sumber: true buddha news
Acarya Guoxian yang berpenampilan agung, ramah dan leluasa, telah melewati tiga kali masa retreat dengan total masa 13 tahun. Keluar dari masa retreat, pada tahun ini (2008) tanggal 20 Juni, dengan ditemani oleh siswa nya (siswa dari Biksu Guoxian dalam aliran Zen) yaitu Biksu Changyi (常義法師) dan cucu siswa (siswa dari Biksu Changyi) yaitu 、Biksu Yanzhan (演湛法師)khusus bertandang ke Seattle untuk mengunjungi Mahamulacarya Liansheng.
Mahaguru bersama dengan Gurudhara didampingi oleh para siswa menyambut di bandara, guru dan siswa telah Sembilan belas tahun lamanya tidak bersua. Begitu bertemu dengan Mahaguru, Acarya Guoxian yang tulus langsung bersujud dan mengatakan “sungguh sangat rindu ! sungguh rindu!”.
Mahaguru pernah mengatakan bahwa Acarya Guoxian sering mengatakan “Tidak apa, tidak usah terburu buru.” Acarya Guoxian sungguh mengalir mengikuti jodoh, pada tanggal 23 juni, sebelum mulai puja bakti akhir pekan di Vihara Vajragarbha Seattle, Acarya Guoxian menerima wawancara di Arama Tantra Satyabuddha (真佛密苑 – zhenfomiyuan) .
Biksu Guoxian membentuk mudra Padmakumara dalam sesi puja bakti Guru Yoga
《Tiga Kali Pertapaan Meditasi dan Vipasyana》
Acarya Guoxian yang memiliki jodoh mendalam dengan Dharma, serta akar kebijaksanaan yang muncul sejak muda, pada usia 15 tahun beliau telah bertemu dengan Guru Zen yang telah mencapai pencerahan yaitu Biksu Senior Shangshengxianian (上聖下念老和尚 – shangshengxianian laoheshang),dari Beliau mendengar banyak ajaran koan (公案) dan kisah Zen. Acarya segera bersarana kepada Guru Zen tersebut, empat tahun kemudian menerima upasampada, menjadi seorang biksu.
Beberapa biksu menerima upasampada adalah karena ikrarnya ingin mengatasi kelahiran dan kematian, ada juga yang mengatakan ingin mengemban karya Tathagata, atau demi mencapai pencerahan. Sedangkan cara pandang Acarya adalah : Itu semua hanyalah tujuan dasar saja. Menurut beliau sendiri, bersarana kepada Guru Zen dan mendalami Dharma, karena didalam hati telah ada arah, sehingga jika hendak menjadi biksu tidak perlu lagi mengucapkan kata-kata formalitas tersebut, jadi jika jodoh upasampada telah tiba, maka dengan alamiah akan menjadi biksu. Acarya mengatakan bahwa upasampada nya hanyalah dengan batin yang sangat tenang menerima upasampada.
Setelah Acarya Guoxian menerima upasampada, melewati waktu bhavana yang cukup lama, beliau merasa perlu untuk bertapa untuk melakukan meditasi dan vipasyana dengan lebih maju lagi. Oleh karena nidana inilah akhirnya terwujud tiga kali pertapaan yang total mencapai tiga belas tahun lamanya.
Acarya Guoxian melakukan tiga kali pertapaan itu di loteng kecilnya di Vihara Huiquan Hongkong (香港慧泉寺 – xiangganghuiquansi) , menggunakan cara yang lebih bebas.
Pada tahun 1988 , yaitu pertama kali pertapaan, Acarya menggunakan cara eksoterik (Mahayana), menetap di loteng kecil, yang terdapat sebuah teras kecil, altar kecil dan dibawah loteng ada satu jendela kecil, jika ada siswa atau upasaka upasika yang ingin mengunjungi Acarya atau ingin menanyakan sesuatu, mereka akan memukul lonceng sekali. Setelah mendengarnya, Acarya akan turun dan menemui mereka. Siswa dan para umat datang tanpa janji, mereka semua datang setiap saat, ada kalanya pada saat beliau sedang bermeditasi atau melafal sutra, membuat beliau tidak dapat tenang. Ini juga merupakan suatu sebab kenapa pertapaan pertama hanya sekitar setengah tahun, pada awal 1989 keluar dari pertapaan.
