TL:
Agama Sutra 99% sama dengan Nikaya Pali. Bila Agama Sutra sejalan dengan buku-buku Mahayana yang lain, berarti isi Nikaya Pali 99% sejalan dengan buku-buku Mahayana yang lain.
dulu disekolah matematika dapat berapa mas?
TAN:
Wah dulu bahasa Indonesia Anda dapat berapa? Tulisan sudah jelas begitu masa ga ngerti2.
kutip lagi aahh:
TAN:
Anda salah besar. Di sini kita membahas sesuatu yang beda. Mari kita lihat apa yang sedang kita bicarakan. Yang kita bicarakan adalah perbandingan Agama Sutra dan Nikaya Pali. Ingat bahwa Agama Sutra hanya salah satu bagian saja dari Kanon Mahayana. Kalau isi Agama Sutra kurang lebih 99 % sama dengan Nikaya Pali. Tetapi karena Mahayana juga memiliki suatu kumpulan yang disebut Sutra-sutra Mahayana (Nama Mahayana Sutra), maka jelas tidak mungkin bahwa Theravada 99 % sama dengan Mahayana. Ini adalah sesuatu yang beda. Yang satu bicara kitab suci sedangkan yang satu bicara mazhab. Suatu agama yang kitab sucinya benar-benar sama saja bias terpecah menjadi berbagai mazhab, apalagi yang kita sucinya tidak identik. Sutra-sutra Mahayana itu jumlahnya jauh lebih banyak dibanding Agama Sutra. Inilah yang Anda tidak mengerti-ngerti jadi diskusinya tidak maju-maju.
Memang Theravada tidak sama dengan Mahayana, tetapi dalam diskusi ini kita memperbandingkan mana yang lebih masuk akal. Selama diskusi selama beberapa minggu ini belum pernah saya mendapatkan jawaban yang membuktikan bahwa Mahayana “tidak masuk akal.” Malah saya merasa sudah membuktikan bahwa ada beberapa ajaran mazhab non Mahayanis yang tidak masuk akal, seperti mengajarkan nihilisme, dan lain sebagainya.
Justru saya berdiskusi untuk “menguji” mazhab saya sendiri. Tetapi ternyata tidak ada satupun tanggapan rekan-rekan non Mahayanis yang sanggup menggoyangkan sendi-sendi Mahayana.
Mahayana juga nggak merasa sama dengan Theravada kok hehehehee…. Malahan Mahayana tidak mau dikatakan nihilisme.
Pemikiran Theravada adalah berdasarkan Nikaya Pali. Nikaya Pali 99% klaim mas Tan sama dengan agama sutra. Mahayana selain Agama Sutra adalagi kanon-kanon yang lain. klaim mas Tan ajaran Mahayana tidak bertentangan satu sama lain (berararti Agama Sutra tidak bertentangan dengan Prajna Paramita dll?) Jadi pertanyaannya:
1. Apakah Agama Sutra bagian dari kitab suci Mahayana atau bukan?
2. Apakah Agama Sutra bertentangan atau tidak dengan sutra-sutra yang lain? misalnya Prajna Paramita, Avatamsaka dll?
3. Bila agama sutra tidak bertentangan dengan sutra-sutra Mahayana yang lain, bukankah seharusnya ajaran Theravada sejalan dengan Mahayana?
Gitu aja kok kagak ngatri
`
TL:
Jadi berbohong bisa dibenarkan ya? asal bijaksana
membunuh bisa dibenarkan, asal bijaksana
mencuri bisa dibenarkan asal bijaksana
asusila bisa dibenarkan asal bijaksana
Tidak bisa membedakan antara berbohong dengan diam ya mas? Apakah kalau diam termasuk berbohong?
TAN:
Kalau diam itu adalah tindakan yang bijaksana ya why not? Kalau berjihad membela nihilisme itu dianggap tindakan bijaksana ya silakan saja. Siapa yang mau melarang.
