//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...  (Read 663338 times)

0 Members and 7 Guests are viewing this topic.

Offline bond

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.666
  • Reputasi: 189
  • Buddhang Saranam Gacchami...
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1530 on: 05 June 2009, 02:07:37 PM »
Quote
by sobat dharma
Munkin terdengar rancu buat yang menganut paham pencerahan secara bertingkat. Paham bahwa seseorang harus melalui dahulu jhana 1, 2, 3 dst hingga mencapai Nirvana memang tidak keliru. Demikian yang dtulis dalam Sammanaphala Sutta dan pola demikian terus diulang-ulang dalam sutta pali lainnya. Namun, urutan demikian dibabarkan semata-mata berdasarkan pengalaman pribadi Sang Buddha Gotama.  Buddha Gotama sendiri pernah bercerita tentang Buddha Vipassi yang tidak melalui urutan demikian dalam mencapai pencerahan sempurna (kalau nggak salah dalam Mahapadana Sutta). Lagipula kedua guru Bodhisatta Gotama, Alara Kalama dan Uddaka Ramaputta yang mengajarkan Landasan Kekosongan dan Landasan tanpa-persepsi dan bukan tanpa-persepsi pada Beliau, tidak dikatakan melalui tahap-tahap secara urut seperti yang diajarkan Buddha Gotama. Bahkan Sang Bodhisatta Gotama mempelajari kedua landasan dari dua guru yang berbeda. Dengan demikian, anggapan harus melalui dahulu jhana 1, 2, 3 dst. sebenarnya hanyalah suatu prosedur alternatif, bukan keharusan.

Memang rancu, Cara apapun entah itu Lewat jhana ataupun direct vipasanna itu memang ada tahapan. Yg terlihat seperti instant adalah karena kecepatannya. Ada yg secepat mogallana ada yg hitungan menit dsb. Apakah Bodhidharma tidak melalui latihan2 sebelumnya yg merupakan faktor pendukung. Entahlah jalur apa yg dipakai Bodhidharma , jika melalui jhana adalah mustahil, ini fakta bukan teori saja. Kalau masuk dari direct vipasana pun tidak ada namanya pencerahan seketika ini juga fakta, realita langsung yg bisa dilihat dalam vipasana. Kalau tidak percaya silakan dipraktekan jadi bukan sebagai asumsi itu adalah anggapan..apa Anda tahu bagaimana landasan memasuki jhana 7 dan 8? Kalau belum coba baca visudhi magga kembali atau tanya guru Anda yg berkompeten lalu praktekan.

Coba Anda tulis isi Mahapadana sutta... :) mengenai alara kalama dan Udaka Ramaputta yg tertulis secara sutta adalah mengenai pencapaian akhir yg mereka capai dalam jhana. Bukan mengenai latihan urut atau bukan berurut. Jika memang demikian tunjukan sutta itu...? bagaimana kalimatnya?

Yg perlu diperjelas juga apa yg dimaksud pencerahan yg Anda maksud? apakah karena munculnya pengetahuan "ting" atau terealisasinya nibbana. Agar jangan salah sambung. Apa mungkin "zap"(istilah marcedes) lsg jhana 7 dan 8 tanpa landasan lainnya?

Quote
by sobat dharma
Bahkan dalam Theravada sendiri, ada Mahasi Sayadaw yang berpendapat bahwa Jhana tidak harus dicapai dahulu untuk mempraktikkan Vipassana. Namun ada sebagian guru dalam Theravada seperti Paauk Sayadaw dan Ajahn Brahm yang mengatakan bahwa Jhana adalah pintu masuk ke semua pencapaian (saya pribadi menyebut pandangan ini sebagai Pan-Jhanaisme).

Jhana dan vipasanna adalah merupakan satu kesatuan yg saling mendukung. Direct vipasanna pada point tertentu kekuatan konsentrasi sama pada jhana hanya bedanya pada objek berbeda. Dan apa yg diajarkan Mahasi dan Paauk tidak bertentangan dan merupakan pandangan benar. Bagaimana dengan pandangan arhata terperangkap karena membayangkan nibbana seperti yg Anda copas ttg Bodhidharma dibawah ini  :

Dengan "membayangkan bahwa mereka mengakhiri penderitaan dan mencapai nirvana Para Arahat berakhir dengan terperangkap oleh nirvana. Namun Para Bodhisattva mengetahui bahwa penderitaan pada dasarnya adalah kosong. Dan dengan tetap dalam kekosongan mereka tetap berada dalam nirvana."

Padahal telah saya katakan berulang-ulang bahwa praktek sebenarnya bukan demikian makanya saya ragu itu benar2 pendapat Bodhidharma. Jadi hal diatas bukanlah hal yg diyakini tapi fakta lapangan.  Kembali saya tekankan Apakah Anda mengerti arti membayangkan dan melihat langsung? ini adalah masalah fakta.

Quote
Pengalaman Bodhidharma justru menggambarkan bagaimana Jhana 1-4 bisa dicapai dengan mudah melalui pintu masuk lain, yaitu langsung melihat ke Bodhicitta atau Pikiran Kebuddhaan. Kalau anda bertanya bagaimana metode pastinya. Saya akan menjawab bahwa pada dasarnya Zen adalah Metode tanpa-metode. Zen adalah metode yang tidak terikat pada suatu cara atau wujud tertentu. Bentuk praktiknya bisa seperti apapun, namun yang penting adalah praktisi Zen terus mengamati pikirannya (citta). Maka dalam Zen tidak peduli apakah yang seseorang praktikkan adalah meditasi samatha bhavana, metta bavana, vipassana bhavana, nienfo, kong-an, dll, jika ia tidak mengawasi pikirannya maka ia akan menyimpang. Dalam Zen, Jhana (sebagaimana yang dimaksud dalam Jhana 1, 2, 3 dan 4 ) hanyalah efek samping dari seseorang yang menjadi sadar akan Bodhicittanya.
   

Metode apapun tentu harus jelas apa yg menjadi dasar kilesa itu telah hilang atau terealisasinya nibbana, jika belum sampai disana bisa dilihat dari latihannya apakah telah mencapai faktor2 pendukung untuk terealisasinya nibbana. Kalau sekedar alasan metodenya apa saja, tidur pun bisa mencapai Buddha  ;D termasuk membunuh pun adalah praktik tanpa metode lah, asalan saja pasti bisa. :)

Perhatikan dibold apakah mengamati citta bisa langsung dilakukan seorang pemula?

Quote
Bukan, Bodhisattva menunda penerangan sempurnanya demi makhluk lain yang masih tersesat
.
ini juga bhava tanha

Quote
Nirvana dalam Mahayana sebagaimana yang saya pahami: tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata dan logika, hanya yang telah merealisasinya yang dapat memahaminya secara sepenuhnya. Setiap usaha menjelaskannya dalam bahasa hanya menghasilkan kerancuan baru. Sedangkan nirvana mikro adalah sebutan untuk pencapaian Para Bodhisattva yang tetap mempertahankan "nirvana" dalam pikirannya namun tetap bertahan dalam samsara. Nirvana mikro atau Bodhicitta hanya dapat disadari ketika seorang Boddhisattva tidak terperangkap dalam "kekosongan" stagnan yang terpisah dari "keberadaan" yang sebagaimana dimiliki oleh awam. Nirvana mikro adalah suatu penembusan yang melampaui itu, sehingga memungkinkan seorang Bodhhisattva tetap dalam dunia yang penuh kilesa namun tetap mempertahankan pencapaiannya.

Nirwana yg dipertahankan adalah berkondisi dan usaha. Artinya masih berenang  ;D Keadaan nirwana memang tidak dapat dijelaskan tapi faktor pendukung dari yg paling awal dapat dijelaskan. Bukan berarti tidak bisa dijelaskan lalu pandangan kita menjadi kabur.

Quote
Saya rasa apa yang dilakukan Paauk Sayadaw, dalam hal ini penjabarannya berdasarkan tuntunan praktik dalam Visuddhimagga sangat bermanfaat kala seseorang membutuhkan petunjuk yang jelas dan terperinci. Master Ch'an seperti Hanshan dalam otobiografinya juga pernah menyinggung persoalan ini. Masalah dalam zen memang tiadanya tuntunan terperinci untuk mengklarifikasi pencapaian seseorang, sehigga banyak praktisi zen yang tersesat di tengah-tengah praktiknya. Bahkan banyak sekali guru zen di masanya yang akhirnya enggan mengajarkan siswa-siswanya mempraktikkan zen semata-mata khawatir jika beliau meninggal tidak ada orang yang menuntun muridnya guna mencapai pencerahan di kala-kala praktiknya sedang membutuhkan tuntunan.

Wajar kalau banyak yg tersesat.  ;D
Saya hanya melihat kemampuan seorang guru untuk menjelaskan, jika tidak ada klarifikasi bisa2 belum merealisasikan nibbana bilangnya sudah, klarifikasi kan tidak perlu mengumbar saya telah mencapai arahat,intern saja(dalam arti oo sudah selesai atau tau sendiri juga bisa tergantung panna). kalau ada tuntunan seharusnya ada penjelasan. Jika tidak, apanya  yg dituntun?

Quote
Namun, tuntunan yang demikian (sebagaimana dalam Visuddhimagga) bukannya tidak membuahkan masalah. Banyak praktisi yang jika terlalu berpegang pada tuntunan tertulis yang baku bisa jadi putus asa karena terlalu terikat dengan deskripsi yang digambarkan dalam tuntunan tersebut. Setiap kali ia memiliki pengalaman dalam meditasinya ia bertanya-tanya terus apakah ia telah mencapai sesuai yang dicantumkan dalam tuntunan atau tidak. Kondisi ini, hanya menimbulkan kegelisahan dan kecemasan baru sehingga mengganggu praktik seseorang. Belum lagi dalam diri praktisi muncul pertanyaan-pertanyaan seperti "kapan saya bisa mencapai tahap seperti yang tertulis dalam tuntunan?" atau "apa yang saya capai koq tidak ada dalam tuntunan ya?"  Dalam hal ini, peran seorang guru yang seperti Paauk Sayadaw, Ajahn Brahma, dll. yang terus menginngatkan siswa-siswanya tentang praktik sebagaimana mestinya sangat penting. Bukan tulisan atau teks yang bisa membantu, namun kehadiran guru itu sendiri dengan pengalaman dan pengetahuannya yang bisa membantu

Instruksi mereka jelas saat berlatih tidak boleh berpikir tentang teori2 hanya melakukan tugasnya saja sesuai instruksi. Tatkala ada masalah, dengan diberikan instruksi jelas maka masalah dapat diselesaikan. Bahkan bisa diselesaikan dengan guru2 yg kompeten laiinya. Bahkan perinciannya pun bisa dijelaskan dengan gamblang setiap rintangan yg ada. Sampai saat ini saya belum melihat cara yg diterangkan dengan gamblang ttg praktek dhamma dalam mahayana.Nah jika arahan dan instruksi sudah jelas dan orang itu tidak mengikuti itu salah orangnya. Beda halnya tanpa metode dan tanpa klarifikasi mentok pun tidak ada jawaban.

