//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: ANGUTTARA NIKAYA buku TIGA  (Read 13549 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku TIGA
« Reply #30 on: 27 January 2013, 03:38:02 AM »
IV. SEORANG PRAJURIT

133 (1) Seorang Prajurit

“Para bhikkhu, dengan memiliki tiga faktor ini, seorang prajurit adalah layak menjadi milik seorang raja, perlengkapan seorang raja, dan dianggap sebagai satu faktor kerajaan. Apakah tiga ini? Di sini, seorang prajurit adalah seorang penembak jarak jauh, seorang penembak-tepat, dan seorang yang membelah tubuh besar. Dengan memiliki tiga faktor ini, seorang prajurit adalah layak menjadi milik seorang raja, perlengkapan seorang raja, dan dianggap sebagai satu faktor kerajaan. Demikian pula, dengan memiliki tiga faktor, seorang bhikkhu adalah layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tidak taranya bagi dunia. Apakah tiga ini? Di sini, seorang bhikkhu adalah seorang penembak jarak jauh, seorang penembak-tepat, dan seorang yang membelah tubuh besar.

(1) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu adalah seorang penembak jarak jauh? Di sini, segala bentuk apa pun – apakah di masa lalu, di masa depan, atau di masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, hina atau mulia, jauh atau dekat – seorang bhikkhu melihat segala bentuk sebagaimana adanya dengan kebijakasanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Segala perasaan apa pun … [285] … Segala jenis persepsi apa pun … segala jenis aktivitas berkehendak apa pun … Segala jenis kesadaran apa pun - apakah di masa lalu, di masa depan, atau di masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, hina atau mulia, jauh atau dekat – seorang bhikkhu melihat segala kesadaran sebagaimana adanya dengan kebijakasanaan benar sebagai berikut: ‘Ini bukan milikku, ini bukan aku, ini bukan diriku.’ Adalah dengan cara ini bhikkhu itu adalah seorang penembak jarak jauh.

(2) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu adalah seorang penembak tepat? Di sini, seorang bhikkhu memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan.’ Ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah asal-mula penderitaan.’ Ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan.’ Ia memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ Adalah dengan cara ini bhikkhu itu adalah seorang penembak tepat.

(3) “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu adalah seorang yang membelah tubuh besar? Di sini, seorang bhikkhu membelah kumpulan besar ketidak-tahuan. Adalah dengan cara ini bhikkhu itu adalah seorang yang membelah tubuh besar.

“Dengan memiliki ktiga faktor ini, seorang bhikkhu adalah layak menerima pemberian, layak menerima keramahan, layak menerima persembahan, layak menerima penghormatan, lahan jasa yang tidak taranya bagi dunia.”

134 (2) Kumpulan

“Para bhikkhu, ada tiga jenis kumpulan ini. Apakah tiga ini? Kumpulan yang terlatih dalam omong-kosong, kumpulan yang terlatih dalam interogasi, dan kumpulan yang terlatih hingga batasnya. Ini adalah ketiga jenis kumpulan itu.”<600> [286]

135 (3) Seorang Teman

“Para bhikkhu, seseorang harus bergaul dengan seorang teman yang memiliki tiga faktor. Apakah tiga ini? (1) Di sini, seorang bhikkhu memberikan apa yang sulit diberikan. (2) Ia melakukan apa yang sulit dilakukan. (3) Ia dengan sabar menahankan apa yang sulit ditahankan. Seseorang harus bergaul dengan seorang teman yang memiliki ketiga faktor ini.”

136 (4) Munculnya

(1) “Para bhikkhu, apakah para Tathāgata muncul atau tidak, hukum ini tetap berlaku, kestabilan Dhamma ini, jalan pasti Dhamma ini:<601> ‘Segala fenomena yang terkondisi adalah tidak kekal.’ Seorang Tathāgata tercerahkan pada hal ini dan menembusnya, dan kemudian menjelaskannya, mengajarkannya, menyatakannya, mengungkapkannya, menganalisisnya, dan menguraikannya sebagai berikut: ‘Segala fenomena yang terkondisi adalah tidak kekal.’<602>

(2) “Para bhikkhu, apakah para Tathāgata muncul atau tidak, hukum ini tetap berlaku, kestabilan Dhamma ini, jalan pasti Dhamma ini: ‘Segala fenomena yang terkondisi adalah penderitaan.’ Seorang Tathāgata tercerahkan pada hal ini dan menembusnya, dan kemudian menjelaskannya, mengajarkannya, menyatakannya, mengungkapkannya, menganalisisnya, dan menguraikannya sebagai berikut: ‘Segala fenomena yang terkondisi adalah penderitaan.’

(3) “Para bhikkhu, apakah para Tathāgata muncul atau tidak, hukum ini tetap berlaku, kestabilan Dhamma ini, jalan pasti Dhamma ini: ‘Segala fenomena adalah tanpa-diri.’ Seorang Tathāgata tercerahkan pada hal ini dan menembusnya, dan kemudian menjelaskannya, mengajarkannya, menyatakannya, mengungkapkannya, menganalisisnya, dan menguraikannya sebagai berikut: ‘Segala fenomena adalah tanpa-diri.’”

137 (5) Selimut rambut

“Para bhikkhu, selimut rambut dinyatakan sebagai jenis terburuk di antara kain tenunan.<603> Selimut rambut dingin dalam cuaca dingin, panas dalam cuaca panas, buruk, berbau, dan tidak nyaman. Demikian pula, doktrin Makkhali dinyatakan sebagai yang terburuk di antara doktrin-doktrin berbagai petapa.<604> Manusia kosong Makkhali mengajarkan doktrin dan pandangan: ‘Tidak ada kamma, tidak ada perbuatan, tidak ada usaha.’ [287]

(1) “Para bhikkhu, Para Bhagavā, Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna di masa lampau mengajarkan doktrin kamma, doktrin perbuatan, doktrin usaha. Namun manusia kosong Makkhali membantahnya [dengan pengakuannya]: ‘Tidak ada kamma, tidak ada perbuatan, tidak ada usaha.’

(2) “Para bhikkhu, Para Bhagavā, Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna di masa depan juga mengajarkan doktrin kamma, doktrin perbuatan, doktrin usaha. Namun manusia kosong Makkhali membantahnya [dengan pengakuannya]: ‘Tidak ada kamma, tidak ada perbuatan, tidak ada usaha.’

(3) “Di masa sekarang Aku adalah Sang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna, dan Aku mengajarkan doktrin kamma, doktrin perbuatan, doktrin usaha. Namun manusia kosong Makkhali membantahnya [dengan pengakuannya]: ‘Tidak ada kamma, tidak ada perbuatan, tidak ada usaha.’

“Seperti halnya sebuah jebakan yang dipasang di mulut sungai akan membawa bahaya, penderitaan, kemalangan, dan bencana pada banyak ikan, demikian pula, manusia kosong Makkhali adalah, bagaikan sebuah ‘jebakan bagi orang-orang’ yang muncul di dunia ini demi bahaya, penderitaan, kemalangan, dan bencana bagi banyak makhluk.”

138 (6) Pencapaian

“Para bhikkhu, ada tiga pencapaian ini. Apakah tiga ini? Pencapaian keyakinan, pencapaian perilaku bermoral, dan pencapaian kebijaksanaan. Ini adalah ketiga pencapaian itu.”

139 (7) Pertumbuhan <605>

“Para bhikkhu, ada tiga pertumbuhan ini. Apakah tiga ini? Pertumbuhan dalam keyakinan, pertumbuhan dalam perilaku bermoral, dan pertumbuhan dalam kebijaksanaan. Ini adalah ketiga pertumbuhan itu.”

140 (8 ) Kuda (1)

“Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian tentang ketiga jenis anak kuda liar dan ketiga jenis orang yang seperti anak kuda liar. Dengarkan dan perhatikanlah Aku akan berbicara.”

“Baik, Bhante,” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Dan apakah, para bhikkhu, ketiga jenis anak kuda liar? [288]
(1) Di sini, sejenis anak kuda liar memiliki kecepatan tetapi tidak memiliki keindahan atau proporsi yang benar. (2) Jenis anak kuda liar lainnya memiliki kecepatan dan keindahan tetapi tidak memiliki proporsi yang benar. (3) Dan jenis anak kuda liar lainnya memiliki kecepatan, keindahan, dan proporsi yang benar. Ini adalah ketiga jenis anak kuda liar tersebut.

“Dan apakah, para bhikkhu, ketiga jenis orang yang seperti anak kuda liar itu? (1) Di sini, sejenis orang yang seperti anak kuda liar itu memiliki kecepatan tetapi tidak memiliki keindahan dan tidak memiliki proporsi yang benar. (2) Jenis orang lainnya yang seperti anak kuda liar itu memiliki kecepatan dan keindahan tetapi tidak memiliki proporsi yang benar. (3) Jenis orang lainnya lagi yang seperti anak kuda liar itu memiliki kecepatan, keindahan, dan proporsi yang benar.

(1) “Dan bagaimanakah seseorang yang seperti anak kuda liar itu memiliki kecepatan tetapi tidak memiliki keindahan dan tidak memiliki proporsi yang benar? Di sini, seorang bhikkhu memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan,’ dan ‘Ini adalah asal-mula penderitaan,’ dan ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan,’ dan ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ Ini, aku katakan, adalah kecepatannya. Tetapi ketika ditanya dengan pertanyaan yang berhubungan dengan Dhamma dan disiplin, ia bimbang dan tidak menjawab. Ini, Aku katakan, adalah ketiadan keindahannya. Dan ia tidak memperoleh jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan dan perlengkapan bagi yang sakit. Ini, Aku katakan, adalah ketiadaan proporsinya yang benar. Dengan cara inilah seseorang yang seperti anak kuda liar yang memiliki kecepatan tetapi tidak memiliki keindahan dan tidak memiliki proporsi yang benar.

(2) “Dan bagaimanakah seseorang yang seperti anak kuda liar itu memiliki kecepatan dan keindahan tetapi tidak memiliki proporsi yang benar? Di sini, seorang bhikkhu memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan,’ … ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ Ini, aku katakan, adalah kecepatannya. Tetapi ketika ditanya dengan pertanyaan yang berhubungan dengan Dhamma dan disiplin, ia menjawabnya dan tidak bimbang. Ini, Aku katakan, adalah keindahannya. Tetapi ia tidak memperoleh jubah … dan perlengkapan bagi yang sakit. Ini, Aku katakan, adalah ketiadaan proporsinya yang benar. Dengan cara inilah [289] seseorang yang seperti anak kuda liar yang memiliki kecepatan tetapi tidak memiliki keindahan atau proporsi yang benar.

(3) “Dan bagaimanakah seseorang yang seperti anak kuda liar itu memiliki kecepatan dan keindahan, dan proporsi yang benar? Di sini, seorang bhikkhu memahami sebagaimana adanya: ‘Ini adalah penderitaan,’ dan ‘Ini adalah asal-mula penderitaan,’ dan ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan,’ dan ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’ Ini, aku katakan, adalah kecepatannya. Dan ketika ditanya dengan pertanyaan yang berhubungan dengan Dhamma dan disiplin, ia menjawabnya dan tidak bimbang. Ini, Aku katakan, adalah keindahannya. Dan ia memperoleh jubah … dan perlengkapan bagi yang sakit. Ini, Aku katakan, adalah proporsinya yang benar. Dengan cara inilah seseorang yang seperti anak kuda liar yang memiliki kecepatan, keindahan, dan proporsi yang benar.

“Ini, para bhikkhu, adalah ketiga jenis orang yang seperti anak kuda liar itu.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku TIGA
« Reply #31 on: 27 January 2013, 03:38:53 AM »
141 (9) Kuda (2)

“Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian tentang ketiga jenis kuda yang baik dan ketiga jenis orang yang seperti kuda-kuda yang baik.<606> Dengarkan …

“Dan apakah, para bhikkhu, ketiga jenis kuda yang baik? (1) Di sini, sejenis kuda yang baik memiliki kecepatan tetapi tidak memiliki keindahan atau proporsi yang benar. (2) Jenis kuda yang baik lainnya memiliki kecepatan dan keindahan tetapi tidak memiliki proporsi yang benar. (3) Dan kuda yang baik lainnya memiliki kecepatan, keindahan, dan proporsi yang benar. Ini adalah ketiga jenis kuda yang baik tersebut.

“Dan apakah, para bhikkhu, ketiga jenis orang yang seperti kuda yang baik itu? (1) Di sini, sejenis orang yang seperti kuda yang baik memiliki kecepatan tetapi tidak memiliki keindahan dan tidak memiliki proporsi yang benar. (2) Jenis orang lainnya yang seperti kuda yang baik itu memiliki kecepatan dan keindahan tetapi tidak memiliki proporsi yang benar. (3) Jenis orang lainnya lagi yang seperti kuda yang baik itu memiliki kecepatan, keindahan, dan proporsi yang benar. [290]

(1) “Dan bagaimanakah seorang yang seperti kuda yang baik yang memiliki kecepatan tetapi tidak memiliki keindahan dan tidak memiliki proporsi yang benar? Di sini, dengan kehancuran total kelima belenggu yang lebih rendah, seorang bhikkhu menjadi seorang yang terlahir secara spontan, pasti mencapai nibbāna akhir di sana tanpa pernah kembali dari alam itu. Ini, Aku katakan, adalah kecepatannya. Tetapi ketika ditanya dengan pertanyaan yang berhubungan dengan Dhamma dan disiplin, ia bimbang dan tidak menjawab. Ini, Aku katakan, adalah ketiadan keindahannya. Dan ia tidak memperoleh jubah, makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan dan perlengkapan bagi yang sakit. Ini, Aku katakan, adalah ketiadaan proporsinya yang benar. Dengan cara inilah seseorang yang seperti kuda yang baik yang memiliki kecepatan tetapi tidak memiliki keindahan atau proporsi yang benar.

(2) “Dan bagaimanakah seorang yang seperti kuda yang baik yang memiliki kecepatan dan keindahan tetapi tidak memiliki proporsi yang benar? Di sini, dengan kehancuran total kelima belenggu yang lebih rendah, seorng bhikkhu menjadi seorang yang terlahir secara spontan, pasti mencapai nibbāna akhir di sana tanpa pernah kembali dari alam itu. Ini, Aku katakan, adalah kecepatannya. Dan ketika ditanya dengan pertanyaan yang berhubungan dengan Dhamma dan disiplin, ia menjawab dan tidak bimbang. Ini, Aku katakan, adalah keindahannya. Tetapi ia tidak memperoleh jubah … dan perlengkapan bagi yang sakit. Ini, Aku katakan, adalah ketiadaan proporsinya yang benar. Dengan cara inilah seseorang yang seperti kuda yang baik yang memiliki memiliki kecepatan dan keindahan tetapi tidak memiliki proporsi yang benar.

(3) “Dan bagaimanakah seorang yang seperti kuda yang baik yang memiliki kecepatan, keindahan, dan proporsi yang benar? Di sini, dengan kehancuran total kelima belenggu yang lebih rendah, seorng bhikkhu menjadi seorang yang terlahir secara spontan, pasti mencapai nibbāna akhir di sana tanpa pernah kembali dari alam itu. Ini, Aku katakan, adalah kecepatannya. Dan ketika ditanya dengan pertanyaan yang berhubungan dengan Dhamma dan disiplin, ia menjawab dan tidak bimbang. Ini, Aku katakan, adalah keindahannya. Dan ia memperoleh jubah … dan perlengkapan bagi yang sakit. Ini, Aku katakan, adalah proporsinya yang benar. Dengan cara inilah seseorang yang seperti kuda yang baik yang memiliki memiliki kecepatan, keindahan, dan proporsi yang benar.

“Ini, para bhikkhu, adalah ketiga jenis orang yang seperti kuda-kuda yang baik.”

142 (10) Kuda (3)

“Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian tentang tiga jenis kuda berdarah murni yang baik dan tiga jenis orang berdarah murni yang baik. Dengarkan … [291]

“Dan apakah, para bhikkhu, ketiga jenis kuda berdarah murni yang baik? Di sini, sejenis kuda berdarah murni yang baik … memiliki memiliki kecepatan, keindahan, dan proporsi yang benar. Ini adalah ketiga jenis kuda berdarah murni yang baik.

“Dan apakah, para bhikkhu, ketiga jenis orang berdarah murni yang baik? Di sini, sejenis orang … memiliki memiliki kecepatan, keindahan, dan proporsi yang benar.

“Dan bagaimanakah seorang berdarah murni yang baik … memiliki memiliki kecepatan, keindahan, dan proporsi yang benar? Di sini, dengan hancurnya noda-noda, seorang bhikkhu telah merealisasi untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya. Ini, Aku katakan, adalah kecepatannya. Dan ketika ditanya dengan pertanyaan yang berhubungan dengan Dhamma dan disiplin, ia menjawab dan tidak bimbang. Ini, Aku katakan, adalah keindahannya. Dan ia  memperoleh jubah … dan perlengkapan bagi yang sakit. Ini, Aku katakan, adalah proporsinya yang benar. Dengan cara inilah seseorang yang seperti kuda berdarah murni yang baik yang memiliki memiliki kecepatan, keindahan, dan proporsi yang benar.

“Ini, para bhikkhu, adalah ketiga jenis orang berdarah murni yang baik itu.”

143 (11) Taman Suaka Merak (1) <607>

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Rājagaha di taman pengembara, taman suaka merak. Di sana Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: …

“Para bhikkhu, dengan memiliki tiga kualitas, seorang bhikkhu adalah yang terbaik di antara para deva dan manusia: seorang yang telah mencapai akhir tertinggi, telah memenangkan keamanan tertinggi dari belenggu, telah menjalani kehidupan spiritual tertinggi, dan telah memperoleh kesempurnaan tertinggi. Apakah tiga ini? (1) Kelompok perilaku bermoral dari seorang yang melampaui latihan, (2) kelompok konsentrasi dari seorang yang melampaui latihan, dan (3) kelompok kebijaksanaan dari seorang yang melampaui latihan.<608> Dengan memiliki tiga kualitas, seorang bhikkhu adalah yang terbaik di antara para deva dan manusia … dan telah memperoleh kesempurnaan tertinggi.”

144 (12) Taman Suaka Merak (2)

“Para bhikkhu, dengan memiliki tiga kualitas, seorang bhikkhu adalah yang terbaik di antara para deva dan manusia: seorang yang telah mencapai akhir tertinggi, telah memenangkan keamanan tertinggi dari belenggu, telah menjalani kehidupan spiritual tertinggi, dan telah memperoleh kesempurnaan tertinggi. Apakah tiga ini? [292] (1) Keajaiban kekuatan batin, (2) keajaiban membaca pikiran, dan (3) keajaiban mengajar. Dengan memiliki tiga kualitas, seorang bhikkhu adalah yang terbaik di antara para deva dan manusia … dan telah memperoleh kesempurnaan tertinggi.”

145 (13) Taman Suaka Merak (3)

“Para bhikkhu, dengan memiliki tiga kualitas, seorang bhikkhu adalah yang terbaik di antara para deva dan manusia: seorang yang telah mencapai akhir tertinggi, telah memenangkan keamanan tertinggi dari belenggu, telah menjalani kehidupan spiritual tertinggi, dan telah memperoleh kesempurnaan tertinggi. Apakah tiga ini? (1) Pandangan benar, (2) pengetahuan benar, dan (3) kebebasan benar. Dengan memiliki tiga kualitas, seorang bhikkhu adalah yang terbaik di antara para deva dan manusia … dan telah memperoleh kesempurnaan tertinggi.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku TIGA
« Reply #32 on: 27 January 2013, 03:39:32 AM »
V. MENGUNTUNGKAN

146 (1) Tidak Bermanfaat

“Para bhikkhu, dengan memiliki tiga kualitas, seseorang ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana. Apakah tiga ini? Perbuatan yang tidak bermanfaat melalui jasmani, perbuatan yang tidak bermanfaat melalui ucapan, dan perbuatan yang tidak bermanfaat melalui pikiran. Dengan memiliki tiga kualitas ini, seseorang ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana.

“Dengan memiliki tiga kualitas, seseorang ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana. Apakah tiga ini? Perbuatan yang bermanfaat melalui jasmani, perbuatan yang bermanfaat melalui ucapan, dan perbuatan yang bermanfaat melalui pikiran. Dengan memiliki tiga kualitas ini, seseorang ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana.”

147 (2) Tercela

“Para bhikkhu, dengan memiliki tiga kualitas, seseorang ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana. Apakah tiga ini? Perbuatan tercela melalui jasmani, perbuatan tercela melalui ucapan, dan perbuatan tercela melalui pikiran. Dengan memiliki tiga kualitas ini, seseorang ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana.

“Dengan memiliki tiga kualitas, seseorang ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana. Apakah tiga ini? Perbuatan tidak tercela melalui jasmani, perbuatan tidak tercela melalui ucapan, dan perbuatan tidak tercela melalui pikiran. Dengan memiliki tiga kualitas ini, seseorang ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana.” [293]

148 (3) Tidak Baik

“Para bhikkhu, dengan memiliki tiga kualitas, seseorang ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana. Apakah tiga ini? Perbuatan tidak baik melalui jasmani, perbuatan tidak baik melalui ucapan, dan perbuatan tidak baik melalui pikiran. Dengan memiliki tiga kualitas ini, seseorang ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana.

“Dengan memiliki tiga kualitas, seseorang ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana. Apakah tiga ini? Perbuatan baik melalui jasmani, perbuatan baik melalui ucapan, dan perbuatan baik melalui pikiran. Dengan memiliki tiga kualitas ini, seseorang ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana.”

149 (4) Tidak Murni

“Para bhikkhu, dengan memiliki tiga kualitas, seseorang ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana. Apakah tiga ini? Perbuatan tidak murni melalui jasmani, perbuatan tidak murni melalui ucapan, dan perbuatan tidak murni melalui pikiran. Dengan memiliki tiga kualitas ini, seseorang ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana.

“Dengan memiliki tiga kualitas, seseorang ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana. Apakah tiga ini? Perbuatan murni melalui jasmani, perbuatan murni melalui ucapan, dan perbuatan murni melalui pikiran. Dengan memiliki tiga kualitas ini, seseorang ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana.”

150 (5) Celaka (1)

“Para bhikkhu, dengan memiliki tiga kualitas ini, orang dungu, yang tidak kompeten, dan jahat mempertahankan dirinya dalam kondisi celaka dan terluka; ia tercela dan dicela oleh para bijaksana; dan ia menghasilkan banyak keburukan. Apakah tiga ini? Perbuatan tidak bermanfaat melalui jasmani, perbuatan tidak bermanfaat melalui ucapan, perbuatan tidak bermanfaat melalui pikiran. Dengan memiliki tiga kualitas ini … ia menghasilkan banyak keburukan.

“Dengan memiliki tiga kualitas, orang bijaksana, yang kompeten, dan baik mempertahankan dirinya dalam kondisi tidak-celaka dan tidak-terluka; ia tanpa cela dan di luar celaan oleh para bijaksana; dan ia menghasilkan banyak jasa. Apakah tiga ini? Perbuatan bermanfaat melalui jasmani, perbuatan bermanfaat melalui ucapan, perbuatan bermanfaat melalui pikiran Dengan memiliki tiga kualitas ini … dan ia menghasilkan banyak jasa.”

151 (6) Celaka (2)

“Para bhikkhu, dengan memiliki tiga kualitas ini … Perbuatan tercela melalui jasmani, perbuatan tercela melalui ucapan, dan perbuatan tercela melalui pikiran …

“Dengan memiliki tiga kualitas ini … Perbuatan tanpa cela melalui jasmani, perbuatan tanpa cela melalui ucapan, dan perbuatan tanpa cela melalui pikiran …”

152 (7) Celaka (3)

“Para bhikkhu, dengan memiliki tiga kualitas ini … Perbuatan tidak baik melalui jasmani, perbuatan tidak baik melalui ucapan, dan perbuatan tidak baik melalui pikiran  …

“Dengan memiliki tiga kualitas ini … Perbuatan baik melalui jasmani, perbuatan baik melalui ucapan, dan perbuatan baik melalui pikiran  …”


153 (8 ) Celaka (4)

“Para bhikkhu, dengan memiliki tiga kualitas ini … Perbuatan tidak murni melalui jasmani, perbuatan tidak murni melalui ucapan, dan perbuatan tidak murni melalui pikiran   …

“Dengan memiliki tiga kualitas ini … Perbuatan murni melalui jasmani, perbuatan murni melalui ucapan, dan perbuatan murni melalui pikiran …”

154 (9) Penghormatan

“Para bhikkhu, ada tiga jenis penghormatan ini. Apakah tiga ini? Melalui jasmani, melalui ucapan, dan melalui pikiran. Ini adalah ketiga jenis penghormatan itu.”

