//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...  (Read 663503 times)

0 Members and 4 Guests are viewing this topic.

Offline Tan

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 510
  • Reputasi: 31
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #885 on: 03 May 2009, 09:17:58 PM »
MERCEDES:


saudara Tan,
yang saya tidak tahu adalah "keadaan batin seseorang yang merealisasikan nibbana"

tetapi yang saya tahu pasti adalah "pikiran menimbulkan penderitaan" dan akhir dari penderitaan adalah pikiran ini padam.

sama seperti anda tahu bahwa "kelahiran adalah penyebab Jara-maranam" dan tanpa kelahiran maka tidak ada "jara-maranam"
apakah anda mengerti yg saya maksud? kontradiktif nya bagianmana?
apakah perumpaman-an ini agak membingungkan......contoh sederhana deh saya kasih...

anda kenyang karena makan banyak, dan kenyang tidak akan terjadi apabila tidak makan...
itulah "pengetahuan yang pasti saya yakini dan telaah secara langsung lewat pengalaman langsung"



TAN:

Anda belum memadamkan pikiran, jadi bagaimana Anda tahu bahwa pikiran padam merupakan akhir penderitaan. Jadi pengetahuan ini hanya berdasarkan buku atau kitab. Ingat logika manusia belum tentu benar. Baik kita ambil contoh Anda tentang makan dan kenyang. Memang benar bahwa makan bisa menimbulkan kenyang. Tetapi perasaan kenyang dan lapar tidak hanya timbul dari makanan. Anda pernah dengar percobaan psikologis dengan tikus tidak? Bagian-bagian otak seekor tikus dirusak dan dirangsang, maka ia akan terus menerus merasa lapar. Apabila bagian tertentu dimanipulasi ia akan merasa kenyang. Jadi ungkapan “kenyang tidak akan terjadi apabila tidak makan” adalah salah.
Pikiran padam mengakhiri penderitaan? Apakah Buddha sebelum mencapai anaupadisesa nirvana pikirannya sudah padam belum? Karena pikiran adalah bagian pancaskandha maka jawabannya BELUM. Anda bilang kalau pikiran padam penderitaan padam. Jadi kalau pikiran belum padam, penderitaan masih ada. Kesimpulannya Buddha Sakyamuni masih menderita donk?

MERCEDES:


oke lah sekarang seperti nya ada kesalahpahaman arti dari kata "nihilisme"


Nihilisme adalah sebuah pandangan filosofi yang sering dihubungkan dengan Friedrich Nietzsche. Nihilisme mengatakan bahwa dunia ini, terutama keberadaan manusia di dunia, tidak memiliki suatu tujuan. Nihilis biasanya memiliki beberapa atau semua pandangan ini: tidak ada bukti yang mendukung keberadaan pencipta, moral sejati tidak diketahui, dan etika sekular adalah tidak mungkin. Karena itu, kehidupan tidak memiliki arti, dan tidak ada tindakan yang lebih baik daripada yang lain.

sumber wikipedia

inikah arti dari kata nihilisme? jauh dari kategori......^^

Theravada memandang nihilisme apabila seseorang belum merealisasikan pengetahuan tentang hukum kamma, dan patticasammupada dan beranggapan bahwa, setelah mati yang tidak ada apa-apa lagi.
Theravada bukanlah aliran seperti itu, tetapi mengajarkan untuk menelusuri "SEBAB-SEBAB" dan "AKIBAT-AKIBAT" yang saling berhubungan......itulah merealisasikan kebijaksanaan..

nihilisme?....hehehe.....



TAN:

Wah saya tidak mau memakai definisi nihilisme menurut Nietzche.  Anda bisa saja comot definisi nihilisme apapun berdasarkan sumber yang mendukung pendapat Anda. Karena itu, saya dengan tegas menolak definisi Nietzche di atas.

Oke kita cermati kalimat “
Theravada memandang nihilisme apabila seseorang belum merealisasikan pengetahuan tentang hukum kamma, dan patticasammupada dan beranggapan bahwa, setelah mati yang tidak ada apa-apa lagi.



Masalahnya apakah Anda berani mengklaim bahwa Anda telah merealisasikan pengetahuan tentang hukum kamma, patticasammupada dll? Yakinkah Anda. Bagi saya hanya seseorang Buddha yang benar-benar merealisasikan patticasammupada, hukum kamma, dll. Kalau belum dia cuma mengutip dari buku sini dan buku sana (sama seperti saya hehehehehe....). Kalau Anda benar-benar merealisasikan pengetahuan tentang hukum kamma, kemudian ada seorang ibu yang membawa anaknya terlahir cacat dan menanyakan kamma apakah yang telah diperbuat anaknya pada tumimbal lahir yang lalu- dapatkah Anda menjawab pertanyaan ibu itu secara pasti? Tolong beri jawaban yang jujur. Kalau Anda memang bisa saya ingin dibacakan tumimbal lahir masa lampau saya (past life).
Jadi:

1.Anda belum merealisasikan hukum kamma dan patticasammupada
2.Anda beranggapan setelah mati tidak ada apa-apa lagi.

Kesimpulannya: Anda seorang nihilis.

MERCEDES:


orang yang telah tercerahkan
cinta akan kehidupan rumah tangga dan mencari guru guna membantu pencapaian-nya....
tersiksa selama 6 tahun dengan penyiksaan hebat, harus mendengar syair dari pemain kecapi barulah sadar, apakah arti semua ini?
jawabannya. "buddha di luar logika dan akal sehat"....



TAN:

Jawabannya tetap UPAKAYA KAUSALYA, Bang.

Amiduofo,

Tan

Offline Tan

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 510
  • Reputasi: 31
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #886 on: 03 May 2009, 09:28:06 PM »
UNTUK KELANA:

TAN:

Bung Kelana, dalam beberapa kasus nol memang bisa disamakan dengan nihil. Contoh waktu kita makan di warung bebek goreng yang sudah kehabisan persediaan. Kita tanya, "Ada bebek, Bang?" Jawabannya, "Maaf! Kosong, Bang!" Jadi nol sendiri mempunyai banyak arti.
Nol pada postingan saya di atas, saya pergunakan dalam konteks yang berbeda dengan apa yang Bung Kelana ungkapkan.

KELANA:

Begini, Sdr. Tan. Konsep Anatta, konsep Kekosongan, Sunyata, ada dalam Mahayana maupun non-Mahayana. Dan dari yang saya pelajari, keduanya pada awalnya memiliki pemahaman yang sama.

Yang menjadi perbedaan adalah Mahayana cenderung menggunakan terms atau istilah yang “positif” sehingga terkesan adanya bentuk inti, seperti istilah tatagathagarba, dharmakaya, “diri sejati”, dll, yang sebenarnya digunakan untuk mereka yang kurang mampu melepaskan ke-atta-an. Inilah yang belakangan cenderung berkembang dan disalahartikan oleh mayoritas kaum Mahayana, seperti Buddha kembali dilahirkan, manifestasi Buddha, Buddha yang Parinirvana tetap memancarkan maitri, bahkan ada yang mengatakan minum kopi bersama Buddha yang sudah Parinirvana, dll. Dan saya yakin bukan ini pemikiran dari Mahayana awal.

Sedangkan Non-Mahayana cenderung menggunakan terms “negatif” seperti padam, hancur, dll. Mungkin ada kaum Non-Mahayana atau yang lainnya yang beranggapan ini adalah NIHILism, tapi ini adalah pemikiran yang salah. Dalam ajaran Non-Mahayana sendiri diajarkan untuk menghindari 2 pinggiran ekstrem, termasuk penjelasan adanya penolakan dikatakan NIHIL (tidak ada apa-apa sama sekali). Hal ini ada dalam Sutta.

