This section allows you to view all posts made by this member. Note that you can only see posts made in areas you currently have access to.
1
Studi Sutta/Sutra / Audiobook Brahmajala Sutta
« on: 21 March 2018, 02:44:42 PM »
AUDIOBOOK - Pembacaan Sutta
DN 1: Brahmajāla Sutta
Jaring Tertinggi
Apa yang Bukan Ajaran
Text:
https://dhct.org/dn1
AudioBook - mp3:
https://drive.google.com/file/d/1KXSLynqJx8UPFvag-5EvYi3uzxPxk6Ln/view
DN 1: Brahmajāla Sutta
Jaring Tertinggi
Apa yang Bukan Ajaran
Text:
https://dhct.org/dn1
AudioBook - mp3:
https://drive.google.com/file/d/1KXSLynqJx8UPFvag-5EvYi3uzxPxk6Ln/view
2
Kafe Jongkok / Perhitungan peruntungan nama chinese dengan metode garis (Stroke)
« on: 01 February 2016, 02:26:00 PM »
Stroke theory
A. 天格 Tiange- Heavenly Traits,
Determines your fate that comes with your birth
Strokes calculation: Total no. of strokes in surname + 1
B. 人格 Renge- Personal Traits
Determines your overall fate and destiny
Strokes calculation: Total no. of strokes in surname + Total no. of strokes in first character
C. 地格 Dige - Earth Traits,
Determines your immediate relations with people around you including family members, friends and colleagues.
Strokes calculation: Total no. of strokes first character + Total no. of strokes in second character
D. 总格 Waige- External Traits,
Foretells your life after 35 years of age
Strokes calculation: Total no. of strokes in all three characters of the name
E. 外格 Zhongge- Overall Traits,
Refers to your relations with individuals at large in the society as a whole
Strokes calculation: 总格 - 人格 + 1
The number of strokes and their meanings:
No. of Strokes - Meaning
Most of Chinese names, consist of X Y Z,
Where X is Surname, Y is GenerationName/FirstName/FirstCharacter, Z is the Given Name/SecondCharacter
Tools untuk hitung stroke:
http://www.yellowbridge.com/chinese/character-dictionary.php
A. 天格 Tiange- Heavenly Traits,
Determines your fate that comes with your birth
Strokes calculation: Total no. of strokes in surname + 1
B. 人格 Renge- Personal Traits
Determines your overall fate and destiny
Strokes calculation: Total no. of strokes in surname + Total no. of strokes in first character
C. 地格 Dige - Earth Traits,
Determines your immediate relations with people around you including family members, friends and colleagues.
Strokes calculation: Total no. of strokes first character + Total no. of strokes in second character
D. 总格 Waige- External Traits,
Foretells your life after 35 years of age
Strokes calculation: Total no. of strokes in all three characters of the name
E. 外格 Zhongge- Overall Traits,
Refers to your relations with individuals at large in the society as a whole
Strokes calculation: 总格 - 人格 + 1
The number of strokes and their meanings:
No. of Strokes - Meaning
Most of Chinese names, consist of X Y Z,
Where X is Surname, Y is GenerationName/FirstName/FirstCharacter, Z is the Given Name/SecondCharacter
Tools untuk hitung stroke:
http://www.yellowbridge.com/chinese/character-dictionary.php
3
Studi Sutta/Sutra / Rahula... mn62 v ea17.1
« on: 31 October 2014, 06:23:57 PM »
Benarkah arhat ketika konsili benar2 penghapal sutta/sutra?
http://suttacentral.net/id/mn62
http://suttacentral.net/en/ea17.1
Jika Ya,
Kenapa nikaya dan agama beda?
ea17.1 berbicara:
- pancakhanda,
- brahmavihara,
- nafas
mn62 berbicara:
- pancakhanda,
- five elements
- brahmavihara,
- nafas
Extra detail mengenai five elements datang dari mana?
http://suttacentral.net/id/mn62
http://suttacentral.net/en/ea17.1
Jika Ya,
Kenapa nikaya dan agama beda?
ea17.1 berbicara:
- pancakhanda,
- brahmavihara,
- nafas
mn62 berbicara:
- pancakhanda,
- five elements
- brahmavihara,
- nafas
Extra detail mengenai five elements datang dari mana?
4
Diskusi Umum / Bodhisatva-yana?
« on: 29 October 2014, 06:44:53 PM »
Bodhisatva-vow yang menyelamatkan "semua" mahluk...