155 (10) Pagi yang Baik

“Para bhikkhu, makhluk-makhluk yang melakukan perbuatan baik melalui jasmani, ucapan, dan pikiran di pagi hari memiliki pagi yang baik. makhluk-makhluk yang melakukan perbuatan baik melalui jasmani, ucapan, dan pikiran di sore hari memiliki sore yang baik. makhluk-makhluk yang melakukan perbuatan baik melalui jasmani, ucapan, dan pikiran di malam hari memiliki malam yang baik.”

   Sungguh menyenangkan dan menguntungkan,
   Fajar yang berbahagia dan siang yang penuh kegembiraan,
   Momen berharga dan jam yang penuh kebahagiaan
   Akan menghampiri mereka yang mempersembahkan dana
   Kepada mereka yang menjalani kehidupan spiritual.
   Perbuatan jasmani dan ucapan yang lurus,
   Pikiran dan aspirasi yang lurus:
   Ketika seseorang melakukan apa yang lurus
   Ia akan memperoleh manfaat yang lurus.
   Mereka orang-orang bahagia yang telah memperoleh manfaat demikian
   Akan tumbuh berkembang dalam ajaran Buddha.
   Semoga engkau dan sanak saudaramu
   Sehat dan berbahagia! [295]

VI. CARA-CARA PRAKTIK<609>

156 (1) [Penegakan Perhatian] <610>

“Para bhikkhu, ada tiga cara praktik ini. Apakah tiga ini? Cara praktik yang kasar, cara praktik yang melepuhkan, dan cara praktik jalan tengah.<611>

(1) “Dan apakah, para bhikkhu, cara praktik yang kasar? Di sini, seseorang menganut doktrin dan pandangan sebagai berikut: ‘Tidak ada pelanggaran dalam kenikmatan indria,’ dan kemudian ia menikmati kenikmatan-kenikmatan indria. Ini disebut cara praktik yang kasar.

(2) “Dan apakah cara praktik yang melepuhkan?<612> Di sini, seseorang bepergian dengan telanjang, melanggar kebiasaan, menjilat tangannya, tidak datang ketika diminta, tidak berhenti ketika diminta; ia tidak menerima makanan yang diserahkan dan tidak menerima makanan yang secara khusus dipersiapkan dan tidak menerima undangan makan; ia tidak menerima dari kendi, dari mangkuk, melintasi ambang pintu, melintasi tongkat kayu, melintasi alat penumbuk, dari dua orang yang sedang makan bersama, dari perempuan hamil, dari perempuan yang sedang menyusui, dari perempuan yang dipelihara oleh seorang laki-laki, dari mana terdapat pengumuman pembagian makanan, dari mana seekor anjing sedang menunggu, dari mana lalat beterbangan; ia tidak menerima ikan atau daging, ia tidak meminum minuman keras, anggur, atau minuman fermentasi.

“Ia mendatangi satu rumah [pada perjalanan menerima dana makanan], untuk satu suap makanan; ia mendatangi dua rumah, untuk dua suap; … ia mendatangi tujuh rumah, untuk tujuh suap. Ia makan satu mangkuk sehari, dua mangkuk sehari … tujuh mangkuk sehari. Ia makan sekali dalam sehari, sekali dalam dua hari … sekali dalam tujuh hari; dan seterusnya hingga sekali dalam dua minggu; ia berdiam dengan menjalani praktik makan pada interval waktu yang telah ditentukan.

“Ia adalah pemakan sayur-sayuran atau milet atau beras hutan atau kulit kupasan atau lumut atau kulit padi atau sekam atau tepung wijen atau rumput atau kotoran sapi.  Ia hidup dari akar-akaran dan buah-buahan di hutan; ia memakan buah-buahan yang jatuh.

“Ia mengenakan jubah yang terbuat dari rami, jubah dari kain campuran-rami, jubah dari kain pembungkus mayat, jubah dari potongan-potongan kain, jubah dari kulit pohon, jubah dari kulit rusa, jubah dari cabikan kulit rusa, jubah dari kain rumput kusa, jubah dari kain kulit kayu, jubah dari kain serutan kayu, mantel dari kain rambut [296] atau dari kain bulu binatang, penutup dari bulu sayap burung hantu.

“Ia adalah seorang yang mencabut rambut dan janggut, menekuni praktik mencabut rambut dan janggut. Ia adalah seorang yang berdiri terus-menerus, menolak tempat duduk. Ia adalah seorang yang berjongkok terus-menerus, senantiasa mempertahankan posisi jongkok. Ia adalah seorang yang menggunakan alas tidur berduri; ia menjadikan alas tidur berduri sebagai tempat tidurnya. Ia berdiam dengan menjalani praktik mandi tiga kali sehari termasuk malam hari. Demikianlah dalam berbagai cara ia berdiam dengan menjalankan praktik menyiksa dan menyakiti tubuhnya. Ini disebut cara praktik yang melepuhkan.

(3) “Dan apakah cara praktik jalan tengah? Di sini, seorang bhikkhu berdiam dengan merenungkan jasmani dalam jasmani, tekun, memahami dengan jernih, penuh perhatian, setelah melenyapkan kerinduan dan kesedihan sehubungan dengan dunia. Ia berdiam dengan merenungkan perasaan dalam perasaan … pikiran dalam pikiran … fenomena dalam fenomena, tekun, memahami dengan jernih, penuh perhatian, setelah melenyapkan kerinduan dan kesedihan sehubungan dengan dunia. Ini disebut cara praktik jalan tengah.

“Ini, para bhikkhu, adalah ketiga cara praktik itu.”

157 (2) – 162 (7) [Usaha Benar, dan seterusnya] <613>

“Para bhikkhu, ada tiga cara praktik ini. Apakah tiga ini? Cara praktik yang kasar, cara praktik yang melepuhkan, dan cara praktik jalan tengah.

(1) “Dan apakah, para bhikkhu, cara praktik yang kasar? … [seperti pada 3:156] … Ini disebut cara praktik yang kasar.

(2) “Dan apakah cara praktik yang melepuhkan? … [seperti pada 3:156] … Ini disebut cara praktik yang melepuhkan.

(1) “Dan apakah, para bhikkhu, cara praktik jalan tengah? Di sini, seorang bhikkhu membangkitkan keinginan untuk tidak memunculkan kondisi-kondisi buruk yang tidak bermanfaat yang belum muncul; ia berusaha, membangkitkan kegigihan, mengerahkan pikirannya, dan berjuang. Ia membangkitkan keinginan untuk meninggalkan kondisi-kondisi buruk yang tidak bermanfaat yang telah muncul … untuk memunculkan kondisi-kondisi bermanfaat yang belum muncul … untuk mempertahankan kondisi-kondisi bermanfaat yang telah muncul, untuk ketidak-mundurannya, meningkatkannya, memperluasnya, dan memenuhinya melalui pengembangan; [297] ia berusaha, membangkitkan kegigihan, mengerahkan pikirannya, dan berjuang …”

(158) “ … ia mengembangkan landasan kekuatan batin yang memiliki konsentrasi karena keinginan dan aktivitas-aktivitas berusaha. Ia mengembangkan landasan kekuatan batin yang memiliki konsentrasi karena kegigihan dan aktivitas-aktivitas berusaha … yang memiliki konsentrasi karena pikiran dan aktivitas-aktivitas berusaha … yang memiliki konsentrasi karena penyelidikan dan aktivitas-aktivitas berusaha ….”

(159) “ … ia mengembangkan indria keyakinan, indria kegigihan, indria perhatian, indria konsentrasi, indria kebijaksanaan …”

(160) “ … ia mengembangkan kekuatan keyakinan, kekuatan kegigihan, kekuatan perhatian, kekuatan konsentrasi, kekuatan kebijaksanaan …”

(161) “ … ia mengembangkan faktor pencerahan perhatian, faktor pencerahan pembedaan fenomena-fenomena, faktor pencerahan kegigihan, faktor pencerahan sukacita, faktor pencerahan ketenangan, faktor pencerahan konsentrasi, faktor pencerahan keseimbangan …”

(162) “ … ia mengembangkan pandangan benar, kehendak benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, perhatian benar, konsentrasi benar. Ini disebut cara praktik jalan tengah.

“Ini, para bhikkhu, adalah ketiga cara praktik itu.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku TIGA
« Reply #33 on: 27 January 2013, 03:40:32 AM »
VII. RANGKAIAN PENGULANGAN PERJALANAN KAMMA

163 (1) – 182 (20) <614>

(163) “Para bhikkhu, seseorang yang memiliki tiga kualitas akan ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana. Apakah tiga ini? (1) Ia sendiri membunuh, (2) mendorong orang lain untuk membunuh, dan (3) menyetujui tindakan membunuh. Seseorang yang memiliki tiga kualitas akan ditempatkan di neraka seolah-olah dibawa ke sana.”

(164) “Para bhikkhu, seseorang yang memiliki tiga kualitas akan ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana. Apakah tiga ini? (1) Ia sendiri meghindari membunuh, (2) mendorong orang lain untuk menghindari membunuh, dan (3) menyetujui tindakan menghindari membunuh. Seseorang yang memiliki tiga kualitas akan ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana.”

(165) “… (1) Ia sendiri mengambil apa yang tidak diberikan, (2) mendorong orang lain untuk mengambil apa yang tidak diberikan, dan (3) menyetujui tindakan mengambil apa yang tidak diberikan …”

(166) “… (1) Ia sendiri menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, (2) mendorong orang lain untuk menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, dan (3) menyetujui tindakan menghindari mengambil apa yang tidak diberikan …”

(167) “… (1) Ia sendiri melakukan hubungan seksual yang salah, (2) mendorong orang lain untuk melakukan hubungan seksual yang salah, dan (3) menyetujui tindakan melakukan hubungan seksual yang salah …”

(168) “… (1) Ia sendiri menghindari melakukan hubungan seksual yang salah, (2) mendorong orang lain untuk menghindari melakukan hubungan seksual yang salah, dan (3) menyetujui tindakan menghindari melakukan hubungan seksual yang salah …”

(169) “ … (1) Ia sendiri berbohong, (2) mendorong orang lain untuk berbohong, dan (3) menyetujui tindakan berbohong …”

(170) “ … (1) Ia sendiri menghindari berbohong, (2) mendorong orang lain untuk menghindari berbohong, dan (3) menyetujui tindakan menghindari berbohong …”

(171) “ … (1) Ia sendiri mengucapkan ucapan memecah belah, (2) mendorong orang lain untuk mengucapkan ucapan memecah belah, dan (3) menyetujui tindakan mengucapkan ucapan memecah belah …”

(172) “ … (1) Ia sendiri menghindari mengucapkan ucapan memecah belah, (2) mendorong orang lain untuk menghindari mengucapkan ucapan memecah belah, dan (3) menyetujui tindakan menghindari mengucapkan ucapan memecah belah …”

(173) “ … (1) Ia sendiri berbicara kasar, (2) mendorong orang lain untuk berbicara kasar, dan (3) menyetujui tindakan berbicara kasar …”

(174) “ … (1) Ia sendiri menghindari berbicara kasar, (2) mendorong orang lain untuk menghindari berbicara kasar, dan (3) menyetujui tindakan menghindari berbicara kasar …”

(175) “… (1) Ia sendiri bergosip, (2) mendorong orang lain bergosip, dan (3) menyetujui tindakan bergosip …”

(176) “… (1) Ia sendiri menghindari bergosip, (2) menghindari mendorong orang lain bergosip, dan (3) menyetujui tindakan menghindari bergosip …”

(177) “… (1) Ia sendiri penuh kerinduan, (2) mendorong orang lain untuk penuh kerinduan, dan (3) menyetujui kerinduan …”

(178) “… (1) Ia sendiri tanpa kerinduan, (2) mendorong orang lain untuk menjadi tanpa kerinduan, dan (3) menyetujui tanpa kerinduan …”

(179) “… (1) Ia sendiri memiliki niat buruk, (2) mendorong orang lain dalam niat buruk, dan (3) menyetujui niat buruk …”

(180) “… (1) Ia sendiri tanpa niat buruk, (2) mendorong orang lain agar tanpa niat buruk, dan (3) menyetujui tanpa niat buruk …”

(181) “… (1) Ia sendiri menganut pandangan salah, (2) mendorong orang lain dalam pandangan salah, dan (3) menyetujui pandangan salah …”

(182) “… (1) Ia sendiri menganut pandangan benar, (2) mendorong orang lain dalam pandangan benar, dan (3) menyetujui pandangan benar. Seseorang yang memiliki tiga kualitas akan ditempatkan di surga seolah-olah dibawa ke sana.”

VIII. RANGKAIAN PENGULANGAN NAFSU DAN SETERUSNYA<615>

183 (1)

“Para bhikkhu, demi pengetahuan langsung pada nafsu, maka tiga hal<616> harus dikembangkan. Apakah tiga ini? Konsentrasi kekosongan, konsentrasi tanpa gambaran, dan konsentrasi tanpa keinginan.<617> Demi pengetahuan langsung pada nafsu, maka tiga hal ini harus dikembangkan.”

184 (2) – 352 (170)

“Para bhikkhu, demi pemahaman penuh pada nafsu … demi kehancuran sepenuhnya … demi ditinggalkannya … demi hancurnya … demi hilangnya … demi peluruhan … demi lenyapnya … demi berhentinya … demi terlepasnya nafsu, maka tiga hal harus dikembangkan.

“Para bhikkhu, demi pengetahuan langsung … demi pemahaman penuh … demi kehancuran total … demi ditinggalkannya … demi hancurnya … demi hilangnya … demi peluruhan … demi lenyapnya … demi berhentinya … demi terlepasnya kebencian … delusi … kemarahan … permusuhan … pencemaran nama baik … menghina … iri … kekikiran … kecurangan … muslihat … kekeras-kepalaan … sifat berapi-api … keangkuhan … kesombongan … kemabukan … kelengahan, maka tiga hal harus dikembangkan. Apakah tiga ini? Konsentrasi kekosongan, konsentrasi tanpa gambaran, dan konsentrasi tanpa keinginan. Demi terlepasnya kelengahan, maka tiga hal ini harus dikembangkan.”

Ini adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Dengan gembira, para bhikkhu itu bersenang dalam pernyataan Sang Bhagavā.



Buku Kelompok Tiga selesai


Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku TIGA
« Reply #34 on: 27 January 2013, 03:42:15 AM »
Catatan Kaki

339 > Tulisan berbeda-beda pada berbagai edisi. Ce apadānasobhinī paññā, Be apadānasobhanī paññā, Ee apadāne sobhati paññā. Mp: “Maknanya adalah bahwa baik si dungu maupun si bijaksana masing-masing dikenali melalui perilakunya” (bālā ca paṇḍitā ca attano attano cariten’eva pākaṭā honti ti attho).

340 > Bālalakkhaṇāni bālanimittāni bālāpadānāni. Mp: “Ini adalah cara-cara mengenali.”

341 > Ee menghilangkan nasihat penutup ini dalam 3:3-7.

342 > Mp: “Yang bertentangan (ananulomike) berarti tidak selaras dengan ajaran. perbuatan jasmani yang bertentangan yang kasar adalah membunuh, dan sebagainya; atau [yang lebih halus] menyembah arah-arah atau memberikan persembahan kepada makhluk halus. Perbuatan ucapan yang bertentangan yang kasar adalah kebohongan, dan sebagainya; atau [yang lebih halus], jika seseorang tidak ingin memberi kepada orang lain, ia membohongi mereka dengan mengataakn bahwa ia tidak memiliki apa pun untuk diberikan. Perbuatan pikiran yang bertentangan yang kasar adalah merindukan, dan sebagainya; atau [yang lebih halus], menjelaskan suatu subjek meditasi dengan tidak benar.” Mp mengilustrasikan hal ini dengan kisah seorang bhikkhu yang terdapat pada Vism 296, 12-16, Ppn 9.6, yang mengajarkan seorang pemuda bermeditasi cinta kasih kepada istrinya. Sebagai akibatnya ia dikuasai oleh nafsu dan memukul tembok ruangan meditasinya sepanjang malam. Saya menerjemahkan ananulomikesu dhammesu sesuai dengan Mp, tetapi kata dhammesu juga dapat bermakna “ajaran,” dan adalah mungkin bahwa kata ini adalah maksud yang sebenarnya.

343 > Kasus ke dua, pemahaman pada keempat kebenaran mulia, menandai pencapaian memasuki-arus; yang ke tiga, hancurnya noda-noda, adalah pencapaian kearahattaan.

344 > Ini semuanya dianggap sebagai pekerjaan rendah yang hanya sesuai bagi kelompok sosial terendah. Kaum caṇḍāla adalah komunitas yang paling hina. Ce menghilangkan nesādakule vā, jelas suatu kekeliruan, karena Mp (baik Ce maupun Be) mengemas kata ini sebagai “keluarga pemburu rusa” (migaluddakānaṃ kule).

345 > Ce membaca macalappatto; Ee – macalapatto; Be acalappatto. Dalam 4:87 §1 kita menemukan samaṇamacalo, yang tentang ini baca p.1694, catatan 778. Di sini Mp menjelaskan: “Ketika yang tertua – seorang yang seharusnya dilantik tetapi masih belum dilantik – masih bayi, maka ia tidak memiliki keinginan untuk dilantik. Tetapi ketika ia mencapai usia enam belas dan janggutnya mulai tumbuh, ia disebut ‘seorang yang telah mencapai ketidak-goyahan.’ Ia mampu memerintah suatu wilayah yang luas, oleh karena itu [Sang Buddha] mengatakan ‘seorang yang telah mencapai ketidak-goyahan.’”

346 > Mp mengemas dhamma di sini sebagai ‘Dhamma sepuluh kamma bermanfaat” (dasakusalakammapathadhammo). Ini tentu saja terlalu sempit, tetapi jelas bahwa “Dhamma” di sini bukan berarti ajaran Sang Buddha. Melainkan, adalah prinsip kebaikan dan kebenaran universal yang diikuti oleh orang-orang bermoral dari berbagai keyakinan agamanya. Dengan berdasarkan pada Dhamma ini raja pemutar roda memberikan perlindungan baik budi (dhammika) kepada seluruh wilayahnya.

347 > Mp: “Ia memutar orda hanya dengan Dhamma dari sepuluh kamma bermanfaat.” Ce dan Be membaca kata kerja di sini sebagai vatteti, tetapi di bawah, sehubungan dengan Sang Buddha, sebagai pavatteti; Ee menuliskan pavatteti sehubungan dengan keduanya. Jika vatteti adalah tulisan aslinya, perubahan kata kerja ini mungkin dimaksudkan untuk menyiratkan bahwa raja pemutar roda tidak memulai aturan kebaikan melainkan melanjutkan dari warisan leluhurnya, sedangkan seorang Buddha memutar roda Dhamma yang belum diketahui sebelumnya.

348 > Kenaci manussabhūtena paccatthikena pāṇinā. Lit. “oleh makhluk jahat mana pun yang telah menjadi manusia.” Mp: “para dewa, dikatakan, dapat melakukan apa pun yang mereka inginkan. Oleh karena itu mereka tidak termasuk, tetapi ‘manusia’ disebutkan.” Ini berlawanan dengan Sang Buddha, yang rodanya tidak dapat diputar balik oleh makhluk apa pun juga termasuk para dewa.

349 > Demikianlah menurut Ce dan Ee. Be memberi nama Sacetana kepada raja ini.

350 > ABhisaṅkhārassa gati. Suatu penggunaan yang tidak biasa dari kata abhisaṅkhāra, yang dalam konteks yang lebih teknis menunjukkan aktivitas berkehendak yang menghasilkan kamma. Mp mengemas sebagai payogassa gamanaṃ, “pergerakan (atau disebabkan karena) usaha.”

351 > Mp: “seolah-olah terpasang pada sumbunya: seolah-olah sebatang poros telah dipasangkan sehingga roda itu berdiri diam.

352 > apaṇṇakapaṭipadaṃ. Mp memberikan serangkaian sinonim: “jalan yang tidak keliru, jalan pasti, jalan yang membebaskan, jalan penyebab, jalan penting, jalan yang indah, jalan yang tidak berlawanan, jalan yang kondusif, jalan yang sesuai Dhamma” (aviraddhapaṭipadaṃ ekaṃsapaṭipadaṃ niyyānikapaṭipadaṃ kāraṇapaṭipadaṃ sārapaṭipadaṃ maṇḍapaṭipadaṃ apaccaṇīkapaṭipadaṃ anulomapaṭipadaṃ dhammānudhammapaṭipadaṃi). Apaṇṇaka, dalam makna serupa, terdapat dalam AN pada 4:71, 4:72, dan 10:46. kata ini juga muncul pada judul MN 60. sehubungan dengan yoni c’assa āraddhā hoti āsavānaṃ khayāya, Mp menjelaskan bahwa yoni dapat berarti satu bagian dari kelompok unsur kehidupan, suatu penyebab, atau vagina (khandhakoṭṭhāsa, kāraṇa, pussāvamagga). Di sini, yang dimaksudkan adalah suatu penyebab.

353 > Pada SN 35:239, IV 175, 26-30, juga dikatakan bahwa melalui ketiga praktik ini “seseorang telah mendirikan kerangka kerja bagi hancurnya noda-noda.”

354 > Mātikādharā. Mp mengemas kata ini sebagai “ahli dalam kedua kerangka” (dvemātikādharā), yang diidentifikasikan oleh Mp-ṭ sebagai mātikā bhikkhu dan bhikkhunī (Pātimokkha bagi bhikkhu dan bhikkhunī) atau mātikā dari Vinaya dan Abhidhamma. Mātikā adalah daftar prinsip danpraktik yang secara sistematis menggambarkan Dhamma. Mātikādharā disebutukan satu kali dalam DN, dua kali dalam MN (dalam satu sutta), tidak ada sama sekali dalam SN, dan dua belas kali dalam AN, yang menyiratkan bahwa sutta-sutta yang merujuknya relatif belakangan, atau setidaknya telah dimodifikasi untuk mengakomodasinya. Tentang sifat dan peranannya, baca Warder 1980: 218-24.

355 > Untuk penjelasan formal atas ketiga jenis ini, baca MN 70.17-19, I 478,4-479,3. seluruh tiga kelompok adalah sekha yang dimulai dari pemasuk-arus hingga jalan Kearahattaan. Sebagai kelompok-kelompok umum, mereka berbeda, bukan dalam posisi relatifnya pada tujuan akhir, melainkan dalam indria spiritual yang dominant. Saksi tubuh (kāyasakkhī) menonjolkan konsentrasi dan mencapai “kebebasan-kebebasan tanpa bentuk yang damai.” Seorang yang mencapai pandangan (diṭṭhipatta) menonjolkan kebijaksanaan dan tidak mencapai kebebasan-kebebasan tanpa bentuk. Seorang yang terbebaskan melalui keyakinan (saddhāvimutta) menonjolkan keyakinan dan tidak mencapai kebebasan-kebebasan tanpa bentuk. Karena ketiga kelompok ini terdiri dari individu-individu yang berada pada tingkat berbeda-beda dari pemasuk-arus hingga jalan menuju Kearahattaan, maka individu-individunya tidak dapat dipastikan sebagai lebih tinggi atau lebih rendah hanya dengan berdasarkan pada kelompok tertentu. Untuk melakukan penilaian demikian, seseorang harus mengetahui posisi mereka dalam hal enam tingkat yang mereka capai masing-masing. Saksi tubuh, ketika mencapai Kearahattaan, menjadi “terbebaskan dalam kedua cara” (ubhatobhāgavimutta). Kedua lainnya menjadi “terbebaskan melalui kebijaksanaan” (paññāvimutta). Tentang kedua jenis Arahant, baca MN 70.15-16, I 477,24 – 478,3.

356 > Dalam Pāli, masing-masing peserta diskusi mengulangi pernyataan pembuka tentang ketiga individu sebelum mengungkapkan opininya sendiri. Untuk menghindari pengulangan, saya telah menghilangkan pengulangan ini.