Quote
Selain itu perlu diingat, Visuddimagga yang diacu oleh Paauk Sayadaw dan Ajahn Brahm bukanlah satu-satunya tuntunan demikian. Saya pernah mendengar tentang Vimutthimagga (jalan Pembebasan) yang ditulis oleh Arahant Upatissa. Saya sendiri belum sempat membacanya. Nanti kalau sudah membacanya akan kita diskusikan di forum ini.

Isinya mirip dengan visudhi magga bro. Silakan baca2 dulu , bagaimana merealisasi nibbana. Lalu bandingkan pernyataan yg katanya adalah Bodhidharma tentang arahat membayangkan nirvana. Apakah ada penjelasan ttg tulisan bodhidharma tadi? bisa dikatakan vimutti magga juga ttg praktek . Nah bandingkan dengan isi sutra mahayana yg ada. kontradikitif tidak?

Quote

Di luar semua ini, Bodhidharma sendiri tidak mementingkan tuntunan semacam ini. Beliau justru menganjurkan seseorang untuk tidak menceritakan pencapaiannya pada orang lain. Dalam hal ini tuntunan rinci tidaklah diperlukan. Ajarannya sederhana, cukup mengamati/mengawasi pikiran.Transmisi dilakukan oleh guru ke murid dari pikiran ke pikiran. Bagi Bodhidharma, selagi seseorang masih terus waspada dan mengawasi pikirannya ia tidak mungkin tersesat. Mungkin anda tidak sepaham dengannya. Jika demikian, maka terus mengikuti tuntunan dalam Visuddhimagga juga tidak ada salahnya jika memang membuahkan hasil bagi anda. Dalam hal ini, setiap seseorang terus waspada akan pikirannya itulah zen.

Saya setuju dengan Anda Bodhidharma tidak pusing ttg tuntunan itu oleh karena itu saya ragu ttg copasan yg katanya itu adalah kata2 bodhidharma. "cukup mengawasi pikiran" bagaimana? pikiran itu sangat komplex lho. Hal nyata anda bisa mengamati setiap pikiran Anda sekarang? berapa banyak yg muncul, kalau tidak tahu jawabannya, adakah cara sederhana untuk mengetahui pertanyaan saya paling tidak referensi sutranya (dari kemaren ngak keluar2 ;D). Kalau cara zen tidak ada metodenya, ehmm tidak ada lagi yg harus saya tanya. Buddha saja mengajarkan ada cara, ada metode untuk setiap karakter orang dengan landasan pondasi yg sama ;D

Quote
Selama saya masih belum mencapai yang disebutkan, semuanya hanya keyakinan belaka. Bahkan umat Buddha yang belum merealisasi nirvana, nirvana hanyalah keyakinan belaka bukan fakta. Bahkan banyak hal dalam Buddhisme seperti tumimbal lahir, karma, pratitya samutpada, anatta dll semuanya hanya berdasarkan keyakinan belaka jika seseorang belum berhasil menembus pencapaian seperti yang diajarkan laugh Bahkan saya meragukan, jika pencerahan telah dicapai "fakta" sebagaimana yang kita pahami saat ini masih sama Smiley -kala subjek dan objek tidak lagi eksis berdiri sendiri-sendiri apakah fakta masih relevan...

Makanya saya mengajak semuanya untuk lihat keselarasan antara teori dan praktek. Kembali kepada pertanyaan awal membayangkan dan melihat langsung apakah sama? mana yg fakta melihat langsung atau membayangkan. Kalau saya bilang merasakan makanan dengan mencicipinya dan tau rasa itu fakta. Kalau membayangkan itu khayalan. Nah apakah yg Anda yakini ini adalah fakta atau khayalan  ;D
Seperti mengenai jhana lompat, lsg ke jhana 7  & 8 tanpa landasan apapun. Anda sudah melihatnya lsg? kalau belum makanya saya tanya teorinya berupa referensi sutra2nya sampai sekarang koq belum ada respon dari mahayanis ya? alasan mereka debat yg tidak berguna dll. Atau memang ngak ada jawabannya? maaf saya tidak menyerang siapapun....kalau memang tidak ada ya sudah.. ;D
Tapi saya terima kasih bro sobat sudah menjelaskan semampunya. Saya hargai itu jika ada salah kata saya mohon maaf. _/\_






« Last Edit: 05 June 2009, 02:13:51 PM by bond »
Natthi me saranam annam, Buddho me saranam varam, Etena saccavajjena, Sotthi te hotu sabbada

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1531 on: 05 June 2009, 03:10:24 PM »
saudara Sobat-dharma,
dikatakan bahwa jauh kalpa tak terhitung Gotama telah mencapai pencerahan sempurna,
lalu sekarang masih butuh guru? apa orang yang mencapai pencerahan sempurna juga butuh guru?

salam metta.

Hal ini tercantum di dalam sutta pitaka majjhima nikaya. Jika anda meminta pastinya di mana, nanti saya kutipkan setelah saya menemukannya. Saya perlu cari ke rak buku saya dulu, saat ini saya nggak ada di rumah :)

Ya kalau tidak merepotkan, tolong rujukan sutta-nya. thanks

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1532 on: 05 June 2009, 04:42:36 PM »
saudara Sobat-dharma,
dikatakan bahwa jauh kalpa tak terhitung Gotama telah mencapai pencerahan sempurna,
lalu sekarang masih butuh guru? apa orang yang mencapai pencerahan sempurna juga butuh guru?

salam metta.

Hal ini tercantum di dalam sutta pitaka majjhima nikaya. Jika anda meminta pastinya di mana, nanti saya kutipkan setelah saya menemukannya. Saya perlu cari ke rak buku saya dulu, saat ini saya nggak ada di rumah :)

Ya kalau tidak merepotkan, tolong rujukan sutta-nya. thanks
yang ini bukan ?

DVEDHAVITAKKA SUTTA

(Sumber : Sutta Pitaka Majjhima Nikaya II,
Oleh : Tim Penterjemah Kitab Suci Agama Buddha,
Penerbit : Hanuman Sakti, Jakarta, 1997)

 

   1. Demikianlah saya dengar :

      Pada suatu ketika Sang Bhagava berada di Jetavana, Vihara milik Anathapindika, Savatthi. Di sana Beliau menyapa para bhikkhu : "Para bhikkhu."

      "Ya, Bhante," jawab mereka.

      Selanjutnya, Sang Bhagava berkata :
   2. "Para bhikkhu, sebelum saya mencapai penerangan sempurna, ketika saya masih seorang Bodhisatva yang belum mencapai penerangan sempurna, terpikir olehku : 'Seandainya saya membagi pikiranku menjadi dua bagian?' Kemudian aku mulai menerapkan satu sisi pemikiran dengan keinginan-keinginan nafsu (kama), berpikir dengan kemauan jahat (byapada) serta berpikir dengan kekejaman (vihimsa), dan aku menerapkan sisi pemikiran yang lain dengan meninggalkan pemuasan nafsu indera (nekhamma), berpikir tanpa kemauan jahat (abyapada) serta berpikir tanpa kekejaman (avihimsa).

   3. "Sementara saya hidup seperti itu, rajin, tekun dengan keteguhan hati, sebuah pikiran keinginan nafsu (kama) muncul kepadaku. Saya mengerti : 'Pikiran keinginan nafsu muncul padaku. Hal ini mengarah pada penderitaanku, penderitaan orang lain dan penderitaan kedua pihak; hal ini menghambat kebijaksanaan, menyebabkan kesukaran-kesukaran, dan berpaling dari arah mencapai nibbana.' Ketika saya mempertimbangkan: 'Ini mengarah pada penderitaanku sendiri,' hal itu mereda dalam diriku; ketika saya mempertimbangkan: 'Ini mengarah pada penderitaan orang lain,' hal itu mereda dalam diriku; ketika saya mempertimbangkan: 'Ini mengarah pada penderitaan kedua pihak,' hal itu mereda dalam diriku; ketika saya mempertimbangkan: 'Ini menghambat kebijaksanaan, menyebabkan kesukaran-kesukaran, dan berpaling dari arah mencapai nibbana,' hal itu mereda dalam diriku. Bilamana ada pikiran keinginan nafsu muncul dalam diriku, saya meninggalkannya, memindahkannya dan melenyapkannya. ............................


http://www.samaggi-phala.or.id/tipitaka_dtl.php?cont_id=340
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline sobat-dharma

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.286
  • Reputasi: 45
  • Gender: Male
  • sharing, caring, offering
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1533 on: 05 June 2009, 04:49:40 PM »
Bro. Bond,
Saya menilai persoalan utama yang kita bahas berakar dari ketidaksetujuan anda pada pernyataan Bodhidharma bahwa Arahat hanya "membayangkan" dirinya mencapai nirvana. Kemudian akhirnya berujung pada mempertanyakan keabsahan metode Bodhidharma.Untuk itu saya merasa tidak perlu menjawab pertanyaan-pertanyaan anda secara rinci satu persatu. Cukup saya ajukan di sini beberapa keberatan saya tentang argumen bro.

Pertama, saya jadi tidak paham, bagaimana bro. bisa mengatakan bahwa tulisan itu bukan berdasarkan kata-kata Bodhidharma yang aseli. Apakah hanya tidak sesuai dengan pandangan Theravada, maka pernyataan tersebut dianggap sebagai palsu. Bagaimanapun Bodhidharma adalah seorang Mahayanis dan khobahnya ditujukan pada kalangan Mahayanis. Argumen-argumen yang digunakan adalah lazim dalam sutra-sutra Mahayana. Saya tidak melihat adanya ketidaksesuaian antara kata-kata Bodhidharma dengan sutra-sutra Mahayana.Bagi rekan-rekan Mahayanis pun tidak ada yang merasa perlu mempertanyakan keaslian teks tersebut semat-mata dari pendapatnya mengenai Arahat. Sedangkan anda menilainya dari kacamata Theravada, sehingga tidak heran buat anda pernyataan Beliau terkesan aneh dan janggal, karena memang kaca matanya tidak sesuai.