Jadi mungkin apa yang saya sampaikan tidaklah sama dengan pemahaman Sdr. Tan mengenai Kekosongan ataupun angka 0. Saya tidak akan mengiyakan 0 itu adalah nihil dan juga tidak akan mengiyakan 0 seperti ada Buddha yang memancarkan maitri. Saya hanya mengatakan ada makna. Kata “ada” disini juga jangan disalahartikan dengan keberadaan inti kekal, atta, pancaskandha, ada proses memancar, manifestasi, dll. Secara kasarnya, jika ditanya apa yang ada? Ya Kekosongan itu sendiri.

Hanya demikian yang bisa saya sampaikan.

TAN:

Maaf, saya tidak sependapat Bung Kelana. Kalau pendapat Anda demikian, berarti Anda menyalahkan aliran Sukhavati, Tiantai, Mizong (Tantra), yang tergolong Mahayana belakangan? Anda juga akan menolak doktrin Trikaya, dll? Anda juga harus menolak Sutra Saddharmapundarika. Dengan demikian, Anda akan menolak korpus Mahayana sebagai suatu keseluruhan. Saya berpandangan konsep Mahayana sudah benar (menurut pendapat pribadi saya - tidak ada keharusan mengikuti apa yang saya anut), seperti yang sudah saya ulas pada posting2 sebenarnya.

Amiduofo,

Tan


Offline Tan

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 510
  • Reputasi: 31
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #887 on: 03 May 2009, 09:31:24 PM »
Secara nihilisme (ucchedavada) adalah paham yang ditolak oleh Theravada. Demikian juga dengan eternalisme (sassatavada) juga merupakan paham ekstrim yang ditolak Theravada.

TAN:

Benar, tetapi kenyataannya banyak umat non Mahayanis yang mempunyai pandangan sangat mirip dengan nihilisme.


Offline Tan

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 510
  • Reputasi: 31
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #888 on: 03 May 2009, 09:52:25 PM »
TL:

Nampaknya mas Tan kurang mengerti mengenai teori nihilisme, karena jawabannya panjang dan tadinya saya malas menulis terlalu panjang, itu alasan pertama.

Alasan kedua adalah karena saya menghindar untuk membandingkan antara Mahayana dengan ajaran lain. Dan hanya membandingkan ajaran Mahayana dengan ajaran Mahayana sendiri atau ajaran non Buddhis seperti Hindu. Tetapi karena mas Tan sendiri yang mengklaim bahwa Tipitaka ada di Mahayana (walaupun saya tidak beranggapan demikian). Jadi saya rasa saya tidak perlu sungkan-sungkan membandingkan Tipitaka dengan buku-buku Mahayana yang lain, karena bukankah Tipitaka Pali juga 99% sama dengan Tripitaka Mahayana? jadi hanya 1 diantara 100 yang berbeda. Jadi Saya tidak membandingkan T dengan M, karena T juga termasuk M menurut pemahaman mas Tan iya kan? 

TAN:

Anda salah. Saya tidak pernah mengatakan bahwa Tripitaka Mahayana = Tipitaka Pali. Saya hanya bilang bahwa sebagian besar sutra di kumpulan Agama ada di Nikaya Pali. Ingat Agama Sutra hanya salah satu bagian saja dari kanon Pali. Selain itu, masih banyak pula Sutra yang hanya ada di Mahayana. Anda salah paham kalau mengatakan bahwa saya bilang Tripitaka Mahayana = Tipitaka Pali. Salah besar! Saya punya kumpulan kanon Pali dan Tripitaka Mahayana, jadi tidak mungkin saya sebodoh itu mengatakan demikian.
Ajaran Mahayana tidak identik dengan ajaran Theravada. Meskipun Mahayana mengakui Agama Sutra, tetapi juga menggunakan Sutra-sutra Mahayana. Jadi penafsiran pada Agama Sutra diterangi dengan cahaya Sutra-Sutra Mahayana. Oleh karena itu, kami kaum Mahayanis tidak menganggap keduanya bertentangan.

TL:

Ini Sebenarnya adalah pandangan plin-plan. Perhatikan cara penyampaiannya disini, jelas nampak seolah-olah Sang buddha adalah mahluk mendua yang kadang mengajarkan A, kadang mengajarkan B, tidak konsekuen. 
Hal lain yang jelas juga disini adalah: bahwa Nagarjuna (saya katakan bahwa ini pandangan Nagarjuna) berpandangan secara tidak langsung atman (atta) ada. Sebenarnya PANDANGAN NAGARJUNA ADALAH TERMASUK PANDANGAN SEMI ETERNALIS (Brahmajala Sutta ada membahas 62 pandangan salah dan pandangan Nagarjuna adalah salah satu diantaranya).
MEMPERSOALKAN ADA ATAU TIDAK ADA ADALAH SATU KOIN DUA SISI. adalah merupakan pandangan salah.

TAN:

Anda memandang bahwa Buddha dengan cara mengajar seperti itu adalah plin plan. Tetapi mari kita cermati. Saya ambil contoh, seorang dokter yang memeriksa seorang anak yang kekurangan vitamin pada sayuran. Ia lalu menyuruh anak itu banyak makan sayuran. Kemudian ada pasien lain yang menderita sakit asam urat. Ia disarankan jangan banyak makan sayuran. Menurut Anda dokter itu plin plan?
Ada lagi seorang pasien yang berobat dan diberi suatu jenis obat. Setelah pasien sembuh, dokter berkata obatnya boleh dihentikan atau tak boleh diminum lagi. Apakah dokter itu plin plan?

MERCEDES:

Sisi yang lain yaitu:
YAITU : PRATITYA SRAMUTPADA.
Mohon jangan dibantah, bukankah kitab suci Tipitaka sama dengan kitab suci Tripitaka Mahayana?   

untuk lebih jelasnya, baca kembali syair Sang Buddha ketika di Bodhgaya waktu baru mencapai penerangan sempurna, yaitu:

"Semua faktor-faktor pendukung dumadi (tumimbal lahir)telah dihancurkan, maka tak akan ada lagi kelahiran."

TAN:

Ya tentu saja saya setuju pratyasamupatda. Hanya saja kaum Mahayana tidak menganggap penjelmaan Buddha sebagai "kelahiran." Kalaupun dianggap "kelahiran" maka itu adalah nampaknya begitu di mata makhluk samsara. Tetapi yang pasti tetap tidak ada "kelahiran." Nah, pertanyaan apakah ajaran Mahayana bertentangan dengan pratyasamutpada? Jawabannya, tidak! Karena itu bukanlah "kelahiran."

TL:

Mas Tan mari kita ke basic.. tolong jelaskan hukum karma menurut mas Tan apakah melingkupi mahluk hidup saja dan apakah melingkupi benda mati?

PERTANYAAN INI SANGAT SEDERHANA (TAK PERLU ADA SPEKULASI) TETAPI MAS TAN TAK BISA MENJAWAB, (ATAU TAK BERANI MENJAWAB.....? ? ? ? ?) ANAK SD SAJA BISA MENJAWAB PERTANYAAN INI  HEHEHE....

TAN:

Kalau Anda tidak suka spekulasi dan berbelit-belit. Jawab saja: Apakah hukum kamma itu anitya atau nitya? Gitu aja kok repot. gak usah repot2 lah.. saya ini tak suka merepotkan orang lain. Hehehehehe.....

TL:

Sudah saya jawab diatas: hukum karma hanya berlaku dan valid hanya pada mahluk hidup, sewaktu mereka masih memiliki kelima kelompok kemelekatan (panca skandha). Bila kemelekatan terhadap panca skandha telah lenyap seluruhnya, maka karma niyama tak berlaku.