357 > Ce menuliskan, hanya untuk kasus ini, “seorang yang mencapai pandangan adalah seorang Arahant atau seorang yang berlatih untuk mencapai Kearahattaan” (svāssa arahā vā arahattāya paṭipano). Be dan Ee, konsisten dengan kedua jenis sebelumnya, hanya menyebutkan bahwa orang ini sedang berlatih untuk mencapai Kearahattaan. Menurut penggolongan pada MN 70, seorang saksi tubuh, seorang yang terbebaskan melalui keyakinan, dan seorang yang mencapai pandangan belum sepenuhnya melenyapkan āsava dan oleh karena itu bukanlah Arahant.

358 > Okkamati niyāmaṃ kusalesu dhammesu sammattaṃ. Ini adalah ungkapan teknis yang menunjukkan kondisi memasuki jalan melampaui keduniawian. Mp: “jalan pasti [yang terdapat dalam] kebenaran dalam kualitas-kualitas bermanfaat: kebenaran dalam kualitas-kualitas bermanfaat yang terdapat dalam jalan memasuki sang jalan.” Walaupun “kebenaran dalam kualitas-kualitas bermanfaat” kedengarannya seperti pengulangan, namun apa yang dimaksudkan di sini adalah keharmonisan dan kekuatan dari kualitas-kualitas bermanfaat yang diperlukan untuk memasuki jalan memasuki-arus. Untuk penjelasan lebih lengkap tentang ungkapan ini dalam AN, baac 5:151-53 dan 6:86-88. baca juga SN 25.1-10, III 225-28, yang mengatakan bahwa dengan memasuki “jalan pasti kebenaran” (sammattaniyāma) maka seseorang memasuki bidang mulia dan menjadi seorang dhammānusārī atau saddhānusārī.

359 > Sabyābajjhaṃ kāyasaṅkhāraṃ abhisaṅkharoti, sabyābajjhaṃ vacīsaṅkhāraṃ abhisaṅkharoti, sabyābajjhaṃ manosaṅkhāraṃ abhisaṅkharoti. Mp mengemas sabyābajjhaṃ, “menyakitkan,” sebagai sadukkhaṃ, “dengan penderitaan.” “Aktivitas-aktivitas” adalah perbuatan-perbuatan berkehendak yang menciptakan kamma.

360 > Devā subhakiṇhā. Ini adalah para dewa di alam surga yang bersesuaian dengan jhāna ke tiga. Baca 4:123.

361 > Mp: “Mereka yang di alam rendah yang dirujuk di sini adalah para makhluk menderita yang memiliki istana-istana (vemānikapetā). Karena kadang-kadang mereka mengalami keberuntungan, kadang-kadang mereka mengalami kamma [menyakitkan] mereka; mereka mengalami campuran kenikmatan dan kesakitan.”

362 > Dengan memahami empat kebenaran mulia, yang dimaksudkan adalah pencapaian memasuki-arus. Hancurnya noda-noda, persis di bawah, menandai pencapaian Kearahattaan.

363 > Tattha tattha paññāya anuggahessāmi. Mp: “Seseorang membantu dengan kebijaksanaan kelompok perilaku bermoral dalam satu atau lain cara dengan cara menghindari hal-hal yang tidak selayaknya dan tidak membantu pada perilaku bermoral dan dengan cara melatih hal-hal yang selayaknya dan membantu [pada perilaku bermoral]. Metode yang sama berlaku untuk kelompok konsentrasi dan kebijaksanaan.” “Kelompok perilaku bermoral” (sīlakkhandha) dibicarakan dalam makna sekumpulan faktor-faktor yang membentuk perilaku bermoral, dan demikian pula dengan kelompok konsentrasi dan kebijaksanaan.

364 > Ini adalah definisi baku untuk ucapan salah di antara sepuluh kamma tidak bermanfaat, seperti pada 10:176 §4 dari bagian tidak bermanfaat. Penjelasan “ucapan bagaikan bunga” persis di bawah adalah definisi baku untuk ucapan jujur dalam bagian bermanfaat yang bersesuaian.

365 > Di sini membaca sama seperti Ce dan Be. dhammaṃ dari Ee jelas keliru.

366 > Mp menjelaskan kata majemuk ahaṇkāramamaṅkāramānānusayā sebagai “pembentukan-aku melalui pandangan-pandangan, pembentukan-milikku melalui ketagihan, dan kecenderungan tersembunyi pada keangkuhan. Ini adalah kekotoran-kekotoran sehubungan dengan diri sendiri dan orang lain.” Mp menjelaskan bahiddhā ca sabbanimittesu (“dan semua objek eksternal”) sebagai lima objek indria, pandangan eternalis (dan yang lainnya), individu-individu, dan Dhamma. Samādhi ini disebut buah pencapaian Kearahattaan (arahattaphalasamāpatti).

367 > Sn 1048. Pārāyana, bab ke lima dan terakhir dari Suttanipāta, merupakan suatu kisah latar belakang dan enam belas bagian yang dalam masing-masingnya Sang Buddha menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh murid-murid brahmana senior bernama Bāvāri. Syair-syair dari Pārāyana dicantumkan dan dijelaskan di tempat lain dalam AN dan Nikāya-nikāya lainnya, yang membuktikan keantikannya. Teks ini pasti telah ada sebagai suatu karya yang berdiri sendiri sebelum dimasukkan ke dalam Sn. Pārāyana adalah topik dari suatu komentar kanonis kuno, Cūḷaniddesa, yang termasuk dalam Khuddaka Nikāya.

368 > Ee menganggap sutta ini adalah bagian dari sutta sebelumnya dan dengan demikian memberikan satu nomor. Dalam Ce dan Be, yang saya ikuti, sutta ini adalah sutta terpisah. Dengan demikian mulai dari titik ini penomoran saya lebih satu daripada Ee.

369 > Sn 1106-7.

370 > Ini adalah suatu kiasan untuk ditinggalkannya kelima rintangan, yang empat di antaranya disebutkan di sini.

371 > Mp menganggap ini sebagai buah Kearahattaan yang berdasarkan pada jhāna ke empat, yang disiratkan oleh kalimat upekkhāsatisaṃsuddhaṃ, yang mengulang formula baku untuk jhāna ke empat.

372 > Ada beberapa perbedaan dalam tulisan: Ce diṭṭhe vā dhamme, upapajje vā, apare vā pariyāye; Be diṭṭhe vā dhamme upapajja vā apare vā pariyāye; Ee diṭṭh’ eva dhamme upapajje vā apare vā pariyāye. Mp mengatakan: “Ini disebutkan untuk menunjukkan bahwa kamma adalah [dari jenis] yang harus dialami dalam kehidupan ini, atau harus dialami dalam kelahiran kembali berikutnya, atau harus dialami dalam beberapa kehidupan mendatang.” Untuk penjelasan Abhidhamma tentang triad ini, baca CMA 205.

Beberapa orang terpelajar telah memperdebatkan dari berbagai tulisan bahwa hanya dua alternatif yang terlibat: apakah dalam kehidupan ini atau pada saat kelahiran kembali. Akan tetapi, saya menerjemahkan menurut pemahaman komentar. Sementara komentar mungkin memaksakan interpretasi belakangan pada teks-teks yang lebih kuno yang menegaskan hanya dua cara bagi kamma untuk matang, namun sebagai penerjemah saya merasa lebih bertanggung jawab pada teks yang telah disampaikan daripada teori-teori tentang teks kuno yang lebih asli. Pengakuan tiga masa matangnya lamma tidak eksklusif pada aliran Theravāda tetapi juga ditemukan dalalm naskah-naskah sistem Abhidharma Sarvāstivāda. Definisi ketiga jenis ini – misalnya, dalam Abhidharma Mahāvibhāṣā Ṥāstra pada T XXVII 592a22-593b8, dan dalam Abhidharmakośa pada T XXIX 81c10-16 – adalah persis sama dengan tradisi Pāli dan dengan demikian mendahului perpecahan aliran-aliran.

373 > Pernyataan ini harus diinterpretasikan dengan hati-hati. Bagi seorang Arahant – yang telah meninggalkan keserakahan, kebencian, dan delusi – kamma yang diciptakan sebelumnya, apakah baik atau buruk, masih mampu menjadi matang dalam kehidupan terakhirnya. Tetapi karena tidak ada lagi kelahiran kembali, bersama dengan kematiannya maka semua kamma yang terakumulasi sejak masa lampau menjadi mandul.  Dengan femikian maksud dari pernyataan ini bukanlah bahwa kamma masa lalu seorang Arahant tidak dapat menjadi matang selama Arahant itu masih hidup, melainkan bahwa kamma itu menjadi mandul bersama dengan kematian sang Arahant; karena tidak ada lagi rangkaian kehidupan yang didalamnya buah kamma itu dapat muncul.

Brahmāli menuliskan: “Pasti ada perbedaan antara ‘ketidak-serakahan’ (alobha) dan situasi ketika ‘keserakahan telah dilenyapkan’ (lobhe vigatai). Yang pertama pasti merujuk pada motivasi di balik perbuatan tertentu, sedangkan yang terakhir merujuk pada tercabutnya keserakahan sepenuhnya, yang dicapai hanya oleh yang-tidak-kembali atau bahkan oleh Arahant. Hanya dalam makna perbedaan ini maka pernyataan ini menjadi masuk akal.

374 > Saya bersama Ce dan Be membaca mohajañ cāpaviddasu, tidak seperti Ee mohajañ cāpi’viddasu. Mp (baik Ce maupun Be) juga membaca mohajañ cāpaviddasu, yang dipecah menjadi mohajañcāpi aviddasu. Maknanya dituliskan sebagai berikut: “Kamma apa pun yang diciptakan oleh kaum duniawi yang buta dan dungu adalah muncul dari keserakahan, kebencian, dan delusi – apakah kamma yang dirancang itu kecil atau besar – harus dialami di sini (idheva taṃ vedaniyaṃ), yaitu, harus dialami oleh si dungu itu di sini dalam penjelmaannya yang ini (idha sake attabhāveyeva); ini berarti bahwa kamma itu matang dalam penjelmaan individunya itu. Tidak ada tempat lain [baginya] (vatthuṃ aññaṃ na vijjati): tidak ada tempat lain bagi matangnya kamma itu; karena kamma itu dilakukan oleh seseorang tidak akan matang dalam penjelmaan orang lain.”

375 > Tasmā lobhaṃ ca dosaṃ ca, mohajaṃ cāpi viddasu. Ee membaca pāda terakhir mohañ cāpi ‘viddasu, yang kehilangan satu suku kata. Teks memang  kurang kata kerja dan mengarahkan objek yang dirujuk oleh mohajaṃ. Mp menyediakan ini dalam kalimatnya: “Oleh karena itu seorang bijaksana tidak melakukan kamma yang muncul dari keserakahan dan seterusnya” (yo vidū … taṃ lobhajādibedhaṃ kammaṃ na karoti). Terlihat bahwa Mp menganggap lobhaṃ dan dosaṃ sebagai bentuk yang terpotong dari lobhajaṃ dan dosajaṃ, dan saya menerjemahkannya sesuai itu. Untuk kata kerja, saya melihat jahe dari pāda d untuk secara implicit menjangkau pāda a dan b, dengan demikian melakukan pelayanan ganda.

376 > Baca 1:251.

377 > Antaraṭṭhako himapātanasamayo. Mp: “Periode delapan hari ketika salju turun. Yaitu empat terakhir dari bulan Maghā dan empat hari pertama bukan Phagguna (sekitar pertengahan Feburari).”

378 > Syair serupa diucapkan kepada Anāthapiṇḍika pada SN 10:8, I 212.

379 > Sebuah versi sutta ini pada MN, tetqapi dengan empat utusan surgawi, yang dimulai dari kelahiran.

380 > Mp: “Orang tua, orang sakit, dan mayat disebut ‘utusan-utusan surgawi’ (devadūta) karena mendorong munculnya rasa keterdesakan, seolah-olah memperingatkan seseorang: ‘Sekarang engkau harus pergi menuju kematian.’”
« Last Edit: 27 January 2013, 03:57:07 AM by Indra »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku TIGA
« Reply #35 on: 27 January 2013, 03:42:54 AM »
381 > Legenda dewa kematian dan hakim bagi takdir masa depan seseorang.

382 > Bersama dengan Ce membaca dukkhā tibbā khaṭukā vedanā. Be dan Ee menambahkan kata sifat ke empat, kharā.

383 > Bersama dengan Ee membaca khemappattā sukhitā. Ce te khoppattā sukhitā dan Be te appamattā sukhino keduanya adalah kekeliruan.

384 > Hari ke delapan dari dwimingguan adalah hari bulan seperempat, baik pada periode bulan mengembang maupun menyusut. “Empat Raja Dewa” (catumahārājāno) adalah para penguasa di alam terendah dari enam alam surga indria, alam terdekat dengan manusia. Kita melihat suatu tingkatan berurutan di sini: pada hari ke delapan, para menteri dan anggota kelompok (amaccā pārisajjā) memeriksa dunia; pada hari ke empat belas (hari sebelum bulan purnama dan bulan baru), para putera (puttā) mereka memeriksa dunia; dan pada hari ke lima belas, bulan purnama sebenarnya dan hari-hari bulan baru, keempat raja dewa sendiri memeriksa dunia.

385 > Mp: “Ketika mereka menjalankan uposatha, mereka menjalankan faktor-faktor uposatha delapan kali setiap bulan. Menjalankan hari-hari pelaksanaan tambahan (paṭijāgaranti), dalam satu dwimingguan mereka melakukannya dengan mengantisipasi dan melanjutkan (paccuggamanānugamana) empat hari uposatha. Mengantisipasi uposatha ke lima, mereka menjalankan uposatha ke empat; dan melanjutkan, pada hari ke enam. Mengantisipasi uposatha ke delapan, mereka menjalankan uposatha ke tujuh; dan melanjutkan, pada ke sembilan. Mengantisipasi uposatha ke empat belas, mereka menjalankan uposatha ke tiga belas; dan melanjutkan, pada ke lima belas, mereka menjalankan uposatha pada awal [dari dwimingguan berikutnya]. Mereka melakukan perbuatan berjasa (puññāni karonti) dalam berbagai cara: dengan menerima perlindungan, secara konstan menjalankan sīla, mempersembahkan bunga, mendengarkan Dhamma, mempersembahkan pelita, membangun tempat tinggal, dan sebagainya. Setelah mengembara berkeliling, [para menteri dan anggota kelompok] menuliskan nama-nama para pelaku jasa pada selembar emas dan menyerahkannya kepada empat raja dewa.” Untuk penjelasan kanonis tentang pelaksanaan uposatha, baca 3:70 dan 8:41, 8:42.

386 > Saya mengikuti Be yang bertentangan dengan Ce dan Ee dalam pembagian antara sutta ini dan sutta berikutnya. Ce dan Ee menganggap kalimat ini sebagai awal dari 3:38 (No. 37 dalam skema Ee) dan narasi ke dua yang dimulai dengan bhūtapubbaṃ bhikkhave (“Para bhikkhu, suatu ketika di masa lampau”) – beberapa paragraf di bawah – sebagai kelanjutan dari sutta itu. Akan tetapi, Be menganggap narasi pertama tentang Sakka sebagai kelanjutan dari 3:37, dan narasi ke dua menandai awal dari 3:38. sebuah paralel China, SĀ 1117 (T II 295c10 – 296a23), sepakat dengan Be dalam hal inin tetapi menggabungkan menjadi satu kedua pernyataan tentang Sakka dan bhikkhu yang terbebaskan.

387 > Pāṭihāriyapakkha. Mp mengatakan mereka menjalankan pelaksanaan uposatha berkesinambungan selama tiga bulan penuh musim hujan (antovasse temāsaṃ); jika mereka tidak dapat melakukannya, maka mereka harus menjalankannya selama satu bulan penuh setelah musim hujan, antara kedua hari undangan, atau setidaknya selama periode dua minggu setelah hari undangan pertama. “Undangan” (pavāraṇa) adalah kegiatan, di akhir musim hujan, ketika para bhikkhu dan bhikkhunī “mengundang” (pavāreti) teman-temannya untuk menunjukkan segala pelanggaran dalam perilaku mereka selama musim hujan. Spk I 307, 9-16, mengomentari pāṭihāriyapakkha pada SN 10:5, I 208, 27, menjelaskan kata ini dalam makna luas (baca CDB, p.480, catatan 573).

388 > Be memperlakukan kalimat ini sebagai awal dari 3:38. Anehnya, Be memberi judul ini “Yang Ke Dua tentang Empat Raja Dewa” walaupun sutta tidak menyebutkan hal ini.

389 > Mp mendefinisikan paduma sebagai teratai putih (paṇḍarapadumaṃ) dan puṇḍarika sebagai teratai merah (rattapadumaṃ). Akan tetapi, SED mendefinisikan puṇḍarika sebagai “bunga teratai (khususnya teratai putih),” dengan menambahkan bawa kata itu juga digunakan dalam arti “putih” secara umum. Banyak website juga mendefinisikan puṇḍarika sebagai teratai putih.

390 > Kāsi adalah salah satu dari enam belas Negara besar di India, dengan ibu kota Bārāṇasī.

391 > Ini adalah ketiga musim di India utara: musim dingin berlangsung sekitar November hingga Maret, musim panas dari Maret hingga Juli, dan musim hujan dari Juli hingga November. Mp mengatakan bahwa istana musim dingin bertingkat sembilan, yang rendah untuk mempertahankan panas; istana musim panas bertingkat lima, yang tinggi agar udara menjadi sejuk; dan istana musim hujan bertingkat tujuh, yang tidak tinggi juga tidak rendah untuk memberikan temperatur sedang.

392 > Nippurisehi. Mp mengatakan bahwa bukan hanya para musisi, melainkan semua posisi dalam istana ditempati oleh para perempuan (itthiyo). Demikianlah selama empat bulan kaum laki-laki tidak dapat menemuinya.

393 > Attānaṃyeva atisitvā. Atisitvā adalah bentuk absolutif dari atisarati. Baca DOP sv atisarati.

394 > Ee menganggap kalimat ini menandai awal dari sutta baru, 3:39 dalam penomorannya. Tetapi Ce dan Be, yang saya ikuti, memperlakukan paragraf ini sebagai kelanjutan dari sutta yang dimulai ingatan Sang Buddha tentang pertumbuhannya yang lembut. Dalam Ce dan Be, keseluruhan sutta ini adalah 3:39, sehingga pada titik ini penomoran dalam seluruh tiga edisi menjadi bersesuaian.

395 > Pāda ke tiga tidak jelas: yathā dhammā tathā santā. Saya menerjemahkannya secara literal. Dalam menjelaskan pāda ke empat, Mp menambahkan parapuggalaṃ sebagai objek dari kata kerja jigucchanti.

396 > Ce dan Be membaca nekkhamme daṭṭhu khemataṃ. Ee menuliskan nekkhammaṃ daṭṭhu khemato sebagai bacaan utama tetapi menyebutkan variasi Ce dan BE dalam catatannya. MP (baik Ce maupun Be) menggunakan tulisan Ce dan Be sebagai lemma, yang dikemas dalam nibbāne khemabhāvaṃ disvā, tetapi kemudian mengutip tulisan Ee sebagai variasi, dikemas nibbānaṃ khemato disvā. Demikianlah di sini Ee telah memiliki variasi tersebut sebagai bacaan utama.

397 > Mp mengatakan bahwa syair ini merujuk pada kegigihanNya sendiri ketika muncul sewaktu Beliau sedang duduk di bawah pohon bodhi.

398 > Dalam Pāli: attādhipateyyaṃ lokādhipateyyaṃ dhammādhipateyyaṃ. Walaupun Bucknell (2004) tidak mencantumkan paral China dari sutta ini dalam daftar, tetapi secara kebetulan saya menemukan sebuah paralel yang terdapat dalam *Śāriputrābhidharmaśāstra, pada T XXVIII 679c22-680a27. walaupun bagian prosa di sana lebih sederhana daripada yang terdapat dalam Pāli, namun keduanya pada intinya menyampaikan makna yang sama. Syair-syairnya, dengan pengecualian syair terakhir, bersesuaian sangat erat.

399 > Na itibhavābhavahetu. Mp menganggap bahwa vokal panjang yang menghubungkan kedua kata bhava sebagai menyiratkan pengulangan, bukan negasi: “Bukan demi penjelmaan yang makmur di masa depan ini atau itu, [dengan harpan]: ‘[Semoga aku mendapatkan] penjelmaan ini [atau] penjelmaan itu’” (iti bhavo, iti bhavo ti evaṃ āyatiṃ na tassa tassa sampattibhavassa hetu).

400 > Attā te purisa jānāti saccaṃ vā yadi vā musā. Mp: “Engkau sendiri yang mengetahui, apa pun yang engkau lakukan, apakah bersifat ini atau itu. Karena alasan ini, harus dimengerti bahwa, bagi seorang yang melakukan perbuatan jahat, maka tidak ada tempat di dunia ini yang dapat disebut ‘tersembunyi.’”

401 > Versi Pāli tidak jelas di sini dan Mp tidak membantu dalam memecahkan kesulitan ini. Paralel China (pada 680a20-21, tetapi mengikuti tulisan Song, Yuan, Ming) menuliskan (MANDARIN). Ini menyampaikan hal yang agak berbeda, yang saya terjemahkan: “Seorang yang mengatakan ‘ini tidak salah’ adalah lebih baik, karena dengan begitu ia tidak merusak dirinya sendiri. Jika suatu pelanggaran terjadi dan ia mengetahuinya, tidak menyembunyikannya.”

402 > Versi China (pada 680a26-27) agak berbeda: (MANDARIN) saya menerjemahkan: “Setelah melenyapkan dan meninggalkan keenam organ indria, ia mengakhiri penderitaan dan tidak mengambil penjelmaan [lainnya]. Setelah meninggal dunia, ia tidak kembali, karena selamanya terbebaskan dari kelahiran dan kematian.”

403 > Mp menjelaskan “mengalami makna” (atthapaṭisaṃvedī) sebagai “mengalami dengan pengetahuan penjelasan makna (atau komentar)” (aṭṭhakathaṃ ñāṇena paṭisaṃvedī) dan “mengalami Dhamma” (dhammapaṭisaṃvedī) sebagai “mengalami Dhamma dari teks kanonis” (pāḷidhammaṃ paṭisaṃvedī). Hal ini jelas belakangan menimbulkan perbedaan pada kata-kata lama. Akan tetapi, walaupun kedua kata sering kali berpasangan, namun perbedaan yang tepat antara attha dan dhamma tidak dapat dengan jelas ditarik dari Nikāya-nikāya. Sebenarnya, masing-masing kata ini ambivalen dan dengan demikian nuansanya yang berbeda mempersulit hubungannya lebih jauh lagi. Attha dapat menyiratkan makna, manfaat, kebaikan, dan tujuan; dhamma dapat menyiratkan ajaran, sistem praktik, sifat segala sesuatu, dan kebenaran yang ditunjukkan oleh ajaran. Dengan demikian pertentangan antaar dhamma dan attha dapat dilihat dari perbedaan antara ajaran yang diformulasikan dan maknanya, antara praktik dan tujuannya, dan antara ajaran dan manfaat yang dihasilkan.

404 > Mp menjelaskan santānaṃ brahmacārinaṃ sebagai merujuk pada mereka yang menyokong orang tua mereka (idha pana mātāpitu-upaṭṭhākā adhippetā), tetapi saya melihat ungkapan ini sebagai merujuk pada monastik, apakah sebagai penerima pelayanan (upaṭṭhānaṃ) atau penerima pemberian (dānaṃ) yang disebutkan dalam pāda a. Mp lebih lanjut menafsirkan santānaṃ sebagai bentuk genitif jamak dari sant, “baik, bermoral” (Mp: uttamaṭṭhena santānaṃ), tetapi lebih mungkin sebagai “damai,” dari Skt śānta. Santānaṃ brahmacārinaṃ juga terdapat dalam SN 1:10, I 5,4, di mana Spk I 28,2 mengemasnya sebagai santakilesānaṃ paṇḍitānaṃ vā, “mereka yang dengan kekotoran-kekotoran ditenangkan atau para bijaksana.” Paralel China SĀ 995 (pada T II 260c29) menuliskan (MANDARIN), yang berarti bahwa dalam terjemahan ini santānaṃ berasal dari Skt śāntanaṃ.