Siapa yang mempopulerkan ?
Apa sutta yang mendasari?
Mengingat,
Sumedha sendiri juga ngga mencetuskan komitmen aneh2
Metteya juga tidak di-predict yang ajaib2x
So,
Sejak kapan teaching/metode ini berkembang?
Siapa yang mempopulerkan ?
Apa sutta yang mendasari?
Mengingat,
Sumedha sendiri juga ngga mencetuskan komitmen aneh2
Metteya juga tidak di-predict yang ajaib2x
So,
Sejak kapan teaching/metode ini berkembang?
5
Meditasi / Kasina, Benarkah really exists...?
« on: 25 August 2014, 11:08:03 AM »Membuat maṇḍala
Jika seorang yogi ingin membuat sebuah maṇḍala di tanah, pertama-tama ia memilih suatu tempat yang tenang di vihara, atau gua, atau suatu tempat di bawah pohon, atau tempat yang sunyi, tempat teduh yang tidak terkena sinar matahari, atau suatu tempat di jalan yang tidak dipakai. Di tempat-tempat demikian, sediakan tempat dengan luas kira-kira dua meter, sapu tempat itu dan bersihkan. Di tempat tersebut, dengan tanah liat berwarna fajar, siapkan tempat di tanah untuk membangkitkan gambaran. Letakkan jumlah yang secukupnya di dalam sebuah mangkuk, dengan hati-hati campur dengan air dan bersihkan dari rumput, akar dan kotoran. Dengan secarik kain, singkirkan segala kotoran yang mungkin ada di tempat yang telah disapu tersebut. Tutuplah tempat duduk dengan tirai untuk menghalangi cahaya, dan buatlah alas duduk meditasi. Buatlah sebuah lingkaran sesuai aturan, tidak terlalu dekat juga tidak terlalu jauh. Lingkaran itu harus datar dan penuh dan tidak bertanda. Setelah itu, tuangkan tanah liat basah yang tidak bercampur dengan warna lain. Tanah liat tersebut harus ditutupi dan dijaga sampai kering. Ketika sudah kering, [413] harus dibingkai dengan warna lain. Boleh berukuran sebesar ayakan-beras, sebuah gong dan boleh berbentuk lingkaran, segi empat, segi tiga, atau bujur sangkar. Demikianlah sehar usnya.
Menurut instruksi guru yang terkemuka, sebuah lingkaran adalah yang terbaik. Maṇḍala tersebut dapat dibuat di atas kain, di atas papan atau di dinding. Namun yang terbaik adalah di atas tanah. Ini adalah ajaran para guru masa lampau.
Di candi-candi jawa tengah,
Tidak terlihat ada objek bulat yang kira-kira sesuai dengan spesifikasi diatas,
Yang kemudian timbul pertanyaan...
Dimanakah istilah kasina dimulai ?
Kapankah pengunaan kasina mulai populer ?
Siapa ? Mengapa ? Valid kah? didukung Suttakah ?
Kasina akan berakhir dengan gambaran-reflect yang sering disebut dengan nimitta,
Nimitta yang bebas dari lima-nivarana sendiri akan menjadi faktor-faktor jhana (vitakka vicara piti sukha ekaggata)
Faktor pertama Jhana (vitakka)
Vitarka (Sanskrit, also vitarkah; Pali: vitakka; Tibetan phonetic: tokpa) is a Buddhist term that is translated as "conception", "application of thought", it is defined as the mental factor that mounts or directs the mind towards an object.
Mengarahkan pikiran ke objek...
Objek apa ? Bagaimana teknis praktiknya (berdasarkan sutta) ?
6
Politik, ekonomi, Sosial dan budaya Umum / Saat Novela, Saksi Prabowo-Hatta Bikin 'Kacau' Hakim MK
« on: 12 August 2014, 05:09:12 PM »Jakarta - Jalannya persidangan di MK tidak selalu diwarnai hawa tegang. Salah satu saksi bernama Novela dari Kampung Awaputu, Kabupaten Dogiyai, Papua, mencairkan suasana saat memberi keterangan.
Tanya jawab dibuka dengan pertanyaan Ketua MK Hamdan Zoelva mengenai kapan dilakukan pemungutan suara.
"9 Juli," jawab Novela di Ruang sidang MK, Jl Medan Merdeka Barat, Jakpus, Selasa (12/8/2014).
