//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...  (Read 663701 times)

0 Members and 4 Guests are viewing this topic.

Offline Tan

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 510
  • Reputasi: 31
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #855 on: 01 May 2009, 05:59:50 PM »
MERCEDES:

apakah kelahiran merupakan penderitaan...

TAN:

Kalau begitu jelaskan dahulu apakah yang Anda maksud dengan "kelahiran" dan "penderitaan." Apakah bagi Anda kelahiran = keluarnya bayi dari rahim ibunya setelah 9 bulan 10 hari? Apakah penderitaan itu sama dengan seseorang yang sudah jauh-jauh mengejar bis, ternyata bisnya baru berangkat? Tanpa penjelasan yang lengkap, pertanyaan Anda tentu saja tak akan dapat dijawab. Karena konsep kelahiran dan penderitaan masing-masing orang itu beda, maka jawaban dari pertanyaan Anda itu tentunya hanya Anda sendiri yang tahu.

Amiduofo,

Tan

Offline Kelana

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.225
  • Reputasi: 142
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #856 on: 01 May 2009, 09:19:32 PM »
0+0+0+0+0+0=0
0= Nihil ?? Ini adalah pernyataan yang gegagah, sangat gegabah.
Padahal jelas, 0 atau NOL, KOSONG, zero adalah suatu angka, yang juga memiliki arti, peran. Angka 10 tidak akan ada tanpa angka 0.
Sebuah gelas tidak akan terisi penuh jika gelas itu tidak KOSONG.
(Bagi mereka yang memperdalam Zen, tentu tidak akan asing mengenai analogi ini)
Jadi ada ARTI dalam KEKOSONGAN.

Jadi Kekosongan tidak sama dengan Nihil

Meskipun tidak ada lagi yang tersisa, kosong, empty, namun tetap memiliki arti.
Semoga kita tidak terjebak dalam 2 pinggiran ekstrem. _/\_

« Last Edit: 01 May 2009, 09:22:09 PM by Kelana »
GKBU
 
_/\_ suvatthi hotu


- finire -

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #857 on: 02 May 2009, 09:18:52 AM »
TOPIK: Lenyapnya Pancaskandha

Saya akan berikan tanggapan terpadu. Pertama-tama mengapa disebut nihilisme? Misalkan ada sesuatu yang sebut saja bernama Ucok. Ucok ini terdiri dari A, B, C, D, dan E. Sehingga secara matematis boleh dituliskan:

Ucok = A + B + C + D + E.

Nah, jika A = 0, B = 0, C = 0, D = 0, dan E = 0. Maka berapakah nilai Ucok?

Ucok = 0 + 0 + 0 + 0 + 0

Ucok = 0 (nihil)

Bila seluruh pancaskandha padam, maka seorang Buddha tentunya akan menjadi 0. Dengan demikian, pandangan apakah bukan nihilisme?

Marilah kita cermati satu persatu berbagai jawaban:

Ketika orang melihat "ada"-nya Atta, maka hanya ada dua pola pikir yang mungkin:
1. Eternalisme di mana yang menunjuk pada "diri" itu kekal (seperti pandangan bahwa Maitri-Karuna yang termurnikan dari seorang Buddha adalah kekal).
2. Annihilationisme (nihilisme) yang mengatakan "diri" itu akan hancur.

Bebeda dengan yang diajarkan dalam kitab Pali bahwa tidak ada satu pun yang bisa disebut sebagai "diri". Semua hanyalah kumpulan dari kondisi-kondisi yang selalu berjalan dan dalam prosesnya, selalu disertai dukkha.


Kemudian, melihat dari 2 pendapat Bro Tan berikut ini:
1. Maitri-Karuna seorang Buddha terus ada tanpa adanya panca skandha
2. Ucok = A+B+C+D+E; Jika A=0; B=0; C=0; D=0; E=0 -> Ucok menjadi 0, maka itu nihilisme.