405 > Saṅkhatassa saṅkhatalakkhaṇāni. Lit. “tiga karakteristik terkondisi dari yang terkondisi.” Dan di bawah asaṅkhatassa asaṅkhatalakkhaṇāni, lit. “tiga karakteristik tak terkondisi dari yang tak terkondisi.” Saya menerjemahkan ungkapan-ungkapan ini dengan cara di mana saya harus menghindari memberikan kesan keliru bahaw karakteristik-karakteristik itu adalah terkondisi atau tidak terkondisi. Melainkan intinya adalah bahwa karakteristik-karakteristik itu menentukan yang terkondisi dan yang tak terkondisi seperti demikian.

406 > Saya mengikuti Be dalam membuat pernyataan-pernyataan tentang karakteristik-karakteristik yang tak terkondisi dan yang tak terkondisi  menjadi dua bagian dari satu sutta. Ce dan Be menganggapnya sebagai sutta-sutta terpisah dan dengan demikian menghitung sebelas sutta dalam vagga ini. Syair uddāna memasukkan “saṅkhataṃ” tetapi tidak “asaṅkhataṃ,” yang tampaknya mendukung Ee. Pada titik ini, penomoran saya bersesuaian dengan Ee tetapi kurang satu dari Be (Ce tidak menomori sutta secara berkelanjutan melainkan memulai tiap-tiap vagga dengan “1”). Yang menarik, paralel China EĀ 22.5 (pada T II 607c13-c23) hanya menyebutkan karakteristik-karakteristik dari yang terkondisi, tidak ada bagian yang bersesuaian tentang karakteristik-karakteristik dari yang tak terkondisi.

407 > Bersama dengan Ce membaca gedhaṃ (PED sv gedha) berlawanan dengan Be dan Ee rodhaṃ (tepi).

408 > Pada SN 1:3, I 2, syair ini diucapkan oleh sesosok dewata, yang kemudian “dikoreksi” oleh Sang Buddha dengan syair  yang memohon agar “pencari kedamaian” untuk “menjatuhkan umpan dunia” (lokāmisaṃ pajahe santipekkho).

409 > Ini dan syair sebelumnya terdapat pada SN 1:41, I 31.

410 > Sandiṭṭhiko dhammo.

411 > Kukkuṭasampātikā. Mp: “’Ayam-ayam jantan’ terbeang di antaranya’ (kukkuṭasampāto) adalah ayam-ayam jantan yang terbang dari atap rumah di satu desa kea tap rumah di desa lain. Karena disituasikan demikian, maka dikatakan bahwa desa-desa itu ‘begitu berdekatan sehingga ayam-ayam jantan dapat terbang di antaranya.’ Juga ada tulisan kukkuṭasampādikā (‘begitu dekat sehingga ayam-ayam jantan dapat berjalan di antaranya’). ‘Ayam-ayam jantan berjalan di antaranya;’ (kukkuṭasampādo) adalah ayam-ayam jantan yang berjalan kaki dari satu desa ke desa lain. Karena disituasikan demikian, maka dikatakan bahwa desa-desa itu ‘begitu berdekatan sehingga ayam-ayam jantan dapat berjalan di antaranya.’”

412 > Tanuttaṃ paññayati. Lit. “berkurangnya [manusia] terlihat.”

413 > Gāmāpi agāmā honti, nigamāpi anigamā honti, nagarāpi anagarā honti, janapadāpi ajanapadā honti. Lit, “desa-desa menjadi bukan desa-desa, pemukiman-pemukiman menjadi bukan pemukiman-pemukiman, kora-kota menjadi bukan kota-kota, dan propinsi-propinsi menjadi bukan propinsi-propinsi.”

414 > Mp: “Nafsu terlarang (adhammarāga): Nafsu secara eksklusif adalah berlawanan dengan Dhamma (adhamma), tetapi bukan ‘nafsu terlarang’ jika muncul sehubungan dengan kepemilikian diri sendiri. Ini menjadi ‘nafsu terlarang’ ketika muncul sehubungan dengan kepemilikian orang lain. Walaupun keserakahan sesungguhnya tidak pernah layak, namun keserakahan yang muncul karena suatu objek yang menjadi milik diri sendiri disebut keserakahan yang selayaknya. Keserakahan yang muncul karena suatu objek yang menjadi milik orang lain disebut keserakahan yang tidak selayaknya. Dhamma palsu (micchādhamma): kegemaran dalam apa yang bukan landasan.” Mp-ṭ: “Kegemaran dalam suatu landasan nafsu (rāgassa vatthuṭṭhānaṃ) selain dari apa yang dianggap baik oleh standar duniawi.”

415 > Bersama dengan Be, Ee, dan Mp (Ce dan Be) saya membaca: yakkhā vāḷe amanusse ossajjanti. Ce dari AN menuliskan manusse untuk amanusse. Yakkha adalah makhluk-makhluk halus kejam, kadang-kadang digambarkan sebagai sedang membunuh manusia dan melahapnya, tetapi juga mampu berbuat baik dan bahkan merealisasi Dhamma. Mp: “’Yakkha’ adalah para yakkha penguasa. Mereka melepaskan para yakkha sengit di jalan-jalan manusia, dan ketika [para yakkha] ini memperoleh kesempatan, mereka membunuh orang-orang” (yakkhā ti yakkhādhipatino. Vāḷe amanusse ossajjantī[/i] ti caṇḍayakkhe manussapathe vissajjenti, te laddhokāsā mahājanaṃ jīvitakkhayaṃ pāpenti). Walaupun saya mengikuti Mp, namun saya bertanya-tanya apakah tulisan yang lebih asli dari teks ini akan menafsirkan kata kerja ini sebagai bentuk pasif dan menempatkan semua bentuk substantif dalam bentuk jamak nominatif: yakkhā vāḷā amanussā ossajjanti. “Para yakkha – buas, bukan manusia – dilepaskan.”

416 > KAcci te bhoto gotamassa vuttavādino ca bhavantaṃ gotamaṃ abhūtena abbhācikkhanti, dhammassa cānudhammaṃ byākaronti, na ca koci sahadhammiko vādānupāto gārayhaṃ thānaṃ āgacchati. Demikianlah seluruh tiga edisi, tetapi beberapa variasi menuliskan vādānuvādo pada tempat vādānupāto. Saya membahas formula ini secara terperinci dalam CDB, p. 747, catatan 72, tetapi sekarang saya meyakini bahwa komentar Pāli keliru dalam menganggap vādānupāta (atau vādānuvāda) sebagai bermakna “akibat dari pernyataan mereka.” Sekarang saya mengartikan kata ini hanya sebagai sinonim dari gārayhaṃ ṭhānaṃ.” Untuk mendukung perubahan ini, baca 5:5, di mana sahādhammikā vādānuvādā gārayhā ṭhānā āgacchanti dan lawannya, sahadhammikā pāsaṃsā ṭhānā āgacchanti, muncul tanpa referensi pada penegasan mana pun yang sebelumnya.

Paralel China untuk sutta sekarang ini mendukung interpretasi ini. SĀ 95 (pada T II 256a11-14) membaca (MANDARIN) (“Bagaimanakah? Gotama, apakah ia yang mengatakan hal ini mengatakan yang sebenarnya? Apakah ini adalah kasus bahwa ia salah menafsirkan Gotama? Apakah ia mengatakan sesuai dengan apa yang telah dikatakan, sesuai dengan Dhamma, selaras dengan Dhamma, sehingga orang-orang tidak dapat mengkritiknya sehubungan dengan Dhamma yang sama itu?”. Paralel lainnya pada T II 493b19-21 serupa, dengan tidak ada yang bersesuaian dengan “akibat dari suatu pernyataan.”

417 > Mp mengatakan bahwa “para suci” (sante) adalah orang-orang tertinggi (uttamapurise): para Buddha, Paccekabuddha, dan Arahant.

418 > Sappaññe dhīrasammate. Mp mengemas ini seolah-olah bermakna “dihargai, dihormati, oleh yang terpelajar” (paṇḍitehi summate sambhāvite), tetapi saya menganggap dhīrasammate sebagai bermakna “dihargai, dihormati, sebagai orang bijaksana.”

419 > Syair ini, yang juga muncul sebagai Dhp 423a-d, menyiratkan tiga pengetahuan.

420 > Mp: Yañña adalah “sesuatu untuk diberikan” (deyyadhamma; walaupun ini telah tercakup oleh poin ke empat); saddha (Skt śrāddha), “makanan untuk mengenang yang mati” (matakabhattaṃ); thālipāka, “makanan untuk diberikan kepada orang-orang baik” (varapurisānaṃ dātabbayuttaṃ bhattaṃ, tetapi menurut SED sv sthālī, sthālīpāka secara lebih spesifik adalah sepiring bubur barley atau nasi yang dimasak dengan susu yang dipersembahkan sebagai suatu persembahan); dan deyyadhamma, “apa pun lainnya yang dapat diberikan.”
« Last Edit: 27 January 2013, 03:55:44 AM by Indra »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku TIGA
« Reply #36 on: 27 January 2013, 03:44:04 AM »
421 > Anuttaraṃ brahmacariyogadhaṃ. Mp: “Nibbāna adalah ‘puncak kehidupan spiritual yang tidak terlampaui,’ penyokong tertinggi bagi kehidupan spiritual, yang merupakan jalan menuju Kearahattaan” (arahattamaggasaṅkhātassa brahmacariyassa anuttaraṃ ogadhaṃ uttamapatiṭṭhābhūtaṃ nibbānaṃ). Dalam MN 44.29, I 304,21-22, nibbānogadhaṃ digunakan bersama-sama dengan nibbānaparāyanaṃ dan nibbānapariyosānaṃ, yang menyiratkan bahwa ketiga kata ini adalah bersinonim. It-a I 112,11-12, mengemas nibbānogdhadāmī ( frasa yang sama seperti dalam AN) dengan nibbānasaṅkhātaṃ ogadhaṃ patiṭṭhaṃ pāraṃ gacchati (“Ini pergi ke pantai seberang, penyokong, puncak yang terdapat dalam nibbāna”). Penjelasan ini, yang konsisten dengan komentar-komentar lainnya, mendukung terjemahan saya atas nibbānogadha di sini sebagai “memuncak dalam nibbāna” bukan sebagai “melompat ke dalam nibbāna,” suatu terjemahan yang digunakan oleh para penerjemah lain. Terjemahan saya atas amatogadha dalam CDB (seperti pada SN 45:139, 46:184, 48:42, dan sebagainya) sebagai “dengan kematian sebagai dasarnya” adalah tidak memuaskan. Saya berterima kasih kepada Vanarata atas komentarnya pada kata ini.

422 > Mp: “Ia tidak ingin menjawab pertanyaan Ānanda, maka ia mencoba mengalihkan diskusi dengan kata-kata pujian.”

423 > Iddhipāṭihāriyaṃ ādesanāpāṭihāriyaṃ anusāsanīpāṭihāriyaṃ. Juga terdapat pada DN 11.3-8, I 212-14.

424 > Nimittena ādisati. Mp menjelaskannya seolah-olah ini berarti suatu petunjuk yang tidak berhubungan dengan situasi ini, tetapi ini mungkin merupakan isyarat atau ekspresi wajah – apa yang sekarang kita kenal sebagai “bahasa tubuh” – yang mengungkapkan kondisi pikiran seseorang kepada pengamat yang terampil.

425 > Vitakkavipphārasaddaṃ sutvā. Mp: “Setelah mendengar suara dari mereka yang mengigau atau pikun, yang [suaranya] muncul melalui pancaran pikiran.” Saya curiga bahwa Mp melewatkan intinya. Karean contoh dalam sutta bergerak dari yang kasar ke yang halus, yang ini seharusnya lebih halus daripada yang sebelumnya. Saya pikir apa yang dimaksudkan adalah suara halus yang mungkin terpancar melalui pikiran namun tidak diungkapkan secara verbal.

426 > Ini pasti merujuk pada seseorang yang berada dalam jhāna ke dua atau lebih tinggi.

427 > Mp memberikan contoh: “Pikiran memikirkan ketanpa-keinginan, bukan pikiran-pikiran indriawi, dan sebagainay. Memperhatikan gagasan ketidak-kekalan, dan sebagainya, bukan pada kekekalan, dan sebagainya. Meninggalkan nafsu pada kenikmatan indria dan memasuki jalan dan buah yang melampaui keduniawian.”

428 > Āsajja upanīya vācā bhāsitā. Āsajja biasanya berarti “setelah menyerang,” tetapi makna ini tampaknya terlalu keras di sini. Mp hanya mengubah kalimat tanpa memberikan banyak bantuan: “Kata-kata yang engkau ucapkan menyinggung moralitasKu dan mencampuri wilayah moralitasKu” (mama guṇe ghaṭṭetvā mam’eva guṇānaṃ santikaṃ upanītā vācā bhāsitā). Oleh karena itu saya mengasumsikan bahwa kata-kata itu, tanpa merasa terhina, dianggap tidak layak karena mengajukan pertanyaan pribadi.

429 > “Pendirian sektarian” diterjemahkan dari titthāyatanāni, lit. “landasan-landasan bagi sekte-sekte.” Kata tittha (Skt tīrtha) adalah enam puluh dua pandangan (baca DN 1.1.29-3.29, I 12-39); para pendiri sekte-sekte (titthakara) adalah merek yang memformulakan pandangan-pandangan itu; dan para pengikut sekte-sekte (titthiy) adalah mereka yang menyetujui pandangan-pandangan itu. Para guru besar dalam Jainisme disebut dalam Skt tīrthaṅkara.

430 > Parampi gantvā akiriyāya saṇṭhahanti. Mp mengemas paraṃ sebagai paramparā, “silsilah”: “Bahkan jika mereka telah mendatangi salah satu dari ketiga jenis silsilah, silsilah guru-guru, silsilah kepercayaan-kepercayaan, dan silsilah dari kehidupan individual [seseorang]” (ācariyaparamparā laddhiparamparā attabhāvaparamparā ti etesu yaṃkiñci paramparaṃ gantvā pi). Adalah sulit untuk melihat bagaimana hal ini dapat berhubungan dengan konteks. Karena paraṃ juga dapat bermakna “nanti, lebih jauh, setelahnya,” tampaknya poin yang sedang disampaikan adalah bahwa posisi-posisi ini, jika diperluas, akan berakhir dalam tidak-berbuat. Dengan berdasarkan pada pemahaman ini, maka saya menerejmahkan parampi gantvā sebagai “dibawa menuju kesimpulan.” Saṇṭhahanti adalah, secara lebih literal, “berhenti pada.”

431 > Ini secara berturut-turut adalah doktrin-doktrin dari Jainisme, Theistik, dan tanpa-penyebab, sebuah doktrin yang ditempat lain dianggap berasal dari Makkhali Gosāla (baca 1:319, 3:137).

432 > Mp: “Mereka berpendapat bahwa seseorang mengalami perasaan-perasaan secara eksklusif disebabkan oleh kamma yang dilakukan di masa lalu.” Sehubungan dengan hal ini, baca SN 36:21, IV 230-31, di mana Sang Buddha menjelaskan delapan penyebab bagi penyakit atau penderitaan, hanya salah satunya yang merupakan kematangan kamma masa lalu. Brahmāli menulis: “Poinnya di sini tampaknya adalah bahwa masing-masing dari cara berbuat tidak bermanfaat ini berhubungan dengan perasaan-perasaan tertentu, dan bahwa perasaan-perasaan (atau pengalaman-pengalaman) itu hanya dapat dialami melalui perbuatan-perbuatan itu. Yang berlanjut dengan jika kammamu adalah sedemikian sehingga engkau harus mengalami perasaan-perasaan yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan buruk itu, maka engkau harus melakukannya.” Hal yang sama, dengan perubahan seperlunya, berlaku pada kedua pendirian berikutnya, yaitu, aktivitas Tuhan pencipta dan tanpa-penyebab. Dalam tiap-tiap kasus, para pelaku menghindari tanggung jawab atas perbuatan-perbuatan mereka.

433 > Pada MN 14.15-19, I 92-93, dan MN 101, II 214-28, Sang Buddha menantang kaum Nigaṇṭha dengan argumen lain melawan tesis mereka bahaw semua perasaan adalah disebabkan oleh kamma masa lalu.

434 > Mp: “Beliau sejauh ini telah menunjukkan bahwa pendirian-pendirian sectarian ini, jika dibawa pada kesimpulan, akan berakhir dalam tidak-berbuat, dan oleh karena itu kosong dan tidak membebaskan, tidak penting. Sekarang Beliau menunjukkan bahwa Dhamma yang Beliau ajarkan adalah memiliki penting dan membebaskan (sārabhāvañc’eva niyyānikabhāvañca).”

435 > Untuk analisis terperinci atas keenam elemen, baca MN 140.14-19, III 240-43.

436 > Mp menjelaskan manopavicāra sebagai berikut: “Pemeriksaan pikiran atas delapan belas kasus, menggunakan ‘kaki’ pikiran dan pemeriksaan (vitakkavicārapādehi).” Kata “kaki” (pāda) digunakan di sini karena vicāra aslinya bermakna “bepergian.”

437 > Mp: “Mengapakah Beliau memulai dengan cara ini? Untuk memudahkan pemahaman. Karena Sang Tathāgata ingin menjelaskan perputaran kedua belas kondisi, maka Beliau menjelaskan lingkaran dengan istilah ‘munculnya embrio [di masa depan]’ (gabbhassāvakkanti). Karena ketika lingkaran telah ditunjukkan dengan munculnya embrio [di masa depan], maka bagian selanjutnya akan mudah dipahami. Enam elemen siapakah yang berfungsi sebagai kondisi, ibu atau ayah? Bukan keduanya, tetapi munculnya embrio [di masa depan] terjadi dengan dikondisikan oleh enam elemen dari makhluk yang sedang dilahirkan kembali.” Mp mengutip MN 38.26, I 265,35 – 66,6 (baca juga MN 93.18, II 156,30-57,3).

438 > Ini mungkin adalah contoh unik di mana kebenaran-kebenaran mulia asal mula dan lenyapnya penderitaan dijelaskan melalui seluruh dua belas faktor kemunculan bergantungan. Pada SN 12:43, II 72-73, asal-mula (samudaya) penderitaan dijelaskan melalui mata rantai dari kesadaran hingga ketagihan; lenyapnya (atthaṅgama) melalui lenyapnya mata rantai dari ketagihan hingga penuaan dan kematian. Dalam paralel China, MĀ 13 (pada T I 435a24 – 436a10), kebenaran-kebenaran ke dua dan ke tiga tidak dijelaskan melalui kemunculan bergantungan melainkan menurut formula umum seperti yang terdapat pada SN 56:11, V 421, dan di tempat lainnya.

439 > Tin’imāni bhikkhave amātāputtikāni bhayānī ti assutavā puthujjano bhāsati. Lit. “Ada ketiga [hal] ini yang dibicarakan oleh kaum duniawi yang tidak terpelajar sebagai ‘tanpa-bahaya-ibu-dan-putera.’”

440 > Tīṇi samātāputtikāniyeva bhayāni amātāputtikāni bhayānī ti assutavā puthujjano bhāsati. Secara literal: “Ada tiga bahaya dengan-ibu-dan-putera yang dibicarakan oleh kaum duniawi yang tidak terpelajar sebagai ‘tanpa-bahaya-ibu-dan-putera’.” Bahaya-bahaya itu jelas adalah kebakaran besar, banjir besar, dan pergolakan berbahaya. Karena hal-hal ini awalnya memisahkan ibu dan putera, maka seseorang dapat menyebutnya “bahaya yang memisahkan ibu dan puteraya.” Tetapi karena, pada akhirnya, ibu dan puteranya saling bertemu satu sama lain, maka seseoang juga dapat menyebutnya ketika ibu dan puteranya berkumpul kembali.

441 > Mp: “Setelah menunjukkan cara sementara (pariyāyato) bahaya-bahaya yang memisahkan ibu dan puteranya, sekarang Beliau menunjukkan cara yang bukan-sementara (nippariyāyena) bahaya-bahaya yang memisahkan ibu dan puteranya.”

442 > Dalam menerjemahkan nama-nama jenis tempat tidur dan perlengkapan yang berbeda-beda ini saya mengandalkan pada terjemahan Horner atas Vin I 192,14-19 (1951, 4:256-57). Ia mendasarkan terjemahannya atas Sp V 1086,1-1087,12, yang bersesuaian dengan Mp II 292-93.

443 > Dibbaṃ uccāsayanamahāsayanaṃ, brahmaṃ uccāsayanamahāsayanaṃ, ariyaṃ uccāsayanamahāsayanaṃ.

444 > So ce ahaṃ, brāhmaṇa, evaṃbhūto caṅkamāmi, dibbo me eso tasmiṃ samaye caṅkamo hoti. Mp mengatakan bahwa berjalan-mondar-mandir-Nya adalah surgawi ketika, setelah memasuki empat jhāna, Beliau berjalan mondar-mandir; dan berjalan-mondar-mandir-Nya adalah surgawi ketika, setelah keluar dari empat jhāna, Beliau berjalan mondar-mandir. Ini tampaknya menyiratkan bahaw berjalan dapat terjadi bahkan dengan pikiran dalam jhāna. Akan tetapi, hal ini bertentangan dengan pemahaman luas bahwa jhāna adalah kondisi absorpsi yang tidak terputus dalam suatu objek, yang mana pergerakan yang disengaja seperti berjalan tidak memungkinkan. Mp-ṭ menjelaskan kasus pertama Mp (berjalan setelah memasuki jhāna-jhāna) berarti bahwa Beliau berjalan mondar-mandir segera setelah keluar dari jhāna, sedangkan kasus ke dua (berjalan setelah keluar) berarti bahwa Beliau berjalan mondar-mandir setelah keluar beberapa saat sebelumnya. Penjelasan yang sama berlaku untuk tempat tidur brahma dan mulia.

445 > Mp: “Ini menunjukkan nafsu ditinggalkan melalui jalan Kearahattaan di tempat pencerahan agung. Melalui peninjauan kembali Beliau merujuk pada pencapaian buah.”

446 > Mp menjelaskan bahwa ia telah diminta oleh para pengembara dalam komunitasnya untuk menerima penahbisan dari para bhikkhu, mempelajari rahasia keberhasilan mereka (yang mereka percaya sebagai sejenis sihir yang mereka gunakan untuk menarik pengikut), dan kemudian kembali dan membaginya kepada mereka. Setelah penahbisannya ia menyimpulkan bahwa Pātimokkha adalah kunci keberhasilan mereka. Setelah mempelajari Pātimokkha, ia kembali kepada para pengembara dan melaporkan bahwa ia telah mempelajari Dhamma dari para pengikut Sang Buddha. Kisah latar belakang ini mirip dengan kisah pada Susīma Sutta (SN 12:70, II 119-28) tetapi dengan hasil yang berbeda.

447 > Ee mencantumkan baris tambahan di sini: mayā kho Sarabha paññāyati samaṇānaṃ Sakyaputtiyānaṃ dhammo: “Sarabha, Dhamma para petapa yang mengikuti putera Sakya telah terlihat olehKu.” Be menuliskan sebuah variasi pada baris ini dalam tanda kurung tetapi Ce tidak menuliskan apa pun yang bersesuaian dengannya.

448 > Pada MN 35.13-14, I 231,27-28, 32-35, dikatakan: “Jika siapa pun, ketika ditanya dengan pertanyaan logis hingga tiga kali oleh Sang Tathāgata, masih tidak menjawab, maka kepalanya akan pecah menjadi tujuh keping pada saat itu dan di tempat itu juga.” Akan tetapi, di sini, Sarabha tidak menjawab pertanyaan Sang Buddha setelah diajukan sebanyak tiga kali, namun kepalanya tetap utuh dan tidak ada ancaman yang mendatanginya.

449 > Ini adalah yang pertama dari empat jenis keyakinan-diri Sang Buddha (vesārajja), yang tentang ini baca 4:8. klaim ke dua, persis di bawah, merujuk pada keyakinan-diri jenis ke dua, dan klaim ke tiga merujuk pada keyakinan-diri jenis ke empat. Keyakinan-diri jenis ke tiga tidak termasuk di sini.

