Mengenai pencapaian Buddha Vipassi yang tanpa melalui Jhana 1-4, namun langsung melalui perenungan terhadap paticca samupadda, silahkan baca kutipan ini.
Setelah melihat empat hal (Orang tua, sakit, mati dan pertapa) seperti yang dialami oleh Siddhatta Gotama, Pangeran Vipassi kemudian melakukan pengasingan. Demikian kutipan ceritanya:
Mahapadana Sutta
Dalam:
Khotbah-khotbah Panjang
Sang Buddha
Digha Nikàya
Penerjemah:
Team Giri Mangala Publication
Team DhammaCitta Press
DhammaCitta, 2009
Hal. 176-179
[...]
Kemudian Pangeran Vipassi berkata kepada kusirnya: “Engkau bawalah kereta itu dan kembalilah ke istana. Tetapi aku akan tinggal di sini dan mencukur rambut dan janggutku, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan keduniawian dan menjalani kehidupan tanpa rumah.” “Baik, Pangeran,” jawab sang kusir, dan kembali ke istana. Dan Pangeran Vipassi, mencukur rambut dan janggutnya dan mengenakan jubah kuning, pergi meninggalkan kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah.’
‘Dan sekelompok besar orang dari ibu kota kerajaan, Bandhumatã, delapan puluh empat ribu orang, mendengar bahwa Pangeran Vipassi telah meninggalkan keduniawian untuk menjalani kehidupan tanpa rumah. Dan mereka berpikir: “Ini tentu bukan ajaran dan disiplin biasa, bukan pelepasan biasa, yang karenanya Pangeran Vipassi mencukur rambut dan janggutnya, mengenakan jubah kuning dan meninggalkan kehidupan rumah tangga untuk menjalani kehidupan tanpa rumah. Jika Sang Pangeran bisa melakukan hal itu, mengapa kita tidak?” Dan demikianlah, para bhikkhu, sekelompok besar orang berjumlah delapan puluh empat ribu, mencukur rambut dan janggut mereka dan mengenakan jubah kuning, mengikuti Bodhisatta Vipassi menjalani kehidupan tanpa rumah, dan dengan para pengikutnya ini, Sang Bodhisatta melakukan perjalanan melewati desa-desa, pasar, dan kota-kota.’
‘Kemudian Bodhisatta Vipassi, setelah pergi ke tempat sunyi, muncul pikiran: “Tidaklah pantas bagiku untuk hidup bersama-sama sekelompok besar orang seperti ini. Aku harus menetap sendirian, menarik diri dari kerumunan ini.” Maka tidak lama kemudian, ia meninggalkan kerumunan itu dan menetap sendirian. Delapan puluh empat ribu orang mengambil satu arah, Sang Bodhisatta mengambil arah lainnya.’
‘Kemudian, ketika Sang Bodhisatta telah memasuki tempat pengasingannya sendiri, di tempat yang sunyi, ia berpikir: “Dunia ini, aduh! dalam keadaan yang sangat menyedihkan: ada kelahiran dan kerusakan, ada kematian dan terjatuh dalam kondisi-kondisi lainnya dan terlahir kembali. Dan tidak seorang pun yang mengetahui jalan membebaskan diri dari penderitaan ini, usia-tua dan kematian ini. Kapankah kebebasan dari penderitaan ini, dari usia-tua dan kematian ini ditemukan?”
‘Dan kemudian, para bhikkhu, Sang Bodhisatta berpikir: “Dengan apakah yang ada, yang mengakibatkan usia-tua-dan-kematian terjadi? Apakah yang mengondisikan usia-tua-dan-kematian?” Dan kemudian, para bhikkhu, sebagai akibat dari kebijaksanaan yang muncul dari perenungan mendalam, perlahan-lahan pencapaian muncul dalam dirinya: “Karena kelahiran ada, maka usia-tua-dan-kematian terjadi, kelahiran mengondisikan usia-tua-dan-kematian.”
‘Kemudian ia berpikir: “Apakah yang mengondisikan kelahiran?” dan perlahan-lahan pencapaian muncul dalam dirinya: “Penjelmaan mengondisikan kelahiran” … “Apakah yang mengondisikan penjelmaan?” … “Kemelekatan mengondisikan penjelmaan” … “Keinginan mengondisikan kemelekatan” … “Perasaan mengondisikan keinginan” … “Kontak mengondisikan perasaan” … “Enam landasan indria mengondisikan kontak” … “Batin-dan-jasmani mengondisikan enam-landasan-indria” … “Kesadaran mengondisikan batin-dan-jasmani” .… Dan kemudian, para bhikkhu, Bodhisatta Vipassi berpikir: “Dengan apakah yang ada, yang mengakibatkan kesadaran terjadi? Apakah yang mengondisikan kesadaran?” Dan kemudian, sebagai akibat dari kebijaksanaan yang muncul dari perenungan mendalam, perlahan-lahan pencapaian muncul dalam dirinya: “Batin-dan-jasmani mengondisikan kesadaran”.’