Namun saat ditanya pelaksanaannya dari pukul berapa, Novela menjawab tidak tahu. Hal ini dikarenakan di distriknya tidak ada proses pemungutan suara.
"Tadi tanggal 9 Juli itu apa?" tanya Hamdan.
"Itu di tempat lain," jawab Novela yang juga mengatakan saat itu dirinya berada di kampung dan melihat tidak ada TPS.
"Tidak ada. Saya tidak bisa terangkan karena tidak ada yang bisa diterangkan," lanjut putri daerah ini tegas.
Pertanyaan dilanjutkan oleh Patrialis Akbar. Dia menanyakan bagaimana suasana di distrik saat itu. Mendengar itu Novela dengan spontan menyemprot Patrialis.
"Jangan tanya ke saya karena saya juga masyarakat, tanyanya ke penyelenggara pemilu!" cetusnya.
Mendengar itu, Patrialis menanggapi santai. "Nggak apa-apa saya suka gaya-gaya anda seperti ini. Lanjutkan terus ya. Ini gaya Kartini masa kini," ujar Patrialis sambil tersenyum.
Novela pun balas tersenyum. Ia mengatakan tidak ada komunikasi dengan siapa pun. Kejadian lucu pun terjadi saat Hakim Arief Hidayat menanyakan berapa jarak antara desa dengan distriknya.
"300 kilometer!" kata perempuan yang mengenakan baju batik berwarna cokelat ini spontan.
Sontak saja jawaban itu langsung membuat Hakim Arief terbelalak. Sadar akan ekspresinya, Novela langsung buru-buru meralat pernyataannya.
"30 kilometer, eh 300 meter. Saya manusia Pak, pasti punya salah nggak apa-apa," ucap Novela tertawa.
Para hakim yang mendengar celotehan itu pun langsung tertawa. Dalam suasana yang cair itu, Hakim Arief kembali mencoba bertanya apakah Novila sebagai saksi mandat distrik mengetahui ada kegiatan lain di distrik lainnya dengan jarak yang tak terlalu jauh itu.
"Saya tidak mau bicara kampung lain. Saya maunya di kampung saya," katanya.
Bingung mau bertanya apa lagi, Hakim Arief pun memutuskan untuk menyudahi sesi tanya jawab ini.
"Saya bisa kacau," celetuknya sambil geleng-geleng kepala tertawa.
"Ya Bapak kacau saya, juga bisa kacau," tutup Novela. Tak urung kesaksian Novela melahirkan tawa seisi ruang sidang.
Code: [Select]
http://news.detik.com/pemilu2014/read/2014/08/12/111543/2659617/1562/3/saat-novela-saksi-prabowo-hatta-bikin-kacau-hakim-mk
7
Diskusi Umum / Sutta Butta
« on: 08 August 2014, 06:55:49 PM »Di dalam Agama Buddha, istilah "sutra" kebanyakan merujuk kepada kitab-suci keagamaan Kitab, yang banyak diangap sebagai salinan akan pengajaran lisan dari Gautama Buddha. Dalam bahasa Cina, hal ini dikenal dengan 經 (pinyin: jīng). Pengajaran yang demikian disusun bersama di dalam Tipitaka dengan sebutan Sutta Pitaka. Terdapat juga beberapa naskah Agama Buddha lain, seperti Platform Sutra (atau lebih dikenal dengan sebutan Sutra Hui-Neng), yang disebut sebagai Sutra walaupun disandangkan kepada penulis setelahnya. Beberapa sejarawan menganggap bahwa pemeluk Agama Buddha menggunakan kata Sutra dalam bentuk yang tidak berkaitan dengan Sutta dalam bahasa Sanskerta, yang kemudian diwakili dalam bahasa Sanskrit dengan sūkta(pengucapan benardiucapkan dengan benar)
Bentuk kata dalam bahasa Pali, sutta hanya digunakan untuk merujuk kepada kitab suci Agama Buddha, yang dikenal juga sebagai Tipitaka atau Pali Canon
Wikipedia ID :: Sutta
bu·ta 1 a 1 tidak dapat melihat krn rusak matanya; tunanetra: Braille telah berhasil menciptakan huruf untuk anak-anak --; 2 ki tidak tahu (mengerti) sedikit pun tt sesuatu: ia -- akan keadaan negeri itu;-- baru celik (melihat), pb menjadi sombong krn beroleh kekayaan (pangkat dsb); -- kehilangan, pb dl keadaan yg sangat sulit;
Kamus Besar Bahasa Indonesia :: buta
Dengan kata lain,
Sutta bisa didefinisikan sebagai khotbah/ajaran dari Buddha Gautama.