450 > Dari Pāli, tidak jelas tiga alternatif apakah yang terdapat dalam pernyataan ini. Dalam Ce kata pemisah muncul hanya dua kali dalam kalimat ini, yang menyiratkan hanya ada dua alternatif. Ee mencantumkan tiga kemunculan , tetapi tuṇhībhūto vā maṇkubhūto vā membagi dua kata yang biasanya membentuk satu alternatif tunggal. Be hanya mencantumkan satu , yang menjadikan pertanyaan tentang alternatif-alternatif menjadi bahkan lebih tidak jelas lagi. Saya memilih untuk memisahkan “ia memberikan jawaban mengelak …” dan “memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan kekesalan,” walaupun kita sering menemukan urutan tanpa kata pemisah: aññenaññaṃ paṭicarati, bahiddhā kathaṃ apanāmeti, kopañca dosañca appaccayañca pātukaroti. Dalam hal ini, saya mengikuti pembagian dari paralel China, SĀ 970, yang terdapat pada T II 250b21-23 yang memberikan ketiga alternatif berbeda: (MANDARIN): “ Ia akan mengalihkan diskusi pada topik lain, atau (MANDARIN) karena dikuasai oleh kemarahan dan keangkuhan, akan dengan tidak masuk akal memperlihatkan permusuhan dan ketidak-sabaran, atau (MANDARIN) akan dengan diam memendam raas malu, kepalanya tertunduk, merenungkan secara diam-diam.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku TIGA
« Reply #37 on: 27 January 2013, 03:44:42 AM »
451 > Yassa kho pan ate atthāya dhammo desito so na niyyāti takkarassa sammā dukkhakkhayāyā ti. Mp menganggap yassa atthāya berarti “tujuan yang karenanya” Dhamma diajarkan, yang diidentifikasikan sebagai hancurnya nafsu, dan seterusnya, dan “Dhamma” sebagai meditasi pada ketidak-menarikan, dan sebagainya. Kata kerja niyyāti berarti “keluar” (menuju kehancuran total penderitaan). Takkarassa kemungkinan adalah suatu bentukan sandhi: takkaro assa.

Saya telah dapat menelusuri versi China dari frasa ini (mungkin ada lebih banyak): (1) EĀ 27.6 (T II 645c10-11) membaca (MANDARIN) (“Adalah mustahil bahwa Dharma para mulia yang menuju keluar ini tidak mengarah pada akhir sepenuhnya penderitaan”). (2) EĀ 46.4 (T II 776c28-777a2) menuliskan (MANDARIN) (“Dengan Dharma yang diajarkan olehKu ini para mulia keluar dengan benar menuju akhir sepenuhnya penderitaan. Adalah mustahil bahwa petapa mana pun (dan seterusnya) dapat mendatangi dan berkata: ‘[Mereka] belum mencapai akhir sepenuhnya penderitaan’”).

452 > Di sini versi China SĀ 970, pada T II 250b28, hanya menuliskan “Beliau bangkit dari duduknya dan pergi” (MANDARIN) tanpa kepergian supernormal.

453 > Vacāya sattitodakena sañjambharim akaṃsu. Be dan Ee menuliskan sannitodakena untuk Ce sattitodakena. Padanan China pada T II 250c8 hanya mengatakan: “Mereka mencela dan menegurnya pada wajahnya” (MANDARIN)

454 > Seyyathāpi, āvuso sarabha, ambakamaddari’phussakaravitaṃ savissāmī’ ti ambakamaddariravitaṃyeva ravati. Be menuliskan ambukasañcārī untuk Ce dan Ee ambakamaddari dan purisaka untuk phussaka. Saya telah menerjemahkan secara bebas atas nama-nama yang tidak jelas dari burung-burung ini untuk menyampaikan maknanya. Mp (Ce) mengemas ambakamaddari sebagai seekor ayam kecil (khuddakakukkuṭikā) dan phussaka sebagai ayam besar (mahākukkuṭa). paralel China, pada T II 250c3, menuliskan: “Seperti halnya seorang perempuan yang berusaha untuk bersuara seperti laki-laki tetapi hanya menghasilkan suara perempuan” (MANDARIN). Pāli purisakaravitaṃ harus dipahami sebagai teriakan seorang laki-laki, dan ambaka sebagai seorang perempuan, tetqapi dengan tidak adanya perlawanan yang nyata dan sederhana antara ambaka dan purisa dalam edisi yang sama, maka saya mengikuti kemasan Mp.

455 > Be Kesamutti. Khotbah ini terkenal dengan nama “Kālāma Sutta.” Paralel Chiina adalah MĀ 16 (pada T I 438b13-439c22). Saya akan memberi catatan di bawah padda beberapa cara penting atas perbedaannya dengan versi Pāli.

456 > Dari kalimat terakhir paragraf sebelumnya hingga kalimat ini, MĀ 16 membaca: “Gotama, setelah mendengar ini, kami menjadi ragu-ragu dan tidak yakin: ‘Di antara para petapa atau brahmana ini, yang manakah [yang berkata] jujur dan yang manakah [yang berkata] bohong?’” Sang Bhagavā berkata: “Para Kālāma, jangan ragu-ragu atau tidak yakin. Karena alasan apakah? Karena ketika ada keragu-raguan dan ketidak-yakinan, maka akan muncul kebingungan. Para Kālāma, kalian sendiri tidak memiliki kebijaksanaan murni yang dengannya dapat mengetahui apakah ada kehidupan setelah kematian atau tidak. Kalian sendiri tidak memiliki kebijaksanaan murni tentang perbuatan-perbuatan yang merupakan pelanggaran dan perbuatan-perbuatan yang bukan merupakan pelanggaran.”

457 >    Sepuluh kriteria kebenaran yang tidak mencukupi ini dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok:  (1)  Yang pertama terdiri dari empat kriteria pertama, semua dalil berdasarkan pada tradisi. Ini termasuk “tradisi lisan” (anussava), yang biasanya merujuk pada tradisi Veda; “Silsilah” (paramparā) menyiratkan penyampaian ajaran secara turun-temurun tanpa terputus; “Kabar angin” (atau “berita,” itikirā), opini populer atau konsensus umum; dan “kumpulan teks” (piṭakasampadā), sekumpulan teks yang dianggap selalu benar. Pada masa Sang Buddha hal-hal ini lebih disampaikan secara lisan daripada tulisan. (2) Kelompok ke dua, juga terdiri dari empat kriteria, yang merujuk pada empat jenis penalaran; perbedaan-perbedaannya tidak perlu menahan kita di sini, tetapi karena Sang Buddha sendiri sering menggunakan penalaran, maka penalaran di sini pasti semuanya melibatkan penalaran dari alasan yang lebih bersifat dugaan daripada pengamatan empiris. (3) Kelompok ke tiga, terdiri dari dua hal terakhir, merujuk pada dua jenis otoritas personal: yang pertama, “tampak kompeten” (bhabbarūpatā), adalah kharisma personal dari si pembabar (mungkin termasuk kualifikasi eksternalnya); yang ke dua adalah otoritas si pembabar sebagai guru seseorang (Pāli garu identik dengan Skt guru).

MĀ 16 tidak mencantumkn paragraf ini pada sepuluh sumber pengetahuan yang tidak mencukupi. Melainkan, Sang Buddha segera menjelaskan kepada para Kālāma tentang ketiga akar perbuatan yang tidak bermanfaat dan bagaimana akar-akar itu mengarah pada pelanggaran moral. Dan kemudian Beliau menjelaskan sepuluh kamma bermanfaat, penjelasan yang sangat mirip dengan pejelasan yang terdapat pada, misalnya, 10:176 (tentang tiga pemurnian) dan 10:211 (tentang kelahiran kembali di alam surga). Dalam MĀ 16, Sang Buddha tidak menyuruh para Kālāma untuk menilai untuk mereka sendiri melainkan secara pasti memberitahu mereka apa yang Beliau sendiri telah ketahui dengan pengalaman langsung. Adalah mungkin bahwa MĀ 16 adalah normalisasi dari suatu teks India asli yang bersesuaian dengan versi Pāli, yang dibuat ketika Sang Buddha secara luas dianggap sebagai otoritas yang tidak perlu dipertanyakan.
   
458 > Menurut Sang Buddha, keserakahan, kebencian, dan delusi adalah tiga akar tidak bermanfaat (akusalamūlāni), yang mendasari segala perbuatan tidak bermoral dan segala kondisi pikiran yang kotor; baca 3:69. Karena tujuan dari ajaranNya sendiri, Nibbāna, adalah hancurnya keserakahan, kebencian, dan delusi (SN 38:1, IV 251,16-20), maka Sang Buddha secara halus menuntun para penduduk Kālāma untuk membenarkan ajaranNya hanya dengan merenungkn pengalaman mereka sendiri, tanpa perlu bagiNya untuk memaksakan otoritasNya pada mereka.

459 > Ini tentu saja berlawanan dengan penilaian umum, setidaknya atas dasar apa yang terlihat langsung, untuk kasus-kasus “hal-hal buruk yang menimpa orang-orang baik” adalah berjumlah tidak terbatas.

460 > Idhāhaṃ ubhayen’eva visuddhaṃ attānaṃ samanupassāmi. Makna pasti dari “dalam kedua hal” tidak sepenuhnya jelas bagi saya. Mp mengemas: “Karena aku tidak melakukan kejahatan dan karena tidak dilakukan [padaku seeperti halnya] seorang yang melakukan [kejahatan]” (yañca pāpaṃ na karomi, yañca karotopi na karīyati).” Akan tetapi, tampaknya lebih mungkin bahwa kedua jenis pemurnian ini adalah (1) tidak melakukan perbuatan jahat apa pun, dan (2) mengembangkan pikiran murni melalui praktik empat kondisi tanpa batas (cinta kasih, dan seterusnya). Ini tampaknya menjadi inti dari paralel China (baca catatan berikutnya).

461 > Empat jaminan dari MĀ 16 (pada T I 439b8-26) adalah sebagai berikut: (1) “Jika ada dunia ini dan dunia lain, jika ada akibat dari perbuatan baik dan buruk, maka aku memperoleh kamma yang berhubungan dengan pandangan benar; aku menegakkannya dan memilikinya. Dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, aku pasti akan pergi ke alam yang baik, bahkan kelahiran kembali di alam surga. (2) Jika dunia ini dan dunia lain tidak ada, dan tidak ada akibat dari perbuatan baik dan buruk, tetap saja, bahkan dalam kehidupan ini, aku tidak dapat disalahkan oleh orang lain sehubungan dengan [perbuatanku], melainkan aku akan dpuji oleh para bijaksana. Akan tetapi, mereka yang berusaha keras dan berpandangan benar mengatakan bahwa ada [dunia ini, dunia lain, dan akibat karma]. (3) Jika segala sesuatunya selesai, tentu saja aku tidak melakukan kejahatan, aku tidak memikirkan hal jahat. Karena aku tidak melakukan kejahatan, bagaimana mungkin penderitaan muncul bagiku? (4) Jika segala sesuatunya selesai, tentu saja aku tidak melakukan kejahatan. Aku tidak melanggar apa yang menakitkan dan tidak menakutkan di dunia ini. Aku selalu memiliki cinta dan belas kasihan kepada seluruh dunia. Pikiranku tidak kejam pada makhluk-makhluk hidup; tanpa noda, gembira dan bahagia.”

462 > Atthi idaṃ, atthi hīnaṃ, atthi pṇītaṃ, atthi imassa saññāgatassa uttari nissaraṇaṃ. ini juga terdapat dalam MN 7.17, I 38,31-32, yang dilanjutkan dengan keempat alam brahma. Mp mengatakan “ada ini” merujuk pada kelima kelompok unsur kehidupan, kebenaran penderitaan; “yang hina” merujuk pada kebenaran asal-mula; “yang mulia” merujuk pada kebenaran sang jalan; dan “jalan membebaskan diri dari apa pun yang terlibat dengan persepsi” merujuk pada nibbāna, kebenaran lenyapnya.

463 > Brahmabhūtena attanā viharati. Keseluruhan frasa ini juga terdapat pada 4:198, II 206,2-4 dan MN 51.5, I 341,11-13. tampak seperti usaha yang disengaja oleh Sang Buddha untuk memasukkan terminologi Upanishad untuk tujuan ajaranNya sendiri.

464 > Ada empat metode untuk memformulasikan pertanyaan; baca 4:42. Mp: “(1) Suatu pertanyaan harus dijawab secara pasti (ekaṃsavyākaṇanīya pañha) adalah, misalnya, ‘Apakah mata tidak kekal?’ yang harus dijawab secara pasti dengan ‘Ya, tidak kekal.’ (2) Suatu pertanyaan yang harus dijawab setelah memberikan perbedaan (vibhajjavyākaraṇīya pañha) adalah, misalnya, ‘apakah yang tidak kekal adalah mata?’ yang harus dijawab dengan memberikan perbedaan: ‘Bukan hanya mata, tetapi juga telinga, hidung, dan seterusnya, adalah juga tidak kekal.’ (3) Suatu pertanyaan yang harus dijawab dengan pertanyaan balasan  (paṭipucchāvyākaraṇīya pañha) adalah, misalnya, ‘Apakah mata memiliki sifat yang sama dengan telinga?’ Seseorang harus menjawab ini dengan sebuah pertanyaan balasan, ‘Sehubungan dengan apa?’ jika mereka menjawab, ‘Sehubungan dengan melihat,’ maka ia harus menjawab tidak. Jika mereka menjawab, ‘Sehubungan dengan ketidak-kekalan,’ maka ia harus menjawab ya. (4) Suatu pertanyaan yang harus dikesampingkan (ṭhapanīya pañha) adalah, misalnya, ‘Apakah jiwa sama dengan badan?’ ini harus dikesampingkan tanpa menjawabnya, dengan mengatakan, ‘Ini tidak dinyatakan oleh Sang Tathāgata.’” Menurut pendapat saya, contoh yang lebih baik atas “Suatu pertanyaan yang harus dijawab setelah memberikan pembedaan” adalah jawaban Sang Buddha kepada Subha pada MN 99,4, II 197,9-18; jawabanNya kepada Brahmana Ujjaya paad 4:39, II 42,14-28; dan jawaban perumah tangga Vajjiyamāhita kepada para pengembara pada 10:94, V 190,14-20.

465 > Makna dari ungkapan-ungkapan ini sangat tidak jelas. Oleh katena itu saya mengandalkan Mp, yang saya terjemahkan secara lengkap, menghilangkan hanya sedikit penjelasan minor yang hanya berguna dalam Pāli:

Seseorang tidak bertahan sehubungan dengan posisinya dan posisi lawan (ṭhānāṭhāne na saṇṭhāti): Seseorang tidak bertahan sehubungan dengan apa yang menjadi alasan dan apa yang bukan alasan. Ini adalah metodenya di sini: Seorang eternalis mampu membantah seorang nihilis dengan alasan yang masuk akal. Setelah dibantah olehnya, si nihilis berpikir, ‘Mengapa aku harus melanjutkan menegaskan pemusnahan?’ Maka ia kemudian menyatakan eternalisme; ia tidak mampu bertahan dalam doktrinnya sendiri. Demikian pula, ketika seorang nihilis mampu [membantah] penganut eternalis [dan si eternalis tidak bertahan]; dan demikian pula, ketika seorang pendukung adanya diri mampu [membantah doktrin kekosongan], dan ketika seorang pendukung kekosongan mampu [membantah doktrin adanya diri]. Demikianlah yang dimaksudkan dengan pernyataan bahwa ia tidak bertahan sehubungan dengan posisinya dan posisi lawan.” (Sebaliknya, mungkinkah ini berarti bahwa ia tidak bertahan sehubungan dengan apa yang sesungguhnya merupakan permasalahannya dan apa yang bukan merupakan permasalahannya, atau sehubungan dengan apa yang mungkin dan apa yang tidak mungkin? Ini juga adalah makna, secara berturut-turut, dari ṭhāna dan aṭṭhāna.)

Ia tidak bertahan dalam strateginya (parikappe na saṇṭhāti): Ini ditemukan baik dalam menanyakan pertanyaan dan dalam menjawabnya. Bagaimanakah? Seseorang yang berdehem, sambil berpikir: ‘Aku akan mengajukan pertanyaan.’ Orang lainnya berkata kepadanya: ‘Engkau akan menanyakan hal ini.’ Setelah menyadari bahwa ia telah diketahui, ia berkata: ‘Aku tidak akan menanyakan itu, melainkan hal lainnya.’ Orang yang ditanya, juga, menepuk-nepuk dagunya, sambil berpikir: ‘Aku akan menjawab pertantaan itu.’ Orang lainnya berkata kepadanya: ‘Engkau akan menjawab ini.’ Setelah menyadari bahwa ia telah diketahui, ia berkata: ‘Aku tidak akan menjawab begitu, melainkan begini.’ Demikianlah yang dimaksudkan dengan pernyataan bahwa ia tidak bertahan dalam strateginya.

Ia tidak bertahan dalam pernyataannya atas apa yang diketahui (aññātavāde na saṇṭhāti): Seseorang menanyakan suatu pertanyaan. Orang lainnya berkata: ‘Pertanyaan yang engkau tanyakan cukup baik. Dari manakah engkau mempelajarinya? Orang lainnya, walaupun ia ditanya dengan pertanyaan dengan cara yang benar, menjadi ragu-ragu karena pernyataan [lawannya], dengan berpikir: ‘Apakah aku menanyakan [sesuatu hal] yang tidak problematik?’ Orang yang ditanya menjawab. Orang lainnya berkata kepadanya: ‘Engkau telah menjawab pertanyaan itu dengan baik. Dari manakah engkau mempelajarinya? [Engkau menjawab] pertanyaan seperti seharusnya pertanyaan itu dijawab.’ [responden] lainnya, walaupun ia telah menjawab dengan cara yang benar, menjadi ragu-ragu karena pernyataan [lawannya], dengan berpikir: ‘Apakah aku menjawab [sesuatu hal] yang tidak problematik?’

Ia tidak bertahan dalam prosedur (paṭipadāya na saṇṭhāti): Tanpa memahami aturan (vattaṃ ajānitvā), ia bertanya dalam situasi ketika sebuah pertanyaan seharusnya diajukan. Jika suatu pertanyaan diajukan dalam pengadilan atau di altar peringatan (cetiyaṅgana), ia seharusnya tidak menjawabnya. Demikian pula, [seseorang seharusnya tidak menjawab] dalam perjalanan untuk menerima dana makanan; ketika berjalan menerima dana makanan di desa; ketika duduk di dalam aula pertemuan; ketika duduk dan memakan bubur atau suatu makanan; ketika duduk setelah makan; dan ketika pergi ke tempat di mana ia melewatkan hari. Akan tetapi, ketika ia berada di dalam kediaman siang hari, jika seseorang meminta izin dan kemudian mengajukan pertanyaan, maka itu harus dijawab; tetapi ia seharusnya tidak menjawab jika mereka tidak meminta izin. Demikianlah apa yang dimaksudkan dengan: ‘Mengajukan pertanyaan tanpa memahami aturan, ia tidak bertahan dalam prosedur.’”

466 > Yaitu, ia menangkap kesalahan kecil di pihak orang lain sebagai dalih untuk mengkritiknya.

467 > Mp: “Ia secara langsung mengetahui satu hal, Dhamma yang bermanfaat, jalan mulia. Ia sepenuhnya memahami satu hal, kebenaran penderitaan. ia meninggalkan satu hal, semua kualitas-kualitas tidak bermanfaat. Ia merealisasikan satu hal, buah Kearahattaan atau [kebenaran] lenyapnya. Melalui pengetahuan ia mencapai kebebasan benar, kebebasan melalui buah Kearahattaan.”

468 > Anariyaguṇam āsajja. Kalimat ini cukup sulit. Seperti yang tercetak, ini seharusnya diterjemahkan: “Setelah menyerang kualitas-kualitas tidak mulia.” Tetapi guṇa biasanya berarti kualitas-kualitas bermoral. Mp memberikan penjelasan yang tidak meyakinkan: “Mereka membabarkan khotbah dengan menggunakan kualitas-kualitas tidak mulia untuk menyerang kualitas-kualitas.” Paralel China, MĀ 119 pada T I 609a8-b29, bersesuaian erat dengan Pāli sehubungan dengan syair ini, dan baris yang bersesuaian (609b15) sesuai dengan interpretasi saya: (MANDARIN) (“tidak mulia, mereka [saling] mengkritik moralitas [satu sama lain]”).

469 > Dhammaṭṭhapaṭisaṃyuttā yā ariyācaritā kathā. Mp menjelaskan dhammaṭṭhapaṭisaṃyuttā sebagai berikut: “Pembicaraan yang diucapkan oleh seseorang yang kokoh dalam DHamma,demikianlah pembicaraan itu kokoh dalam Dhamma; dan [pembicaraan itu] berhubungan dengan Dhamma, maka pembicaraan itu kokoh dalam dan berhubungan dengan Dhamma.” Dengan demikian Mp memperlakukan dhammaṭṭha sebagai kata majemuk dari dhamme ṭhita. Akan tetapi saya menerjemahkan, dengan asumsi bahwa dhammaṭṭhapaṭisaṃyuttā mengandung kata majemuk dvanda yang seharusnya dipecah menjadi dhammena ca aṭṭhena ca paṭisamyuttā. Dalam penjelasan tentang ucapan benar, sering dikatakan bahwa seorang yang bermoral adalah atthavādī dhammavādī, “seorang yang membicarakan apa yang bermanfaat (atau ‘bermakna’), seorang yang membicarakan tentang Dhamma”l baca 3:69, I204,4; 10:176 §7, V 267,22. Adalah tidak biasanya – tetapi bukan pengecualian – untuk menemukan aṭṭha pada tempat attha yang berarti “makna” atau “manfaat”; akan lebih tidak biasa untuk menemukan akhiran ṭha diletakkan di dalam suatu kata majemuk dan diikuti oleh bentuk pasif. Paralel China, yang saya temukan setelah saya menerjemahkan ini, mendukung pemahaman saya di sini. Pada T I 609b19 kita membaca: (MANDARIN), “pembicaraan yang mengandung Dhamma dan yang mengandung makna; semua pembicaraan para mulia adalah seperti ini.” Karakter ini (MANDARIN), seperti Pāli attha, berarti “baik” dan juga berarti “makna,” dan (MANDARIN) jug dapat berarti “bermanfaat” atau “bermakna.”

470 > Di sini saya bersama Be membaca anunnatena manasā, bukan seperti Ce dan Ee anupādinnena manasā. Mp (baik Ce maupun Be) mengemas menjadi anuddhatena cetasā, yang mendukung anunnatena manasā.
« Last Edit: 27 January 2013, 03:54:04 AM by Indra »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku TIGA
« Reply #38 on: 27 January 2013, 03:45:18 AM »
471 > Mp mengilustrasikan bagaimana nafsu adalah “kurang tercela” dengan contoh perkawinan, yang, walaupun berakar pada keinginan seksual; namun diterima secara sosial dan dengan demikian kurang tercela sehubungan dengan konsekuensi kammanya. Tetapi karena nafsu berhubungan dengan kenikmatan, maka sulit dilenyapkan. Kebencian dan delusi keduanya dianggap tercela dalam masyarakat dan memiliki konsekuensi kamma yang serius. Akan tetapi, kebencian berhubungan dengan ketidak-nikmatan, dan karena makhluk-makhluk secara alami menyukai kebahagiaan maka mereka ingin terbebas darinya. Gagasan-gagasan delusi, jika berakar secara mendalam dalam ketagihan, pandangan salah, atau keangkuhan, juga akan sulit dilenyapkan seperti halnya nafsu.

472 > Asatā dukkhaṃ upadahati. Mp (Ce): “Ia menciptakan penderitaan melalui kebohongan, melalui apa yang tidak ada, setelah mengatakan tentang kesalahan yang tidak benar” (abhūtena avijjamānena yaṃ kiñci tassa abhūtaṃ dosaṃ vatvā dukkhaṃ uppādeti.) Perhatikan bahwa Mp menganggap asatā sebagai bersinonim dengan abhūtena. Dalam kedua teks dan Mp, Be membaca uppādayati sedangkan Ce dan Ee membaca upadahati.

473 > Di sini dan di bawahnya teks menyebutkan tiga jenis pohon: sāla, dhava dan phandana.