Maka sudah jelas Bro Tan melihat Ucok sebagai "Ada", oleh karena itu kelenyapan Ucok adalah suatu kehancuran. Maka menurut Tradisi Theravada, pandangan tersebut adalah pandangan "atta", bukan "anatta". Kemudian setelah meninggal (parinirvana) ada Maitri-Karuna yang termurnikan yang kekal, maka itu adalah pandangan Eternalisme dengan Atta (baik dengan atau pun tanpa kesadaran), tidak terbatas, dan selalu berbahagia (lepas dari dukkha).


Offline marcedes

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.528
  • Reputasi: 70
  • Gender: Male
  • May All Being Happinesssssssss
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #858 on: 02 May 2009, 10:54:18 AM »
Quote
Kalau begitu mengapa Anda berkomentar bahwa sesudah seorang Buddha parinirvana tak dapat lagi memancarkan cinta kasih?

APAKAH MAHAYANA MENGAJARKAN ETERNALISME?

Ini merupakan rangkuman bagi penjelasan-penjelasan saya sebelumnya. Mahayana mengajarkan bahwa seorang Buddha tidak lenyap sama sekali, seperti pandangan kaum nihilis (sesudah mati tidak ada apa-apa lagi). Tetapi apakah ini merupakan pandangan eternalisme? Mari kita cermati. Seorang Buddha sudah tidak memiliki lagi “aku” atau “atman.” Apa yang disebut atman ini berupaya mengekalkan atau melanggengkan dirinya. Saat atman ini tidak ada lagi, maka tak ada lagi yang dapat disebut eternalis. Menurut Mahayana seorang Buddha berada dalam suatu kondisi “keberadaan.” Tetapi “keberadaan” ini berbeda dengan “keberadaan” para makhluk samsara. Jadi kita tak dapat menyebutnya sebagai “keberadaan” karena memang kondisinya beda. Mahayana menyebutnya dengan Trikaya (Dharmakaya, Nirmanakaya, dan Samboghakaya). Boleh juga kita menyebutnya sebagai Pikiran Buddha yang Tercerahi dan lain sebagainya. Bila demikian, tentu ada yang menyanggah dan menanyakan, “Apakah seorang Buddha yang telah parnivirvana mempunyai “pikiran?” Jawabnya adalah apa yang disebut “pikiran” itu beda dengan “pikiran” para makhluk awam. Nah pertanyaannya, apakah itu masih dapat disebut “pikiran”?
Itulah sebabnya dikatakan bahwa kondisi Kebuddhaan itu tak terkatakan. Oleh karena itu, ajaran Mahayana sekali lagi konsisten di sini, dengan tak terjebak pada pandangan nihilisme maupun eternalisme.
Agar jelasnya saya akan ungkapkan apa yang disebut eternalisme itu? Umpamanya ada seorang dewa bernama X. Ia mencintai orang yang menyembahnya dan menghukum orang yang menghujatnya. Ia ingin mengekalkan dirinya. Nah inilah baru yang disebut eternalisme. Adanya suatu “aku” yang ingin terus melanggengkan dirinya. Apakah Buddha dalam Mahayana seperti itu? Tentu saja sangat jauh dari itu.


Amiduofo,

Tan
begini saudara Tan yang bijak,

saya mengatakan tidak tahu dan tidak berani comment kalau masalah Nibbana,
tetapi saya "tahu" pasti bahwa penderitaan akan berakhir ketika pikiran ini padam.

dan Nibbana adalah padam, jadi bagaimana mungkin Buddha masih bisa memancarkan metta dengan tanpa pikiran.....
adalah sama seperti saya disuruh percaya kursi yang merupakan benda tanpa pikiran bisa memancarkan metta.
------
tetapi dalam konteks NIRVANA(mahayana) disitu jelas dikatakan Buddha masih memiliki eksis, karena bisa lahir lagi entah dikalpa mana, jadi buddha dalam mahayana tidak bisa dikatakan "PADAM"

yang jadi pertanyaan sekarang adalah,
apabila dikatakan "tidak padam" mengapa bisa beliau lupa cara pencapaiannya....
bahkan batinnya merosot. !!!!