Butta (baca: buta) bisa didefinisikan sebagai tidak-tahu/sombong/pongah.
Dengan pengabungan dua kata tersebut,
saya kira, bisa terbentuk makna baru yang dalam hal ini saya definisikan sebagai...
Penolakan terhadap Sutta sebagai sumber referensi didalam membahas Ajaran Buddha Dhamma.
Didalam memahami filosofis ajaran agama Buddha,
Kita memiliki banyak sumber yang bisa dijadikan referensi,
seperti... Sutta Pitaka, Vinaya Pitaka, Abhidhamma Pitaka.
bahkan kita juga memiliki Komentar Tipitaka (Atthakatha) yang bersumber dari para ahli buddhist.
Referensi ini penting didalam membahas pencapaian spiritual didalam scope Buddhism.
Sehingga tidak seperti kisah zen pemahaman orang buta terhadap Gajah
9
Buddhisme untuk Pemula / Jalan mana yang benar ?
« on: 24 April 2014, 11:42:11 AM »
Apakah:
a. Panna -> Sila -> Samadhi
b. Sila -> Samadhi -> Panna
c. Samadhi -> Panna -> Sila
d. xxxxxx -> yyyyyy -> zzzzzz (apa x, apa y, apa z)
a. Panna -> Sila -> Samadhi
b. Sila -> Samadhi -> Panna
c. Samadhi -> Panna -> Sila
d. xxxxxx -> yyyyyy -> zzzzzz (apa x, apa y, apa z)
10
Buddhisme dengan Agama, Kepercayaan, Tradisi dan Filsafat Lain / Cung... cung... cep...
« on: 10 March 2014, 03:37:43 PM »
Ancung... ancung... tancep!!!
Tidak bisa dipungkiri inilah yang banyak terjadi.
Tidak sedikit diantara mereka didalam kebingungan menjalankan tradisi yang mencoba mencari informasi.
Apakah vihara sudah berfungsi sebagaimana layaknya ?
Apakah kelenteng/bio sudah berfungsi sebagaimana mestinya ?
Apakah tempat ibadah diatas sudah mampu memberikan informasi atas kebingungan umat ?
Apakah tempat tersebut mampu memberikan jaminan kepada umat ?
Apakah tempat tersebut merupakan "tempat bernaung" (sanctuary/berlindung/mengeluh/curhat) umat ?
Merefer kepada bagaimana buddhist ter-convert
[VIDEO] Aksi yang membuang altar umat Buddhist yang pindah
dan mungkin masih banyak lagi kasus lainnya.
bagi anda yang merasa ini bukan tugas kita,
Please check nurani, dan tanyakan... Tugas siapa ?
Setelahnya,
Lalu... Apa sebenarnya yang salah dengan Buddhism/Tridharma ?
Bagaimana bisa tradisi2 tersebut pudar ?
dan apa solusinya ?
Tidak bisa dipungkiri inilah yang banyak terjadi.
Tidak sedikit diantara mereka didalam kebingungan menjalankan tradisi yang mencoba mencari informasi.
Apakah vihara sudah berfungsi sebagaimana layaknya ?
Apakah kelenteng/bio sudah berfungsi sebagaimana mestinya ?
Apakah tempat ibadah diatas sudah mampu memberikan informasi atas kebingungan umat ?
Apakah tempat tersebut mampu memberikan jaminan kepada umat ?
Apakah tempat tersebut merupakan "tempat bernaung" (sanctuary/berlindung/mengeluh/curhat) umat ?
Merefer kepada bagaimana buddhist ter-convert
[VIDEO] Aksi yang membuang altar umat Buddhist yang pindah
dan mungkin masih banyak lagi kasus lainnya.
bagi anda yang merasa ini bukan tugas kita,
Please check nurani, dan tanyakan... Tugas siapa ?
Setelahnya,
Lalu... Apa sebenarnya yang salah dengan Buddhism/Tridharma ?
Bagaimana bisa tradisi2 tersebut pudar ?
dan apa solusinya ?
11
Diskusi Umum / Diantara kematian dan lahir
« on: 03 March 2014, 11:19:06 AM »
Some says...
Pikiran pada saat kematian yang menentukan ke alam mana kita lahir,
Some says...
Kesadaran tersebut timbul pada rupa yang baru secara instant
Some says...