TAN:

Buddha sebelum parinirvana masih menerima balasan kammanya, dan mengalami penyakit. Apakah Buddha masih punya kemelekatan pada panca skandha?

TL:

99% berarti hanya satu yang berbeda diantara seratus, apakah saya salah secara matematis?
Mengenai tanggapan terhadap Wikipedia, saya serahkan pada pembaca, mau percaya tulisan mas Tan atau percaya Wikipedia   

TAN:

Meskipun semua pembaca tidak percaya tulisan saya, sama sekali saya tidak peduli. Saya punya pandangan sendiri berdasarkan literatur2 yang saya punya. Saya tidak perlu penilaian atau pendapat orang lain. Jadi tulisan saya tidak dipercaya juga tidak mengapa. Dipercaya atau tidak, bagi saya tidak ada untungnya apa2. Kecuali kalau tulisan dipercaya, terus saya dapat hadiah 500.000 USD. Nah baru ceritanya lain.
Kedua, kebenaran tidak bergantung dari banyak orang yang percaya atau tidak. Dulu yang percaya bumi bulat hanya GALILEO GALILEI. Nah, nyatanya bumi datar atau bulat?

MERCEDES:

Mas Tan mengerti atau tidak pandangan causal effect/ sebab akibat/ pratitya sramutpada
ini kutipan ajaran jainism ( http://en.wikipedia.org/wiki/Jainism#Doctrines ):

Jains believe that every human is responsible for his/her actions and all living beings have an eternal soul, jīva.
Jains beranggapan bahwa semua manusia bertanggung jawab terhadap perbuatannya dan semua mahluk hidup memiliki roh yang kekal, jiva.Apa mirip ?   

Jains view God as the unchanging traits of the pure soul of each living being, described as Infinite Knowledge, Perception, Consciousness, and Happiness (Ananta Jnāna, Ananta Darshana, Ananta Cāritra and Ananta Sukha). Jains do not believe in an omnipotent supreme being, creator or manager (kartā), but rather in an eternal universe governed by natural laws
Jains beranggapan Tuhan/dewa sebagai sifat tak berubah dari jiwa yang murni setiap mahluk hidup, diterangkan sebagai pengetahuan tak terbatas, persepsi, kesadaran dan kebahagiaan (Ananta Jnāna, Ananta Darshana, Ananta Cāritra and Ananta Sukha). jain tidak percaya mahluk tertinggi yang maha tahu dan maha kuasa, pencipta atau pengatur, tetapi percaya alam semesta yang abadi yang diatur oleh hukum alam.
Mirip T atau mirip M 

History suggests that various strains of Hinduism became vegetarian due to strong Jain influences
Berbagai aliran Hinduisme menjadi vegetarian karena pengruh kuat jainism. Mirip mana ? 
tolong diperhatikan kita tidak mempersoalkan vegetarian benar atau salah, baik atau buruk.

TAN:

Ah, bukannya umat Buddha juga percaya ajaran bahwa "tidak percaya mahluk tertinggi yang maha tahu dan maha kuasa, pencipta atau pengatur"? Adalah wajar bahwa di antara berbagai ajaran agama ada kemiripan dan ketidak-miripannya. Tidak perlu dibingungkan. Bagaimana dengan kemiripan ajaran non-Mahayanis dengan konsep tirthankara yang juga tak dapat memancarkan maitri karuna setelah ia memasuki nirvana?

Amiduofo,

Tan





Offline Tan

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 510
  • Reputasi: 31
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #889 on: 03 May 2009, 09:55:20 PM »
Apakah kelahiran merupakan penderitaan?

Jawaban saya simpel saja:

Selama Anda masih menganggap sesuatu sebagai penderitaan, maka itu adalah penderitaan. Selama Anda menganggap sesuatu sebagai bukan penderitaan, maka itu adalah bukan penderitaan.

Amiduofo,

TAn

Offline Nevada

  • Sebelumnya: Upasaka
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.445
  • Reputasi: 234
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #890 on: 04 May 2009, 01:52:50 AM »
Quote from: Tan
TAN:

Tanggapan di atas tidak masuk akal dan tidak membebaskan kaum non Mahayanis dari dari pandangan nihilisme. Dikatakan “Buddha tidak lagi memiliki pancakkhandha.” Padahal unsur penyusun makhluk hidup adalah “pancakkhandha.” Secara matematis tidak memiliki pancaskandha berarti identik dengan  0 + 0 + 0 + 0 + 0 = 0 (Ingat saya tulis dengan huruf besar NOL). Apakah ini sekali lagi tidak identik dengan nihilisme? Selanjutnya dikatakan “apakah lenyap/ nihilisme? Jawabannya adalah tidak.” Ini tidak masuk akal karena seolah-olah hendak mengatakan bahwa 0 = 1. Selanjutnya diberikan analogi tentang api. Sepintas memang masuk akal. Tetapi sekarang pertanyaannya apakah “api” benar hilang-hilang bila unsur-unsur pendukungnya tidak ada lagi? Jawabannya adalah TIDAK. Api tidak hilang melainkan bertransformasi menjadi bentuk energi lainnya.
Selanjutnya dikatakan bahwa “tidak tercipta maka tidak akan lenyap.”  Bila dicermati secara seksama pandangan ini tetap menimbulkan permasalahan. Kita tidak mempermasalahkan “tercipta” atau “tidak tercipta.” Untuk mudahnya begini, saya akan mempertanyakan apakah panca skandha itu “ada” atau “tidak ada”? Apakah “ada” Buddha Sakyamuni yang sebelumnya terdiri dari pancaskandha? Kemana perginya pancaskandha itu setelah Beliau parinirvana?
Mengemukakan konsep bahwa yang tak tercipta tak akan lenyap jelas tidak tepat di sini, karena pada kenyataannya pancaskandha itu “ada.” Jika pancaskandha itu tidak ada karena tak pernah tercipta, siapakah yang menulis artikel ini?
Jawaban di atas tetap tidak dapat menuntaskan masalah nihilisme yang saya kemukakan.

Tuduhan yang menyatakan bahwa Sang Buddha mengajarkan Nihilisme sudah muncul ke permukaan sejak 2,5 millenium lalu. Statement Anda ini hanya sebuah lagu lama.

Ketika kita berbicara menganai manusia, tentu saja kita tidak bisa mengelak adanya pancaskhandha. Namun pancaskhanda hanyalah kelompok kehidupan, yang menyusun secara rapi satu fenomena yang kita sebut sebagai "manusia'. Ketika 5 kelompok kehidupan ini terurai dan kehabisan bahan bakarnya (lihat kembali Pratitya Samutpada), maka kelima kelompok kehidupan ini tidak akan kembali terseret dalam proses transformasi bentuk selanjutnya. Pancaskhandha bisa ada karena ditunjang oleh faktor-faktor penyebabnya.

Ketika bahan bakar ini terhenti, maka tidak akan ada lagi penyebab munculnya pancaskhandha. Seperti perumpamaan api yang padam; karena tidak ada kondisi-kondisi yang berpadu, maka api tidak akan tercipta. Kalau Anda mengklaim bahwa ini nihilisme, itu wajar sekali. Karena orang seperti Anda itu masih melihat bahwa Buddha pernah hidup, dan sekarang sudah mati. Matinya pun Parinibbana, alias hilang. Saya mau cari Beliau, tapi kata Umat Theravada sudah tidak ada lagi. Berarti Buddha melenyapkan diri-Nya? O tidak. Tidak mungkin seperti itu. Ini adalah pandangan nihilisme, saya tidak mau ikutan jadi nihil deh.  ;D

Kemana perginya pancaskhandha setelah Sang Buddha memasuki Parinibbana?
Jawab : Pancaskhandha secara garis besar adalah paduan nama dan rupa. Rupa (jasmani) Beliau terurai secara biologis. Nama (batin) Beliau tidak lagi bermanifestasi. Karena batin Beliau sudah mencapai Pembebsan. Jadi tidak ada bahan bakar yang masih bergelora, sehingga tidak lagi menjelma ke bentuk baru.