Quote
Anda nampaknya salah paham. Saya akan perjelas lagi. Bagi makhluk yang belum tercerahi, metta timbul dari pikirannya. Namun apakah metta suatu makhluk samsara dapat maksimal? Jawabanya tidak, karena kita masih memiliki semangat keakuan.
saudara Tan, yang salah paham itu anda. ^^

bagaimana bisa ada kesadaran tanpa ada objek, ini bukan masalah AKU atau "diri" atau ego....
ini masalah benar secara mutlak....

bisakah Dhammacitta ini ADA tanpa ada Komputer?
inilah yang saya maksudkan, tentu ada komputer dulu baru ada DC.....
tentu ada matahari dan bumi, barulah ada siang dan malam,
tentu ada listrik baru ada bola lampu,

jadi bukan masalah KE-AKU-AN atau pikiran ego atau ada diri or apalah........
anda benar-benar membuat rumus baru  ^^

masih kah anda berpikir metta bisa dipancarkan tanpa pikiran?

Quote
Metta yang dipancarkanNya tidak lagi terkondisi oleh pancaskandha
oh,saudara Tan...
tidak pernah ada sejarah "lampu bisa menyala tanpa listrik"


Quote
Kata siapa Buddha punya KEINGINAN untuk lahir? Itu adalah pelintiran Anda terhadap Ajaran Mahayana.

Amiduofo,

Tan
kata saya,
ketika ada seseorang menyatakan keinginannya untuk tidak makan, tetapi kenyataannya malah makan, dikatakan apakah orang itu?
pembohong bukan...^^

sama seperti buddha, menyatakan tidak memiliki keinginan untuk lahir, tetapi kenyataan lahir lagi, apakah buddha itu seorang mulut berkata "A" tapi tindakan "B".. ^^

Quote
Tambahan lagi:

Kalau metta karuna seorang Buddha masih terkondisi oleh pancaskandha, itu artinya metta Beliau tak sempurna. Sekali lagi Mahayana konsisten dengan mengajarkan bahwa maitri karuna yang dipancarkanNya tak terkondisi oleh pancaskandha.

Amiduofo,

Tan
apakah ketika seseorang mencapai buddha, sudah tidak terkena sakit? sudah tidak terkena tua?
yang jelas ketika buddha lahir, pasti juga sakit dan tua serta mati...

begitu juga listrik dan lampu....tidak mungkin lampu bisa nyala tanpa listrik.
buddha tidak pernah mengajarkan untuk melawan hukum alam. ^^
dan buddha pun tunduk pada hukum alam...
ataukan di versi mahayana sudah lain?...hehehe


Quote
MERCEDES:

apakah kelahiran merupakan penderitaan...

TAN:

Kalau begitu jelaskan dahulu apakah yang Anda maksud dengan "kelahiran" dan "penderitaan." Apakah bagi Anda kelahiran = keluarnya bayi dari rahim ibunya setelah 9 bulan 10 hari? Apakah penderitaan itu sama dengan seseorang yang sudah jauh-jauh mengejar bis, ternyata bisnya baru berangkat? Tanpa penjelasan yang lengkap, pertanyaan Anda tentu saja tak akan dapat dijawab. Karena konsep kelahiran dan penderitaan masing-masing orang itu beda, maka jawaban dari pertanyaan Anda itu tentunya hanya Anda sendiri yang tahu.

Amiduofo,

Tan
kelahiran yang saya maksudkan Bhava dan dapat menimbulkan "JARA-MARANAM"

kalau tidak mengerti boleh konfirmasi balik ^^


masalah nihil, anda seperti vecchagota yang bertanya kepada buddha. masalah ke mana sang buddha pergi setelah nibbana. ^^
jawabnya tidak kemana-mana, hanya padam. dan tidak ada "diri" disitu ke sana atau kemari....

kembali ke pertanyaan saya
"apakah kelahiran merupakan sebab dari penderitaan?"

salam metta.
Ada penderitaan,tetapi tidak ada yang menderita
Ada jalan tetapi tidak ada yang menempuhnya
Ada Nibbana tetapi tidak ada yang mencapainya.