Ada jeda hari diantara nya
Any Reference about this ?
In-between Death and Birth
What happen aya naon ?
Pikiran pada saat kematian yang menentukan ke alam mana kita lahir,
Some says...
Kesadaran tersebut timbul pada rupa yang baru secara instant
Some says...
Ada jeda hari diantara nya
Any Reference about this ?
In-between Death and Birth
What happen aya naon ?
12
Mahayana / Sanghyang Kamahayanikan
« on: 07 February 2014, 11:56:56 AM »
https://archive.org/details/Sanghyang-kamahayanikan
http://bhumisambhara.wordpress.com/2009/03/30/6/
Slokha yang pertama:
1. Inilah Sang Hyang Kamahayanikan yang kuajarkan kepadamu keluarga Tathagata, Putra Jina, keutamaan Sang Hyang Mahayanalah yang hendak kuajarkan kepadamu.
Sang Guru penulis teks ini mengatakan bahwa sesungguhnya yang hendak diajarkan adalah Mahayana. Ada tiga tema di dalam satu slokha ini: yang pertama motivasi mengajar, yang kedua kualifikasi pendengar ajaran, dan yang ketiga tema ajaran. Sang Hyang Kamahayanikan dalam bahasa Kawi, dalam bahasa Indonesia adalah Mahayana Suci. Teks ini dibuka dengan singkat mengacu pada tiga pengertian: yang pertama adalah motivasi sang Guru mengajarkan Mahayana. Apakah Mahayana? Mahayana adalah jalan besar atau yana besar (maha adalah agung, yana adalah jalan) artinya yang akan diajarkan ini adalah tema Dharma yang memungkinkan untuk membawa kebahagiaan bagi dirinya sendiri juga membawa kebahagiaan bagi orang lain. Ajaran yang memiliki karakteristik seperti itu disebut ajaran Mahayana. Bukan hanya dalam ungkapan kalimatnya saja, tetapi pemahaman yang mengikuti ungkapan kalimat itu. Setelah seseorang mendengarkan ajaran Mahayana akan membawa pengertian-pengertian berupa keinginan untuk membawa kebahagiaan bagi diri sendiri dan keinginan-keinginan secara langsung atau tidak langsung membawa kebahagiaan bagi makhluk lain. Ajaran yang karakteristiknya demikian adalah Mahayana, yang menjadi motivasi dari sang Guru untuk mengajarkan kepada siswanya.
Yang kedua mengenai siswa. Siswa di sini disebut Tathagata Kula dalam bahasa Sanskerta atau keluarga Tathagata dalam bahasa Indonesia. Siapakah keluarga Tathagata? Dalam sutra Mahayana dikatakan bahwa setiap Buddha memiliki Kula, bahasa Sanskerta ini diadopsi ke dalam bahasa Indonesia seperti yang sering kita dengar “Kula Warga”, kula artinya keluarga, warga artinya anggota. Jadi kata Kula Warga dalam bahasa Indonesia sebetulnya bersumber dari bahasa Sanskerta. Tathagata Kula adalah keluarga Tathagata. Oleh karena Tathagata memiliki kualifikasi tertentu yaitu makhluk samsara yang telah bangun, yang disebut sebagai Buddha, yang mencapai pencerahan atas daya upayanya sendiri, yang mencapai realisasi itu ketika tidak ada Pratyeka dan Sravaka, itulah seorang Tathagata. Tathagata tidak memiliki ayah dan tidak memiliki ibu karena ayah dari para Tathagata dikatakan adalah para Jina; sementara ibu dari para Tathagata adalah Prajnaparamita. Jadi ayah-ibu para Tathagata adalah predikat spiritual yang terdapat di Mahayana yang disebut sebagai Paramita. Walaupun seorang Tathagata seperti itu keadaannya, ada orang yang kemudian akan menjadi Tathagata juga, orang-orang tersebut disebut (dalam kalimat berikutnya yaitu) Putra Jina, dalam bahasa Sanskrit namanya Jinaputra. Mengapa Jinaputra? Karena ia nanti akan menjadi Jina juga. Siswa memiliki kualifikasi telah mengembangkan aspirasi untuk menjadi Buddha, untuk menjadi Jina, untuk menjadi Tathagata.