Sejak pertama kali saya menterjemahkan teks ini dan akan menyebarkannya lewat forum, saya sudah mempertimbangkan kemungkinan kesalahpahaman yang akan terjadi di antara kalangan Theravadin jika membacanya.  Namun, bagaimanapun saya mengingat kalangan praktisi zen yang minim bahasa inggrisnya memang membutuhkan teks ini untuk meningkatkan pemahamannya sebagaimana yang saya sendiri peroleh setelah membacanya. Demi inilah, saya memutuskan memposting teks ini meski berisiko menuai krontraversi dari kalangan Theravadin.

Dalam hal ini, saya tidak merasa bahwa kalangan Theravadin yang sulit menerima tulisan ini  harus menerimanya. Saya juga tidak merasa perlu terus-menerus membela tulisan tersebut dengan argumen-argumen. Dalam hal ini saya menyerahkan sepenuhnya pada kekritisan pembaca.


Kedua, soal dukungan saya kepada metode pencerahan seketika. Kalau anda meminta saya mengutip sumber-sumber dari Tipitaka yang kugunakan akan kupenuhi. Namun saya harus mengintip ke buku-buku yang berarti saya harus pulang ke rumah. Saat ini saya belum ada di rumah, sehingga membutuhkan waktu. Mohon kesabarannya :) Namun sebelumnya, saya bertanya apa yang anda maksud sebagai "kondisi pendukung" adalah jhana 1-4?

Ketiga, kalau anda memandang Bodhisattva menunda penerangan sempurnanya demi makhluk lain yang masih tersesat
karena bhava tanha, terserah anda deh :) Kalau anda masih menggunakan kacamata Theravada dalam melihat hal ini, saya rasa tidak ada gunanya berdiskusi tentang ini. Sudah sedemikian panjangnya penjelasan dari teman-teman Mahayana soal ini, namun semuanya berlalu masuk dari telinga kana keluar dari telinga kiri. Saya tidak akan memperpanjang soal ini.

Keempat, soal nirvana saya rasa juga cukup penjelasan dari saya. Kalau bro. sulit memahami atau di akal sehat bro. tidak masuk ada yang namanya "nirvana mikro" ya nggak masalah juga. Ada kata-kata yang mengatakan bahwa untuk membahas sesuatu yang berada di luar konteks bahasa, maka diam adalah cara yang terbaik.

Kelima, dalam zen guru yang menunjuk, murid yang mengalaminya. Kalau anda menilai cocok dengan tutunan yang mendetil silahkan diikuti saja. Saya berharap dengan sungguh-sungguh, semoga anda mencapai pencerahan dengan cara demikian. :)

Keenam, tentang vimuttimagga saya hanya pernah mendengarnya. Saya menyebutnya hanya semata-mata ingin menunjukkan kemungkinan adanya tuntunan versi lain selain Vissudhimagga. Itu saja. Mengenai sesuai atau tidak, saya perlu membacanya langsung dan memutuskannya sendiri :)

Ketujuh, antara "melihat" dan "membayangkan" bisa jadi suatu jebakan. Ada yang merasa dirinya melihat namun sebenarnya membayangkan. Ada merasa dirinya membayangkan namun sebenarnya melihat. Bahkan ada yang membayangkan sedang melihat dan melihat dengan membayangkan ;D  Kapan seseorang yakin ia melihat semata-mata hanya melihat, dan membayangkan semata-mata ia membayangkan? Dan bagaimana seseorang yakin apa yang dikatakan seseorang adalah ada yang ia lihat atau yang ia bayangkan? Jika seseorang bisa melihat dengan bola mata saja maka seharusnya tanpa kesadaranpun mata bisa melihat. Namun jika kesadaran yang "melihat" bersama dengan bola mata, maka pikiranpun ikut melihat.Jika ada kesadaran dan pikiran dalam melihat, maka pada hakikatnya melihat juga adalah membayangkan. Ada yang melihat dengan mata terpejam namun ada yang melihat dengan mata terbuka.

Jika dikatakan seseorang "melihat dan mengetahui" sendiri bahwa ia merealisasi nirvana, sebenarnya dengan apakah ia "melihat" dan "mengetahui"? Apakah ia melihat seperti bola mata dengan kesadaran dan pikirannya melihat ke layar komputer seperti saat ini?  Jika ya, maka tepatlah dikatakan "melihat" dan "megetahui" nirvana adalah sama dengan fakta yang kita pahami semata-mata saat ini. Namun jika "melihat" dan "mengetahui" realisasi nirvana tidak sama dengan "melihat" dan "mengetahui" indera, kesadaran dan pikiran saat ini maka tidak benar menyamakannya dengan fakta yang kita kenal saat ini. Dalam hal ini saya tidak setuju bahwa  "melihat" dan "mengetahui" dalam realisasi nirvana sama dengan fakta objektif yang kita kenal sehari-hari. Karena dalam nirvanatidak ada subjek dan objek. Jika tidak ada subjek (anatta) maka sebenarnya kata "melihat" dan "mengetahui" semata-mata hanya kiasan saja karena tidak ada yang melihat dan tidak ada yang mengetahui. Demikian juga jika tidak ada objek, maka sebenarnya tidak ada yang dilihat dan tidak ada yang diketahui :) Bagaimana mungkin "melihat" dan "mengetahui" dalam proses realisasi disamakan dengan fakta dalam pengertian umum?

Sorry jadi ngelantur :))

Maaf, tantangan anda tentang apakah saya sudah melihatnya lsg metode pencerahan seketika benar-benar seolah-olah menjadikan ehipassiko sama dengan empirisme dalam sains yang berarti "melihat" sebagai "subjek melihat objek." Dalam hal ini saya menilai pertanyaan anda sama sekali melenceng dari pengertian "melihat" dan "mengetahui" dalam ehipassiko.

Kalau anda minta referensi sutra-sutranya, saya sebenarnya skeptis bahwa meskipun saya menunjukkan sutranya pada anda, belum tentu anda meyakini. Jangan-jangan anda hanya akan bertanya, apakah sutranya otentik atau tidak. Perilaku demikian selalu konsisten muncul dari sebagian teman-teman Theravadin yang berdiskusi di forum ini.

Mohon maaf jika ada kata-kata yang menyinggung hati.
Mereka yang melihat-Ku dari wujud dan mengikuti-Ku dari suara terlibat dalam upaya salah. Mereka takkan melihat Aku. Dari Dharma-lah mestinya ia melihat Para Buddha. Dari Dharmakaya datang tuntunan baginya. Namun hakikat sejati Dharma tak terlihat dan tiada seorangpun bisa menyadarinya sebagai obyek

Offline naviscope

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.084
  • Reputasi: 48
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1534 on: 05 June 2009, 04:58:27 PM »
^
^
heh?

wasap bro?
sembarang pecet remote ON
sini, pecet lg OFF
hehehe...
Tinggalkan masa lalu, lepaskan beban akan masa depan, tidak terikat dengan yang sekarang maka kamu akan merasakan kedamain batin.

Leave the past alone, do not worry about the future, do not cling to the present and you will achieve calm.

Offline dilbert

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.935
  • Reputasi: 90
  • Gender: Male
  • "vayadhamma sankhara appamadena sampadetha"
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1535 on: 05 June 2009, 05:12:56 PM »
^
^
^

tadi mau comment reply om-ryu... rupanya di delete.... jadi gak nyambung, akhirnya saya ikutan delete juga...

ok... Back to Topic...
VAYADHAMMA SANKHARA APPAMADENA SAMPADETHA
Semua yang berkondisi tdak kekal adanya, berjuanglah dengan penuh kewaspadaan

Offline bond

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.666
  • Reputasi: 189
  • Buddhang Saranam Gacchami...
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1536 on: 06 June 2009, 10:24:17 AM »
Bro. Bond,
Saya menilai persoalan utama yang kita bahas berakar dari ketidaksetujuan anda pada pernyataan Bodhidharma bahwa Arahat hanya "membayangkan" dirinya mencapai nirvana. Kemudian akhirnya berujung pada mempertanyakan keabsahan metode Bodhidharma.Untuk itu saya merasa tidak perlu menjawab pertanyaan-pertanyaan anda secara rinci satu persatu. Cukup saya ajukan di sini beberapa keberatan saya tentang argumen bro.

Pertama, saya jadi tidak paham, bagaimana bro. bisa mengatakan bahwa tulisan itu bukan berdasarkan kata-kata Bodhidharma yang aseli. Apakah hanya tidak sesuai dengan pandangan Theravada, maka pernyataan tersebut dianggap sebagai palsu. Bagaimanapun Bodhidharma adalah seorang Mahayanis dan khobahnya ditujukan pada kalangan Mahayanis. Argumen-argumen yang digunakan adalah lazim dalam sutra-sutra Mahayana. Saya tidak melihat adanya ketidaksesuaian antara kata-kata Bodhidharma dengan sutra-sutra Mahayana.Bagi rekan-rekan Mahayanis pun tidak ada yang merasa perlu mempertanyakan keaslian teks tersebut semat-mata dari pendapatnya mengenai Arahat. Sedangkan anda menilainya dari kacamata Theravada, sehingga tidak heran buat anda pernyataan Beliau terkesan aneh dan janggal, karena memang kaca matanya tidak sesuai.

Sejak pertama kali saya menterjemahkan teks ini dan akan menyebarkannya lewat forum, saya sudah mempertimbangkan kemungkinan kesalahpahaman yang akan terjadi di antara kalangan Theravadin jika membacanya.  Namun, bagaimanapun saya mengingat kalangan praktisi zen yang minim bahasa inggrisnya memang membutuhkan teks ini untuk meningkatkan pemahamannya sebagaimana yang saya sendiri peroleh setelah membacanya. Demi inilah, saya memutuskan memposting teks ini meski berisiko menuai krontraversi dari kalangan Theravadin.

Dalam hal ini, saya tidak merasa bahwa kalangan Theravadin yang sulit menerima tulisan ini  harus menerimanya. Saya juga tidak merasa perlu terus-menerus membela tulisan tersebut dengan argumen-argumen. Dalam hal ini saya menyerahkan sepenuhnya pada kekritisan pembaca.