TALK LESS DO MOREEEEEE !!!

Offline marcedes

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.528
  • Reputasi: 70
  • Gender: Male
  • May All Being Happinesssssssss
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #859 on: 02 May 2009, 10:58:48 AM »
Quote
“Apakah seorang Buddha yang telah parnivirvana mempunyai “pikiran?” Jawabnya adalah apa yang disebut “pikiran” itu beda dengan “pikiran” para makhluk awam. Nah pertanyaannya, apakah itu masih dapat disebut “pikiran”?
Itulah sebabnya dikatakan bahwa kondisi Kebuddhaan itu tak terkatakan.
saudara Tan,

saya sudah ada sedikit pengalaman, masalah "tak-terkatakan" dan khawatir menjadi "tak-terpikirkan"

sama seperti ajaran tetangga "Tuha# di luar logika dan akal sehat"
apa yang mau di-diskusikan? kalau sudah "di luar pikiran".....tinggal tutup buku. ^^

harap diskusi tidak ke arah situ saja. ^^

salam metta.
Ada penderitaan,tetapi tidak ada yang menderita
Ada jalan tetapi tidak ada yang menempuhnya
Ada Nibbana tetapi tidak ada yang mencapainya.

TALK LESS DO MOREEEEEE !!!

Offline Sunkmanitu Tanka Ob'waci

  • Sebelumnya: Karuna, Wolverine, gachapin
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 5.806
  • Reputasi: 239
  • Gender: Male
  • 会いたい。
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #860 on: 02 May 2009, 11:02:15 AM »
 [at]  Marcedes, memang kenapa? Di Theravada juga ada nama accinteya, yang memang tidak terjangkau pikiran biasa.
HANYA MENERIMA UCAPAN TERIMA KASIH DALAM BENTUK GRP
Fake friends are like shadows never around on your darkest days

Offline dilbert

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.935
  • Reputasi: 90
  • Gender: Male
  • "vayadhamma sankhara appamadena sampadetha"
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #861 on: 02 May 2009, 11:53:06 AM »
[at] mercedes...

Jawabannya mungkin adalah, karena upaya kausalya seorang bodhisatva untuk menyelamatkan makhluk hidup, termasuk terlahir kembali dan sampai pada skenario lupa akan pencerahan dan bathin merosot...

Terhadap jawaban ini (UPAYA KAUSALYA) saya angkat tangan deh... Memang jawaban pamungkas...

VAYADHAMMA SANKHARA APPAMADENA SAMPADETHA
Semua yang berkondisi tdak kekal adanya, berjuanglah dengan penuh kewaspadaan

Offline Tan

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 510
  • Reputasi: 31
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #862 on: 02 May 2009, 02:35:41 PM »
Bung Kelana yang baik,

KELANA:

0+0+0+0+0+0=0
0= Nihil ?? Ini adalah pernyataan yang gegagah, sangat gegabah.
Padahal jelas, 0 atau NOL, KOSONG, zero adalah suatu angka, yang juga memiliki arti, peran. Angka 10 tidak akan ada tanpa angka 0.
Sebuah gelas tidak akan terisi penuh jika gelas itu tidak KOSONG.
(Bagi mereka yang memperdalam Zen, tentu tidak akan asing mengenai analogi ini)
Jadi ada ARTI dalam KEKOSONGAN.

Jadi Kekosongan tidak sama dengan Nihil

Meskipun tidak ada lagi yang tersisa, kosong, empty, namun tetap memiliki arti.
Semoga kita tidak terjebak dalam 2 pinggiran ekstrem.