Lalu yang ketiga: Keutamaan Sang Hyang Mahayanalah yang hendak kuajarkan kepadamu. Ini mengenai kualifikasi ajaran. Jadi motivasinya Mahayana, siswanya beraspirasi Mahayana, lalu yang diajarkan adalah ajaran Mahayana yaitu keunggulan Mahayana dan keluhuran Mahayana. Bilamana melalui proses ini yaitu guru yang bermotivasi Mahayana, siswa yang bermotivasi Mahayana, lalu Dharma yang juga Mahayana; maka akan menghasilkan realisasi Mahayana.
Sang Hyang Kamahayanikan adalah semacam transkripsi dari sebuah pengajaran lisan guru di suatu tempat pada zaman dahulu di abad kesembilan, yang kemudian ditulis oleh siswa yang mendengarkannya sehingga pada bagian tertentu ada ungkapan permohonan ajaran dan ada ajaran-ajaran yang menjelaskannya.
Slokha yang kedua:
2. Jika berdiam di gunung, di gua, di pantai, di sebuah kuti, vihara, di pondok pertapaan, atau engkau tinggal di kuburan angker dan sebagainya, lengkapilah dengan tempat melakukan homa, rumah sunyata namanya, tempat persembahan, tempat arca, buatlah balai-balai, tirai, tempat duduk dan alas tidur, segala yang menyenangkan hatimu.
Slokha kedua ini mendeskripsikan atau merincikan tempat berdiam orang yang hendak mempraktikkan Mahayana. Uraian mengenai tempat berdiam beragam sekali, ini tentu mengacu pada kenyataan yang terjadi pada abad kesembilan, khususnya di wilayah Borobudur; bahwa para praktisi Mahayana menjalankan praktik atau ibadah Mahayananya di gunung, di gua, di tepi laut, atau di kuti yaitu bangunan kecil di tepi hutan atau tepi desa, kemudian di vihara, atau di pertapaan, atau di kuburan yaitu tempat pembuangan mayat pada zaman itu, dan sebagainya. Adapun tempat berdiam itu di sini dianjurkan oleh sang Guru agar dilengkapi dengan tempat melakukan homa atau persembahan api. Ini adalah suatu anjuran bahwa tempat yang ideal bagi seorang praktisi bukan hanya di mana ia dapat duduk atau berdiam atau tidur tetapi juga harus memenuhi beberapa ketentuan. Yang pertama harus disediakan tempat untuk melakukan ritual, rumah sunyata namanya (rumah homa disebut rumah sunyata) ini penjelasannya di dalam tema Tantra jadi tidak akan dijelaskan. Tempat persembahan, lalu juga ada altar untuk melakukan persembahan; tempat arca, artinya altar juga; lalu untuk yang bersangkutan agar dibuatkan balai-balai, tirai (maksudnya adalah untuk mencegah serangga dan nyamuk), lalu tempat duduk dan alas tidur; segala yang menyenangkan hatimu. Ini perbedaan pertapaan menurut cara Buddhis dengan non-Buddhis. Kalau pada zaman dahulu para pertapa dengan latar belakang non-Buddhis yaitu para brahmana, para resi, juga para yogi Hindu; pertapaan mereka melewati dua jenjang, yang pertama adalah Wanaprasta dan yang kedua Bhiksuka. Masa Wanaprasta diawali setelah seseorang memensiunkan dirinya dari kehidupan rumah tangga lalu berkelana ke hutan, namun demikian masih memiliki tempat kediaman. Para pertapa dengan karakter atau model ini, setelah mereka merasa dirinya sudah siap kemudian pergi ke hutan……….
bertahun-tahun sebagai pengelana di hutan, melanjutkan pada tahap berikutnya yang disebut Bhiksuka yaitu tahap hanya menunggu kematian. Pertapaan praktisi semacam ini adalah pertapaan untuk mengantarkan kematian. Jadi bertapa sampai mati, sehingga mereka tidak makan, tidak berpakaian, atau tidak menggunakan segala yang dibutuhkan untuk keselamatan fisiknya, tidak memberikan nutrisi pada fisiknya, juga tidak menghiraukan kondisi tubuh fisiknya. Ini berbeda dengan pertapaan seorang Mahayanis, karena seorang Mahayanis semua latihan dan pencapaiannya adalah untuk menolong makhluk yang lain, maka pertapaan Mahayana selalu memiliki karakter bahwa latihan yang dilakukan sedemikian rupa, setelah latihan tersebut mencapai hasil, ia dapat kembali lagi ke dunia ramai, ke tengah masyarakat, dan menggunakan pencapaiannya tersebut untuk menolong makhluk yang lain. Pertapa Buddhis adalah pertapa yang masih harus memikirkan kebaikan tubuh fisik serta mentalnya, oleh karena itu instruksi slokha kedua ini digarisbawahi pada bagian terakhir: segala yang menyenangkan hatimu. Menyenangkan hati yaitu tidak menyakiti fisik, tidak menyakiti mental, diri sendiri, tidak menyiksa batin diri sendiri, karena apa? Penjelasannya ada pada slokha yang ketiga.