Parinibbana (versi Theravada) itu artinya bertransformasi ke energi baru? Jangan gampang termakan oleh statement di Hukum Termodinamika I, yah. Hukum Termodinamika I saja kontradiksi dengan Hukum Termodinamika II.

Batin itu bekerja bersama dengan jasmani dalam mengarungi kehidupan. Ketika jasmani terurai habis, dan batin sudah Terbebas, tidak akan ada lagi penjelamaan berikutnya.


Quote from: Tan
Apakah maksud Anda, setelah mencapai Pembebasan Mutlak semuanya menjadi nitya alias kekal? Benarkah demikian?

Anda tidak menjawab pertanyaan saya, apakah konsep anitya itu merupakan nitya atau anitya. Ingat kita bicara anitya sebagai suatu KONSEP lho. Saya tekan lagi KONSEP. Saya tidak menanyakan mengenai anitya/ nitya ditinjau dari sebelum dan sesudah pembebasan. Yang Anda jawab hanyalah memberikan pembedaan mengenai nitya dan anitya ditinjau dari orang yang sudah bebas dan belum. Padahal yang saya tanyakan bukan itu.
Kedua, dengan jawaban Anda, seolah-olah hendak mengatakan bahwa anitya itu tidak kekal. Bagaimana logikanya?

Orang yang belum tercerahi masih berlaku anitya, tetapi yang sudah tercerahi tidak lagi berlaku. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa menurut Anda anitya itu TIDAK KEKAL. Benarkah demikian?

Sabbe sankhara anitya.
-> Semoga ejaannya benar di mata Anda.

Artinya : segala sesuatu yang merupakan paduan unsur adalah tidak kekal.

Apa saja yang termasuk paduan unsur?
Jawab : samsara, maitri-karuna, konsep, postingan di DC, kerutan di dahi Anda, limit waktu di Warnet, dll.

Apa yang tidak tunduk di bawah anitya?
Jawab: (seharusnya) Nirvana

Apakah konsep anitya itu nitya atau anitya?
Jawab : anitya. Karena konsep itu hanya sebatas gagasan, sehingga sifatnya tidak kekal.

(Semoga alurnya tidak direwind lagi...)

Offline Nevada

  • Sebelumnya: Upasaka
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.445
  • Reputasi: 234
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #891 on: 04 May 2009, 01:53:05 AM »
Quote from: sobat-dharma
Menurut saya bro upasaka, baik Metta bhavana maupun Ikrar Bodhisattva kedua-duanya dimulai dari pikiran. Kutipan-kutipan yang saya cantumkan dalam posting sebelumnya jelas-jelas mengatakan bahwa Ikrar bodhisattva adalah cara membangkitkan pikiran Bodhicitta.
Keduanya juga bro upasaka, dari pikiran yang terbangkit akan menuntun pada suatu tindakan. Metta Bhavana yang dilaksanakan dengan sungguh-sungguh tidaklah mungkin hanya kata “semoga” yang hanya merupakan harapan semu belaka.  Karena dalam membangkitkan Metta juga dibutuhkan tekad yang sungguh-sungguh dan tulus, sebagaimana dalam mengucapkan Ikrar Bodhisattva.
 Sebagai tekad yang sungguh-sungguh, metta bhava tidak pernah berhenti hanya pada kata-kata “semoga” saja melainkan juga akan tercermin dalam tindakan seorang meditator yang tidak ingin menyakiti makhluk lain dan benar-benar bertindakan untuk kebaikan semua makhluk hidup. Sama halnya dengan itu, sebagai tekad yang sungguh-sungguh, ikrar Bodhisattva akan tercermin juga dalam tindakan keseharian seorang calon Bodhisattva yang benar-benar mengharapkan semua makhluk terbebas dari samsara. Bahkan ikrar Bodhisattva itu sendiri adalah pancaran metta karuna.
Tidaklah tepat bro Upasaka, memisahkan antara pikiran yang dibangkitkan dengan tindakan yang dilakukan kelak. Setiap pikiran positif yang  berhasil dibangkitkan dengan sungguh-sungguh semuanya akan menghasilkan tindakan positif yang sama.

Saya sependapat dengan Anda, tapi tidak semuanya.

Metta bhavana bisa diaplikasikan dalam tindakan. Tidak menyakiti makhluk lain dan penuh cinta pada semua makhluk. Misalnya : ketika saya dicopet, jika saya mengembangkan metta, seharusnya saya memakai landasan cinta universal ketika melihat pencopet itu. Bagaimanapun juga, semua makhluk pada dasarnya ingin berbahagia. Jadi pencopet itu sebenarnya ingin berbahagia. Dia ingin berbahagia dengan mencopet. Karena dengan memiliki barang itu, dia menjadi bahagia (secara duniawi). Dengan pengertian inilah saya seharusnya tidak marah pada pencopet. Saya seharusnya menanamkan cinta universal, dan melihat pencopet itu sebagai makhluk yang berhak untuk berbahagia. Sehingga saya tidak perlu geram. Di sini juga dipengaruhi oleh sifat keakuan diri untuk membendung hasrat marah pada pencopet itu. Berangkat dari sini, karuna (belas kasih) pun muncul. Saya seharusnya kasihan kepada pencopet itu. Saya kasihan karena dia meraih kebahagiaan dengan cara yang salah. Caranya akan membuat dia menderita. Karena atas dasar belas kasih, saya pun berusaha menjelaskan perbuatan salahnya... Di sini akan muncul lagi mudita (simpati). Ketika pencopet itu bahagia setelah mencopet; atau pencopet itu mengakui kesalahannya, saya seharusnya turut berbahagia padanya. Inilah wujud sikap turut berbahagia atas kebahagiaan orang lain. Dan ketiganya ini juga harus bediri atas fondasi upekkha (keseimbangan batin). Karena jika tidak, maka metta-karuna-mudita saya hanyalah merupakan sensasi gabungan beberapa jenis emosi. Alias masih melekat pada duniawi; seperti ekspresi menangis, pilu di hati, nafsu-keinginan untuk berkorban demi pencopet itu, dsb.

Semangat Bodhicitta itu 90% dituntut dalam perbuatan. OK, mungkin persentase itu hanyalah statistik ngawur, karena saya bukan ahli sensus. Tapi setidaknya, semangat Bodhicitta itu adalah "untuk menolong semua makhluk". Apakah Anda ingin menyatakan bahwa kalimat itu maknanya konotatif? Jadi supaya terkesan elegan, Sang Bodhisattva berikrar untuk menolong semua makhluk, meski kenyataannya impossible...?

Perhatikan bedanya! Metta bhavana bisa dijalankan secara universal. Memancarkan metta dan mengaplikasikannya ke semua makhluk itu bisa dilakukan, sangat logis. Anda bisa kok mencintai semua makhluk. Sedangkan semangat Bodhicitta itu tidak bisa dijalankan secara universal. Menolong semua makhluk itu tidak bisa digenapi, tidak mungkin ada orang yang bisa menolong semua makhluk. Kalau Anda mengatakan bahwa hal itu bisa dilakukan, itu namanya Anda memakai iman. Tanyakan saja pada anak kecil...

- Apakah mengharapkan semua orang selamat itu bisa dilakukan?
- Apakah menyelamatkan semua orang itu bisa dilakukan?

Anak kecil akan memberikan jawaban yang jujur pada Anda.