TAN:

Ulasan Anda di atas, yakni bahwa 0 mempunyai arti atau peran itu berada di luar konteks pembahasan kita. Baik saya akan kembalikan lagi ke laptop. Kita sedang membahas mengenai padamnya pancaskandha. Jadi 0 ini dalam konteks pembicaraan kita berarti sesuatu yang benar-benar tidak ada. Untuk jelasnya adalah kelinci yang punya sayap. "Avaibility" kelinci yang punya sayap di muka bumi ini adalah 0. Artinya Anda tak akan menemukan kelinci semacam itu, sekalipun Anda mengublek-ublek seluruh penjuru bumi ini. Demikian yang saya maksudkan dengan 0.
Bila Anda menganggap 0 dalam konsep seperti yang Anda ungkapkan itu, maka secara tidak langsung Anda mendukung konsep Mahayana. Buddha berada dalam suatu kondisi yang "ada," tetapi "keberadaannya" berbeda dengan "keberadaan" para makhluk. Jadi kita tidak menganggapnya sebagai eternalisme. Begitu pula Buddhisme tidak pula terjatuh dalam pandangan nihilis, seperti sebagian kaum non-Mahayanis memahami Buddha. Inilah konsistensi Mahayana.
Ya seperti konsep 0 itulah. Walaupun tentu saja Buddha tidak dapat disamakan dengan 0. Dari 0 memancarlah bilangan 10, 100, 1000, 1000, 10.000 hingga tak terhingga. Begitu pula seorang Buddha setelah parinirvana dapat memancarkan maitri karuna.
Terima kasih banyak untuk Bung Kelana telah memberikan ide bagi hal ini. Konsep 0 yang Anda ungkapkan di atas justru sangat dekat dengan Buddhologi Mahayana.


Amiduofo,

Tan

Offline Tan

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 510
  • Reputasi: 31
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #863 on: 02 May 2009, 02:55:35 PM »
KAYNIN KUTHO:

Ketika orang melihat "ada"-nya Atta, maka hanya ada dua pola pikir yang mungkin:
1. Eternalisme di mana yang menunjuk pada "diri" itu kekal (seperti pandangan bahwa Maitri-Karuna yang termurnikan dari seorang Buddha adalah kekal).
2. Annihilationisme (nihilisme) yang mengatakan "diri" itu akan hancur.

Bebeda dengan yang diajarkan dalam kitab Pali bahwa tidak ada satu pun yang bisa disebut sebagai "diri". Semua hanyalah kumpulan dari kondisi-kondisi yang selalu berjalan dan dalam prosesnya, selalu disertai dukkha.


Kemudian, melihat dari 2 pendapat Bro Tan berikut ini:
1. Maitri-Karuna seorang Buddha terus ada tanpa adanya panca skandha
2. Ucok = A+B+C+D+E; Jika A=0; B=0; C=0; D=0; E=0 -> Ucok menjadi 0, maka itu nihilisme.

Maka sudah jelas Bro Tan melihat Ucok sebagai "Ada", oleh karena itu kelenyapan Ucok adalah suatu kehancuran. Maka menurut Tradisi Theravada, pandangan tersebut adalah pandangan "atta", bukan "anatta". Kemudian setelah meninggal (parinirvana) ada Maitri-Karuna yang termurnikan yang kekal, maka itu adalah pandangan Eternalisme dengan Atta (baik dengan atau pun tanpa kesadaran), tidak terbatas, dan selalu berbahagia (lepas dari dukkha).

TAN:

Anda masih belum menuntaskan masalah mengenai nihilisme. Saya masih tetap memandang bahwa ajaran non Mahayana itu adalah nihilisme. Kalau begitu sekarang apakah para makhluk yang berwujud sebagai pancaskandha itu ada atau tidak? Kita di sini tidak meninjau adanya "diri" atau tidak. Apakah Buddha Sakyamuni sebelum parinirvana itu ada atau tidak?
Nihilisme itu artinya adalah keyakinan bahwa sesudah kematian atau parinirvana tidak ada apa-apa lagi.
Kita ulas pendapat Anda: "Anda mengatakan bahwa suatu "diri" adalah kumpulan dari kondisi-kondisi." Berarti selama kondisi-kondisi masih ada, "diri" itu juga "ada" bukan? Dengan tidak adanya kondisi2 itu "diri" juga ikut "hilang" bukan? Mau pakai hilang atau "hancur" maknanya tetap sama. Dengan kata lain, pandangan non Mahayanis mau dibolak balik bagaimanapun juga tetap adalah nihilis.
Bila Anda mengatakan bahwa "diri" itu tidak pernah "ada." Maka itu artinya adalah Anda membohongi diri sendiri. Anda masih cari duit untuk keluarga, membalas postingan ini, menuntut ganti rugi kalau mobil Anda ditabrak, dan lain sebagainya. Itu artinya "diri" itu masih "ada." Sekalipun Anda menyangkalnya dengan mengatakan "paduan kondisi" lah atau apa lah, sang "diri" itu masih eksis se eksisnya.
Nah balik lagi ke pancaskandha. Jika semua pancaskandha sudah padam dan tak ada yang tersisa lagi, bukankah itu nihilisme?
Bila sang "aku" yang pada mulanya "ada" sekalipun terdiri dari paduan kondisi dan setelah itu "hancur" atau "padam", apakah itu bukan disebut nihilisme?
Jika Anda mengatakan bahwa "aku" itu sedari mula sudah "tidak ada," maka itu kontradiksi dengan penjelasan Anda sendiri bahwa "aku" itu adalah "paduan berbagai kondisi." Bagaimana mungkin sesuatu yang "tidak ada" terbentuk dari "paduan berbagai kondisi." Jika memang "aku" itu pada mulanya sudah "tidak ada," maka paduan berbagai kondisi tidak mungkin menghasilkan "aku." Ingat secara logis: "Menghasilkan yang tidak ada = tidak menghasilkan apa2."
Jadi saya menemukan kejanggalan pada logika Anda.

Amiduofo,

Tan

Offline Tan

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 510
  • Reputasi: 31
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #864 on: 02 May 2009, 03:00:32 PM »
MERCEDES:

saudara tan yang bijak,

jawabannya adalah ya, 1+1 = 2 adalah kebijaksanaan seorang buddha.


TAN:

Kalau begitu apakah saya paham bahwa 1 + 1 = 2 adalah juga seorang Buddha? Seorang yang memiliki Kebijaksanaan Buddha seharusnya adalah seorang Buddha. Hmmm.. kalau begitu berdasarkan ungkapan Anda itu, saya adalah seorang Buddha donk? Benar begitu?

Amiduofo,

Tan

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #865 on: 02 May 2009, 03:29:36 PM »
Anda masih belum menuntaskan masalah mengenai nihilisme. Saya masih tetap memandang bahwa ajaran non Mahayana itu adalah nihilisme. Kalau begitu sekarang apakah para makhluk yang berwujud sebagai pancaskandha itu ada atau tidak? Kita di sini tidak meninjau adanya "diri" atau tidak. Apakah Buddha Sakyamuni sebelum parinirvana itu ada atau tidak?

Sebelum melebar dan panjang, saya mau tanya satu hal.
Ketika Buddha Sakyamuni belum parinirvana, apanya yang disebut dengan Buddha? Apakah tubuhnya, pikirannya, ingatannya, perasaannya, atau kesadarannya?
Jika bukan salah satu dari kelima skandha itu, apakah ada sesuatu yang lain yang sifatnya tidak berubah, yang bisa dirujuk sebagai Buddha Sakyamuni?

Offline marcedes

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.528
  • Reputasi: 70
  • Gender: Male
  • May All Being Happinesssssssss
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #866 on: 02 May 2009, 05:24:26 PM »
MERCEDES:

saudara tan yang bijak,

jawabannya adalah ya, 1+1 = 2 adalah kebijaksanaan seorang buddha.


TAN:

Kalau begitu apakah saya paham bahwa 1 + 1 = 2 adalah juga seorang Buddha? Seorang yang memiliki Kebijaksanaan Buddha seharusnya adalah seorang Buddha. Hmmm.. kalau begitu berdasarkan ungkapan Anda itu, saya adalah seorang Buddha donk? Benar begitu?