Kedua, soal dukungan saya kepada metode pencerahan seketika. Kalau anda meminta saya mengutip sumber-sumber dari Tipitaka yang kugunakan akan kupenuhi. Namun saya harus mengintip ke buku-buku yang berarti saya harus pulang ke rumah. Saat ini saya belum ada di rumah, sehingga membutuhkan waktu. Mohon kesabarannya :) Namun sebelumnya, saya bertanya apa yang anda maksud sebagai "kondisi pendukung" adalah jhana 1-4?

Ketiga, kalau anda memandang Bodhisattva menunda penerangan sempurnanya demi makhluk lain yang masih tersesat
karena bhava tanha, terserah anda deh :) Kalau anda masih menggunakan kacamata Theravada dalam melihat hal ini, saya rasa tidak ada gunanya berdiskusi tentang ini. Sudah sedemikian panjangnya penjelasan dari teman-teman Mahayana soal ini, namun semuanya berlalu masuk dari telinga kana keluar dari telinga kiri. Saya tidak akan memperpanjang soal ini.

Keempat, soal nirvana saya rasa juga cukup penjelasan dari saya. Kalau bro. sulit memahami atau di akal sehat bro. tidak masuk ada yang namanya "nirvana mikro" ya nggak masalah juga. Ada kata-kata yang mengatakan bahwa untuk membahas sesuatu yang berada di luar konteks bahasa, maka diam adalah cara yang terbaik.

Kelima, dalam zen guru yang menunjuk, murid yang mengalaminya. Kalau anda menilai cocok dengan tutunan yang mendetil silahkan diikuti saja. Saya berharap dengan sungguh-sungguh, semoga anda mencapai pencerahan dengan cara demikian. :)

Keenam, tentang vimuttimagga saya hanya pernah mendengarnya. Saya menyebutnya hanya semata-mata ingin menunjukkan kemungkinan adanya tuntunan versi lain selain Vissudhimagga. Itu saja. Mengenai sesuai atau tidak, saya perlu membacanya langsung dan memutuskannya sendiri :)

Ketujuh, antara "melihat" dan "membayangkan" bisa jadi suatu jebakan. Ada yang merasa dirinya melihat namun sebenarnya membayangkan. Ada merasa dirinya membayangkan namun sebenarnya melihat. Bahkan ada yang membayangkan sedang melihat dan melihat dengan membayangkan ;D  Kapan seseorang yakin ia melihat semata-mata hanya melihat, dan membayangkan semata-mata ia membayangkan? Dan bagaimana seseorang yakin apa yang dikatakan seseorang adalah ada yang ia lihat atau yang ia bayangkan? Jika seseorang bisa melihat dengan bola mata saja maka seharusnya tanpa kesadaranpun mata bisa melihat. Namun jika kesadaran yang "melihat" bersama dengan bola mata, maka pikiranpun ikut melihat.Jika ada kesadaran dan pikiran dalam melihat, maka pada hakikatnya melihat juga adalah membayangkan. Ada yang melihat dengan mata terpejam namun ada yang melihat dengan mata terbuka.

Jika dikatakan seseorang "melihat dan mengetahui" sendiri bahwa ia merealisasi nirvana, sebenarnya dengan apakah ia "melihat" dan "mengetahui"? Apakah ia melihat seperti bola mata dengan kesadaran dan pikirannya melihat ke layar komputer seperti saat ini?  Jika ya, maka tepatlah dikatakan "melihat" dan "megetahui" nirvana adalah sama dengan fakta yang kita pahami semata-mata saat ini. Namun jika "melihat" dan "mengetahui" realisasi nirvana tidak sama dengan "melihat" dan "mengetahui" indera, kesadaran dan pikiran saat ini maka tidak benar menyamakannya dengan fakta yang kita kenal saat ini. Dalam hal ini saya tidak setuju bahwa  "melihat" dan "mengetahui" dalam realisasi nirvana sama dengan fakta objektif yang kita kenal sehari-hari. Karena dalam nirvanatidak ada subjek dan objek. Jika tidak ada subjek (anatta) maka sebenarnya kata "melihat" dan "mengetahui" semata-mata hanya kiasan saja karena tidak ada yang melihat dan tidak ada yang mengetahui. Demikian juga jika tidak ada objek, maka sebenarnya tidak ada yang dilihat dan tidak ada yang diketahui :) Bagaimana mungkin "melihat" dan "mengetahui" dalam proses realisasi disamakan dengan fakta dalam pengertian umum?

Sorry jadi ngelantur :))

Maaf, tantangan anda tentang apakah saya sudah melihatnya lsg metode pencerahan seketika benar-benar seolah-olah menjadikan ehipassiko sama dengan empirisme dalam sains yang berarti "melihat" sebagai "subjek melihat objek." Dalam hal ini saya menilai pertanyaan anda sama sekali melenceng dari pengertian "melihat" dan "mengetahui" dalam ehipassiko.

Kalau anda minta referensi sutra-sutranya, saya sebenarnya skeptis bahwa meskipun saya menunjukkan sutranya pada anda, belum tentu anda meyakini. Jangan-jangan anda hanya akan bertanya, apakah sutranya otentik atau tidak. Perilaku demikian selalu konsisten muncul dari sebagian teman-teman Theravadin yang berdiskusi di forum ini.

Mohon maaf jika ada kata-kata yang menyinggung hati.
Pertama saya tidak menyatakan bukan asli tapi ragu itu asli. Jadi masih bisa asli masih juga tidak  ;D Karena saya menghormati Bodhidharma sebagai bodhisatva(versi mahayana) yg tidak ada kilesa. Maka acuannya adalah pandangan dari tulisan itu.  Tapi kalau memang ada yg bisa menjelaskan ooo. dia itu bodhisatva tingkat masih ada kilesa saya bisa maklum. Tetapi kenyataanya setiap pernyataan bodhistva yg rancu2 selalu dijadikan patokan seakan2 mereka perfect lalu menilai arahat seperti ini dan itu tentu saja hal tsb perlu dipertanyakan mengenai kebenaran pandangan itu sebagai bahan pertimbangan bukan mengambil mentah2 sebagai doktrin ooo memang beda ya sudah, kalau sudah begitu ya sudah ;D Padahal Jelas saya melihat bukan dari sutta dan sutra (tapi ngak nongol pas ditanya )saja tapi dari prkatek mereka untuk mencapai kearahatan. Bukan teori saja. Smoga jelas kalau belum jelas apa mau dikata lagi  ;D Kalau Anda ragu dengan praktek mereka yg beralatih untuk mencapai kearahatan, silakan Anda buktikan dengan coba dulu baru beli. Makanya saya mau tau juga ttg bodhistava dan di test drive kalo cocok baru beli tapi barangnya kosong melulu. ;D


 Disinilah artinya saya tidak melulu terpaku pada konsep theravadin itu sendiri. Oleh karena itu satu2nya acuan untuk membuktikan kebenaran itu ada beberapa tools pertama adalah referensi sutra(saya sengaja tidak bertanya sutta karena nanti dianggap memakai kacamata theravadin) , yg kedua adalah pengalaman Anda sendiri dan ketiga orang yg pernah mengalami juga. Sayapun menyadari bahwa kita2 bukanlah pada tahap2 yg sangat2 advance tetapi paling tidak hal2 yg sangat advance itu berpondasi awal dari saat kini. Jika pondasi awal benar seterusnya akan lebih mantap. Sebenarnya salah satu acuan untuk mengetahui selain referensi sutta dan sutra yg sering diperdebatkan maka sering saya tanyakan pengalaman. Kalau memang belum mengalami maka yg bisa dijadikan acuan orang yg berkompeten . jika tidak ada sama sekali cukup katakan saja tidak ada referensi itu atau tidak tau.

Mengenai "kondisi pendukung" untuk jhana selanjutnya adalah benar jhana sebelumnya. Saya telah membuat ilustrasi pintu demi pintu dengan masalah kecepatan yg terlihat instant. Tapi jika ini belum dimengerti tidak mengapa.....dan jika Anda berpandangan lain oleh karena itu saya minta referensi suttanya seperti yg Anda kemukakan sendiri mengenai referensi itu.

Baiklah saya tidak berpanjang lebar lagi, jika Anda pikir cukup sampai disini. Paling tidak saya tau seberapa jauh kebenaran sutra Mahayana dan juga dari sisi prakteknya. Karena membuktikan itu tidak melulu masalah nibbana. Tetapi konsep awalnya dalam latihan awal,kemudian menengah dan akhir. Jika baik diawal, tengah dan akhir maka nibbana pasti terealisasi. Cuma kelihatannya banyak yg terjebak dalam permasalahan nirvana melulu. Padahal masalah jhana itu adalah yg  paling dekat bisa kita ketahui. Atau pun tahapan awal vipasana. Nah ini pun belum ada kejelasan dari pihak mahayana khususnya dari sisi praktek.

Clue dari jawaban yg  diharapkan, tidak usah jauh2 ke nibbana tapi hal yg mendukung teralisasinya itu adalah apa yg dilihat , bagaimana tau satu atau dua kilesa itu hilang, misal dalam pencapaian bodhisatva 1,2,3 dst. Kalau dalam sutta ataupun visudhi magga jelas dalam prakteknya. Misal untuk melihat nama dan rupa setelah keluar jhana diarahkan ke hadayavatthu lalu melihat nama dan rupa, rupa utk mengetahui karakteristiknya bisa sampai melihat rupa kalapa=rupa kalapa...kemudian mengenai nama bisa melihat langsung prosesnya misal bagaimana sanna dan sankhara berproses dan pengetahuan menghancurkan kilesa dst. Dan rintangan2 yg terjadi. Saya ambil contoh Luangta Mahaboowa bisa mengetahui pencapain muridnya melalui pengalaman si murid itu ataupun saat meditasi sehingga diberikan instruksi apakah masih terperangkap dalam delusi atau tidak(jika tidak percaya coba dibuktikan kesana ;D). Dan masih ada guru2 yg lain, coba Anda ke Paauk Sayadaw dll, dia juga pasti tau. Inilah contoh konkrit yg saya maksud. Dan disini pun saya tau beberapa yg memiliki pengalaman yg baik mengenai praktek . Saya mengatakan ini tidak ada maksud membandingkan tetapi agar lebih fakta dan nyata bahwa berlatih itu bukan sekedar konsep, jika ada konsep maka konsep itu harus bisa dipertanggungjawabkan bila benar2 kita mau melihat Dhamma kalau tidak yg ngak apa juga paling jualan kecap saja. Contoh lagi mereka yg disini belajar Abhidhamma dan menyerapnya dengan baik dalam kehidupan sehari2 mereka bsia menerapkannya dengan baik. Bagaimana baiknya silakan tanya mereka. Dan juga Bukan masalah terperinci atau tidak tetapi rincian itu adalah untuk mengetahui bagaimana latihan kita apa sudah sesuai 4KM dan JMB8 kalau tidak acuan...ya entahlah. Misal pada stage tertentu Anda mengalami stagnasi atau kebuntuan. Apakah Anda diam saja dan tidak bertanya untuk solusi? ini yg saya maksud. Bukan rincian teori saja.