Quote from: sobat-dharma
Saya tidak setuju jika ikrar Bodhisattva disamakan dengan merk dagang (trademark/trade=dagang mark=tanda, atau merk), sebab di dalamnya tidak ada masalah untung dan rugi.  Semoga anda menyadari bahwa kata-kata ini dapat dianggap sebagai pelecehan terhadap ikrar Bodhisattva.
Di luar semua ini, saya setuju jika tekad ini universal. Namun saya melihat hanya di Mahayana yang mengajak seseorang yang ingin mencapai Anuttara Samyak Sambodhi untuk terlebih dahulu melepaskan cita-cita dirinya untuk merealisasi nirvana, dengan cara mengutamakan makhluk lain. Dengan cara demikian, secara otomatis seseorang semakin dekat dengan realisasi nirvana, bukan menjauhinya. Dalam Theravada, tekad demikian bisa saja muncul, meski sangat tergantung pada individu masing-masing.  Oleh karena itu, Mahayana adalah jalan yang lebih terbuka dan menuntn semua orang tanpa peduli kapasitas dan kemampuannya. Setiap manusia dengan kemampuan dan keterbatasan apapun selalu dituntun dengan Ikrar Bodhisattva yang membantunya untuk merealisasi nirvana. Sedangkan dalam Theravada, kemampuan individual menjadi penting, karena semuanya tergantung pada kemauan dan kemampuan masing-masing.

Lagi-lagi Anda menyinggung masalah untung-rugi. Saya tidak membahas perihal ekonomi luar negeri, bro.

Saya mau nanya neh.

Misalkan kita semua bercita-cita menjadi Samyaksambuddha. Di suatu masa, tibalah saatnya saya yang menjadi Samyaksambuddha. Saat itu saya membabarkan Dharma sampai saya akhirnya memasuki Parinirvana. Nah, meski saya membabarkan Dharma, tidak ada satu makhluk pun yang mengikuti langkah saya untuk memasuki Parinirvana. Karena semua orang bercita-cita untuk menjadi Samyaksambuddha... Lalu setelah melalui masa yang panjang, akhirnya Anda pun menjadi Samyaksambuddha. Anda membabarkan Dharma sampai Anda pun memasuki Parinirvana. Tapi tidak ada lagi yang mengikuti langkah Anda, karena semua bercita-cita ingin menjadi Samyaksambuddha. Jadi setelah menjadi Samyaksambuddha, sumbangsih seperti apa yang bisa diberikan untuk semua makhluk? Toh pada akhirnya Samyaksambuddha pun egois, karena memasuki Parinirvana sendirian. Nah loh...

Memangnya menurut Anda yang bisa membuat seseorang sukses itu apa?
- Karena orang itu memiliki kualitas untuk mencapai kesuksesan?
- Karena orang itu bekerja serabutan dan percaya bahwa rajin pada akhirnya akan sukses?

Kalau menurut saya, Anda akan memilih poin ke-2.


Quote from: sobat-dharma
Ah, namanya saja syair Bro, selalu banyak menggunakan metafora. Jangan terlalu dilihat dari kacamata realis melulu.

Ini dia permasalahannya. Coba telaah syair indah nan mulia di bawah ini.

"Saya mencintai kamu selama 10.000 tahun".

Itu adalah contoh kalimat gombal dari seorang pria pengemis cinta wanita.

Ada tingkat kemiripan yang cukup banyak dengan syair di Mahayana. Ini yang sering menghantarkan paradigma berpikir "ah puitis sekali, sungguh mulia..."


Quote from: sobat-dharma
Bukankah hukum Pratitya Samutpada adalah hukum yang dirumuskan untuk dipecahkan rangkaian jika seseorang ingin merealisasi nirvana.  Anda keliru sama sekali ketika mengandaikan Pratitya Samutpada adalah suatu hukum objektif yang berdiri sendiri dan harus tetap ada meski subjek tidak ada. Sebaliknya, Pratitya Samutpada adalah ‘lingkaran setan’ yang muncul terus menerus antara faktor subjektif dan objektif yang terkait satu sama lain yang akhirnya menyebabkan seseorang terus terlempar dalam samsara.  Oleh karena itu, hukum Pratitya Samutpada itu sendiri adalah cerminan dari samsara itu sendiri. Jika samsara adalah ilusi debu duniawi, maka  Pratitya Samutpada tetap berputar juga disebabkan oleh ilusi debu duniawi. Jadi dengan hilangnya ilusi debu duniawi, maka patah pula rangkaian Pratitya Samutpada. Patahnya rangkaian tersebut yang menyebabkan seseorang menyadari hakikat sejati Pratitya Samutpada yang ilusif. Jadi jika semua makhluk lepas dari samsara, lalu apa gunanya hukum Pratitya Samutpada?
Di sinilah saya menilai anda menganut suatu realisme yang kebacut. Realisme dogmatis yang telah mendewa-dewakan paham tentang subjek dan objek yang terpisah secara absolut. Cara anda memahami Pratitya Samutpada di atas mencerminkan hal ini.  Anda memahami Pratitya Samutpada adalah sesuatu yang  nyata, bahkan HARUS tetap ada meski nirvana telah terealisasi. Hal ini mengandaikan seolah-olah Pratitya Samutpada adalah kenyataan mandiri yang terpisah sepenuhnya dari Nirvana. Jika memang demikian adanya, maka Nirvana yang anda pahami tidak lain dari suatu kondisi baru di luar kondisi-kondisi yang telah kita kenal. Padahal cara pandang demikian benar-benar keliru.

Tidak usah berkelit. Jawab saja dengan jujur... :)

Menurut Anda mungkinkah di suatu masa, hiduplah semua Buddha di dunia ini, dunia ini berjaya dengan Dharma yang indah di awal, tengah dan akhir. Semua makhluk mencapai Pembebasan. Tidak lagi ada gajah-gajah yang perkasa, tidak lagi ada cacing di usus manusia, tidak lagi ada belatung yang memakan bangkai; karena semuanya sudah menjadi Buddha.

Kalau jawaban Anda adalah mungkin (atau bahkan "pasti ada"), well...
Saya tidak habis pikir bagaimana kondisi dunia saat itu... di mana Hukum Relativitas Fisika tidak lagi eksis, di mana Hukum Rantai Makanan tidak lagi eksis, di mana Hukum Kausalitas tidak lagi eksis. Oya... Mungkinkah ini salah satu jenis alam kehidupan hasil karya pikiran yang pernah Anda katakan tempo hari yang lalu? Alam kehidupan yang tidak memiliki hukum keseimbangan alam...?


Quote from: sobat-dharma
Masalahnya bukan pada perbedaan ‘bantuan’ yang diberikan, namun lebih pada bagaimana CARA bantuan itu diberikan.  Bodhisattva memberikan bantuan dengan tetap mempertahankan kebijaksaan Prajna Paramita bahwa pada dasarnya “tidak ada yang membantu dan tidak ada yang dibantu, oleh karena itu tidak ada bantuan.” Jika seorang Theravadin juga mempertahankan pandangan demikian, maka baru dikatakan benar-benar tidak ada bedanya.

Dalam Konsep Aliran Theravada, menyelami realita anatta; tidak ada diri yang membantu dan tidak ada diri yang dibantu, adalah salah satu wujud orang yang bersangkutan sudah merealisasi Kesucian Tingkat Tertinggi / Arahat. Di titik itu, orang yang bersangkutan tidak lagi memiliki keakuan - dia tidak akan lagi membandingkan dirinya dengan orang lain.

Kalau ada orang yang bisa memberikan bantuan dengan pemahaman benar bahwa "tidak ada diri yang membantu dan tidak ada diri yang dibantu", maka saya akan dengan tegas menyatakan orang itu adalah orang Yang Tercerahkan / Buddha.