Amiduofo,

Tan
tentu saja anda adalah seorang buddha tetapi dalam jangkauan 1+1 = 2. ^^
seorang buddha dikatakan Buddha karena seseorang itu mengetahui secara pasti dan tanpa ada keraguan akan pengetahuan-nya itu bahwa pengetahuannya adalah benar apa adanya.

apakah anda ragu pengetahuan anda tentang 1+1 = 2?
dan melihat hasil 2 adalah sebatas "ilusi" ? ^^

Quote
Apakah Buddha Sakyamuni sebelum parinirvana itu ada atau tidak?
Nihilisme itu artinya adalah keyakinan bahwa sesudah kematian atau parinirvana tidak ada apa-apa lagi.

sesuai apa yang dikatakan buddha.
dan memakai terjemahan dari buku project 4 DC

‘Para bhikkhu, jasmani Sang Tathàgata yang berdiri tegak dengan unsur-unsur yang menghubungkannya dengan jasmani akan menjadi hancur.78 Selama jasmani ini ada, para dewa dan manusia dapat melihatnya. Tetapi saat hancurnya jasmani dan habisnya umur kehidupan, para dewa dan manusia tidak akan melihatnya lagi. Para bhikkhu, bagaikan ketika tangkai serumpun mangga dipotong, maka semua mangga pada rumpun itu akan jatuh bersamanya, demikian pula jasmani Sang Tathàgata dengan unsur-unsurnya yang menghubungkannya dengan penjelmaan telah terpotong. Selama jasmani ini ada, para dewa dan manusia dapat melihatnya. Tetapi saat hancurnya jasmani dan habisnya umur kehidupan, para dewa dan manusia tidak akan melihatnya lagi.’


78. Semuanya yang sebelumnya mengikatnya pada lingkaran kelahiran kembali.


-----------------
menurut aliran Theravada, tidak ada yang benar-benar disebut sebuah "makhluk" semua itu hanya unsur-unsur yang menggabungkan-nya.

sesuai juga apa yang tertulis pada milinda panha,
dan saudara kainyin_kutho babarkan itu sama persis "manakah yang disebut nagasena?"
menarik juga contoh yang diambil saudara kainyn ..^_^


sebaliknya saudara Tan, mohon pertanyaan saya anda jawab, karena belum terjawab.... ^^


[at]  Marcedes, memang kenapa? Di Theravada juga ada nama accinteya, yang memang tidak terjangkau pikiran biasa.
oh ya? ^^

pertanyaan berupa accinteya ( tidak terpikirkan ) bukan berarti berbeda dengan sesuai apa yang sekarang dipikirkan...(mungkin bingung), saya kasih contoh.

pertanyaan berupa accinteya
1. bagaimanakah asal dari segala asal mula....( yang ini dipikirkan pun tidak tahu jawabannya jikalau bukan buddha)
dan mau dibuktikan lewat pengalaman langsung pun, tidak akan bisa.....
ini tidak bertolak belakang, karena belum ada pengalaman langsung.



tetapi dalam konteks (saya sebut pikiran "asalan" dan sesuai yang kita bahas disini)
1. kita telah mempelajari dengan pengalaman langsung, bahwa
"ada-nya WEB DC, dikarenakan ada Komputer"
"adanya pengembangan metta melalui pikiran barulah metta bisa terpancar..."
"adanya objek barulah ada kesadaran"


jadi apabila telah mencapai kebuddha-an, tidak berarti rumus ini berubah....ini rumus pasti

apa dengan mencapai ke-buddha-an ala mahayana bisa berputar kejadian rumus NYATA ini?
menjadi web DC sudah bisa ada tanpa komputer terlebih dahulu,
siang dan malam sudah dapat terjadi tanpa bumi dan matahari.....

mohon di renungkan. ^^

jadi jelas konsep dalam Theravada mengenai Accinteya itu apa, dan tidak bertolak belakang dengan pengalaman langsung.

salam metta.
« Last Edit: 02 May 2009, 05:31:35 PM by marcedes »
Ada penderitaan,tetapi tidak ada yang menderita
Ada jalan tetapi tidak ada yang menempuhnya
Ada Nibbana tetapi tidak ada yang mencapainya.

TALK LESS DO MOREEEEEE !!!