Hal yg patut direnungkan adalah ajaran Sang Buddha bukanlah hanya sekedar berbuat baik dan mengumpulkan parami tetapi adalah bagaimana seseorang menghancurkan kilesa yg laten. Kalau sekedar berbuat baik sama sajalah dengan jargon tetangga


Paling saya tunggu saja referensi2 yg ada mengenai praktek dari mahayanis jika berkenan. Smoga tidak ada pandangan merasa diserang ataupun saling menyudutkan. Selanjutnya saya hanya menonton saja, kalaupun ingin didiskusikan lebih lanjut ok, kalau tidak juga tidak apa. Saya tidak ngotot dalam hal ini. Biar bagaimanapun mahayana dan theravada saudara seperguruan toh  ;D _/\_
« Last Edit: 06 June 2009, 10:33:41 AM by bond »
Natthi me saranam annam, Buddho me saranam varam, Etena saccavajjena, Sotthi te hotu sabbada

Offline marcedes

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.528
  • Reputasi: 70
  • Gender: Male
  • May All Being Happinesssssssss
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1537 on: 06 June 2009, 01:37:35 PM »
apa boleh titip pertanyaan disini...

Metode2 Mahayana biasanya menggabungkan praktik samatha dan vipashyana (vipassana) sekaligus.

Mahabhiksu Tan Luan, Patriark Tanah Suci di Tiongkok, ketika memberikan komentarnya terhadap Sukhavativyuha-Upadesha (Penjelasan Tanah Suci) karya Vasubandhu, pernah menulis:

"Jika seorang pria atau wanita berbudi menjalankan Praktek Lima Kesadaran dan mampu mencapainya, ia tentu akan terlahir di Tanah Suci Sukhavati dan melihat Amitabha Buddha. Apakah Lima Gerbang Praktek berkesadaran itu? Di antaranya: menyembah, memuja, beraspirasi, kontemplasi dan pelimpahan jasa.  
.....
Bagaimanakah seseorang beraspirasi pada Tanah Suci? Seseorang dengan teguh bertekad, menempatkan pikirannya pada kelahiran di alam Tanah Suci Sukhavati, seseorang berharap untuk mempraktekkan samatha dengan benar.

Bagaimanakah seseorang berkontemplasi? Seseorang berkontemplasi dengan kebijaksanaan. yaitu mengkontemplasikan Tanah Suci dengan penuh kesadaran, berharap untuk mempraktekkan vipashyana sesuai dengan Dharma."

........

Gerbang keempat pada fase "masuk" adalah sepenuhnya mengkontemplasi.... dan mempraktekkan vipashyana, dengan cara inilah seseorang mencapai Tanah Suci [Sukhavati] itu.


Selain itu dalam salah satu sutra Tanah Suci, yaitu Amitayur Dhyana Sutra disebutkan berbagai macam metode Vipashyana Tanah Suci.

 _/\_
The Siddha Wanderer


saudara Gandalf,
Vipassana adalah meditasi dimana tidak mengikuti keinginan,dan membiarkan sebagaimana adanya, bahkan tekankan untuk memperhatikan semua gejolak batin yang timbul dengan jangan menekan ataupun tidak menekan...semua itu dibiarkan saja yang penting disadari
ini artinya pikiran dari "si pengetahu" saja yang dipakai...bukan "si pelaku"


sedangkan anda menulis disitu malah "berharap"
bisa dijelaskan vipassana seperti apa dalam mahayana?

di Theravada ada guru seperti MahassiSayadawi yang menjelaskan vipassana secara detail,
karena dalam Sutta Theravada "jika melakukan vipassana dan samantha secara benar dan sesuai Dhamma dan juga 8JB lainnya, nibbana adalah buahnya"...bukan "alam sukhavati"

dalam metode MahassiSayadaw juga dikatakan akan ada beberapa Nana(pengetahuan) yang timbul ketika mempratekkan vipassana.
jadi terus terang, yg anda jabarkan adalah hal yang tidak pernah saya dengar dan ketahui...
mohon penjelasan.


salam metta.



1.sekalian pertanyaan saya kemarin-kemarin mengenai sutra mahayana, tolong dijelaskan
2.kemudian 9 kemuliaan jenjang alam itu apa dalam pratek nianfo
3.16 metode itu apa,bisakah di jelaskan?

salam metta.
« Last Edit: 06 June 2009, 01:39:38 PM by marcedes »
Ada penderitaan,tetapi tidak ada yang menderita
Ada jalan tetapi tidak ada yang menempuhnya
Ada Nibbana tetapi tidak ada yang mencapainya.

TALK LESS DO MOREEEEEE !!!

Offline sobat-dharma

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.286
  • Reputasi: 45
  • Gender: Male
  • sharing, caring, offering
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1538 on: 06 June 2009, 02:05:19 PM »
Mengenai Bodhisatta Gotama mempelajari Landasan Kekosongan dari Alara Kalama dan Landasan Bukan persepsi pun bukan-tanpa persepsi silahkan baca pada kutipan di bawah ini:

MN 26
Ariyapariyesana Sutta

Sumber:
Majjhima Nikaya: Kitab Suci Agama Buddha, Jilid 2
Diterjemahkan dan diedit dari Bahasa Pali oleh:
Bhikkhu Nanamoli dan Bhikkhu Bodhi
diterjemahkan dari Bahasa Inggris oleh:
Dra, Wena Cintiawati & Dra. Lanny Anggawati
Vihara Bodhivamasa, 2005

Hal. 525-526
"Setelah meninggalkan keduniawian, para bhikkhu, untuk mencari apa yang bajik, mencari keadaan tertinggi dari kedamaian tertinggi, aku pergi ke Alara Kalama dan berkata kepadanya: 'Sahabat Kalama, saya ingin menjalani kehidupan suci di dalam Dhamma dan Vinaya ini.' Alara Kalama menjawab: 'Yang mulia boleh tinggal di sini. Dhamma ini memang sedemikian rupa sehingga orang bijak dapat segera masuk dan berdiam di dalamnya, karena merealisasikan untuk dirinya sendiri doktrin gurunya sendiri melalui pengetahuan langsung.' Dengan cepat aku mempelajari Dhamma itu. Sejauh pengulangan-bibir saja dan pengulangan ajarannya, aku berbicara dengan pengetahuan dan keyakinan, dan aku menyatakan, 'aku tahu dan melihat' -dan ada juga orang-orang lain juga melakukan yang demikian pula.

"Aku mempertimbangkan: 'Bukan hanya lewat keyakinan saja Alara Kalama menyatakan: "Dengan merealisasikan untuk diriku sendiri melalui pengetahuan langsung, aku masuk dan berdiam di dalam Dhamma ini." Tentunya Alara Kalama berdiam dengan mengetahui dan melihat Dhamma ini.' Kemudian aku pergi kepada Alara Kalama dan bertanya kepadanya: 'Sahabat Kalama, dengan cara apakah engkau menyatakan bahwa dengan merealisasikan untuk dirimu sendiri melalui pengetahuan langsung maka engkau akan berdiam di dalam Dhamma ini?' Sebagai jawabannya, dia menyatakan landasan kekosongan.

Aku mempertimbangkan: 'Bukan hanya Alara Kalama saja yang memiliki keyakinan, semangat, kewaspadaan, konsentrasi dan kebijaksanaan. Aku pun juga memiliki keyakinan, semangat, kewaspadaan, konsentrasi dan kebijaksanaan. Sebaiknya aku mencoba merealisasikan Dhamma yang oleh Alara Kalama dinyatakan bahwa dia telah masuk dan berdiam di dalamnya dengan merealisasikan untuk dirinya sendiri melalui pengetahuan langsung.'

[...]

Hal. 528-529
"Masih dalam pencarian, para bhikkhu, mengenai apa yang bajik, karena mencari keadaan tertinggi dari kedamaian tertinggi, aku pergi ke Uddaka Ramaputta dan berkata kepadanya: 'Sahabat , saya ingin menjalani kehidupan suci di dalam Dhamma dan Vinaya ini.' Uddaka Ramaputta menjawab: 'Yang mulia boleh tinggal di sini. Dhamma ini memang sedemikian rupa sehingga orang bijak dapat segera masuk dan berdiam di dalamnya, karena merealisasikan untuk dirinya sendiri doktrin gurunya sendiri melalui pengetahuan langsung.' Dengan cepat aku mempelajari Dhamma itu. Sejauh pengulangan-bibir saja dan pengulangan ajarannya, aku berbicara dengan pengetahuan dan keyakinan, dan aku menyatakan, 'aku tahu dan melihat' -dan ada juga orang-orang lain juga melakukan yang demikian pula.

"Aku mempertimbangkan: 'Bukan hanya lewat keyakinan saja Rama menyatakan: "Dengan merealisasikan untuk diriku sendiri melalui pengetahuan langsung, aku masuk dan berdiam di dalam Dhamma ini." Tentunya Rama berdiam dengan mengetahui dan melihat Dhamma ini.' Kemudia aku pergi kepada Uddaka Ramaputta dan bertanya kepadanya: 'Sahabat, dengan cara apakah Rama menyatakan bahwa dengan merealisasikan untuk dirimu sendiri melalui pengetahuan langsung maka engkau akan berdiam di dalam Dhamma ini?' Sebagai jawabannya, dia menyatakan landasan bukan-persepsi-pun-bukan-tanpa-persepsi.

Aku mempertimbangkan: 'Bukan hanya Rama saja yang memiliki keyakinan, semangat, kewaspadaan, konsentrasi dan kebijaksanaan. Aku pun juga memiliki keyakinan, semangat, kewaspadaan, konsentrasi dan kebijaksanaan. Sebaiknya aku mencoba merealisasikan Dhamma yang oleh Rama dinyatakan bahwa dia telah masuk dan berdiam di dalamnya dengan merealisasikan untuk dirinya sendiri melalui pengetahuan langsung.'