Sekarang slokha yang ketiga:
3. Demikian pula tubuhmu juga jangan dipaksa-paksa, dengan tidak memperbolehkannya makan segala makanan yang dapat menyenangkan hatimu; apa yang enak di mulut hendaknya engkau makan, agar dekat bagimu untuk makan. Jangan lupa tata cara seorang bhakta (seorang praktisi)
Slokha yang keempat:
4. Demikian pula jika tubuh sakit, tidak salah bila engkau mengobatinya; sama artinya bagimu, jangan tergesa menjadi suci, sangat sulit untuk benar-benar suci. Jelasnya: rawatlah juga tubuhmu, karena kesehatan tubuhmu menjadi sebab bagi tercapainya kebahagiaan, kebahagiaan menjadi sebab terjadinya keteguhan hati, keteguhan hati menjadi sebab terlaksananya samadhi, samadhi menjadi sebab tercapainya moksha (atau pembebasan). (4)
Slokha yang kelima:
5. Rawatlah tubuhmu dengan memakai niwasana (jubah bagian bawah), memakai katiwandha (jubah bagian atas), siwara (jubah selimut) selengkapnya, membawa waluh (yaitu patra, pada zaman dahulu para bhiksu di sekitar Borobudur menggunakan patra yang terbuat dari kulit waluh yang dikeringkan), memegang kakakara (ini adalah tongkat bhiksu yang terbuat dari kombinasi kayu dan logam di mana bagian atasnya terdiri dari banyak cincin logam dan bila digunakan sebagai tongkat berjalan ia akan bergemerincing dan memberi tanda bagi orang atau makhluk lain yang mendengarnya bahwa ada bhiksu yang sedang melintas). Jika engkau Resi Buddha (bila instruksi ini didengar oleh resi Buddha yaitu seorang pertapa atau praktisi Buddhis tetapi bukan bhiksu), pakailah kulit kayu (pada zaman itu tidak banyak tersedia kain tetapi jenis kayu tertentu bisa digunakan sebagai penutup tubuh), memakai sampet (ikat kepala atau kain penutup kepala), memakai basma cendana (minyak cendana yang dioleskan pada tubuh untuk mengusir serangga dan memberi rasa hangat pada tubuh yang terbuka), memakai ganitri (mala) selengkapnya. (5)
Slokha yang keenam:
6. Bila engkau seorang upashaka, berbuatlah sesuai tata cara, berdiamlah dengan memandang ujung hidung. (6)
http://bhumisambhara.wordpress.com/2009/03/30/6/
Slokha yang pertama:
1. Inilah Sang Hyang Kamahayanikan yang kuajarkan kepadamu keluarga Tathagata, Putra Jina, keutamaan Sang Hyang Mahayanalah yang hendak kuajarkan kepadamu.
Sang Guru penulis teks ini mengatakan bahwa sesungguhnya yang hendak diajarkan adalah Mahayana. Ada tiga tema di dalam satu slokha ini: yang pertama motivasi mengajar, yang kedua kualifikasi pendengar ajaran, dan yang ketiga tema ajaran. Sang Hyang Kamahayanikan dalam bahasa Kawi, dalam bahasa Indonesia adalah Mahayana Suci. Teks ini dibuka dengan singkat mengacu pada tiga pengertian: yang pertama adalah motivasi sang Guru mengajarkan Mahayana. Apakah Mahayana? Mahayana adalah jalan besar atau yana besar (maha adalah agung, yana adalah jalan) artinya yang akan diajarkan ini adalah tema Dharma yang memungkinkan untuk membawa kebahagiaan bagi dirinya sendiri juga membawa kebahagiaan bagi orang lain. Ajaran yang memiliki karakteristik seperti itu disebut ajaran Mahayana. Bukan hanya dalam ungkapan kalimatnya saja, tetapi pemahaman yang mengikuti ungkapan kalimat itu. Setelah seseorang mendengarkan ajaran Mahayana akan membawa pengertian-pengertian berupa keinginan untuk membawa kebahagiaan bagi diri sendiri dan keinginan-keinginan secara langsung atau tidak langsung membawa kebahagiaan bagi makhluk lain. Ajaran yang karakteristiknya demikian adalah Mahayana, yang menjadi motivasi dari sang Guru untuk mengajarkan kepada siswanya.