Offline Tan

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 510
  • Reputasi: 31
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #867 on: 02 May 2009, 05:59:41 PM »
KAYNIN KUTHO:

Sebelum melebar dan panjang, saya mau tanya satu hal.
Ketika Buddha Sakyamuni belum parinirvana, apanya yang disebut dengan Buddha? Apakah tubuhnya, pikirannya, ingatannya, perasaannya, atau kesadarannya?
Jika bukan salah satu dari kelima skandha itu, apakah ada sesuatu yang lain yang sifatnya tidak berubah, yang bisa dirujuk sebagai Buddha Sakyamuni?

TAN:

Saya tanya balik, kalau begitu menurut Anda apakah Buddha Sakyamuni sebelum parinirvana itu "ada" atau "tidak"? Apakah pancaskandha yang membentuk Buddha Sakyamuni itu "ada" atau "tidak"? Apakah Anda setuju kalau Buddha Sakyamuni itu disebut sebagai "tokoh dongeng"?

Amiduofo,

Tan

Offline Tan

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 510
  • Reputasi: 31
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #868 on: 02 May 2009, 06:02:36 PM »
MERCEDES:

tentu saja anda adalah seorang buddha tetapi dalam jangkauan 1+1 = 2. ^^
seorang buddha dikatakan Buddha karena seseorang itu mengetahui secara pasti dan tanpa ada keraguan akan pengetahuan-nya itu bahwa pengetahuannya adalah benar apa adanya.

apakah anda ragu pengetahuan anda tentang 1+1 = 2?
dan melihat hasil 2 adalah sebatas "ilusi" ? ^^

TAN:

Lho kalau begitu buddha itu banyak ya? Anda menggunakan buddha dalam huruf kecil dan besar. Apakah Buddha ada tingkatan-tingkatannya? Manakah yang benar-benar "Buddha", yakni Buddha (dengan huruf besar) atau buddha (dengan huruf kecil)? Saya baru tahu sekarang kalau ada buddha (dengan huruf kecil) dan Buddha (dengan huruf besar).

Amiduofo,

Tan

Offline Tan

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 510
  • Reputasi: 31
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #869 on: 02 May 2009, 06:07:45 PM »
MERCEDES mengutip:

‘Para bhikkhu, jasmani Sang Tathàgata yang berdiri tegak dengan unsur-unsur yang menghubungkannya dengan jasmani akan menjadi hancur.78 Selama jasmani ini ada, para dewa dan manusia dapat melihatnya. Tetapi saat hancurnya jasmani dan habisnya umur kehidupan, para dewa dan manusia tidak akan melihatnya lagi. Para bhikkhu, bagaikan ketika tangkai serumpun mangga dipotong, maka semua mangga pada rumpun itu akan jatuh bersamanya, demikian pula jasmani Sang Tathàgata dengan unsur-unsurnya yang menghubungkannya dengan penjelmaan telah terpotong. Selama jasmani ini ada, para dewa dan manusia dapat MELIHATNYA. Tetapi saat hancurnya jasmani dan habisnya umur kehidupan, para dewa dan manusia tidak akan MELIHATNYA lagi.’

TAN:

Perhatikan kata "MELIHATNYA" yang saya tulis dengan huruf besar semua. Kutipan di atas jelas sekali mendukung ajaran Mahayana, karena yang dipermasalahkan adalah "melihat" dan "tidak melihat." Sesuatu yang "tak terlihat" oleh para dewa dan manusia, bukannya tidak ada lho. Gelombang elektromagnetik tidak terlihat oleh manusia, tetapi pada kenyataannya ada atau tidak? Sekali lagi kutipan di atas tidak mendukung pandangan nihilis kaum non Mahayanis.

Lagipula yang dibicarakan adalah "jasmani" Sang Buddha. Mahayana sendiri tidak memandang dharmakaya dalam artian fisik kok.

Jelas sekali kutipan di atas malah mendukung ajaran Mahayana atau setidaknya sama sekali tak bertentangan dengannya.

Amiduofo,

Tan