Karena ada pengalaman dari sesi pertama pertapaan, dalam sesi yang kedua dan ketiga, Acarya Guoxian menutup jendela kecil di loteng, tidak menerima siapapun, juga tidak berbicara. Jika para siswa dan umat ada hal yang sangat penting ingin dibicarakan, mereka akan menulis dan menyampaikannya kepada Acarya lewat surat. Pertapaan sesi kedua dilakukan selama tiga tahun – tiga bulan – tiga hari, yaitu mulai pada Oktober 1989 sampai 27 Desember 1992, sedangkan pertapaan ketiga dilaksanakan selama lebih dari Sembilan tahun, yaitu mulai pada tanggal 4 Januari 1998 sampai tanggal 2 bulan satu penanggalan lunar di tahun 2007.
Acarya Guoxian asalnya adalah Buddhisme Zen sekte Linji(臨濟宗 – linjizong) (jap : Rinzai – shu), pada saat pertapaannya, penekunan utama Beliau tidak lepas dari pelafalan sutra, meditasi dan membaca koan Zen dari Taisho Tripitaka. Tentu saja juga diiringi dengan membaca dan menelaah sutra yang lain. Saat ditanyakan apakah Acarya kelak akan bertapa lagi, Beliau menjawab ini tergantung nidana.
Acarya menceritakan bahwa di beberapa tahun terakhir pada pertapaan sesi ketiga, beliau dengan khusus menelaah dan memperoleh pemahaman yang mendalam terhadap Mahaprajnasutra (大般若經 - Daboruojing) sebanyak enam ratus bab yang diterjemahkan oleh Bhiksu Xuanzang (玄奘法師 – Xuanzang Fashi) .
Acarya mengatakan, bagi umat biasanya, Mahaprajnasutra sebanyak 600 halaman ini terlalu panjang untuk dibaca. Belakangan Acarya menemui bahwa “Prajna Bercahaya” (放光般若 - Fangguangboruo) sebuah kitab intisari karya Biksu Kumarajiva (鳩摩羅什法師) , sebanyak 27 bab yang di ringkas dari bab 401 sampai 478 dari Mahaprajnasutra , akan lebih mudah dibaca , dilafal dan dipelajari oleh umat awam. Oleh karena itu seusai sesi pertapaan, Acarya berpesan kepada para siswanya supaya mencetak Kitab “Prajna Bercahaya” dicetak menjadi dua bagian untuk disebarluaskan. Bahkan sejak Hari Ulang Tahun Manjusri Bodhisattva (文殊師利菩薩聖誕 – Wenshushilipusa shengdan) di tanggal empat bulan empat lunar tahun ini , Acarya menetapkan bahwa tiap hari pukul tiga sampai lima sore di Huiquansi (慧泉寺) , menjadikan pelafalan Mahaprajnasutra (大般若經 - daboruojing) sebagai penekunan sehari-hari. Bagaikan sebuah upacara pelafalan sutra, Acarya melafalkan sutra, para umat mendengarkan dengan seksama.
Acarya menjelaskan, sesi pelafalan ini tidak sama dengan biasanya dimana para umat akan bersama memainkan alat pengiring seperti muyi (木魚) dan bersama melafal, karena cara demikian dimana umat bersama melafal dengan nyanyian , meskipun enak didengar dan nampak agung, namun tidak banyak orang yang mampu melantunkannya sambil memahami makna di dalamnya.
“Seperti perbincangan antara Sakyamuni Buddha, Subbhuti dan Sariputra, bersama melafal sutra nampak sangat biasa, tidak ada rasa yang istimewa, saya menggunakan cara yang saya ketahui, yaitu saya sendiri yang melafalnya, bagaikan percakapan antara Guru dan siswa, sangat akrab, mereka semua mendengar di bawah, maka batin mereka akan terbawa menuju peresapan makna, dengan demikian akan lebih mudah memperoleh Dharmarasa dari dalamnya.”