Sekedar referensi :
hatRed, kalau kita berbakti dalam kebaikan pada orang tua, maka kita dan orang tua kita akan bahagia loh...
Itu contoh kalimat sederhana yg mengundang logika dan perasaan di setiap kita. Ketika saya mengucapkan kalimat itu, ada 'daya tarik' yg membuat orang lain menjadi ingin mengetahuinya, yaitu hasilnya yg berupa 'bahagia'. Karena alasan itulah, maka kita umumnya ingin menelaah kebenaran dari kalimat tersebut.
Kita akan menelaahnya lewat LOGIKA : "Apakah benar / masuk akal kalau saya berbakti dalam kebaikan, maka saya dan orang tua akan akan berbahagia?"
Dari pemikiran skeptis itu, kita mulai mendiagnosa alasan2 logis dan berpikir secara nalar sehat. Semakin kita peka dengan kemampuan bernalar, maka kita semakin kreatif pula dengan metode dan teknik berlogika.
Kita juga akan menelaahnya lewat PERASAAN : "Apakah rasanya / keadaan saya dan orang tua apabila saya berbakti dalam kebaikan itu?"
Dari perasaan yg skeptis itu, kita mulai mengobservasi sensasi keadaan dan rasa yg mungkin muncul saat kejadian itu terjadi. Semakin kita sensitif dengan perasaan, maka semakin bervariasi pula kesan yg kita tangkap ke dalam batin kita dari bayangan itu.
Lewat pemahaman relatif situasional ini, kita pun mengambil langkah2 perbuatan. Jika kesan yg diproduksi oleh LOGIKA dan PERASAAN lebih didominasi oleh pengharapan baik, maka kita pun cenderung akan melakukan kebaikan.
Dari PRAKTEK LANGSUNG kebaikan itu, kita akan MENGALAMI keadaan yg sebenarnya. KEBENARAN itu selalu ada. Dan ketika kita memahami realitas, kita pun menjadi PAHAM.
Selanjutnya dari pemahaman (penyadaran) ini, batin kita pun tumbuh menjadi lebih dewasa dan tercerahkan. Akumulasi dari banyak kejadian yg kita alami untuk melihat langsung realitas akan membuat kita menjadi BIJAK. Dan setelah mencapai KEBIJAKSANAAN, kita tidak lagi melihat sesuatu secara LOGIKA atau PERASAAN, karena kita sudah memiliki PENGERTIAN BENAR (TERSADARKAN).
salam