Kutip lagi aaahh:
TL:
Iya kan saya hanya mengikuti perumpamaan mas Tan: "(Tan mode: on)"
Saya catat pernyataan mas Tan, jadi Buddhanya di Mahayana sah-sah saja berbohong? demi alasan bijaksana?
TAN:
Hm bagaimana ya? Karena kita beda pandangan di sini. Bagi saya tindakan semacam itu bukan berbohong. Kita kadang harus bijaksana dalam menjawab sesuatu. Supaya orang seperti Anda bisa mengerti, saya kasih satu contoh dah. Umpamanya Anda punya anak atau keponakan yang masih kecil dan ingusan, terus dia bertanya: “Darimana datangnya adik bayi?” Pertanyaannya apakah Anda akan memberikan jawaban: “O iya adik bayi itu datangnya dari hubungan [tiiiittttt sensor], caranya alat [tiittttt..sensor] dimasukkan ke [tiittttt…sensor]…..” Begitu ya? Jawaban yang bijak adalah mengatakan: “Adik bayi itu datang dibawa burung bangau.” Nah, apakah jawaban itu adalah kebohongan? Tidak. Karena itu adalah jawaban terbaik yang dapat diberikan. Anda mungkin akan berkilah dengan mengatakan, “Ah, tunggu kamu besar, nanti khan tahu sendiri.” Tetapi ingat ini bukan jawaban. Efek negatifnya akan lebih besar. Sang anak jadi penasaran dan kemungkinan mencari dari sumber-sumber lain yang tidak dapat dipertanggung jawabkan.
Selanjutnya, kasus yang saya ungkapkan dalam posting sebelumnya juga belum Anda jawab. Apakah bijaksana memberitahu kondisi yang sebenarnya pada sang ayah yang sakit jantung atau depresi? Sebaiknya Anda jawab pertanyaan ini.
Apakah sah-sah saja seorang Buddha di Mahayana berbohong? Pertanyaan ini tidak valid, karena Mahayana tidak menganggapnya sebagai kebohongan
kutip lagi aaaahh untuk menyegarkan ingatan:
TL:
Apakah mas Tan membaca menurut prajna paramita sutra dikatakan MEREKA YANG MENGIKUTI JALAN PRATYEKA BUDDHA DAN SRAVAKA BUDDHA DIANGGAP TELAH BERADA DIBAWAH PENGARUH MARA?
Pada bagian lain di SADDHARMA PUNDARIKA SUTRA DIKATAKAN BAHWA ARAHAT HANYA PENGHENTIAN SEMENTARA, yang diumpamakan kafilah yang berjalan jauh lalu menemukan sebuah kota, lalu rombongan kafilah DIBOHONGI oleh pemimpin kafilah yang mengatakan bahwa mereka telah sampai tujuan. Apa iya Seorang Buddha suka berbohong?
Renungkan sendiri kedua pernyataan dari kitab suci Prajna Paramita sutra dan Saddharma Pundarika sutra ini, kontradiktif atau tidak?
Pertanyaan: bila jalan Sravaka Buddha itu dibawah pengaruh Mara mengapa dikatakan di Saddharma Pundarika bahwa itu hanya penghentian sementara? Apakah Buddha bersekutu dengan Mara di dalam doktrin Mahayana?
TAN:
Apakah maksudnya di bawah “pengaruh Mara”? Anda perlu membaca Sutra itu secara lengkap untuk memahami maksudnya. Maksudnya adalah seseorang yang merasa bahwa diri mereka sudah sempurna dan tidak perlu melakukan apa-apa lagi. Orang yang merasa sudah “sempurna” justru belum “sempurna.” Mengapa? Karena “sempurna” hanya ada bila dikontraskan dengan “tidak sempurna.” Nah, dengan demikian, bila dualisme telah dilampaui, masih adakah “sempurna” dan “tidak sempurna”? Oleh karena itu, orang yang telah “sempurna” justru tidak akan merasa “sempurna” lagi. Tetapi mereka juga tak akan merasa “tidak sempurna.” Mereka telah menyelami kedemikianan segala sesuatu (tathata) dan terbebas dari segenap label.