Kesimpulannya :
- Kalau benar dia Buddha, dia tidak akan lagi mengalami kelahiran berikutnya.
- Kalau benar bisa melakukan hal itu dengan sempurna, tidak mungkin ia hanya bergelar Bodhisattva. Memangnya Bodhisattva sudah tidak memiliki keakuan? Lucu sekali kalau begitu, kenapa sampai ada kisah Bodhisattva yang menangis pilu. Bukankah itu tandanya Beliau belum Tercerahkan. Lantas kalau belum Tercerahkan, statement "tidak ada yang membantu dan tidak ada yang dibantu" itu belum direalisasi. Sejujurnya masih ada modus keakuan yang halus sekali di sana. Dan ini yang disebut dalam Theravada sebagai vipallasa (halusinasi - persepsi, pikiran dan pandangan).


Quote from: sobat-dharma
Pandangan  “semuanya kembali pada keputusan orang yang bersangkutan” demikian mencerminkan bagaimana para Theravadin kemudian dinilai terlalu hanya memperhatikan pencapaian individual belaka. Dalam Mahayana, pencapaian individual diabaikan dan sebagai gantinya adalah pencapaian universal semua makhluk. Oleh karena itu, Kereta Mahayana selalu siap menunggu membantu dan semua makhluk  untuk merealisasi nirvana tanpa pandan bulu. Adanya pembedaan antara yang matang batinnya dan tidak matang bantinnya adalah cermin dari pikiran yang masih diskriminatif. Dalam Mahayana, pembedaan demikian juga adalah tanda pikiran yang masih diselimuti debu.

Ada orang yang sudah dewasa, dan ada yang belum. Apakah jika saya mengatakan anak berusia 12 tahun itu masih kanak-kanak lantas Anda menganggap perkataan saya sebaga diskriminasi??

Kematangan spiritual tiap orang tidak sama. Ada yang mudah mengerti, namun ada juga yang sulit mengerti. Itu adalah kualitas intelektual batin, bro. Apakah lantas orang yang sudah matang harus menunggu semua makhluk sampai matang juga? Hati-hati, bro. Ingat Hukum Anitya, kalau kelamaan nganggur bisa expired. :))

Kalau Anda bilang menolong makhluk lain, apakah Anda bisa membuat seseorang mencapai Nirvana?
Lantas pertolongan apa yang sebenarnya Anda praktikkan?
Yaitu pertolongan atas azas moralitas. Menolong pengemis, menolong kucing yang terluka, menolong ibu yang sekarat. Itu semua pertolongan yang awam.

Apakah Theravadin egois dan tidak mau berbuat hal itu? Tidak juga.
Atas azas apa Anda menyatakan bahwa dalam konsep Theravada tidak dikenal memberi pertolongan pada makhluk lain?
« Last Edit: 04 May 2009, 01:58:45 AM by upasaka »

Offline truth lover

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 392
  • Reputasi: 3
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #892 on: 04 May 2009, 08:03:45 AM »
Secara nihilisme (ucchedavada) adalah paham yang ditolak oleh Theravada. Demikian juga dengan eternalisme (sassatavada) juga merupakan paham ekstrim yang ditolak Theravada.

TAN:

Benar, tetapi kenyataannya banyak umat non Mahayanis yang mempunyai pandangan sangat mirip dengan nihilisme.



Sangat disayangkan mas Tan menjawab seperti ini, dalam membandingkan suatu ajaran kita harus membandingkan kitab sucinya bukan membandingkan umatnya, karena perbandingan umat bersifat sangat subjektif.

Semoga komentar mas Tan lain kali lebih berbobot.
The truth, and nothing but the truth...

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #893 on: 04 May 2009, 08:43:46 AM »
TAN:

Saya tanya balik, kalau begitu menurut Anda apakah Buddha Sakyamuni sebelum parinirvana itu "ada" atau "tidak"? Apakah pancaskandha yang membentuk Buddha Sakyamuni itu "ada" atau "tidak"? Apakah Anda setuju kalau Buddha Sakyamuni itu disebut sebagai "tokoh dongeng"?

Kumpulan panca skandha yang selalu berubah (dan pada akhirnya hancur) pada mahluk yang kita kenal sebagai Buddha Sakyamuni, menurut saya adalah ada. Namun "inti diri" yang kekal dari Buddha Sakyamuni adalah tidak ada, apakah itu relik jasmaninya (sekarang mungkin ada, tetapi suatu saat tetap akan hancur), apakah kesadarannya, apakah pencerapannya, apakah perasaannya, termasuk bentuk pikirannya yang berupa Maitri-Karuna.
Contoh sederhana dan singkatnya, orangnya ada, berarti tubuhnya ada (menurut sejarah), namun tidak kekal dan sudah hancur, bukan? Mengenai 4 skandha (bathin) lainnya, pembicaraannya hanya menghasilkan spekulasi yang oleh Buddha sendiri (menurut kitab Pali) tidak ditanggapi (karena tidak bermanfaat). Oleh karena itu, saya memilih kita kembali saja pada kenyataan sekarang dan bercermin di diri sendiri, apakah ada bagian dari "diri" ini yang kekal? Tetapi kemungkinan Bro Tan juga akan menjawab "Ada", jadi saya tidak lanjut lagi deh. Bagaimana pun juga, terima kasih jawabannya.

Saya juga tidak akan menentang kok kalau ada yang katakan Buddha Sakyamuni disebut "tokoh dongeng". Karena pada kenyataannya, memang menentang atau tidak, tetap tidak akan mampu membuktikan.

Offline truth lover

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 392
  • Reputasi: 3
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #894 on: 04 May 2009, 08:45:00 AM »
Quote
MERCEDES:

saya mengatakan tidak tahu dan tidak berani comment kalau masalah Nibbana,
tetapi saya "tahu" pasti bahwa penderitaan akan berakhir ketika pikiran ini padam.

TAN:

Kontradiktif! Anda mengatakan tidak tahu dan tidak berani comment kalau masalah nibanna, tetapi Anda berani mengklaim tahu pasti bahwa penderitaan akan berakhir kalau pikiran ini padam. Menurut non Mahayanis bukannya "padamnya pikiran" = nibanna. Kalau padamnya pikiran Anda tolak identik dengan nibanna. Berarti artinya Anda mendukung pandangan bahwa saat seseorang parinirvana masih ada pikiran bukan? Pernyataan Anda sungguh kontradiktif. Di saat mengklaim bahwa Anda tidak tahu masalah nibanna, tetapi pada sisi lain tahu pasti masalah nibanna. Apakah "tidak tahu" = "tahu"?
Kedua, pikiran Anda sendiri belum padam, tetapi bagaimana Anda tahu pasti bahwa itu adalah akhir penderitaan? Dari buku kah? Dari kitab kah?

Mas Mercedes yang dimaksud oleh mas Tan ada sesuatu yang abadi adalah infinite consciousness / empirical ego / alaya vinnana yang abadi memancarkan maitri karuna persis seperti Brahma.

Seorang guru meditasi samatha bhavana pernah mengatakan bahwa memang benar banyak mahluk yang terlahir di alam Brahma yang disebabkan mereka melatih metta bhavana, mereka selalu memancarkan metta. Tetapi kita tahu Brahma tidak kekal mereka akan mati di alam mereka bila usianya telah habis, tetapi sangat lama, sehingga seolah-olah tak pernah mati.

Hindu karena kemampuan melihat ke masa depan yang tidak terlalu panjang sehingga menganggap Brahma adalah kesadaran tak terbatas yang abadi, yang selalu memancarkan maitri karuna. Mahayana karena sinkretisme dengan Hindu menganggap bahwa itulah Nirvana. Kesadaran tak terbatas/ Brahma itulah yang mereka sebut alaya vinnana.