[...]
536-537

"Aku mempertimbangkan demikian: 'Kepada siapakah aku pertama-tama harus mengajarkan Dhamma? Siapakah yang akan memahami Dhamma ini dengan cepat? Kemudian muncul di dalam diriku: Alara Kalama adalah bijaksana, cerdas, dan mudah memahami; telah lama dia memiliki hanya sedikit debu di matanya. Sebaiknya aku mengajarkan Dhamma pertama-tama kepada Alara Kalama. Dia akan memahaminya dengan cepat.' Kemudian para dewa menghampiriku dan berkata 'Yang Mulia Bhante, Alara Kalama telah meninggal tujuh hari yang lalu.' Dan pengetahuan serta visi muncul di dalam diriku: 'Alara Kalama telah meninggal tujuh hari yang lalu.' Aku berpikir: 'Kerugian Alara Kalama sungguh besar. Seandainya dia mendengar Dhamma ini, dia akan memahaminya dengan cepat.'

"Aku mempertimbangkan demikian: 'Kepada siapakah aku pertama-tama harus mengajarkan Dhamma? Siapakah yang akan memahami Dhamma ini dengan cepat? Kemudian muncul di dalam diriku:Uddaka Ramaputta adalah bijaksana, cerdas, dan mudah memahami; telah lama dia memiliki hanya sedikit debu di matanya. Sebaiknya aku mengajarkan Dhamma pertama-tama kepada Uddaka Ramaputta. Dia akan memahaminya dengan cepat.' Kemudian para dewa menghampiriku dan berkata 'Yang Mulia Bhante, Uddaka Ramaputta telah meninggal tadi malam.' Dan pengetahuan serta visi muncul di dalam diriku: 'Uddaka Ramaputta telah meninggal tadi malam.' Aku berpikir: 'Kerugian Uddaka Ramaputta sungguh besar. Seandainya dia mendengar Dhamma ini, dia akan memahaminya dengan cepat.'

=========================

Coba lihat bagian yang kuberi warna biru: Baik Alara Kalama maupun Uddaka Ramaputta mengatakan bahwa Dhamma yang mereka ajarkan  "dapat segera masuk dan berdiam di dalamnya." Dalam hal ini, kata "segera masuk" mennjelaskan bahwa Landasan Kekosongan dan Landasan bukan persepsi dan bukan tanpa persepsi dapat direalisasi dengan "segera".

Mengenai legitimasi pencapaian Alara Kalama maupun Uddaka Ramaputta, lihat pada bagian di mana Sang Buddha sedang mempertimbangkan siapa yang pertama akan diajari penemuannya yang berharga. Sang Buddha menyebut keduanya: "bijaksana, cerdas, dan mudah memahami; telah lama dia memiliki hanya sedikit debu di matanya." Meskipun keduanya belum merealisasi Nibbana, namun Sang Buddha melihat keduanya paling mudah merealisasi Nibbana di antara orang-orang yang dikenalinya.
Mereka yang melihat-Ku dari wujud dan mengikuti-Ku dari suara terlibat dalam upaya salah. Mereka takkan melihat Aku. Dari Dharma-lah mestinya ia melihat Para Buddha. Dari Dharmakaya datang tuntunan baginya. Namun hakikat sejati Dharma tak terlihat dan tiada seorangpun bisa menyadarinya sebagai obyek

Offline sobat-dharma

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.286
  • Reputasi: 45
  • Gender: Male
  • sharing, caring, offering
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1539 on: 06 June 2009, 02:10:03 PM »
Mengenai pencapaian Buddha Vipassi yang tanpa melalui Jhana 1-4, namun langsung melalui perenungan terhadap paticca samupadda, silahkan baca kutipan ini.

Setelah melihat empat hal (Orang tua, sakit, mati dan pertapa) seperti yang dialami oleh Siddhatta Gotama, Pangeran Vipassi kemudian melakukan pengasingan. Demikian kutipan ceritanya:

Mahapadana Sutta

Dalam:
Khotbah-khotbah Panjang
Sang Buddha
Digha Nikàya
Penerjemah:
Team Giri Mangala Publication
Team DhammaCitta Press
DhammaCitta, 2009

Hal. 176-179

[...]

Kemudian Pangeran Vipassi berkata kepada kusirnya: “Engkau bawalah kereta itu dan kembalilah ke istana. Tetapi aku akan tinggal di sini dan mencukur rambut dan janggutku, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan keduniawian dan menjalani kehidupan tanpa rumah.” “Baik, Pangeran,” jawab sang kusir, dan kembali ke istana. Dan Pangeran Vipassi, mencukur rambut dan janggutnya dan mengenakan jubah kuning, pergi meninggalkan kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah.’

‘Dan sekelompok besar orang dari ibu kota kerajaan, Bandhumatã, delapan puluh empat ribu orang, mendengar bahwa Pangeran Vipassi telah meninggalkan keduniawian untuk menjalani kehidupan tanpa rumah. Dan mereka berpikir: “Ini tentu bukan ajaran dan disiplin biasa, bukan pelepasan biasa, yang karenanya Pangeran Vipassi mencukur rambut dan janggutnya, mengenakan jubah kuning dan meninggalkan kehidupan rumah tangga untuk menjalani kehidupan tanpa rumah. Jika Sang Pangeran bisa melakukan hal itu, mengapa kita tidak?” Dan demikianlah, para bhikkhu, sekelompok besar orang berjumlah delapan puluh empat ribu, mencukur rambut dan janggut mereka dan mengenakan jubah kuning, mengikuti Bodhisatta Vipassi menjalani kehidupan tanpa rumah, dan dengan para pengikutnya ini, Sang Bodhisatta melakukan perjalanan melewati desa-desa, pasar, dan kota-kota.’

‘Kemudian Bodhisatta Vipassi, setelah pergi ke tempat sunyi, muncul pikiran: “Tidaklah pantas bagiku untuk hidup bersama-sama sekelompok besar orang seperti ini. Aku harus menetap sendirian, menarik diri dari kerumunan ini.” Maka tidak lama kemudian, ia meninggalkan kerumunan itu dan menetap sendirian. Delapan puluh empat ribu orang mengambil satu arah, Sang Bodhisatta mengambil arah lainnya.’

‘Kemudian, ketika Sang Bodhisatta telah memasuki tempat pengasingannya sendiri, di tempat yang sunyi, ia berpikir: “Dunia ini, aduh! dalam keadaan yang sangat menyedihkan: ada kelahiran dan kerusakan, ada kematian dan terjatuh dalam kondisi-kondisi lainnya dan terlahir kembali. Dan tidak seorang pun yang mengetahui jalan membebaskan diri dari penderitaan ini, usia-tua dan kematian ini. Kapankah kebebasan dari penderitaan ini, dari usia-tua dan kematian ini ditemukan?”


Dan kemudian, para bhikkhu, Sang Bodhisatta berpikir: “Dengan apakah yang ada, yang mengakibatkan usia-tua-dan-kematian terjadi? Apakah yang mengondisikan usia-tua-dan-kematian?” Dan kemudian, para bhikkhu, sebagai akibat dari kebijaksanaan yang muncul dari perenungan mendalam, perlahan-lahan pencapaian muncul dalam dirinya: “Karena kelahiran ada, maka usia-tua-dan-kematian terjadi, kelahiran mengondisikan usia-tua-dan-kematian.

‘Kemudian ia berpikir: “Apakah yang mengondisikan kelahiran?” dan perlahan-lahan pencapaian muncul dalam dirinya: “Penjelmaan mengondisikan kelahiran” … “Apakah yang mengondisikan penjelmaan?” … “Kemelekatan mengondisikan penjelmaan” … “Keinginan mengondisikan kemelekatan” … “Perasaan mengondisikan keinginan” …  “Kontak mengondisikan perasaan” … “Enam landasan indria mengondisikan kontak” … “Batin-dan-jasmani mengondisikan enam-landasan-indria” … “Kesadaran mengondisikan batin-dan-jasmani” .… Dan kemudian, para bhikkhu, Bodhisatta Vipassi berpikir: “Dengan apakah yang ada, yang mengakibatkan kesadaran terjadi? Apakah yang mengondisikan kesadaran?” Dan kemudian, sebagai akibat dari kebijaksanaan yang muncul dari perenungan mendalam, perlahan-lahan pencapaian muncul dalam dirinya: “Batin-dan-jasmani mengondisikan kesadaran”.’

Kemudian, para bhikkhu, Bodhisatta Vipassi berpikir: “Kesadaran ini kembali kepada batin-dan-jasmani, tidak pergi lebih jauh lagi. Hingga sejauh ini, ada kelahiran dan kerusakan, ada kematian dan terjatuh dalam kondisi-kondisi lainnya dan kelahiran kembali, yaitu: Batin-dan-jasmani mengondisikan kesadaran dan kesadaran mengondisikan batin-dan-jasmani, batin-dan-jasmani mengondisikan enam-landasan-indria, enam-landasan-indria mengondisikan kontak, kontak mengondisikan perasaan, perasaan mengondisikan keinginan, keinginan mengondisikan kemelekatan, kemelekatan mengondisikan penjelmaan, penjelmaan mengondisikan kelahiran, kelahiran mengondisikan usia-tua-dan-kematian, dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan kesusahan. Dan demikianlah keseluruhan penderitaan ini berasal-mula.” Dan pada pikiran: “Asal-mula, asal-mula”, muncullah dalam diri Bodhisatta Vipassi, pandangan terang ke dalam hal-hal yang belum pernah dicapai sebelumnya, pengetahuan, kebijaksanaan, kesadaran, dan cahaya.’