Sutra Sadharmapundarika menyebutkan pula sebagai contoh, 500 orang bhikshu yang meninggalkan pasamuan, ketika Buddha memaparkan mengenai sutra ini. Mereka merasa diri telah “sempurna” dan tak perlu belajar lagi. Inilah yang disebut “kesombongan spiritual.” Merasa malu atau enggan mempelajari sesuatu yang mereka anggap rendah. Inilah sebabnya Sutra menyebabkan berada “di bawah pengaruh Mara.” Tentu ini adalah suatu metafora atau perumpamaan bagi hal tersebut.
Kedua, mengapa disebut “penghentian sementara”? Ini untuk menghapuskan pandangan salah bahwa perealisasian sravaka atau pratykebuddha itu adalah suatu “kemandekan.” Selain itu, yang patut diingat goal bagi Mahayana adalah Samyaksambuddha. Oleh karena itu, dalam konteks ini hendaknya istilah “penghentian sementara” itu dipahami.
Apakah Buddha berbohong dan bersekutu dengan Mara? Jawabannya tentu saja tidak. Kesimpulan yang keliru. Oleh karena itu, kedua Sutra itu tidak bertolak belakang. Keduanya mengkaji dari sudut pandang yang berbeda. Semua praktisi Mahayana yang mendalami Mahayana akan tahu betul tentang hal ini.
baca yang warna biru, jadi tidak berbohong demi bijaksana ya mas?
Oh ya ngomong-ngomong Prajnaparamita mas Tan punya "The large Sutra of Perfect Wisdom (Abhisamayalankara)?" yang diterjemahkan oleh Edward Conze?
hal 172: A Bodisattva should avoid disciple thought and Pratyekabuddha thought because it is not the path to enlightenment.Bodhisattva harus menghindarkan pemikiran sravaka (Sotapana hingga Arahat) dan Pratyekabuddha, karena bukan jalan ke arah pencerahan.
Hayo yang suka
menjelek-jelekan aliran lain siapa?
hal 244: Because those whose thought has been set free on the level of Disciples and Pratyekabuddhas do not understand any Dharma.
Karena mereka yang pikirannya telah terbebaskan pada tingkat Saravaka dan Pratyekabuddha tidak mengerti Dharma sama sekali.
Hayo yang suka merendah-rendahkan aliran lain siapa?
hal 334: Some persons belonging to The Great Vehicle will spurn this deep Perfection of Wisdom which is the root of all the Buddha Dharmas, and decide instead to study sutra associated with the vehicles of Disciple and Pratyekabuddhas, sutras which are like branches, leaves and foliage. This also willl be Mara's deed to them. Beberapa orang yang termasuk dalam aliran Mahayana menolak Prajna Paramita yang dalam ini, yang merupakan akar semua Buddha dharma, dan memutuskan untuk belajar Sutra yang berkenaan dengan Sravakayana dan Pratyekabuddha, sutra yang bagaikan cabang, rating dan tunas. Ini juga merupakan (hasil) pekerjaan Mara pada mereka.
Jelas kan?
siapa menjelekkan siapa? Saya tantang mas Tan untuk mencari sutta-sutta dalam Tipitaka pali yang isinya menjelek-jelekkan, merendahkan, dan menuduh tanpa dasar aliran Buddhis yang lain.Menuduh tanpa dasar adalah pitenah.
TL:
Nuduh ya? Kapan dan dimana dikatakan sesudah panca skandha hancur tak ada apa-apa lagi? sumbernya mana?
TAN:
Lho.. kalau ga mau dituduh "tidak ada apa-apa lagi" berarti masih ada apa-apa donk. Hayoooo jangan mungkir lagi ya. Mau tetap jadi nihilis ya? hehehehehee
Inilah yang dibilang
diskusi pada tataran warung kopi,
menuduh tanpa dasar, tanpa referensi TL:
mau tahu dan mau mengerti juga kagak bisa, yang tahu dan mengerti cuma yang nulis
TAN:
Betul sekali.
