawar-menawar dengan kematian & bala tentaranya* <2>.
Siapa pun yang hidup dengan penuh semangat, waspada tanpa henti, baik siang maupun malam, telah benar-benar memanfaatkan hari dengan baik (hari keberuntungan)..
Begitulah kata para bijaksana.


 “Bhikkhu, demikianlah ringkasan dan pemaparan bagaimana seseorang  menggunakan hari  dengan baik (hari keberuntungan),” kata Sang Bhagava. Berterimakasih, para bhikkhu bergembira dengan kata-kata Sang Bhagava.

 
 CATATAN:

   1. Hal-hal masa kini, melihat mereka dengan pemahaman saat mereka muncul (paccuppanna ¤ ca yo tattha tattha dhammaü vipassati). Hal-hal yang terus-menerus timbul pada saat ini adalah apapun yang timbul di enam gerbang indera, seperti pemandangan, suara, bau, rasa, sentuhan, dan pemikiran, saat mereka kontak dengan kesadaran. Kemudian setelah terjadi kontak, maka perasaan, persepsi dan bentuk-bentuk batin mengikuti. Semua ini harus dilihat dengan pemahaman yang benar, dan gagasan keliru tentang adanya “Aku/Diri/Atta” harus dibasmi.

   2. Tidak ada tawar-menawar dengan kematian & bala tentaranya (na hi no saügaran tena mahàsenena maccunà). Bala tentara kematian yang dimaksud adalah terdiri dari semua kekotoran-kekotoran batin yang mencemari pikiran, seperti nafsu keserakahan, kebencian, kemalasan , kegelisahan, ketakutan, keraguan, kebingungan, kesombongan, membanding-bandingkan diri, dll.   

3. Untuk memiliki sebuah hari yang baik (beruntung), kita tidak seharusnya:
Terhanyut  oleh MASA LALU: melamun, mengejar, meratapi, atau menyesali masa lalu,
Terhanyut oleh MASA DEPAN: melamun, mengejar, khawatir, atau takut akan masa depan,
Terhanyut oleh MASA KINI: terperdaya, terguncang, menderita, atau kewalahan oleh realitas di saat kini yang bersentuhan dengan keenam indera (menyerang pikiran melalui semua indera).

Terhanyut oleh masa lalu, masa depan, dan masa kini memiliki arti bahwa pikiran kita diliputi atau terbakar oleh nafsu keserakahan (LOBHA), kebencian (DOSA), dan ketidaktahuan termasuk gagasan keliru mengenai  “Aku/Diri/Atta", tidak malu berbuat jahat, tidak takut berbuat jahat, dll. (MOHA).  Mereka menghalangi kita menghargai setiap momen, melakukan hal yang bajik dan bermanfaat di jalan yang benar secara efektif & efisien. Mereka melumpuhkan kita dari memberi manfaat kepada masa kini maupun masa yang akan datang, baik secara internal (diri sendiri) maupun eksternal (orang lain).


Pages: [1] 2 3