Kitab-kitab suci Mahayana seperti Saddharma Pundarika Sutra, Avatamsaka Sutra dll tak pernah dimasukkan dalam agama sutra padahal kitab-suci ini juga dimulai dengan: Demikianlah yang kudengar.
Disebabkan ketidak sepakatan diantara golongan Mahayana sendiri mengenai keabsahan kedua kitab tersebut.

At: mas Tan: semoga mas Tan berlapang dada untuk mengungkapkan secara terus terang mengenai ajaran mahayana, sehingga semua pembaca bisa mendapat manfaat dari diskusi ini, semoga mas Tan tidak berpikir mengenai diskusi ini dari segi menang atau kalah, semoga mas Tan mengambil yang benar membuang yang salah: bukankah seharusnya demikian yang dilakukan oleh pencari kebenaran sejati?

Seperti Alaya Vinnana yang kekal abadi, mas Tan nampak sekali menghindar untuk membahas mengenai Alaya Vinnana, itulah sebabnya bila saya tanyakan apakah kesadaran itu anitya atau tidak mas Tan selalu menghindar dengan mengajukan pertanyaan balasan: apakah anitya itu nitya atau anitya? (dalam usaha defensif).

Padahal seharusnya bagi pencari kebenaran sejati dia akan menjawab (dan bukan menyembunyikan) dengan terus terang mengenai jawaban yang ada di kepalanya.

Sebenarnya bisa menjawab : anitya, nitya atau dengan jujur juga bisa mengatakan  saya tidak tahu.
Atau bila ada jawaban lain dijawab dengan jawaban lain (diluar ketiga jawaban itu, seperti yang saya lakukan dengan menjawab mengenai paham nihilisme).

bukan dengan ngotot bertanya balik dalam usaha defensif yang malu untuk mengakui bingung, lalu bertanya balik apakah anitya itu nitya atau anitya. Sehingga diskusi yang konstruktif menjadi nampak seperti debat kusir.

Padahal jawaban saya tergantung dari jawaban dari mas Tan.

Saya tidak menjawab karena pertanyaan apakah anitya itu nitya atau tidak, karena akan menyebabkan debat liar penuh spekulasi mirip seperti pertanyaan : ada durian asam atau tidak?
bila saya menjawab tidak, maka akan dijawab balik: bagaimana dengan durian busuk? bila saya menjawab durian busuk tidak termasuk hanya durian segar yang dimaksud, akan ada pertanyaan lagi bagaimana bila ada mutasi gen? Bagaimana bila ilmuwan berhasil merekayasa genetika? bagaimana bila ada penjual nakal menyuntikkan cairan asam? dsbnya... Padahal jawabannya sederhana sekali tidak ada durian asam.

Demikian juga pertanyaan saya sederhana sekali : apakah kesadaran itu nitya atau anitya.

Diskusi yang baik adalah menjawab setiap pertanyaan, setelah itu baru balik bertanya.
Semoga mas Tan tidak lagi berusaha menyembunyikan fakta.

Semoga tak ada dusta diantara kita.
Demi kemajuan Dharma para pembaca.

Metta
« Last Edit: 04 May 2009, 09:07:28 AM by truth lover »
The truth, and nothing but the truth...

Offline truth lover

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 392
  • Reputasi: 3
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #895 on: 04 May 2009, 09:13:54 AM »
TAN:

Saya tanya balik, kalau begitu menurut Anda apakah Buddha Sakyamuni sebelum parinirvana itu "ada" atau "tidak"? Apakah pancaskandha yang membentuk Buddha Sakyamuni itu "ada" atau "tidak"? Apakah Anda setuju kalau Buddha Sakyamuni itu disebut sebagai "tokoh dongeng"?

Kumpulan panca skandha yang selalu berubah (dan pada akhirnya hancur) pada mahluk yang kita kenal sebagai Buddha Sakyamuni, menurut saya adalah ada. Namun "inti diri" yang kekal dari Buddha Sakyamuni adalah tidak ada, apakah itu relik jasmaninya (sekarang mungkin ada, tetapi suatu saat tetap akan hancur), apakah kesadarannya, apakah pencerapannya, apakah perasaannya, termasuk bentuk pikirannya yang berupa Maitri-Karuna.
Contoh sederhana dan singkatnya, orangnya ada, berarti tubuhnya ada (menurut sejarah), namun tidak kekal dan sudah hancur, bukan? Mengenai 4 skandha (bathin) lainnya, pembicaraannya hanya menghasilkan spekulasi yang oleh Buddha sendiri (menurut kitab Pali) tidak ditanggapi (karena tidak bermanfaat). Oleh karena itu, saya memilih kita kembali saja pada kenyataan sekarang dan bercermin di diri sendiri, apakah ada bagian dari "diri" ini yang kekal? Tetapi kemungkinan Bro Tan juga akan menjawab "Ada", jadi saya tidak lanjut lagi deh. Bagaimana pun juga, terima kasih jawabannya.

Saya juga tidak akan menentang kok kalau ada yang katakan Buddha Sakyamuni disebut "tokoh dongeng". Karena pada kenyataannya, memang menentang atau tidak, tetap tidak akan mampu membuktikan.


Benar mas Kay, walaupun kita menjawab ada reliknya, ada tempat mencapai penerangan dlsbnya, tetap akan menjadi debat kusir:  pertanyaannya akan menjadi apakah anda pernah bertemu langsung?

Bahkan walau kita pernah bertemu langsung sekalipun, tetap bisa didebat oleh mas Tan: darimana anda tahu yang anda temui itu Buddha Sakyamuni atau bukan?

Metta
The truth, and nothing but the truth...

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #896 on: 04 May 2009, 09:29:56 AM »
Benar mas Kay, walaupun kita menjawab ada reliknya, ada tempat mencapai penerangan dlsbnya, tetap akan menjadi debat kusir:  pertanyaannya akan menjadi apakah anda pernah bertemu langsung?

Bahkan walau kita pernah bertemu langsung sekalipun, tetap bisa didebat oleh mas Tan: darimana anda tahu yang anda temui itu Buddha Sakyamuni atau bukan?

Metta

Ya, tepat sekali. Tidak ada habisnya mendebat yang tidak bisa dibuktikan.
Saya bukan orang yang mempermasalahkan kancil itu ada, buaya ada, dan pertemuan kancil dan buaya adalah ada. Saya hanya "menikmati" kisah itu dan berusaha mendapatkan manfaat di balik kisah tersebut.


Offline marcedes

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.528
  • Reputasi: 70
  • Gender: Male
  • May All Being Happinesssssssss
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #897 on: 04 May 2009, 10:40:42 AM »

Quote
TAN:

Di Sutta ada disebutkan: Tetapi saat hancurnya jasmani dan habisnya umur kehidupan, para dewa dan manusia tidak akan MELIHATNYA lagi.’
Tetapi tidak disebutkan para dewa atau manusia dari kalpa mana. Jadi dengan demikian, tidak menutup kemungkinan di kalpa lain para dewa dan manusia masih dapat melihatnya. Teks Sutta tidak menambahkan frasa "di kalpa manapun." Selain itu, Sutta di atas ditujukan pada para dewa dan manusia di kalpa SEKARANG. Jadi saya sah-sah saja menganggap bahwa Buddha masih dapat "dilihat" di kalpa lainnya, kecuali teks Sutta menyebutkan "Di kalpa atau dunia manapun." Selama tidak ada kalimat itu adalah sah saya menafsirkan bahwa Buddha masih dapat dilihat di kalpa lainnya. Bukan begitu?