474 > Para Nigaṇṭha adalah para petapa Jain, para pengikut Mahāvīra, guru besar paling terkenal dari Jainisme, dikenal dalam Nikāya-nikāya sebagai Nigaṇṭha Nātaputta (Nāthaputta, Ñātaputta). Ia sezaman dengan Sang Buddha dan termasuk dalam enam guru saingan (baca DN 2.16-33, I 52-59). Terlihat bahwa, ketika Nikāya-nikāya membahas Jainisme, nuansanya menjadi sindiran kalau bukan ejekan. Pujiannya, tentu saja, diberikan oleh kaum Jain. Hal ini dapat dipahami dari fakta bahwa Buddhis dan Jain awalnya berkembang di wilayah yang sama dan, sebagai kelompok peminta-minta, keduanya pasti bersaing untuk mendapatkan penyokong dari komunitas yang sama.

475 > Ye puratthimāya disāya pāṇā paraṃ yojanasataṃ tesu daṇḍaṃ nikkhipāhi. Mp mengemas: “Letakkanlah tongkat pemukul dan tidak kejam terhadap makhluk-makhluk hidup yang berada di wilayah yang lebih jauh dari seratus yojana” (tesu yojanasatato parabhāgesu ṭhitesu sattesu daṇḍaṃ nikkhipa, nikkhittadaṇḍo hohi). Satu yojana berkisar tujuh hingga sembilan mil. Demikianlah kaum Jain digambarkan seperti pada pernyataan, “Hanya kepada makkhluk-makhluk yang berada jauh maka kalian harus tidak kejam,” seolah-olah mereka diperbolehkan untuk menjadi kejam terhadap makhluk-makhluk yang berada dekat. Hal ini, tampaknya, bertolak belakang dengan ajaran Jainisme, yang mengajarkan ketidak-kejaman keras (ahiṃsā) terhadap semua makhluk dalam segala kondisi. Baca http://www.jainworld.com/philosophy/ahimsa.asp.

476 > Nahaṃ kvacana, kassaci kiñcanatasmiṃ, na va mama kvacana, katthaci kiñcanatātthi. Ce, Be, dan Ee berbeda-beda dalam membaca formula ini. Saya mengikuti Ce di sini dan pada 4:185. tujuan dari formula ini, menurut teks, adalah untuk menanamkan sikap tidak-memiliki, salah satu moralitas dasar Jain. Sang Buddha juga mengajarkan formula ini – yang kemungkinan telah beredar di antara berbagai komunitas pertapaan – dengan menggunakannya sebagai alat untuk melenyapkan “pembentukan-aku” dan “pembentukan-milikku.” Untuk pembahasan lebih lanjut atas formuka ini, baca p.1713, catatan 896.

477 > Upakkiliṭṭhassa visākhe cittassa upakkamena pariyodapanā hoti. Mp: “Mengapakah Beliau mengatakan ini? Karena uposatha tidak sangat berbuah jika seseorang menjalankannya dengan pikiran kotor, melainkan menjadi sangat berbuah jika dijalankan dengan pikiran yang murni. Demikianlah Beliau membuat pernyataan ini untuk memperkenalkan subjek meditasi yang digunakan untuk memurnikan pikiran.” Apa yang dijelaskan selanjutnya adalah lima perenungan standar (cha anussatiyo; baca 6:10, dan seterusnya). Untuk suatu alasan, perenungan ke enam, yaitu perenungan kedermawanan (cāgānussati), dihilangkan. Penghilangan ini tampaknya, pada kesan pertama, diakibatkan dari kegagalan dalam transmisi. Akan tetapi, Paralel China, MĀ 202 (pada T I 770a16-773a1), juga tidak mencantumkan perenungan ini, yang menyiratkan bahwa penghilangan ini – apakah disengaja atau tidak – terjadi sebelum perpecahan aliran Vibhajjavāda (cikal bakal Theravāda) dan Sarvāstivāda. Yang menarik, dalam MĀ 202 delapan aturan mendahului lima perenungan, sedangkan Pāli menyusunnya secara kebalikanya. Urutan versi China adalah lebih konsisten dengan ajaran Buddhis lainnya, yang memperlakukan perilaku bermoral sebagai landasan bagi meditasi.

478 > Mp: “Adalah Sang Buddha yang tercerahkan sempurna yang disebut Brahmā (brahmā vuccati sammā sambuddho).

479 > Ini adalah enam tingkat alam surga indriawi. Para deva yang lebih tinggi dari ini berada di alam berbentuk dan tanpa bentuk.

480 > Pada titik ini, Sang Buddha menjelaskan delapan aturan yang dijalankan oleh para umat awam pada hari-hari uposatha. Ini muncul kembali dalam AN pada 8:41-45. Aturan-aturan ini bersesuaian erat dengan sepuluh aturan samaṇera, dengan yang ke tujuh dan ke delapan digabungkan dan ke sepuluh (menghindari menerima emas dan perak, yaitu, uang) dihilangkan.

481 > Ekabhattika: Ini juga dapat diterjemahkan “makan pada satu bagian siang hari.” Mp: “Ada dua [periode] makan, [periode] makan pagi dan [periode] makan malam. [periode] makan pagi berakhir di tengah hari; [periode] makan malam dimulai dari tengah hari hingga fajar keesokan harinya. Oleh karena itu bahkan mereka yang makan sepuluh kali sebelum tengah hari dikatakan makan sekali sehari.”

482 > Ce pahūtasattaratanānaṃ; Be pahūtarattaratanānaṃ; Ee pahūtamahāsattaratanānaṃ. Mp (ce dan Be) membaca pahūyarattaratanānaṃ, tetapi Mp (Ee) membaca –satta- di sini. Mp menjelaskan: “Memiliki bahan berharga yang berlimpah yang terdapat dalam ratta; makna ini adalah bahwa negeri itu dipenuhi dengan tujuh benda berharga sehingga, jika permukaan Jambudīpa (Sub benua India) berukuran seluas permukaan gendering bheri, maka jumlah ketujuh benda tersebut adalah berukuran pinggang seseorang.” Dengan demikian terdapat ambiguitas tentang apakah tulisan aslinya adalah –satta- atau –ratta-. Mp-ṭ menyebutkan bahwa kata ratta adalah bersinonim dengan benda berharga (ratta-saddo ratanapariyāyo), tetapi juga mengatakan bahwa tulisan pahūtasattaratanānaṃ terdapat dalam teks. Saya menerjemahkan dengan berdasarkan pada tulisan terakhir.

483 > Sebagian besar negeri ini berlokasi di Sub benua India, tetapi Gandhāra dan Kamboja terletak di barat laut, di sekitar Pakistan dan Afghanistan modern.

484 > Di sini dimulai gambaran kosmologi dari enam alam surga indria.

485 > Bersama dengan Be dan Ee membaca nabhe pabhāsanti, bukan seperti Ce nabhe pabhāsenti, “menerangi langit.”

486 > Mengikuti Mp, saya memahami bhaddakaṃ di sini hanya sebagai sebuah kualifikasi dari veḷuriyaṃ, bukan sebagai jenis tersendiri dari batu mulia.

487 > Mp: “Emas tanduk (siṅgīsuvaṇṇa) adalah emas yang menyerupai [dalam hal warna] tanduk sapi (gosiṅgasadisa). Emas gunung (kañcana) adalah emas yang ditemukan di gunung. Emas alami (jātarūpa) adalah emas yeng berwarna Buddha. Haṭaka adalah emas yang dipindahkan oleh semut-semut.

488 > Candappabhā. Mp: “Bentuk nomitatif yang digunakan dalam bentuk genitif, bermakna ‘cahaya rembulan’ (candappabhāya).”

489 > Saya menganggap kalimat ini sebagai bermakna interogatif walaupun tidak mengandung partikel interogatif.

490 > Aliran Makkhali Gosāla, yang mengajarkan determinisme keras dan menekankan pada pertapaan keras yang ekstrim.

491 > Di sini dan di bawah digunakan bentuk jamak sugatā. Dengan demikian dalam konteks ini kata ini memiliki makna yang lebih luas daripada sekedar Sang Buddha yang merupakan penerapan biasanya.

492 > Attho ca vutto, attā ca anupanīto. Terdapat permainan kata di sini antara attho, “makna”, dan attā, “diri.”

493 > Ee menghilanglan pertanyaannya di sini.

494 > Mp: “Setelah menjelaskan perilaku bermoral, konsentrasi, dan kebijaksanaan dari seorang yang masih berlatih (sekha), ia menjelaskan perilaku bermoral, konsentrasi, dan kebijaksanaan dari seorang yang melampaui latihan (asekha) melalui buah Kearahattaan: ‘Pengetahuan buah dari seorang yang melampaui latihan muncul lebih belakangan daripada konsentrasi dan pengetahuan pandangan terang dari seorang yang masih berlatih. Konsentrasi buah pada seorang yang melampaui latihan muncul lebih belakangan daripada pengetahuan pandangan terang dari seorang yang masih berlatih.

495 > Kaum Licchavi adalah suku yang berkuasa dalam republik Vajji, yang beribukota di Vesālī.

496 > Sebuah satire dari pengakuan Nātaputta sebagai maha tahu, baca MN 76.21-22, II 519,13-33.

497 > So purāṇānaṃ kammānaṃ tapasā byantībhāvaṃ paññāpeti navānaṃ kammānaṃ akaraṇā setughātaṃ. Mp: “Ia menyatakan kehancuran melalui praktik keras dari kamma-kamma yang terakumulasi (āyūhitakammānaṃ) dan tanpa akumulasi kamma apa pun di masa sekarang yang mungkin telah terakumulasi. Pembongkaran jembatan (setughātaṃ) adalah pembongkaran faktor dan pembongkaran kondisi (padaghātaṃ paccayaghataṃ). Diduga apa yang dimaksudkan adalah hancurnya akumulasi kamma dan kondisinya. SED menjelaskan “ikatan, belenggu” sebagai makna dari setu, yang tampak cocok di sini.

498 > Evam etissā sandiṭṭhikāya nijjarāya visuddhiyā samatikkanto hoti. “Pengikisan” (nijjarā) kamma masa lalu melalui pertapaan keras adalah konsep fundamental Jain.

499 > So navañca kammaṃ na karoti, purāṇañca kammaṃ phussa phussa vyantikaroti. Mp: “Ia tidak mengakumulasi kamma baru. ‘Kamma lama’ adalah kamma yang terakumulasi di masa lalu. Setelah menyentuhnya lagi dan lagi, ia melenyapkannya. Ini berarti bahwa setelah menyentuh kontak-akibat lagi dan lagi, ia menghancurkan kamma itu.”

500 > Mp mengidentifikasikan tiga tingkat pengikisan sebagai empat pencapaian mulia. Penggambaran bhikkhu dalam “pengikisan” pertama sebagai bermoral, menurut Mp, menunjukkan kedua jalan dan buah yang lebih rendah – yaitu tingkat memasuki-arus dan yang-kembali-sekali – karena para siswa pada tingkat-tingkat ini dikatakan telah memenuhi perilaku bermoral. Penggambaran bhikkhu dalam “pengikisan” ke dua, sebagai seorang yang telah mencapai empat jhāna, menunjukkan pencapaian tingkat jalan dan buah ke tiga, yaitu yang-tidak-kembali, digambarkan sebagai seorang yang telah memenuhi konsentrasi. Dan penggambaran bhikkhu dalam “pengikisan” ke tiga sebagai seorang yang telah mencapai hancurnya noda-noda menunjukkan buah Kearahattaan, karena para Arahant telah memenuhi kebijaksanaan. Mp menyebutkan interpretasi lain, yang menganggap bahwa seluruh tiga jenis “pengikisan” adalah penggambaran Kearahatttaan, yang dibuat dari sudut pandang moralitas, konsentrasi, dan kebijaksanaan Arahant. Untuk hubungan antara ketiga latihan dan keempat pencapaian mulia, baca 3:86.

501 > Abbhanumodasi. Lit. “bergembira bersama dengan.”

502 > Aveccappasāda. Mp: “Keyakinan tak tergoyahkan yag muncul setelah mengalami, setelah mengetahui, moralitas-moralitas mereka.” Ungkapan ini menyiratkan keyakinan yang dimiliki oleh seorang mulia, seorang yang telah mencapai setidaknya tingkat memasuki-arus.

503 > Bhava. Apa yang dimaksudkan adalah kondisi nyata penjelmaan individual dalam salah satu dari tiga alam. Nibbāna disebut bhavanirodha, lenyapnya penjelmaan individual.

504 > Āyatiṃ punabbhavābhinibbati hoti. Mp mengatakan bahwa kesadaran yang berfungsi sebagai benih (bīja) adalah kesadaran yang aktif secara kamma (abhisaṅkhāraviññāṇaṃ) yang muncul bersamaan dengan kamma. Dalam menyebutkan ketagihan sebagai kelembaban (sneha) melibatkan suatu permainan kata. Sneha, dalam Pāli, dapat berarti kelembaban atau kasih sayang; dalam makna terakhir, sneha kadang-kadang digunakan sebagai sinonim bagi ketagihan. Proses kelahiran kembali digambarkan dalam kata-kata serupa dalam SN 5:9, SN 12:64, SN 23:53, SN 22:54. “Alam rendah” (hīnā dhātu) adalah alam indria. Demikian pula, persis di bawah, “alam menengah” (majjhima dhātu) adalah alam berbentuk, dan “alam tinggi” (paṇītā dhātu) adalah alam tanpa bentuk. Jalan Sang Buddha bertujuan untuk mengatasi kelahiran kembali di segala alam.

505 > Cetanā patiṭṭhitā patthanā patiṭṭhitā. Mp: “Kehendak kamma dan aspirasi kamma.”

506 > Silabbataṃ jīvitam brahmacariyaṃ upaṭṭhānasāraṃ. Dari urutan, tiadk jelas apakah upaṭṭhānasāra adalah satu kata yang paralel dengan kata lainnya atau terdistribusi diterapkan pada masing-masing kata yang mendahuluinya. Mp mengemas seolah-olah kasus yang ke dua, yaitu, seolah-olah bermakna penegakan ketiga praktik sebelumnya, menganggapnya sebagai inti kehidupan spiritual. Upaṭṭhānena sāraṃ ‘idaṃ varaṃ idaṃ niṭṭhā’ ti eva upaṭṭhitan (“Mengokohkannya sebagai inti, setelah menegakkannya [dengan pendirian] bahwa itu baik, menjadi tujuannya”). Urutan kata yang sama terdapat pada Ud 6:8, 71,29-32. Ud-a 351, 9-12, memperbolehkan kedua interpretasi: apakah sebagai terdistribusi atau sebagai satu jenis tambahan dari praktik pertapaan. Secara kolektif, ketiga (atau empat) kata ini mewakili penyiksaan-diri ekstrim; praktik-praktik secara spesifik digambarkan di bawah pada 3:156 §2 di mana disebutkan “cara praktik yang melepuhkan.” Ekstrim lawannya adalah pandangan bahwa tidak ada bahaya dalam kenikmatan indria, yang bersesuaian dengan praktik yang mementingkan kenikmatan indria yang dijelaskan pada 3:156 §1. Jalan Tengah Sang Buddha, pada 3:156 §3, menghindari kedua ekstrim ini.

507 > Ce dan Ee membaca devatāpi’ssa amanussā. Be tidak menuliskan amanussā, “makhluk-makhluk halus.”

508 > Semak belukar yang darinya bubuk harum dihasilkan.

509 > Syair ini juga terdapat dalam Dhp 54.

510 > Baca SN 6:14, I 155-57. “Menyampaikan suaranya” diterjemahkan dari sarena viññāpesi, secara lebih literal “berkomunikasi dengan suaranya.”

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku TIGA
« Reply #39 on: 27 January 2013, 03:45:58 AM »
511 > Sāvako so Ānanda appameyyā tathāgatā. Mp: “Sang Buddha mengatakan ini untuk menunjukkan: ‘Ānanda, mengapa engkau mengatakan ini? Ia adalah seorang siswa yang kokoh dalam pengetahuan sebagian. Tetapi para Tathāgata, setelah memenuhi sepuluh kesempurnaan dan mencapai Kemahatahuan, adalah tidak terukur. Wilayah, jangkauan, dan kekuatan seorang siswa adalah satu hal, jangkauan para Buddha adalah sangat berbeda. Ini seperti membandingkan sedikit tanah di ujung kukumu dengan tanah di seluruh bumi ini.’”

512 > Cūḷanikā lokadhātu. Mp: “Ini adalah wilayah seorang siswa” (ayaṃ sāvakassa visayo).

513 > Ini adalah empat benua, berturut-turut terletak di selatan, barat, utara, dan timur.

514 > Dvisahassī majjhimā lokadhātu. Adalah perlu untuk menggunakan ungkapan demikian daripada “sistem dunia menengah dua ribu.” Karena sistem dunia menengah bukan dua kali ukuran seribu sistem dunia kecil, melainkan seribu kali ukuran itu, yaitu, seribu sistem dunia kuadrat. Demikian pula, persis di bawah, sebuah tisahassī mahāsahassī lojadhātu bukanlah tiga kali ukuran sistem dunia kecil, melainkan seribu kali ukuran sistem dunia menengah seribu-pangkat-dua, dengan kata lain seribu sistem dunia kubik.

515 > Mungkinkah paragraf ini menandai langkah besar menuju pendewaan Sang Buddha? Dalam nuansanya tampaknya lebih untuk mencocokkan dengan bagian pembukaan dari sūtra-sūtra Mahāyāna seperti Saddhamapuṇḍarika dan pañcavīsati-prajñāparamitā  daripada Nikāya-nikāya Pāli.

516 > Mp: “Ini adalah Bhikkhu Lāḷudāyī (seorang pengacau dalam Saṅgha). Dikatakan bahwa di masa lalu ia kesal terhadap Bhikkhu [Ānanda karena ditunjuk menjadi] pelayan Sang Buddha. Oleh karena itu sekarang ia memperoleh kesempatan, di akhir auman singa Sang Buddha, ia mencoba untuk menusuk keyakinan Bhikkhu Ānanda, seolah-olah memadamkan lilin yang menyala, memukul moncong sapi yang berkeliaran, atau membalikkan mangkuk yang penuh berisi makanan.”

517 > Mp: “Sang Buddha mengatakan ini, seolah-olah seorang yang baik hati yang berulang-ulang memberitahu orang lain yang berjalan terhuyung-huyung di tepi jurang, ‘Jalan lewat sini.’”

518 > Ee memperlakukan sutta ini sebagai bagian dari sutta sebelumnya, tetapi Ce dan Be memperlakukannya sebagai sutta berbeda. Demikianlah dimulai dari sutta berikutnya, penomoran saya menjadi kurang satu dari Be dan lebih satu dari Ee.

519 > Ce ahampamhā, ahampamhā; Ee, sebenarnya sama, hanya memecah bagian sandhi: aham pi amhā, aham pi amhā. Be aham pi dammo aham pi dammo tampaknya merupakan usaha untuk menjelaskan versi aslinya yang tidak jelas. Terjemahan Sinhala mengulangi versi Pāli dan menambahkan dalam kurung mama de gavayem, mama de gavayem, (“aku juga seekor sapi, aku juga seekor sapi”). DOP menghubungkan amhā dengan Skt hambhā, “lenguhan seekor sapi, seekor sapi.” Baca SED, sv hambhā, “lenguhan anak sapi.”

520 > Mp: “Pengetahuan hancurnya muncul pertama kali (khayasmiṃ pathamaṃ ñāṇam): pertama-tama pengetahuan sang jalan muncul, disebut pengetahuan hancurnya karena merupakan pengetahuan yang berhubungan dengan sang jalan, yang disebut hancurnya karena menghancurkan kekotoran-kekotoran. Segera diikuti dengan pengetahuan akhir (tato aññā anantarā): segera setelah pengetahuan jalan ke empat muncul, maka buah Kearahattaan muncul.”

521 > Mp: “Pengetahuan muncul (ñāṇaṃ ve hoti): ini adalah pengetahuan peninjauan” (paccavekkhaṇañāṇa); baca Vism 676, Ppn 22.19-21.

522 > Khuddānukhuddakāni sikkhāpadāni. Pada DN 16.6.3, II 154, 16-17, tidak lama setelah wafat, Sang Buddha memperbolehkan para bhikkhu, jika mereka menghendaki, untuk menghapuskan aturan-aturan ini. Akan tetapi, dalam kisah konsili Buddhis pertama dalam Vinaya, para bhikkhu tidak  memastikan aturan-aturan mana yang minor dan oleh karena itu memutuskan untuk mempertahankan semuanya (Vin II 287,29-288,35). Mp, dalam mengomentari sutta sekarang ini, mengatakan: “Para guru yang memiliki kekhususan ada Anguttara Nikāya, mengatakan, ‘Terlepas dari empat pārājika (pelanggaran yang mengakibatkan pengusiran), semua lainnya adalah kecil dan minor.” (ime pana aṅguttaramahānikāyavaḷañjanaka-ācariyā ‘cattāri pārājikāni ṭhapetvā sesāni sabbānipi khuddānukhuddakāni’).

523 > Na hi m’ettha, bhikkhave, abhabbatā vuttā. Mp menuliskan: “Para bhikkhu, Aku tidak mengatakan bahaw adalah tidak mungkin bagi seorang mulia untuk jatuh ke dalam pelanggaran demikian dan direhabilitasi” (bhikkhave na hi mayā ettha evarūpa¸āpattiṃ āpajjane ca vuṭṭhāne ca ariyapuggalassa abhabbatā kathitā).

524 > Tāni ādibrahmacariyikāni brahmacariyasāruppāni. Mp: “Aturan-aturan latihan itu yang fundamental bagi kehidupan spiritual: ini adalah empat aturan latihan utama yang fundamental bagi kehidupan spiritual sang jalan. Yang selaras dengan kehidupan spiritual: [Aturan-aturan] yang sama ini adalah selaras dengan, sesuai untuk, kehidupan spiritual empat jalan” (ādibrahmacariyikānī ti maggabrahmacariyassa ādibhūtāni cattāri mahāsīlasikkhāpadāni; brahmacariyasāruppānī ti tāni yeva catumaggabrahmacariyassa sāruppāni anucchavikāni).

525 > Ini adalah yng pertama, yang paling lambat, dari ketiga tingkat pemasuk-arus. Kedua lainnya persis di bawah. Nama Pāli untuk ketiga ini, berturut-turut adalah: sattakkhattuparama, kolaṃkola, dan ekabījī.

526 > Ini adalah lima tingkat yang-tidak-kembali, disajikan di sini dari tingkat yang paling lambat hingga yang paling tajam. Untuk pembahasan yang lebih lengkap, baca 7:55.

527 > Taṃ vā pana anabhisambhavaṃ appaṭivijjhaṃ. Mp: “Jika ia tidak mencapai dan menembus Kearahattaan itu” (taṃ arahattaṃ apāpuṇanto appaṭivijjhanto).

528 > Mp, mengomentari syair ini dan syair sebelumnya, mengatakan: “Seperti sebelumnya, demikian pula sesudahnya: seperti seseorang yang sebelumnya berlatih dalam tiga latihan, demikian pula ia berlatih di dalamnya sesudahnya; dan demikian pula untuk baris ke dua. Seperti di bawah, demikian pula di atas: seperti halnya seseorang melihat bagian bawah tubuhnya sebagai tidak menarik, ia memperluasnya ke bagian atas; dan kebalikannya untuk baris ke dua. Seperti siang, demikian pula malam: seperti halnya seseorang berlatih dalam tiga latihan pada siang hari, demikian pula ia melatihnya pada malam hari; dan kebalikannya pada baris ke dua. Setelah mengatasi segala penjuru melalui objeknya, dengan konsentrasi tidak terukur, dengan konsentrasi jalan Kearahattaan.”

529 > Bersama Be dan Ee saya membaca dhīraṃ paṭipadantaguṃ. Ce menuliskan vīraṃ. Mp mengemas: “Seorang bijaksana yang memiliki kebijaksanaan; seorang yang bijaksana dalam hal kelompok-kelompok unsur kehidupan, bijaksana dalam hal landasan-landasan indria, mendatangi akhir dari praktik” (khandhadhīra-āyatanadhīravasena dhīraṃ dhitisampannaṃ paṭipattiyā antaṃ gataṃ).

530 > Mp: “Ini adalah kebebasan pikiran Arahant, muncul dengan lenyapnya kesadaran terakhir. Ini bagaikan padamnya pelita sepenuhnya. Tidak ada tempat kemana ia pergi yang terlihat; hanya ada kedatangan pada kondisi yang tidak terlihat (apanṇattikabhāvūpagamano yeva hoti).”