‘Kemudian ia berpikir: “Dengan tidak adanya apakah, maka usia-tua-dan-kematian tidak terjadi? Dengan lenyapnya apakah, maka usia-tua-dan-kematian lenyap?” Dan kemudian, sebagai akibat dari kebijaksanaan yang muncul dari perenungan mendalam, perlahan-lahan pencapaian muncul dalam dirinya: “Dengan tidak adanya kelahiran, maka usia-tua-dan-kematian tidak terjadi. Dengan lenyapnya kelahiran, maka usia-tua-dan-kematian lenyap” … “Dengan lenyapnya apakah, maka kelahiran lenyap?” “Dengan lenyapnya penjelmaan, maka kelahiran lenyap” … “Dengan lenyapnya kemelekatan, maka penjelmaan lenyap” … “Dengan lenyapnya keinginan, maka kemelekatan lenyap” … “Dengan lenyapnya perasaan, maka keinginan lenyap” … “Dengan lenyapnya kontak, maka perasaan lenyap” … “Dengan lenyapnya enam-landasan-indria, maka kontak lenyap” … “Dengan lenyapnya batin-dan-jasmani, maka enam-landasan-indria lenyap” … “Dengan lenyapnya kesadaran, maka batin-dan-jasmani lenyap” … “Dengan lenyapnya batin-dan-jasmani, maka kesadaran lenyap” .…’

‘Kemudian Bodhisatta Vipassi berpikir: “Aku telah menemukan jalan pandangan terang (vipassanà) menuju pencerahan, yaitu:

“Dengan lenyapnya batin-dan-jasmani, maka kesadaran lenyap; dengan lenyapnya kesadaran, maka batin-dan-jasmani lenyap; dengan lenyapnya batin-dan-jasmani, maka enam-landasan-indria lenyap; dengan lenyapnya enam-landasan-indria, maka kontak lenyap; dengan lenyapnya kontak, maka perasaan lenyap; dengan lenyapnya perasaan, maka keinginan lenyap; dengan lenyapnya keinginan, maka kemelekatan lenyap; dengan lenyapnya kemelekatan, maka penjelmaan lenyap; dengan lenyapnya penjelmaan, maka kelahiran lenyap; dengan lenyapnya kelahiran, maka usia-tua-dan-kematian, dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan kesusahan lenyap. Dan demikianlah keseluruhan penderitaan itu lenyap.” Dan pada pikiran: “Lenyapnya, lenyapnya”, muncullah dalam diri Bodhisatta Vipassi, pandangan terang ke dalam hal-hal yang belum pernah dicapai sebelumnya, pengetahuan, kebijaksanaan, kesadaran, dan cahaya.’
 
‘Kemudian, para bhikkhu, pada waktu lain, Bodhisatta Vipassi berdiam merenungkan muncul dan lenyapnya lima gugus kemelekatan: “Demikianlah badan ini, demikianlah munculnya, demikianlah lenyapnya; demikianlah perasaan …; demikianlah persepsi …; demikianlah bentukan-bentukan batin …; demikianlah kesadaran, demikianlah munculnya, demikianlah lenyapnya.” Dan sewaktu ia merenungkan muncul dan lenyapnya lima gugus kemelekatan, tidak lama kemudian batinnya bebas dari kekotoran tanpa sisa.’

‘Kemudian, para bhikkhu, Sang Bhagavà, Sang Arahat, Buddha Vipassi yang telah mencapai Penerangan Sempurna berpikir: “Bagaimana jika Aku mengajarkan Dhamma?” Dan kemudian ia berpikir:  “Aku telah menembus Dhamma ini yang sangat dalam, sulit dilihat, sulit ditangkap, damai, luhur, melampaui logika, halus, untuk dipahami oleh para bijaksana.

[...]
Mereka yang melihat-Ku dari wujud dan mengikuti-Ku dari suara terlibat dalam upaya salah. Mereka takkan melihat Aku. Dari Dharma-lah mestinya ia melihat Para Buddha. Dari Dharmakaya datang tuntunan baginya. Namun hakikat sejati Dharma tak terlihat dan tiada seorangpun bisa menyadarinya sebagai obyek

Offline sobat-dharma

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.286
  • Reputasi: 45
  • Gender: Male
  • sharing, caring, offering
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1540 on: 06 June 2009, 02:36:58 PM »
To bro. bond, tentu saya tidak menghindari diskusi dengan anda. Namun jika anda bertanya terlalu jauh dan menyimpang dari kemampuan saya menjawab karena di luar batas pencapaian saya atau terus menerus menggunakan sudut pandang yang memang tampak berbeda, ya saya mohon maaf jika saya tidak menjawab. 

Saya hanya tidak paham bahwa anda merasa bisa melihat kilesa hanya dari beberapa patah kata dalam khotbah Bodhidharma. Ini yang saya tidak habis pikir. Misalnya, tentang Pa Auk Sayadaw, tentu saya pernah bertemu dengan beliau. Namun, saya tidak berani mengambil kesimpulan bahwa beliau masih memiliki kilesa atau tidak hanya sepintas menyaksikan beberapa tindak tanduk dan perkataannya.Demikian juga tentang Ajahn Brahm, saya tidak berani mengambil kesimpulan tentang beliau masih memiliki kilesa atau tidak. Meskipun jujur saja, saya sempat bertanya-tanya, namun saya selalu insyaf bahwa pencapaian saya mungkin yang masih kurang.

Bahkan Ajahn Mahaboowa pun pernah dipertanyakan tentang pencapaiannya ketika ia menangis. Lantas orang-orang ramai bertanya apakah arahat bisa menangis? Bukankah menangis berarti masih memiliki kilesa? dsb, dsb, nya. Dalam hal ini Ajahn Mahaboowa memiliki jawabannya sendiri yang bisa dibaca dalam buku berjudul "Arahattamagga" (kalau nggak salah judulnya demikian).

Sebagai orang awam saya tidak berani menyimpulkan bahwa guru A masih memiliki kilesa, guru B sudah bebas dari kilesa, dsb hanya berdasarkan keyakinan mana perilaku yang dianggap masih memiliki kilesa mana yang tidak. Saya rasa kesimpulan yang dibuat dengan cara demikian cenderung tidak pada tempatnya.

Inilah yang saya tidak paham, mengapa anda mampu untuk menyimpulkan kata-kata demikian masih memiliki kilesa, kata-kata demikian tidak. Atas dasar pertimbangan seperti apa anda menyimpulkan hal ini? Mohon penjelasannya.

salam persaudaraan Mahayana dan Theravada :)



Mereka yang melihat-Ku dari wujud dan mengikuti-Ku dari suara terlibat dalam upaya salah. Mereka takkan melihat Aku. Dari Dharma-lah mestinya ia melihat Para Buddha. Dari Dharmakaya datang tuntunan baginya. Namun hakikat sejati Dharma tak terlihat dan tiada seorangpun bisa menyadarinya sebagai obyek

Offline marcedes

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.528
  • Reputasi: 70
  • Gender: Male
  • May All Being Happinesssssssss
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1541 on: 06 June 2009, 03:03:05 PM »
Quote
Para bhikkhu, sebelum mencapai penerangan sempurna, sementara saya masih seorang Bodhisatta yang belum mencapai penerangan sempurna, Saya juga, diriku sendiri mengalami kelahiran, usia tua, sakit, kematian, kesedihan dan kekotoran, mencari apa yang mengalami kelahiran, usia tua, sakit, kematian, kesedihan dan kekotoran.
    Saya (berpikir) demikian: 'Mengapa, dengan diriku sendiri mengalami kelahiran, usia tua, sakit, kematian, kesedihan dan kekotoran, Saya mencari apa yang mengalami kelahiran, usia tua, sakit, kematian dan kekotoran? Seandainya, diriku yang masih mengalami dhamma seperti itu, mengetahui bahaya dalam dhamma seperti itu, Saya mencari yang tidak mengalami kelahiran, usia tua, sakit, kematian, kesedihan dan kekotoran, mengatasi ikatan yang kuat, yaitu Nibbana?'
    Kemudian, ketika Saya masih anak-anak, seorang pemuda berambut hitam yang masih remaja, dalam masa hidupku yang pertama, aku mencukur habis rambut dan jenggotku meskipun ibu dan ayahku berkeinginan sebaliknya dan berduka dengan wajah berurai air mata. Saya mengenakan jubah kuning dan pergi meninggalkan kehidupan duniawi menuju kehidupan tak berumah-tangga (pabbaja).
    Sesudah berkelana mencari apa yang bermanfaat, mencari kedamaian tertinggi yang suci, Saya pergi menemui Alara Kalama dan berkata kepadanya: 'Kawan Kalama, Saya ingin menjalani hidup suci dalam Dhamma dan Vinaya.'
kalau anda mengutip sutta ini, maka coba lihat kata buddha disitu....apa bisa dikatakan pada saat itu Siddharta telah mencapai Ke-buddha-an?
ini jelas kalau beliau belum mencapai pencerahan, tetapi dalam sutra mahayana mengatakan Siddharta jauh sebelum dari kalpa tak terhitung telah mencapai pencerahan....

dengan asumsi jika mahayana mengatakan kitab nya isi-nya sama dengan Theravada pada bagian ini.

jelaskan donk...^^

salam metta.
Ada penderitaan,tetapi tidak ada yang menderita
Ada jalan tetapi tidak ada yang menempuhnya
Ada Nibbana tetapi tidak ada yang mencapainya.

TALK LESS DO MOREEEEEE !!!

Offline marcedes

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.528
  • Reputasi: 70
  • Gender: Male
  • May All Being Happinesssssssss
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1542 on: 06 June 2009, 03:04:12 PM »
btw, diskusi disini bisa bikin pengetahuan jadi luas....

tq for all of member here.

salam metta.
Ada penderitaan,tetapi tidak ada yang menderita
Ada jalan tetapi tidak ada yang menempuhnya
Ada Nibbana tetapi tidak ada yang mencapainya.

TALK LESS DO MOREEEEEE !!!

Offline bond

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.666
  • Reputasi: 189
  • Buddhang Saranam Gacchami...
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1543 on: 06 June 2009, 03:20:51 PM »
Quote
MN 26
Ariyapariyesana Sutta

Sumber:
Majjhima Nikaya: Kitab Suci Agama Buddha, Jilid 2

Diterjemahkan dan diedit dari Bahasa Pali oleh:
Bhikkhu Nanamoli dan Bhikkhu Bodhi
diterjemahkan dari Bahasa Inggris oleh:
Dra, Wena Cintiawati & Dra. Lanny Anggawati
Vihara Bodhivamasa, 2005

Hal. 525-526
"Setelah meninggalkan keduniawian, para bhikkhu, untuk mencari apa yang bajik, mencari keadaan tertinggi dari kedamaian tertinggi, aku pergi ke Alara Kalama dan berkata kepadanya: 'Sahabat Kalama, saya ingin menjalani kehidupan suci di dalam Dhamma dan Vinaya ini.' Alara Kalama menjawab: 'Yang mulia boleh tinggal di sini. Dhamma ini memang sedemikian rupa sehingga orang bijak dapat segera masuk dan berdiam di dalamnya, karena merealisasikan untuk dirinya sendiri doktrin gurunya sendiri melalui pengetahuan langsung.' Dengan cepat aku mempelajari Dhamma itu. Sejauh pengulangan-bibir saja dan pengulangan ajarannya, aku berbicara dengan pengetahuan dan keyakinan, dan aku menyatakan, 'aku tahu dan melihat' -dan ada juga orang-orang lain juga melakukan yang demikian pula.