Amiduofo,

Tan
sudah dibilang, ini sudah ke-2 kalinya, bacalah sutta dan pratekkan...memangnya bahasa pali menerjemahkan sama persis...

ketika seseorang meramal^^, orang biasa berkata "saya melihat ini itu ada kejadian begini dan begitu"
apakah peramal tersebut betul-betul "melihat" dengan memakai indra mata?
tidak kan....hehehe ^^


Quote
TAN:

Anda belum memadamkan pikiran, jadi bagaimana Anda tahu bahwa pikiran padam merupakan akhir penderitaan. Jadi pengetahuan ini hanya berdasarkan buku atau kitab. Ingat logika manusia belum tentu benar. Baik kita ambil contoh Anda tentang makan dan kenyang. Memang benar bahwa makan bisa menimbulkan kenyang. Tetapi perasaan kenyang dan lapar tidak hanya timbul dari makanan. Anda pernah dengar percobaan psikologis dengan tikus tidak? Bagian-bagian otak seekor tikus dirusak dan dirangsang, maka ia akan terus menerus merasa lapar. Apabila bagian tertentu dimanipulasi ia akan merasa kenyang. Jadi ungkapan “kenyang tidak akan terjadi apabila tidak makan” adalah salah.
Pikiran padam mengakhiri penderitaan? Apakah Buddha sebelum mencapai anaupadisesa nirvana pikirannya sudah padam belum? Karena pikiran adalah bagian pancaskandha maka jawabannya BELUM. Anda bilang kalau pikiran padam penderitaan padam. Jadi kalau pikiran belum padam, penderitaan masih ada. Kesimpulannya Buddha Sakyamuni masih menderita donk?

sudah saya katakan, saya tahu persis karena telah merealisasikan pengalaman langsung
jadi bukan di pikir-pikir........seperti telah makan garam bukan di pikir-pikir saja.
"kelahiran merupakan sebab dari penderitaan"

Penderitaan sepenuhnya padam apabila telah mencapai PARINIBBANA(setelah meninggal)
Para Arahat masih merasakan penderitaan fisik, se-waktu dirinya belum Meninggal.
jadi jangan harap lolos dari penderitaan selama masih ada tubuh, hal ini pun pernah di ungkapkan AjahnChah.

Quote
Kesimpulannya: Anda seorang nihilis.
syukurlah saya seorang nihilisme.^^
jawabannya adalah "marcedes telah di luar logika dan akal sehat anda"....

Quote
At: mas Tan: semoga mas Tan berlapang dada untuk mengungkapkan secara terus terang mengenai ajaran mahayana, sehingga semua pembaca bisa mendapat manfaat dari diskusi ini, semoga mas Tan tidak berpikir mengenai diskusi ini dari segi menang atau kalah, semoga mas Tan mengambil yang benar membuang yang salah: bukankah seharusnya demikian yang dilakukan oleh pencari kebenaran sejati?
inilah permasalahan-nya, bukan meneliti apakah pandangan saya salah atau tidak ataukah sesuai dengan pengalaman langsung, melainkan mencari cara pembenaran diri tanpa pengalaman langsung dan mengeluarkan pola pikir asal-asalan......

"metta bisa dipancarkan tanpa pikiran"?
lampu bisa nyala tanpa listrik.....

makanya dari awal, sudah tercium gelagat model diskusi "tanpa pikir dan pratek" saya jadi malas diskusi.

bahkan tidak tahu yang namanya hukum sebab akibat....
dengan mengatakan begini.

Selama Anda masih menganggap sesuatu sebagai penderitaan, maka itu adalah penderitaan. Selama Anda menganggap sesuatu sebagai bukan penderitaan, maka itu adalah bukan penderitaan.

anggaplah semua ini bukan penderitaan......
jadi kenapa anda masih tua,sakit dan mati?
apa kalau dianggap(dipikir) tua itu tidak ada, sakit itu tidak ada, mati itu tidak ada,
seseorang bisa tetap awet muda? bisa tanpa sakit? bisa tidak mati?

baguslah nanti 4 kesunyataan mulia sudah bisa berubah.....
lahir adalah dukkha, diganti menjadi lahir jika di anggap dukkha adalah dukkha, tidak dianggap dukkha adalah bukan dukhha.
demikian dan seterusnya....

masa diskusi model begini.....
sudah tidak dapat jawaban memuaskan, malah diberi "di luar logika dan akal sehat"

suadara Truthlover, pandangan Seperti itu pun juga sudah termasuk dalam 62 pandangan dalam brahmajala sutta,
yakni : pandangan berbelit-belit. ^^


Quote
Karena pada kenyataannya, memang menentang atau tidak, tetap tidak akan mampu membuktikan.
kalau kita membahas apakah Sangbuddha tokoh dongeng yah tentu hal ini sia-sia..karena siapa yg bisa buktikan?

tetapi kalau membahas Dhamma, apakah kita ini mengalami penuaan atau tidak,bukankah ini lebih bisa mengarah "pembuktian dan kenyataan" pada saat ini.

toh, kelahiran apakah merupakan sebab dari penderitaan, adalah kenyataan saat ini bukan....
apakah lampu bisa menyala tanpa listrik juga merupakan kenyataan, jadi buat apa membahas terlalu jauh,kalau depan mata saja tidak bisa dijawab..



salam metta
Ada penderitaan,tetapi tidak ada yang menderita
Ada jalan tetapi tidak ada yang menempuhnya
Ada Nibbana tetapi tidak ada yang mencapainya.

TALK LESS DO MOREEEEEE !!!

Offline marcedes

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.528
  • Reputasi: 70
  • Gender: Male
  • May All Being Happinesssssssss
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #898 on: 04 May 2009, 10:44:24 AM »
Saya tidak menjawab karena pertanyaan apakah anitya itu nitya atau tidak, karena akan menyebabkan debat liar penuh spekulasi mirip seperti pertanyaan : ada durian asam atau tidak?
bila saya menjawab tidak, maka akan dijawab balik: bagaimana dengan durian busuk? bila saya menjawab durian busuk tidak termasuk hanya durian segar yang dimaksud, akan ada pertanyaan lagi bagaimana bila ada mutasi gen? Bagaimana bila ilmuwan berhasil merekayasa genetika? bagaimana bila ada penjual nakal menyuntikkan cairan asam? dsbnya... Padahal jawabannya sederhana sekali tidak ada durian asam.

model diskusi orang tercerahkan ^.^
Ada penderitaan,tetapi tidak ada yang menderita
Ada jalan tetapi tidak ada yang menempuhnya
Ada Nibbana tetapi tidak ada yang mencapainya.

TALK LESS DO MOREEEEEE !!!

Offline purnama

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.309
  • Reputasi: 73
  • Gender: Male
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #899 on: 04 May 2009, 10:48:20 AM »
Mohon kawan - kawan diskusi yang baik, jangan melakukan diskusi penyerangan bersifat pribadi.

Penggalan kalimat ini

sudah dibilang, ini sudah ke-2 kalinya, bacalah sutta dan pratekkan...memangnya bahasa pali menerjemahkan sama persis...

ketika seseorang meramal^^, orang biasa berkata "saya melihat ini itu ada kejadian begini dan begitu"
apakah peramal tersebut betul-betul "melihat" dengan memakai indra mata?
tidak kan....hehehe ^^ ==> seperti kalimat ini.

makanya dari awal, sudah tercium gelagat model diskusi "tanpa pikir dan pratek" saya jadi malas diskusi.
========================
Kalo sudah malas diskusi jangan menulis di thread ini lagi lah.

Satu hal lagi pembahasan jangan berdasarkan pemaksaan 1 konsep . Disini diskusi perbedaan pandangan Mahayana dengan Teravada, jadi kadang saya lihat masih adanya pemaksaan satu konsep, sama saja diskusi mau menang sendiri, gimana saling mau belajar, yang posting masih ada sikap egoistisme.

Makasih