531 > Adhisallikhatev’āyaṃ samaṇo. Mp tidak membantu dengan adhisallikhati, mengemasnya dengan ativiya sallikkhitaṃ katvā saṇhaṃ saṇham katheti. DOP menuliskan “teramat sangat berhati-hati.” Ungkapan ini juga terdapat dalam konteks serupa pada MN U 449,12-13.

532 > Sutta itu sendiri tidak menetapkan sebuah triad, tetapi saya mengasumsikan ini adalah perbedaan antara bhikkhu senior, menengah, dan junior yang membenarkan dimasukkannya sutta ini dalam Kelompok Tiga.

533 > Versi cetakan dari Ce tidak menuliskan syair uddāna untuk bab ini, maka saya menggunakan syair dalam versi elektronik Ce sebagai judul sutta.

534 > Accāyikāni. Saya menerjemahkan sesuai dengan kemasan dalam Mp-ṭ: sīghaṃ pavattabbāni, “Untuk dikerjakan dengan cepat.”

535 > Mp: “Keterasingan sehubungan dengan jubah (cīvarapaviveka): Keberpisahan dengan kekotoran-krkotoran yang muncul karena jubah. Metode yang sama untuk kedua lainnya [makanan dan tempat tinggal].”

536 > Mp: “Ini dikatakan sehubungan dengan ditinggalkannya melalui jalan memasuki-arus.”

537 > Ee secara keliru mencetak sutta ini sebagai bagian dari sutta sebelumnya. Ce dan Be, yang saya ikuti, memperlakukannya secara terpisah.

538 > Mp menjelaskan dhammacakkhu sehubungan dengan pengalaman-pengalaman dari konsep jalan saat-ke-saat dari komentar sebagai “mata dari jalan memasuki-arus yang memahami Dhamma empat kebenaran mulia.”

539 > Frasa ini biasanya menunjukkan pencapaian yang-tidak-kembali. Akan tetapi, Mp mengidentifikasikan siswa ini sebagai seorang “jhāna yang-tidak-kembali” (jhānānāgāmī), yaitu, seorang pemasuk-arus atau yang-kembali-sekali yang juga mencapai jhāna. Walaupun praktisi demikian masih belum melenyapkan kedua belenggu keinginan indria dan permusuhan, namun dengan mencapai jhāna maka ia pasti terlahir kembali di alam berbentuk dan mencapai nibbāna di sana, tanpa terlahir kembali di alam indria.

540 > Sintesa sebagian dari 2:43 dan 2:44b.

541 > Saya menerjemahkan potthako berdasarkan pada kemasan Mp vākamayavatthaṃ.

542 > Teks menggunakan majjhimo,lit. “berumur pertengahan.”

543 > Ada dua triad dalam sutta ini. Yaitu bhikkhu tidak bermoral dan bermoral dibedakan dalam junior, menengahm dan senior, dan pembedaan ini membentuk sebuah triad. Selanjutnya, dalam tiap-tiap jenis, diberikan tiga pernyataan – tentang bhikkhu itu sendiri, dampaknya bagi mereka yang bergaul dengannya, dan jasa yang diperoleh dari pemberian yang diberikan kepadanya – yang juga membentuk sebuah triad. Saya menunjukkan triad utama dengan penomoran Arab dan bagian minor dengan penomoran Roman kecil.

544 > Dalam Ee, kalimat ini menandai akhir sutta dan paragraf berikutnya dari sutta baru. Saya mengikuti Ce dan Be, yang memperlakukan paragraf tentang kain dari Kāsi sebagai kelanjutan dari sutta yang sama. Penomoran saya sekarang lebih satu dari Ee.

545 > Tassa taṃ vacanaṃ ādheyyaṃ gacchati gandhakaraṇḍake va naṃ kāsikavatthaṃ nikkhipanti. Kalimat terakhir ini termasuk dalam Ee, dalam tanda kurung, tetapi tidak dalam Ce atau Be. Akan tetapi, Pp 34,37-35,1, tentang tayo kāsikavatthūpamā puggalā, memasukkan kalimat ini (tetapi tanpa nikkhipanti). Saya memasukkannya karena perumpamaan ini adalah padanan yang sesuai dengan yang persis di atas tentang mengusir seorang bhikkhu senior.

546 > Posisi pertama, yang ditolak oleh Sang Buddha, tertulis dalam Pāli: Yo, bhikkhave, evaṃ vadeyya, ‘yathā yathā ‘yaṃ puriso kammaṃ karoti tathā tathā taṃ paṭisaṃvediyatī’ ti, eva¸santaṃ, bhikkhave, brahmacariyavāso na hoti, okāso na paññāyati sammā dukkhassa antakiriyāya. Dan yang ke dua, ditegaskan oleh Beliau, tertulis: Yo ca kho, bhikkhave, evaṃ vadeyya, ‘yathā yathā vedanīyaṃ ayaṃ puriso kammaṃ karoti tathā tathā ‘ssa vipākaṃ paṭisaṃvediyatī’ ti, evaṃ santaṃ, bhikkhave, brahmacariyavāso hoti, okāso paññāyati sammā dukkhassa antakiriyāya.

Perbedaan pasti antara kedua posisi itu tidak jelas. Mp mengatakan melalui penjelasan: “Dengan cara yang persis sama: Jika seseorang mengatakan, ‘Seseorang mengalami akibat kamma yang persis sama dengan cara ia melakukannya,’ oleh karena itu, karena adalah tidak mungkin untuk mencegah akibat kamma setelah dilakukan, maka ia pasti mengalami akibat dari kamma apa pun yang telah ia lakukan. Dalam kasus demikian, maka tidak ada menjalani kehidupan spiritual: kamma yang harus dialami pada saat kelahiran kembali, yang dilakukan sebelum pengembangan sang jalan, pasti harus dialami, apakah ia menjalani kehidupan spiritual atau tidak. Tidak ada kesempatan yang terlihat untuk sepenuhnya mengakhiri penderitaan: karena, dalam kasus demikian, ada akumulasi kamma olehnya dan mengalami akibatnya, oleh karena itu suatu kesempatan tidak akan terlihat untuk mengakhiri penderitaan dalam lingkaran.”

Poin yang ingin dijelasnkan Mp, tampaknya, adalah bahwa jika seseorang harus mengalami akibat dari setiap kamma yang ia lakukan dari jenis yang harus dialami pada saat kelahiran kembali, dan setiap kamma yang ia lakukan dari jenis yang harus dialami dalam beberapa kehidupan berikutnya, maka ia harus melanjutkan kelahiran kembali yang berikutnya, dan ke dalam kelahiran kembali di masa depan yang tidak terhingga, untuk mengalami akibat-akibat itu. Dalam kasus demikian, karena kamma-kamma itu pasti akan matang, maka ia harus tetap berada dalam saṃsāra untuk mengalami buah-buahnya. Akan tetapi, hal ini tidak sepenuhnya jelas dari sutta itu sendiri, jika ini adalah makna yang dimaksudkan. Sebaliknya, tampaknya, bahwa apa yang disampaikan oleh sutta ini adalah bahwa seseorang tidak harus mengalami akibat kamma dengan cara yang persis sama dengan cara ia melakukannya (sehingga, misalnya, jika seseorang membunuh orang lain, maka ia tidak harus dibunuh sebagai balasannya). Intinya, adalah bahwa ketika kamma bermanfaat dan tidak bermanfaat seseorang menjadi matang, maka akibat itu harus dialami, berturut-turut, sebagai menyenangkan dan sebagai menyakitkan, walaupun tingkat kesenangan dan kesakitannya tidak harus bersesuaian dengan kekuatan moral dari perbuatan penyebabnya.

547 > Mp menjelaskan ni dalam terminology teori Abhidhamma bahwa kamma dilakukan melalui tujuah javanacitta, peristiwa pikiran yang aktif secara kamma dalam proses kognisi. Javana pertama adalah jenis yang harus dialami dalam kehidupan ini (diṭṭhadhammavedanīya); jika kehilangan kesempatan untuk matang dalam kehidupan ini, maka akan menjadi mandul (ahosi). Javana ke tujuh adaah yang harus dialami setelah kelahiran kembali dalam kehidupan berikutnya (iupapajjavedanīyai), dan jika kehilangan kesempatan untuk matang dalam kehidupan itu, maka akan menjadi mandul. Kelima javana yang ditengah harus dialami pada beberapa kesempatan berikutnya (aparapariyāyavedanīya), yang berarti bahwa kamma itu dapat menjadi matang setiap saat setelah kehidupan berikut selama ia masih berlanjut dalam saṃsāra. Karena teori ini muncul lama setelah penyusunan Nikāya-nikāya, maka adalah tidak mungkin bahwa ini menyampaikan inti dari paragraf yang sekarang ini. Seperti yang saya jelaskan dalam catatan 546, teks tampaknya hanya mengatakan bahwa ketika seseorang melakukan kamma tidak bermanfaat, maka ia akan mengalami akibatnya sebagai menyakitkan, apakah pada tingkay yang kuat atau lemah, tetapi tingkat dari akibat ini tidak selalu berbanding lurus dengan kerasnya perbuatan penyebab tersebut. Pernyataan sebaliknya berpegang pada kamma bermanfaat, yang harus dialami sebagai menyenangkan. Adalah variasi ini yang memperbolehkan seseorang, melalui pengembangan sang jalan, untuk mengatasi konsekuensi-konekuensi dari kamma berat yang tidak bermanfaat dan karenanya mencapai akhir penderitaan dalam saṃsāra. Interpretasi ini tampaknya berasal dari contoh-contoh yang terdapat dalam sutta.

Paralel China, MĀ 11 (pada T I 433,a12-434a11), tidak menjelaskan perbedaan antara kedua posisi yang berlawanan. Saya membaca sebagai berikut: “Sang Buddha memberitahu para bhikkhu: ‘[Jika seseorang mengatakan:] “Seseorang menerima akibat kamma menurut cara kamma itu dilakukan olehnya” – Dalam kasus ini, ia tidak mempraktikkan kehidupan spiritual dan tidak dapat mengakhiri penderitaan. jika seseorang mengatakan: “Seseorang menerima akibat kamma menurut cara kamma itu dilakukan olehnya” – Dalam kasus ini, ia mempraktikkan kehidupan spiritual dan dapat mengakhiri penderitaan.’” (MANDARIN). Apakah terdapat kekeliruan di sini dalam transmisi tekstual, atau intinya dalam versi ini adalah kedua orang yang menganut pandangan yang sama, satu tidak mempraktikkan dan dengan demikian tidak mengakhiri penderitaan, sedangkan yang lainnya mempraktikkan dan mengakhiri penderitaan.

548 > Paritto appātumo. Mp menjelaskan: “Ia terbatas karena keterbatasan moralitasnya (parittaguṇo). Diriny (ātumā) adalah tubuhnya (attabhāvo); walaupun tubuhnya mungkin besar, namun ia memiliki ‘karakter rendah’ karena keterbatasan moralitasnya.” Ātuma(n) adalah suatu bentuk alternatif dari atta(n) (Skt ātman). Mp mengidentifikasinya sebagai attabhāva. Paralel China membaca frasa yang bersesuaian (yang terdapat pada T I 433a28) sebagai “umur kehidupannya sangat singkat” (MANDARIN).

549 > Teks membaca appadukkhavihārī, yang tidak cocok dengan konteks. Mp menawarkan suatu pemecahan yang tidak meyakinkan pada kata majemuk: “Ia berdiam dalam penderitaan karena perbuatan jahat kecilnya” (appakenapi pāpena dukkhavihārī). Paralel China tidak mencantumkan apa pun yang bersesuaian dengan ini yang membantahnya. Saya mengubah teks menjadi hanya dukkhavihārī. Adalah mungkin bahwa appa masuk melalui kekeliruan pembacaan berdasarkan pada appamāṇavihārī persis di bawah.

550 > Aparitto mahttā (Be: mahatto). Mp (Ce): “Ia tidak terbtas karena moralitasnya tidak terbatas; bahkan walaupun tubuhnya kecil, namun ia memiliki ‘karakter besar’ karena besarnya moralitasnya” (guṇamahantatāya mahattā). Mp menganggap semua kata ini menyiratkan bahwa orang yang sedang digambarkan adalah seorang Arahant, yang mengherankan karena, menurut filosofi Abhidhamma yang mendasari komentar, seorang Arahant tidak menciptakan kamma apa pun sama sekali. Dan lagi, paralel China (pada T I 433b11) menginterpretasikan ini melalui umur kehidupan: “ia memiliki umur kehidupan yang sangat panjang” (MANDARIN).
« Last Edit: 27 January 2013, 03:52:28 AM by Indra »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku TIGA
« Reply #40 on: 27 January 2013, 03:47:30 AM »
551 > Yaitu, sisa yang harus dialami dalam kehidupan-kehidupan mendatang.

552 > Be tidak menuliskan udakamallake di sini.

553 > Kahāpaṇa: satuan mata uang utama yang digunakan di India Utara pada masa Sang Buddha.

554 > Di mana di sini Ce membaca kathaṃrūpo dan di bawah evarūpo, adalah lebih baik membaca seperti Be dan Ee sebagai bentuk akusatif kathaṃrūpaṃ dan evarūpaṃ. Kata-kata ini harus dihubungkan dengan bentuk akusatif masa kini ādiyamānaṃ yang muncul di tengah-tengah tiap-tiap kalimat; mereka adalah, bukan pedagang domba atau tukang daging, melainkan orang yang telah mencuri domba. Yang mengherankan, dalam padanannya tentang si orang kaya, Ce menuliskan dengan benar kathaṃrūpaṃ dan evarūpaṃ, sesuai dengan Be dan Ee.

555 > Saya mengikuti Ce di sini: dhamati sandhamati niddhamati. Taṃ hoti jātarūpaṃ dhantaṃ sandhataṃ niddhantaṃ, anihitaṃ anikkhittakasāvaṃ. Be menuliskan yang sama hingga niddhantaṃ, tetapi kemudian menghilangkan anihitaṃ dan menuliskan aniddhantakasāvaṃ di mana Ce menuliskan anikkhitakasāvaṃ. Ee memperbolehkan alternatif dalam tanda kurung: dhantaṃ sandhantaṃ aniddhantaṃ, anihitaṃ aninnītakasāvaṃ. Sebuah edisi tua Sri Lanka yang disebutkan dalam sebuah catatan untuk Ce juga menuliskan aninnītakāsavaṃ.

556 > Bersama dengan Ce dan Be saya membaca ñātivitakko, bukan seperti Ee jātivitakko, “pikiran-pikiran tentang kelompok [sosial].”

557 > Anavaññattipaṭisaṃyutto vitakko. Lit. “pikiran berhubungan yang tidak diremehkan.” Paralel China, SĀ 1246 (pada T II 341c12-13) menuliskan “pikiran tentang kelahiran kembali di alam surga” (MANDARIN).


558 > Dhammavitakkā. Mp mengemas ini sebagai pikiran yang berhubungan dengan sepuluh kekotoran pandangan terang (dasa vipassan’upakkilesavitakkā), tetapi tampaknya hal ini juga dapat berarti refleksi atas ajaran atau atas subjek meditasi.

559 > Tulisan-tulisan berbeda antara nappaṭipassaddhaladdho dan nappaṭipassaddhiladdho. Perbedaan dapat ditemukan bahkan dalam teks yang sama. Ee konsisten dengan menuliskan nappaṭipassaddhaladdho dalam kalimat negatif dan paṭippassaddhiladdho dalam padanan positifnya. Akan tetapi , Be menuliskan nappaṭippassaddhaladdho dan paṭippassaddhiladdho dalam kalimat-kalimat itu berturut-turut. Yang menjadi semakin membingungkan, Mp (Be) membalik bentuk tersebut, menuliskan nappaṭippassaddhiladdho dalam lema dari komentar pada kata negatif, dan paṭippassaddhaladdho dalam lema dari komentar pada kata positif. Mp (Be), dengan mengomentari sutta ini, menjelaskan nappaṭippassaddhiladdho sebagai “tidak diperoleh melalui penenangan kekotoran-kekotoran sepenuhnya” (na kilesapaṭipassaddhiyā laddho) dan paṭippassaddhaladdho sebagai “diperoleh melalui penenangan kekotoran-kekotoran sepenuhnya” (kilesapaṭippassadhiyā laddho).

Ce membaca na paṭippassaddhiladdho dan paṭippassaddhiladdho dalam sutta, tetapi Mp (Ce) menuliskan na paṭippassaddhaladdho dan paṭippassaddhaladdho dalam lema-lema itu berturut-turut. Terlebih lagi, dalam 5:27 (di mana hanya kata positif yang muncul), Ce dan Be menuliskan paṭippassaddhaladdho, bukan seperti Ee paṭippassaddhiladdho. Mp (Ce) di sini menuliskan paṭippassadhiladdho dalam lema, bukan seperti Mp (Be) paṭippassaddhaladdho. Mp mengatakan bahwa paṭippassadhaṃ dan paṭippassaddhi adalah satu dalam makna (idaṃ atthato ekaṃ), mengusulkan dua solusi: “diperoleh melalui penenangan kekotoran-kekotoran sepenuhnya atau telah mencapai penenangan kekotoran-kekotoran sepenuhnya (kilesapaṭippassaddhiyā laddhattā kilesapaṭippassaddhibhāvaṃ vā laddhattā), dengan demikian maka ini adalah paṭippassaddhiladdho.

560 > Ce dan Ee sasaṅkhāraniggayhavāritavato; pada tempat –vato Be membaca akhiran itu sebagai –gato. Saya menginterpretasikan sasaṅkhāra sebagai “pemaksaan” (lit. “dengan usaha”); niggayha sebagai “setelah menekan”; vārita sebagai “dikekang”; dan (mengikuti Ce) –vato sebagai “ditahan.” Suatu terjemahan berdasarkan pada variasi Be adalah: “tetapi dicapai ketika [kekotoran-kekotoran] dikekang dengan menekan[nya] secara paksa.”

561 > Ce dan Ee na sasaṅkhāraniggayhavāritavato; Be –gato. SĀ 1246 (pada T II 341c21-22) menuliskan: “Bhikkhu itu mencapai konsentrasi yang tidak dipertahankan oleh usaha; ia mencpai keadaan damai dan luhur, keadaan diam yang bahagia, pikiran yang menyatu, di mana semua noda-noda dihancurkan” (MANDARiN).

562 > Yassa yassa ca abhiññā sacchikaraṇīyassa dhammassa cittaṃ abhininnāmeti abhiññā sacchikiriyāya tatra tatreva sakkhibhabbataṃ pāpuṇāti sati sati āyatane. Mp menjelaskan “landasan yang sesuai” sebagai “penyebab masa lalu dan jhāna yang dicapai pada masa sekarang, dan hal-hal lainnya, yang menjadi landasan bagi pengetahuan langsung” (pubbahetusaṅkhāte ceva idāni ca paṭiladdhabe abhiññāpādakajjhānādibhede ca sati sati kāraṇe). Ungkapan ini muncul pada Vism 371,26-33, Ppn 11.122, dan dikomentari pada Vism-mhṭ (edisi VRI, I 429). Vism 376,28-378,2, Ppn 12.14-19, menjelaskan landasan bagi pengetahuan langsung sebagai pikiran terkonsentrasi yang telah mencapai delapan kualitas: yaitu, (1) murni, (2) bersih, (3) tanpa noda, (4) bebas dari kekotoran, (5) lunak, (6) dapat diarahkan, (7) kokoh, dan (8 ) mencapai ketanpa-gangguan. Dengan kata lain, ini mengatakan, “terkonsentrasi” dapat dianggap sebagai kualitas pertama dan “kokoh dan mencapai ketanpa-gangguan” secara bersama-sama merupakan yang ke delapan.

563 > Ini memulai paragraf kanonis standar tentang enam jenis pengetahuan langsung (abhiññā). Lima yang pertama dikomentari secara terperinci dalam Vism bab 12 dan 13.

564 > Di sini saya mengikuti Ce dan Be, yang menempatkan pikiran yang terbebaskan sebelum pikiran yang tidak terbebaskan, bukan seperti Ee, yang kebalikannya.

565 > Ee memperlakukan ini sebagai kelanjutan dari sutta sebelumnya, sedangkan dalam Ce dan Be, yang jelas benar, ini adalah sutta berbeda. Dengan sutta berikutnya, penomoran saya akan lebih dua dari Ee.

566 > Tīṇi nimittāni. Mp mengemas sebagai “tiga penyebab” (tīṇi kāraṇāni). Ketiga nimitta adalah samādhinimitta, paggahanimitta, dan upekkhānimitta.

567 > Dalam SN, “pola” ini dan kedua berikutnya diaplikasikan secara terpisah pada keempat elemen (14:31, II 169-73), kelima kelompok unsur kehidupan (22:26-28, III 27-31), dan enam landasan indria (35:13-18, IV 6-13).

568 > Ee memperlakukan sutta ini sebagai kelanjutan dari sutta sebelumnya, sedangkan Ce dan Be, yang saya ikuti, menganggapnya sutta berbeda. Dengan demikian penomoran saya menjadi lebih tiga dari Ee.

569 > Sekali lagi, Ee memperlakukan sutta ini sebagai kelanjutan dari sutta sebelumnya, sedangkan Ce dan Be, yang saya ikuti, menghitungnya secara terpisah. Dengan demikian penomoran saya menjadi lebih empat dari Ee.

570 > Setughāto gīte, setughāto nacce. Mp: “Semoga terjadi pembongkaran kondisi untuk bernyanyi. Beliau menunjukkan: ‘Tinggalkan bernyanyi bersama dengan kondisinya.’ Metode yang sama berlaku untuk menari.” Tentang setughāto, baca di atas, catatan 497. Alaṃ vo dhammappamoditānaṃ sataṃ sitaṃ sitamattāya. Mp: “Jika ada alasan untuk tersenyum [karena bergembira dalam Dhamma], adalah sepantasnya untuk tersenyum dengan hanya memperlihatkan ujung gigi sekedar untuk menunjukkan bahwa kalian senang.”

571 > Di sini saya menggunakan “perbuatan” untuk kammanta dan “tindakan” untuk kamma. Dalam konteks ini tampaknya tidak ada perbedaan nyata antara keduanya, teks itu sendiri memperlakukannya seolah-olah bersinonim. “Ternoda” diterjemahkan dari kata avassuta, bentuk pasif dari avassavati, yang dihubungkan melalui kata kerja savati, “mengalir,” dengan kata benda asava.

572 > Saya menggunakan satu kata di mana Pāli menggunakan dua kata yang bersinonim untuk kematian, maraṇaṃ dan kālakiriyā.

573 > Mp: “Kamma ini membawa asal-mula – yaitu, akumulasi – kamma lain yang mengarah menuju lingkaran [kelahiran kembali].”

574 > Ee memperlakukan klimat ini sebagai akhir dari sutta dan kalimat berikutnya sebagai awal dari sutta baru. Ce dan Be, yang bersesuaian dengan syair uddāna, menganggapnya sebagai satu sutta dengan membaginya menjadi dua bagian, yaitu akar tidak bermanfaat dan akar bermanfaat.

575 > Mp: “Kamma ini mengarah pada asal-mula kamma menuju akhir lingkaran [kelahiran kembali].”

576 > Ee memperlakukan klimat ini sebagai akhir dari sutta dan kalimat berikutnya sebagai awal dari sutta baru (no. 110), sedangkan Ce dan Be, yang saya ikuti, menganggapnya sebagai satu sutta dengan membaginya menjadi dua bagian. Penomoran saya, dari sutta berikutnya dan seterusnya, lebih dua dari Ee.

577 > Di sin – dan paragraf paralel di bawah – saya mengikuti tulisan Ce: … tadabhinivajjeti. Tadabhinivajjetvā cetasā abhivirājetvā. Be menuliskan tadabhinivatteti. Tadabhinivattetvā cetasā abhinivijjhitvā. Ee menuliskan tadabhinivaddheti dan tadabhinivaddhetvā, yang tidak mungkin benar. Akan tetapi, persis di bawah Ee sepakat dengan Ce, melawan Be, dalam tulisan abhivirājetvā.

578 > Paññāya ativijjha passati. Mp: “Seseorang melihat setelah menembusnya dengan kebijaksanaan sang jalan bersama dengan pandangan terang.”