Amiduofo,
Tan
yang nulis bikin bingung siapa? tauk ah gelaaap
TL
Berbicara mengenai pertanyaan spekulatif yang tak keruan juntrungannya, apakah berhentinya fungsi rumah sebagai tempat perlindungan bisa berhenti atau tak bisa berhenti?
TAN:
Rumah sebagai tempat perlindungan bisa berhenti dengan dua cara:
1.Tidak ada orang lagi yang tinggal di sana. Kalau tidak yang berlindung di dalamnya, apakah dapat disebut tempat berlindung?
2.Rumahnya rusak dan tidak dapat memenuhi fungsi sebagai tempat berlindung.
Jadi rumah tidak harus hancur. Rumah memang anitya, tetapi ingat anitya tidak sama dengan nihilisme. Rumah mungkin hancur menjadi unsur2 penyusunnya. Tetapi ingat unsur2 penyusun ini tetap ada. Karena itu analogi itu tidak dapat mendukung pendapat Anda
lain yang yang ditanyakan lain yang dijawab. perhatikan kalimat berikut:
ada fungsi rumah sebagai tempat perlindungan yang telah berhenti, simak baik-baik pertanyaannya: apakah penghentian fungsinya akan berhenti atau tidak berhenti?
Berhenti atau tidak berhenti?
TL:
Demikian juga dengan mahluk hidup,
mahluk hidup bertumimbal lahir selama masa yang tak terhitung disebabkan kemelekatan pada panca khandha, kemelekatan ini sendiri merupakan kondisi, apakah yang menyebabkan kemelekatan pada pancakhandha? akarnya adalah Moha/Avijja.
Bila kemelekatan kepada pancakhandha berakhir maka kita terbebas dari kondisi-kondisi, karena kondisi-kondisi yang tercipta disebabkan oleh kemelekatan kepada pancakhandha ini talah berhenti, itulah yang disebut Nibbana.
Jadi Nibbana (anupadisesa Nibbana) adalah keadaan yang tak berkondisi, bedakan dengan Saupadisesa Nibbana yang masih memiliki kondisi karena masih adanya pancakhandha. (maksudnya Saupadisesa Nibbana adalah mencapai Nibbana selama masih memiliki bentuk sebagai manusia, dewa, maupun Brahma dengan kata lain masih hidup belum meninggal)
TAN:
Jadi menurut Anda: anupadisesa nibanna tak berkondisi, sedangkan saupadisesa nibanna masih berkondisi? Jadi ada dua jenis nibanna yang berbeda kalau begitu? Apakah menurut Anda dengan demikian anupadisesa nibanna lebih tinggi dari saupadisesa nibanna? Jika anupadisesa nibanna “lebih tinggi” dari saupadisesa nibanna bukankan itu adalah suatu “kondisi” (dalam artian lebih tinggi dan rendah)? Anda mengatakan saupadisesa nibanna masih berkondisi. Artinya “nibanna” masih bisa berkondisi dan tidak bukan? Bisa “berkondisi dan tidak” bukankah itu adalah suatu kondisi. Ingat ini Anda sendiri yang menyatakan lho.
kalau tidak mengerti jangan membantah mas, seorang Arahat telah mengalami Nibbana dalam kehidupan ini juga, bukan sesudah wafat. Jangankan Arahat, seorang Sotapanna juga merasakan Nibbana sewaktu masih hidup bukan sesudah meninggal.
Membandingkan Nirvana tinggi atau rendah adalah pertanyaan penuh konsep dari orang yang tak mengerti, Nirvana tak ada lebih tinggi atau lebih rendah kalau seorang Ariya mencapai Nirvana sewaktu duduk bermeditasi tentu saja ada kondisi yaitu tubuhnya sendiri, yang masih utuh.
Sekarang saya Tanya apakah Seorang Bodhisatva dalam Mahayana sudah merasakan Nirvana atau belum?
Kayaknya pertanyaan saya belum dijawab
metta