Menarik sekali... :)

"Segera" memasuki bukan berarti "zap" atau "ting" tiba2 di masuk ke jhana 7 tersebut. Kata "segera" artinya bukan langsung masih ada proses...cepat atau tidaknya tergantung parami dan kemahiran juga, makanya dikatakan "sehingga...orang bijak...." dalam kasus kecepatan masuk jhana Mogallana lah yg paling unggul. Tapi ini bukan bearti tidak ada proses dari jhana2 sebelumnya.

Untuk contoh pintu demi pintu yg yg saling terhubung atau "connecting door" satu ruangan dengan yg lainnya perumpamaan masuk jhana demi jhana dan kecepatannya silakan baca di "supermindfulness" karangan Ajahn Brahm. Mungkin bisa jelas.

Dan hal yg penting diperhatikan adalah bagaimana saat2 awal alara kalama dan ramaputta melatih jhana2, referensi itu tidak disebutkan. Yg dijelaskan hanya kondisi saat dia sudah mahir sehingga sesuai keinginannya ia dapat berada dalam jhana yg diinginkan tapi bukan berarti tidak melewati tiap "connecting door demi connecting door"

Quote
Aku mempertimbangkan: 'Bukan hanya Alara Kalama saja yang memiliki keyakinan, semangat, kewaspadaan, konsentrasi dan kebijaksanaan. Aku pun juga memiliki keyakinan, semangat, kewaspadaan, konsentrasi dan kebijaksanaan. Sebaiknya aku mencoba merealisasikan Dhamma yang oleh Alara Kalama dinyatakan bahwa dia telah masuk dan berdiam di dalamnya dengan merealisasikan untuk dirinya sendiri melalui pengetahuan langsung.'

perhatikan yg dibold " bahwa dia telah masuk" artinya sebelumnya dimana, ?, dalam hal ini masuk jhana 7...jika Anda katakan bukan jhana lalu apa?(coba liat prosesnya makanya coba dipraktekan   ;D) Nah alara kalama berpikir bahwa jhana 7 ini adalah akhir dari segalanya/nibbana.

Quote
"Aku mempertimbangkan: 'Bukan hanya lewat keyakinan saja Rama menyatakan: "Dengan merealisasikan untuk diriku sendiri melalui pengetahuan langsung, aku masuk dan berdiam di dalam Dhamma ini." Tentunya Rama berdiam dengan mengetahui dan melihat Dhamma ini.' Kemudian aku pergi kepada Uddaka Ramaputta dan bertanya kepadanya: 'Sahabat, dengan cara apakah Rama menyatakan bahwa dengan merealisasikan untuk dirimu sendiri melalui pengetahuan langsung maka engkau akan berdiam di dalam Dhamma ini?' Sebagai jawabannya, dia menyatakan landasan bukan-persepsi-pun-bukan-tanpa-persepsi.

Quote
Aku mempertimbangkan: 'Bukan hanya Rama saja yang memiliki keyakinan, semangat, kewaspadaan, konsentrasi dan kebijaksanaan. Aku pun juga memiliki keyakinan, semangat, kewaspadaan, konsentrasi dan kebijaksanaan. Sebaiknya aku mencoba merealisasikan Dhamma yang oleh Rama dinyatakan bahwa dia telah masuk dan berdiam di dalamnya dengan merealisasikan untuk dirinya sendiri melalui pengetahuan langsung.'

Penjelasannya idem seperti sebelumnya dalam kasus alara kalama.

Mengenai Buddha Vipassi dan apa yg saya ketahui melalui Tipitaka kanon Pali Bahwa cara Pencapaian Buddha adalah caranya sama.CMIIW.Mengacu pada hal itu maka Buddha Vipassi tentu juga mengalami jhana2 sebagai toolsnya. Sutta yg Anda referensikan hanya mengacu cara bervipasanna yg diajarkan Buddha Vipassi untuk merealisasikan nibbana tapi bukan berarti dia tidak mengalami jhana.Karena seorang Buddha memiliki kemampuan abinna dan kesempurnaan yg lengkap sehingga ia harus mahir dalam jhana(dalam hal ini jhana 1-8) dan vipasanna atau keduanya.

Quote
Mengenai pencapaian Buddha Vipassi yang tanpa melalui Jhana 1-4, namun langsung melalui perenungan terhadap paticca samupadda, silahkan baca kutipan ini.

Tahukah Anda bagaimana melihat paticasamupadda?

Banyak yg hal kontroversi mengatakan tidak perlu jhana dsb untuk melihat ini, hanya dengan perenungan biasa. Mari kita kaji lebih lanjut

Paticasamupada terdiri dari 12 nidana disana dijelaskan rangkaian avijja(sebagai kilesa) sebagai sebab tumimbal lahir dan tumimbal lahir ini menyangkut nama dan rupa. Dan kilesa itu "ada" pada batin, dan tubuh adalah salah satu wujud efeknya dikatakan sebagai manusia dia terlahir. Nah apakah melihat rangkaian dalam jasmani khususnya organ dalam bisa dengan mata kasar? kecuali di operasi lalu dipelajari ^-^
Kedua melihat kilesa yg laten tadi yg bernama avija tadi yg "berada" pada batin bisa dicabut dengan perenungan biasa? tentu tidak sobat karena untuk mendapatkan pengetahuan menghancurkan kilesa ini seseorang harus bisa melihat proses daripada Nama tadi artinya anda harus bisa melihat mana citta, cetasika,vedana, sanna dan sankhara dsb..Ini juga ada kaitannya juga dengan proses tummbal lahir yg akan memunculkan nyana2 sehingga muncul pengertian dan kejenuhan terhadap kehidupan.dst

Bagaimana dengan direct vipasanna. Seperti yg pernah dikatakan Mahasi Sayadaw  dalam point tertentu konsentrasi khanika samadhi bisa setara dengan kekuatan jhana hanya dipergunakan pada objek yg berbeda. Dan patut diingat dalam jhana orang tidak bisa bervipasana.

Kenapa dikatakan jhana 7 dan 8 kilesanya dikit, sebenarnya tidak demikian adanya. Tetapi lebih karena kekuatan konsentrasi yg dipakai nantinya untuk vipasana. Sehingga kalau jhana 4 memakai kaca pembesar, maka jhana 7 dan 8 memakai teleskop.

Smoga bermanfaat penejelasan ini _/\_





Natthi me saranam annam, Buddho me saranam varam, Etena saccavajjena, Sotthi te hotu sabbada

Offline sobat-dharma

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.286
  • Reputasi: 45
  • Gender: Male
  • sharing, caring, offering
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #1544 on: 06 June 2009, 03:44:13 PM »
kalau anda mengutip sutta ini, maka coba lihat kata buddha disitu....apa bisa dikatakan pada saat itu Siddharta telah mencapai Ke-buddha-an?
ini jelas kalau beliau belum mencapai pencerahan, tetapi dalam sutra mahayana mengatakan Siddharta jauh sebelum dari kalpa tak terhitung telah mencapai pencerahan....

dengan asumsi jika mahayana mengatakan kitab nya isi-nya sama dengan Theravada pada bagian ini.

jelaskan donk...^^

salam metta.

Seorang bodhisatta/bodhisattva meskipun dikatakan hidup dalam samsara, namun ia tidak tercemar olehnya. Dengan demikian walaupun mengalami tumimbal lahir, bodhisatta tidak terikat sebagaimana yang dialami makhluk awam lain.

Dalam sutta pali pun dikatakan Bodhisatta dilahirkan dalam kondisi yang berbeda. Merujuk pada beberapa sutta dikatakan ada beberapa cara-cara kelahiran, yang antara lain saya kutip di bawah ini:

Sampasadinya Sutta, hal. 433
‘Juga, Sang Bhagavà tidak tertandingi dalam hal mengajarkan Dhamma sehubungan dengan cara-cara kelahiran kembali dalam empat cara, yaitu: seseorang masuk ke dalam rahim ibunya tanpa menyadarinya, berdiam di sana tanpa menyadarinya, dan keluar dari sana tanpa menyadarinya. Ini adalah cara pertama. Atau seseorang masuk ke dalam rahim ibunya dengan sadar, berdiam di sana tanpa menyadarinya, dan keluar dari sana tanpa menyadarinya. Ini adalah cara ke dua. Atau seseorang masuk ke dalam rahim ibunya dengan sadar, berdiam di sana dengan sadar, dan keluar dari sana tanpa menyadarinya. Ini adalah cara ke tiga. Atau seseorang masuk ke dalam rahim ibunya dengan sadar, berdiam di sana dengan sadar, dan keluar dari sana dengan sadar. Ini adalah ajaran yang tanpa tandingan sehubungan dengan cara-cara kelahiran kembali

Sangiti Sutta, hal. 522-523
Empat cara masuk ke dalam rahim: (a) seseorang masuk ke dalam rahim ibunya tanpa menyadarinya, berdiam di sana tanpa menyadarinya, dan keluar dari sana tanpa menyadarinya; (b) seseorang masuk ke dalam rahim ibunya dengan sadar, berdiam di sana tanpa menyadarinya, dan keluar dari sana tanpa menyadarinya; (c) seseorang masuk ke dalam rahim ibunya dengan sadar, berdiam di sana dengan sadar, dan keluar dari sana tanpa menyadarinya; (d) seseorang masuk ke dalam rahim ibunya dengan sadar, berdiam di sana dengan sadar, dan keluar dari sana dengan sadar
.

Seorang Bodhisatta dikatakan "masuk ke dalam rahim ibunya dengan sadar, berdiam di sana dengan sadar, dan keluar dari sana dengan sadar." Oleh karena itu meskipun baru lahir, Pangeran Siddhata sudah dapat berjalan tujuh langkah dan berkata bahwa ini adalah kehidupannya yang terakhir.
« Last Edit: 06 June 2009, 03:46:15 PM by sobat-dharma »
Mereka yang melihat-Ku dari wujud dan mengikuti-Ku dari suara terlibat dalam upaya salah. Mereka takkan melihat Aku. Dari Dharma-lah mestinya ia melihat Para Buddha. Dari Dharmakaya datang tuntunan baginya. Namun hakikat sejati Dharma tak terlihat dan tiada seorangpun bisa menyadarinya sebagai obyek

 

anything