579 > So kāmesu pātavyataṃ āpajjati (Be menambahkan tāya sebelum kāmesu, mungkin merepresentasikan tāya diṭṭhiyā). Mp: “Menikmati: [pandangan bahwa] minuman itu harus diminum, dinikmati; [ia berpikir bahwa minuman-minuman itu] harus dinikmati dengan pikiran tanpa enggan, seperti halnya air diminum oleh seseorang yang haus” (pivitabbataṃ paribhuñjitabbataṃ nirāsaṅkena cittena pipāsitassa pānīyapivanasadisaṃ paribhuñjitabbataṃ). Ps II 371,22-24, dengan mengomentari pātabyataṃ āpajjanti pada MN I 305,21, mengatakan: “Ia jatuh ke dalam [pandangan bahwa] seseorang harus meminum objek-objek indria dengan kekotoran indriawi, bahwa minuman-minuman itu harus dinikmati menurut kesenangannya” (te vatthukāmesu kikesakāmena pātabyataṃ pivitabbataṃ, yathāruci paribhuñjitabbataṃ āpajjantī ti attho). Pātabba ( = pātavya) muncul sebagai bentuk pasif optatif dari pivati, meminum, pada Vin II 208,11. MN 45.2, I 305, menduga pandangan ini berasal dari “para petapa dan brahmana” yang “berpasangan dengan para pengembara perempuan yang mengenakan jambul di rambut.”

580 > Menurut Abhidhamma Theravāda, ketika meninggal dunia dari alam tanpa bentuk, seorang kaum duniawi mungkin terlahir kembali di alam tanpa bentuk yang sama, di alam tanpa bentuk yang lebih tinggi, atau di alam indria dengan kesadaran kelahiran kembali berakar tiga. Ini berarti bahwa mereka akan terlahir kembali apakah sebagai seorang manusia yang cerdas atau sebagai deva. Kelahiran kembali di alam yang lebih rendah dapat terjadi pada kelahiran berikutnya, tetapi tidak pada kelahiran kembali yang persis setelah kejatuhan dari alam tanpa bentuk. Baca CMA 226-27.
« Last Edit: 27 January 2013, 03:51:29 AM by Indra »

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku TIGA
« Reply #41 on: 27 January 2013, 03:48:27 AM »
581 > Bersama dengan Ce dan Ee saya membaca: yadidaṃ gatiyā upapattiyā sati. Be menghilangkan sati di sini (dan dalam dua paragraf berikutnya), tetapi memasukkannya dalam paralel pada 4:123 dan 4:125. Mp, dalam mengomentari 4:123, menjelaskan: “Ketika ada takdir masa depan dan kelahiran kembali, maka siswa mulia yang adalah seorang yang masih berlatih tidak turun kea lam yang lebih rendah melainkan mencapai nibbāna akhir dalam penjelmaan alam berbentuk yang sama [atau] di alam yang lebih tinggi.” Hal yang sama berlaku, dengan modifikasi yang seperlunya, pada mereka yang terlahir kembali dalam penjelmaan alam tanpa bentuk.

Mp-ṭ pada 4:123 menjelaskan tentang pertanyaan bagaimana siswa mulia dapat terlahir kembali di alam tanpa bentuk: “Ketika Sang Buddha membicarakan tentang umur kehidupan manusia dan deva, Beliau tidak memberikan angka tertentu untuk umur kehidupan [mereka] yang berada di empat alam sengsara dan para deva bumi. Mengapa tidak? Karena di neraka, kamma sendiri menentukan [umur kehidupan]; seseorang akan menderita di sana hingga kammanya habis. Hal yang sama berlaku untuk keempat alam sengsara. Kamma juga menentukan umur kehidupan para deva bumi. Karena beberapa deva di sana tetap hidup di sana selama seminggu, beberapa lainnya selama dua minggu, dan beberapa lainnya selama satu kappa.

“Di antara para manusia, beberapa umat awam menjadi pemasuk-arus dan mencapai buah yang-kembali-sekali, buah yang-tidak-kembali, dan bahkan buah Kearahattaan. Di antara mereka, para pemasuk-arus, dan seterusnya, dapat tetap [dalam kehidupan awam mereka] seumur hidup mereka, tetai para Arahant mencapai nibbāna akhir atau meninggalkan keduniawian [menuju kehidupan tanpa rumah]. Mengapakah? Karena Kearahattaan adalah keadaan yang paling bermoral dan kehidupan awam adalah hina. Tidaklah mungkin bagi para Arahant untuk mempertahankan keadaan paling bermoral dalam kondisi hina, maka mereka mencapai nibbāna akhir [yaitu, meninggal dunia] atau meninggalkan keduniawian. Tetapi ketika para deva bumi mencapai Kearahattaan mereka akan tetap hidup seumur hidup mereka; para pemasuk-arus dan yang-kembali-sekali di antara keenam kelompok para deva alam indria akan hidup seumur hidup mereka. Untuk seorang yang-tidak-kembali adalah lebih cocok untuk pergi menuju penjelmaan di alam berbentuk, dan untuk para Arahant akan mencapai nibbāna akhir. Mengapakah? Karena tidak mungkin mereka akan mengalami kemunduran. Dalam alam berbentuk dan alam tanpa bentuk, semuanya akan hidup seumur hidup mereka. Para pemasuk-arus dan yang-kembali-sekali yang terlahir kembali di alam berbentuk tidak akan kembali ke ala mini, melainkan mencapai nibbāna akhir di sana. Mereka disebut ‘jhāna yang-tidak-kembali.’

“Tetapi apa yang menentukan [kelahiran kembali] bagi mereka yang memperoleh delapan pencapaian meditative? Jhāna yang mana mereka kuasai yang menentukan, karena mereka terlahir kembali sesuai apa pun yang mereka kuasai. Jika mereka menguasai semuanya, apakah yang menentukan [kelahiran kembali mereka]? Pencapaian landasan bukan-persepsi-juga-bukan-bukan-persepsi, karena mereka pasti terlahir kembali di dalam landasan bukan-persepsi-juga-bukan-bukan-persepsi. Bagi para siswa mulia yang terlahir kembali di antara sembilan alam brahma, kelahiran kembali dapat terjadi di sana [di alam yang sama] atau di alam yang lebih tinggi, tetapi tidak di alam yang lebih rendah. Tetapi kaum duniawi mungkin terlahir kembali di alam yang sama, di alam yang lebih tinggi, atau di alam yang lebih rendah. Para siswa mulia di lima alam murni dan empat alam tanpa bentuk mungkin terlahir kembali di alam yang sama atau di alam yang lebih tinggi. Seorang yang-tidak-kembali yang terlahir kembali di alam jhāna pertama memurnikan sembilan alam brahma dan mencapai nibbāna akhir sewaktu berdiam di puncaknya. Tiga deva yang disebut ‘keadaan penjelmaan yang terbaik’: alam berbuah besar (vehapphala), Akaniṭṭha, dan landasan bukan-persepsi-juga-bukan-bukan-persepsi. Para yang-tidak-kembali yang terlahir di ktiga keadaan ini tidak naik lebih tinggi, juga tidak turun lebih rendah, melainkan mencapai nibbāna akhir di sana.”
582 > Apaṇṇako maṇi. Mp-ṭ mengatakan ini adalah dadu jenis khusus dengan enam permukaan, serupa dengan permata, yang digunakan oleh mereka yang menekuni permainan dadu (dice) (evaṃ cha talehi samannāgato pāsakakīḷāpasutānaṃ maṇisadiso pāsakaviseso). Saya menggunakan bentuk jamak yang lebih dikenal daripada bentuk tunggal “die.”

583 > Definisi kemurnian pikiran di sini mengulangi bagian Satipaṭṭhāna Sutta tentang perenungan lima rintangan (DN 22.13, II 300,4 – 301,24; MN 10.36, I 60,7-36).

584 > Sekali lagi, saya mengandalkan syair rangkuman dalam Ce (versi elektronik) untuk judul.

585 > Mp: “Selama dua puluh tahun setelah pencerahan, Sang Tathāgata sering berdiam di antara komunitas-komunitas para deva (devakulesuyeva); kadang-kadang di altar Cāpāla, kadang-kadang di Sārandada, kadang-kadang di Bahuputta, dan kadang-kadang di Gotamaka. Karena Beliau sedang menetap di Vesālī pada saat itu, maka Beliau menetap di alam makhluk halus Gotamaka.” Mp menjelaskan bahwa sutta ini dibabarkan sebagai lanjutan dari Mūlapariyāya Sutta (MN 1). Kisah latar belakang, yang terdapat pada Ps I 56-59, dan diterjemahkan pada Bodhi 2006:82-86, menceritakan bahwa sekelompok brahmana telah menerima penahbisan dari Sang Buddha dan dengan cepat menguasai ajaranNya. Dengan dipenuhi keangkuhan karena pelajarannya mereka, mereka tidak lagi mendengarkan Dhamma. Sang Buddha membabarkan Mūlapariyāya Sutta untuk memotong keangkuhan mereka. Karena tidak mampu memahaminya, mereka menjadi rendah hati dan meminta maaf pada Sang Buddha. Beberapa waktu kemudian Sang Buddha membabarkan Gotamaka Sutta ini untuk menuntun mereka menuju Kearahattaan.

586 > Mp-ṭ menjelaskan sebagai berikut: ‘Melalui pengetahuan langsung (abhiññāya): Beliau mengajarkan Dhamma setelah mengetahui secara langsung, sebagaimana adanya, Dhamma yang harus diajarkan, yang dibedakan melalui yang bermanfaat dan seterusnya dan melalui kelompok-kelompok unsur kehidupan dan seterusnya; dan setelah mengetahui secara langsung metode untuk mengajar mereka yang harus dituntun sesuai dengan kecondongan, kecenderungan,  karakter, dan watak mereka. Dengan landasan (sanidānaṃ): dengan kondisi (sappaccayaṃ), dengan dasar (sakāraṇaṃ), setelah memberikan alasan (hetu), yang mungkin merupakan kecenderungan dari mereka yang akan dituntun, sebuah pertanyaan, atau sebuah insiden khusus. Penawar (sappāṭihāriyaṃ): sebuah penawar adalah obat (paṭiharaṇa) bagi nafsu dan seterusnya. Dhamma ini disertai hal-hal ini, maka ini adalah ‘penawar.’ Karena Sang Guru mengajarkan Dhamma hanya melalui lenyapnya (paṭisedhanavasen’eva) nafsu dan seterusnya.”

Kata sappāṭihāriya agak problematic. Di tempat lain pātihārya digunakan dalam makna keajaiban atau kekuatan gaib, seperti pada 3:60 (pada I 170-72), yang membicarakan tentang tiga “keajaiban”: kekuatan batin, membaca pikiran, dan pengajaran. PED, sv pāṭihārya, melihat sappāṭihāriya sebagai diturunkan dari penggunaan ini dan menyarankan, dalam konteks yang berhubungan dengan Dhamma, “keajaiban, luar biasa, luhur.” Akan tetapi, saya merasa sulit menerima bahwa makna demikian yang dimaksudkan dalam konteks ini. Kata kerja paṭiharati berarti “membalas,” dan bentuk kausatif paṭihāreti “menghalau, menghindari.” Saya percaya bahwa makna ini sesuai baik dengan penggunaan di sini maupun dengan hubungannya dengan keajaiban. Sebuah keajaiban “melawan” dasar pemikiran konseptual dari pikiran dan membukanya pada realitas yang menakjubkan. Tetapi Dhamma menyerang dengan cara berbeda. Dhamma “melawan” pandangan-pandangan menyimpang dan kekotoran-kekotoran, dan dengan demikian secara langung melawan atau menawarkan. Interpretasi ini didukung oleh 8:70 (IV 310-11), di mana Sang Buddha menyebutkan bahwa para siswaNya “dapat secara menyeluruh membantah dalam cara-cara logis pendirian-pendirian lain yang sedang beredar dan mengajarkan Dhamma sappāṭihāriya” (appannaṃ parappavādaṃ sahadhammena suniggahitaṃ niggahetvā sappāṭihāriyaṃ dhammaṃ desessnti). Di sini karakter sappāṭihāriya dari Dhamma harus dihubungkan, bukan pada keajaiban, melainkan pada kemampuannya untuk melawan pendirian lawan. Dengan demikian “penawar” atau “yang secara langsung melawan” dapat menerjemahkan kata itu dengan baik.
587 > Purāṇasabrahmacārī. Mp mengatakan bahwa mereka telah menetap bersama di pertapaan Ālāra Kālāma. Ālāra Kālāma adalah salah satu guru meditasi dari mana Sang Calon Buddha berlatih sebelum pencerahanNya. Baca MN I 163-64.

588 > Jelas ini adalah Hatthaka dari Āḷāvī (baca 1:251), walaupun Mp tidak mengidentifikasikannya demikian.

589 > Mp menjelaskan dhammāpavattino sebagai “Kata-kata Buddha yang engkau pelajari di masa lampau” (pubbe uggahitabuddhavacanaṃ).

590 > Mp: “Ajaran-ajaran yang telah ia lupakan karena ia lalai mengulang-ulangnya.”

591 > Aviha: salah satu dari lima alam murni (suddhāvāsa) yang mana hanya para yang-tidak-kembali yang terlahir kembali di sana.

592 > Goyogapilakkhasmiṃ. Mp: “Di dekat pohon fig yang tumbuh di tempat penjualan ternak.” PED menjelaskan pilakkha sebagai pohon fig berdaun-ombak.

593 > Rittasādaṃ bāhirassādaṃ. Mp: “Merasa tidak puas: tanpa kenikmatan jhāna. Mencari kepuasan di luar: kepuasan dari kenikmatan indria.” Paralel China, SĀ 1081 (T II 283a20-283b26) mengatakan (pada 283a23) bahwa “ia telah memunculkan suatu pikiran tidak bermanfaat yang berhubungan dengan ketagihan yang jahat” (MANDARIN).

594 > Ma kho tvaṃ attānaṃ kaṭuviyam akāsi. Mp mengemas kaṭuviyam hanya sebagai ucchiṭṭaṃ, makanan “sisa,” tanpa penjelasan lebih lanjut. DOP mendefinisikan kata ini sebagai “(apa yang) tersisa; (apa yang) kotor, tidak murni.”

595 > Be āmagandhena; Ce dan Ee āmagandhe. Baca Āmagandha-sutta, Sn 239-52. Mp: “Bau busuk yang terdapat dalam kemarahan.”

596 > Saṃvegamāpādi. Mp: “Ia menjadi seorang pemasuk-arus.” Sutta-sutta biasanya menggunakan formula umum ini untuk menunjukkan pencapaian tingkat memasuki-arus, tetapi formula ini tidak terdapat dalam teks yang sekarang ini.

597 > Ce membaca pāda b aladdhā samamattano; Be aladdhā samathamattano; Ee sammamattano. Saya lebih menyukai tulisan Ce. Seluruh tiga edisi membaca kata kerja dalam pāda c sebagai pareti, yang dikemas Mp sebagai gacchati.

598 > Nāsayitvāna makkhikā. Bentuk absolutif ini berasal dari kata kerja nāseti, “menghancurkan.”

599 > Makna yang jelas dari kalimat ini tidak jelas bagi saya, mungkin maknanya adalah bahwa para perempuan sebaiknya berada di dalam rumah daripada diperbolehkan bepergian di tempat-tempat umum sendirian. Paralel China, EĀ 22.4 (pada T II 607b26 0607c11), persis seperti Pāli, walaupun mencantumkan syair yang hanya mengulangi kalimat yang sama seperti pada bagian prosa sutta ini.

600 > Dua pertama terdapat pada 2:47. tentang “kumpulan yang terlatih hingga batasnya” (Ce yāvatāvavinītā parisā; Be yāvatāvinītā parisā; Ee yāvatajjhāvinītā parisā), Mp mengatakan: “Terlatih melalui kapasitasnya, bermakna suatu kumpulam yang terlatig setelah seseorang mengenali kapasitasnya” (pamāṇavesana vinītā, pamāṇaṃ ñatvā vinītaparisā ti attho). Ini tampaknya merupakan kemunculan satu-satunya ungkapan ini dalam Nikāya-nikāya. Mp juga mengenali tulisan yāvatajjhā, yang dijelaskan sebagai “suatu kumpuan yang terlatih setelah seseorang mengenali kecenderungannya” (yāva ajjhāsayā ti attho, ajjhāsayaṃ ñatvā vinītaparisā ti vuttaṃ hoti). Vanarata lebih menyukai variasi Burma yang disebutkan dalam catatan dalam Ee, yāvatajjanīvinītā parisā, yang ia pahami sebagai “sebuah kumpulan yang berlatih hanya selama (yāva) ada ancaman.”

601 > Thitā sā dhātu dhammaṭṭhitatā dhammaniyāmatā. Mp hanya memberikan kemasan kata yang tidak membantu yang berdasarkan pada identifikasi dhamma sebagai sesuatu yang membawa sifat sejati (sabhāva): Dhammaṭṭhitatā ti sabhāvaṭṭhitatā. Dhammaniyāmatā ti sabhāvaniyāmatā.[/i]

602 > Mp menjelaskan ketidak-kekalan (anicca) di sini sebagai ketiadaan setelah kemunculan (hutvā abhāvaṭṭhena); penderitaan (dukkha) sebagai kesengsaraan (sampīḷanaṭṭhena dukkā); dan tanpa-diri (anattā) sebagai tidak dapat dikuasai (avasavattanaṭṭhena). Dalam SN 12:20, II 25-27, kerangka yang sama ini diterapkan pada formula dua belas dari kemunculan bergantungan.

603 > Ce kesakambalo tesaṃ pāvārānaṃ patikiṭṭho, bukan seperti Be dan Ee kesakambalo tesaṃ paṭikiṭṭho. PED mendefinisikan pāvāra sebagai “sebuah jubah, sebuah mantel.”

604 > Baca 1:319 untuk kritik lainnya pada Makkhali Gosāla. Perumpamaan jebakan ini juga muncul pada bagian akhir sutta ini.

605 > Ee memperlakukannya sutta ini sebagai kelanjutan dari sutta sebelumnya, sedangkan Ce dan Be, yang saya ikuti, memperlakukannya sebagai sutta terpisah. Dengan demikian penomoran sana sekali lagi menjadi lebih tiga dari Ee.

606 > Ce dan Ee tayo ca assasadasse … tayo ca purisasadasse. Lit., “Ketiga jenis kuda yang baik di antara kuda-kuda dan ketiga jenis kuda yang baik di antara orang-orang.”

607 > Ee pada I 291-292 menggabungkan sutta ini dan kedua sutta berikutnya ke dalam satu sutta, 3:140 dalam penomorannya. Ce dan Be menghitung masing-masingnya secara terpisah. Baca 11:10, yang menggaungkannya ke dalam satu sutta dengan penambahan dua faktor tambahan dri total sembilan kualitas. Dari 3:146 dan seterusnya, penomoran saya lebih lima dari Ee.

608 > Seorang yang melampaui latihan (asekha) adalah Arahant.

609 > Ee tidak menomori sutta ini sebagai vagga terpisah melainkan memberi judul Acelakavagga. Ce menghitungnya sebagau vagga ke enam dalam Lima Puluh Ke tiga, yang disebut Paṭipadāvagga. Be juga menghitungnya sebagai vagga ke enam (ke enam belas dalam total Buku Kelompok Tiga, yang disebut Acelakavagga, “Bab tentang Petapa Telanjang.”

610 > Saya mendasarkan judul sutta ini pada syair Uddāna dari Be. Baik Ce maupun Be tidak memberikan judul pada sutta ini; baik Ce maupun Ee tidak mencantumkan syair uddāna.


611 > Cara praktik yang kasar (āgāthā paṭipadā) bersesuaian dengan menikmati kenikmatan indria secara ekstrim; cara praktik yang melepuhkan (nijjhāmā paṭipadā), bersesuaian dengan penyiksaan diri. Kedua ekstrim tersebut adalah yang ditolak oleh Sang Buddha dalam khotbah pertama (SN 56:11, V 421,4-9).

612 > Daftar praktik pertapaan berikut ini juga terdapat pada DN I 166-67; MN I 77-78, 307-8, 342-43.

613 > Ee merangkum semua sutta ini ke dalam satu sutta yang dinomori 152. Saya mengikuti Ce dan Be dalam menghitung masing-masing sutta secara terpisah.

614 > Ee menggabungkan masing-masing pasang sutta ini, berturut-turut berdasarkan kualitas yang mengarah menuju neraka, dan menuju surga, ke dalam satu sutta, dan dengan denikian menghitung sepuluh sutta (153-62, dalam penomorannya). Ce dan Be, yang saya ikuti, menomori masing-masing pasangan sutta yang berlawanan secara terpisah dan dengan demikian menghitung dua puluh sutta.

615 > Be dan Ee hanya menghitung satu sutta di sini, 184 dan 163 dalam penomorannya masing-masing. Ce, yang saya ikuti, menghitung 170 sutta.

616 > Bersama dengan Be dan Ce, saya hanya membaca tayo dhammā bukan seperti Ce ime tayo dhammā

617 > Suññato samādhi, animitto samādhi, appanihito samādhi. Mp hanya mengatakan bahwa “pandangan terang dijelaskan melalui ketiga ini (tīhipi samādhīhi vipassanā va katthitā).” Ketiga ini disebutkan sebagai satu kelompok pada DN III 219,21-22, sekali lagi tanpa penjelasan, tetapi Sv III 1003-4 mengomentari: “Penjelasannya ada tiga, melalui kedatangannya (āgamanato), melalui kualitas (saguṇato), dan melalui objek (ārammaṇato). (1) melalui kedatangan, (i) seorang bhikkhu menginterpretasikan dalam hal ketiadaan-diri, melihatnya dalam hal ketiadaan-diri, dan mencapai sang jalan melalui [perenungan] tanpa-diri; baginya, pandangan terang disebut ‘kekosongan.’ Mengapakah? Karena ketiadaan kekotoran yang bertanggung jawab atas [gagasan] diri atau ketidak-kosongan. Konsentrasi sang jalan (maggasamādhi), karena dicapai melalui pandangan terang, maka disebut kekosongan, (ii) Yang lainnya menginterpretasikan dalam hal ketidak-kekalan, melihatnya dalam hal ketidak-kekalan, dan mencapai sang jalan melalui [perenungan] ketidak-kekalan; baginya, pandangan terang disebut ‘tanpa gambaran.’ Mengapakah? Karena ketiadaan kekotoran yang bertanggung jawab atas gambaran. Konsentrasi sang jalan, karena dicapai melalui pandangan terang, maka disebut tanpa gambaran; dan konsentrasi buah, karena dicapai melalui jalan ini, juga disebut tanpa gambaran. (iii) Yang lainnya menginterpretasikan dalam hal penderitaan, melihatnya dalam hal penderitaan, dan mencapai sang jalan melalui [perenungan] penderitaan; baginya, pandangan terang disebut ‘tanpa keinginan.’ Mengapakah? Karena ketiadaan kekotoran yang bertanggung jawab atas keinginan-keinginan. Konsentrasi sang jalan, karena dicapai melalui pandangan terang, maka disebut tanpa keinginan; dan konsentrasi buah, karena dicapai melalui jalan ini, juga disebut tanpa keinginan. (2) Melalui kualitas: Konsentrasi sang jalan adalah kosong karena kosong dari nafsu, dan seterusnya; tanpa gambaran karena gambaran-gambaran nafsu, dan seterusnya, tidak ada; dan tanpa keinginan karena keinginan-keinginan yang disebabkan oleh nafsu, dan seterusnya, tidak ada. (3) Melalui objek: Nibbāna adalah kekosongan karena kosong dari nafsu, dan seterusnya; tanpa gambaran dan tanpa keinginan, karena tanpa gambaran nafsu, dan seterusnya, dan tanpa keinginan yang disebabkan oleh nafsu, dan seterusnya.” Vism 657,13-259,10, Ppn 21.66-73, membahas ketiga “gerbang menuju kebebasan” (vimuttimukkha) dengan ketiga nama yang sama.
« Last Edit: 27 January 2013, 03:50:24 AM by Indra »

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: ANGUTTARA NIKAYA buku TIGA
« Reply #42 on: 10 July 2013, 12:07:21 PM »
-- delete --
« Last Edit: 10 July 2013, 12:10:50 PM by dhammadinna »

 

anything