Kemudian, para bhikkhu, Bodhisatta Vipassi berpikir: “Kesadaran ini kembali kepada batin-dan-jasmani, tidak pergi lebih jauh lagi. Hingga sejauh ini, ada kelahiran dan kerusakan, ada kematian dan terjatuh dalam kondisi-kondisi lainnya dan kelahiran kembali, yaitu: Batin-dan-jasmani mengondisikan kesadaran dan kesadaran mengondisikan batin-dan-jasmani, batin-dan-jasmani mengondisikan enam-landasan-indria, enam-landasan-indria mengondisikan kontak, kontak mengondisikan perasaan, perasaan mengondisikan keinginan, keinginan mengondisikan kemelekatan, kemelekatan mengondisikan penjelmaan, penjelmaan mengondisikan kelahiran, kelahiran mengondisikan usia-tua-dan-kematian, dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan kesusahan. Dan demikianlah keseluruhan penderitaan ini berasal-mula.” Dan pada pikiran: “Asal-mula, asal-mula”, muncullah dalam diri Bodhisatta Vipassi, pandangan terang ke dalam hal-hal yang belum pernah dicapai sebelumnya, pengetahuan, kebijaksanaan, kesadaran, dan cahaya.’
‘Kemudian ia berpikir: “Dengan tidak adanya apakah, maka usia-tua-dan-kematian tidak terjadi? Dengan lenyapnya apakah, maka usia-tua-dan-kematian lenyap?” Dan kemudian, sebagai akibat dari kebijaksanaan yang muncul dari perenungan mendalam, perlahan-lahan pencapaian muncul dalam dirinya: “Dengan tidak adanya kelahiran, maka usia-tua-dan-kematian tidak terjadi. Dengan lenyapnya kelahiran, maka usia-tua-dan-kematian lenyap” … “Dengan lenyapnya apakah, maka kelahiran lenyap?” “Dengan lenyapnya penjelmaan, maka kelahiran lenyap” … “Dengan lenyapnya kemelekatan, maka penjelmaan lenyap” … “Dengan lenyapnya keinginan, maka kemelekatan lenyap” … “Dengan lenyapnya perasaan, maka keinginan lenyap” … “Dengan lenyapnya kontak, maka perasaan lenyap” … “Dengan lenyapnya enam-landasan-indria, maka kontak lenyap” … “Dengan lenyapnya batin-dan-jasmani, maka enam-landasan-indria lenyap” … “Dengan lenyapnya kesadaran, maka batin-dan-jasmani lenyap” … “Dengan lenyapnya batin-dan-jasmani, maka kesadaran lenyap” .…’
‘Kemudian Bodhisatta Vipassi berpikir: “Aku telah menemukan jalan pandangan terang (vipassanà) menuju pencerahan, yaitu:
“Dengan lenyapnya batin-dan-jasmani, maka kesadaran lenyap; dengan lenyapnya kesadaran, maka batin-dan-jasmani lenyap; dengan lenyapnya batin-dan-jasmani, maka enam-landasan-indria lenyap; dengan lenyapnya enam-landasan-indria, maka kontak lenyap; dengan lenyapnya kontak, maka perasaan lenyap; dengan lenyapnya perasaan, maka keinginan lenyap; dengan lenyapnya keinginan, maka kemelekatan lenyap; dengan lenyapnya kemelekatan, maka penjelmaan lenyap; dengan lenyapnya penjelmaan, maka kelahiran lenyap; dengan lenyapnya kelahiran, maka usia-tua-dan-kematian, dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan kesusahan lenyap. Dan demikianlah keseluruhan penderitaan itu lenyap.” Dan pada pikiran: “Lenyapnya, lenyapnya”, muncullah dalam diri Bodhisatta Vipassi, pandangan terang ke dalam hal-hal yang belum pernah dicapai sebelumnya, pengetahuan, kebijaksanaan, kesadaran, dan cahaya.’
‘Kemudian, para bhikkhu, pada waktu lain, Bodhisatta Vipassi berdiam merenungkan muncul dan lenyapnya lima gugus kemelekatan: “Demikianlah badan ini, demikianlah munculnya, demikianlah lenyapnya; demikianlah perasaan …; demikianlah persepsi …; demikianlah bentukan-bentukan batin …; demikianlah kesadaran, demikianlah munculnya, demikianlah lenyapnya.” Dan sewaktu ia merenungkan muncul dan lenyapnya lima gugus kemelekatan, tidak lama kemudian batinnya bebas dari kekotoran tanpa sisa.’
‘Kemudian, para bhikkhu, Sang Bhagavà, Sang Arahat, Buddha Vipassi yang telah mencapai Penerangan Sempurna berpikir: “Bagaimana jika Aku mengajarkan Dhamma?” Dan kemudian ia berpikir: “Aku telah menembus Dhamma ini yang sangat dalam, sulit dilihat, sulit ditangkap, damai, luhur, melampaui logika, halus, untuk dipahami oleh para bijaksana.
[...]