Yang kedua mengenai siswa. Siswa di sini disebut Tathagata Kula dalam bahasa Sanskerta atau keluarga Tathagata dalam bahasa Indonesia. Siapakah keluarga Tathagata? Dalam sutra Mahayana dikatakan bahwa setiap Buddha memiliki Kula, bahasa Sanskerta ini diadopsi ke dalam bahasa Indonesia seperti yang sering kita dengar “Kula Warga”, kula artinya keluarga, warga artinya anggota. Jadi kata Kula Warga dalam bahasa Indonesia sebetulnya bersumber dari bahasa Sanskerta. Tathagata Kula adalah keluarga Tathagata. Oleh karena Tathagata memiliki kualifikasi tertentu yaitu makhluk samsara yang telah bangun, yang disebut sebagai Buddha, yang mencapai pencerahan atas daya upayanya sendiri, yang mencapai realisasi itu ketika tidak ada Pratyeka dan Sravaka, itulah seorang Tathagata. Tathagata tidak memiliki ayah dan tidak memiliki ibu karena ayah dari para Tathagata dikatakan adalah para Jina; sementara ibu dari para Tathagata adalah Prajnaparamita. Jadi ayah-ibu para Tathagata adalah predikat spiritual yang terdapat di Mahayana yang disebut sebagai Paramita. Walaupun seorang Tathagata seperti itu keadaannya, ada orang yang kemudian akan menjadi Tathagata juga, orang-orang tersebut disebut (dalam kalimat berikutnya yaitu) Putra Jina, dalam bahasa Sanskrit namanya Jinaputra. Mengapa Jinaputra? Karena ia nanti akan menjadi Jina juga. Siswa memiliki kualifikasi telah mengembangkan aspirasi untuk menjadi Buddha, untuk menjadi Jina, untuk menjadi Tathagata.
Lalu yang ketiga: Keutamaan Sang Hyang Mahayanalah yang hendak kuajarkan kepadamu. Ini mengenai kualifikasi ajaran. Jadi motivasinya Mahayana, siswanya beraspirasi Mahayana, lalu yang diajarkan adalah ajaran Mahayana yaitu keunggulan Mahayana dan keluhuran Mahayana. Bilamana melalui proses ini yaitu guru yang bermotivasi Mahayana, siswa yang bermotivasi Mahayana, lalu Dharma yang juga Mahayana; maka akan menghasilkan realisasi Mahayana.
Sang Hyang Kamahayanikan adalah semacam transkripsi dari sebuah pengajaran lisan guru di suatu tempat pada zaman dahulu di abad kesembilan, yang kemudian ditulis oleh siswa yang mendengarkannya sehingga pada bagian tertentu ada ungkapan permohonan ajaran dan ada ajaran-ajaran yang menjelaskannya.
Slokha yang kedua:
2. Jika berdiam di gunung, di gua, di pantai, di sebuah kuti, vihara, di pondok pertapaan, atau engkau tinggal di kuburan angker dan sebagainya, lengkapilah dengan tempat melakukan homa, rumah sunyata namanya, tempat persembahan, tempat arca, buatlah balai-balai, tirai, tempat duduk dan alas tidur, segala yang menyenangkan hatimu.
Slokha kedua ini mendeskripsikan atau merincikan tempat berdiam orang yang hendak mempraktikkan Mahayana. Uraian mengenai tempat berdiam beragam sekali, ini tentu mengacu pada kenyataan yang terjadi pada abad kesembilan, khususnya di wilayah Borobudur; bahwa para praktisi Mahayana menjalankan praktik atau ibadah Mahayananya di gunung, di gua, di tepi laut, atau di kuti yaitu bangunan kecil di tepi hutan atau tepi desa, kemudian di vihara, atau di pertapaan, atau di kuburan yaitu tempat pembuangan mayat pada zaman itu, dan sebagainya. Adapun tempat berdiam itu di sini dianjurkan oleh sang Guru agar dilengkapi dengan tempat melakukan homa atau persembahan api. Ini adalah suatu anjuran bahwa tempat yang ideal bagi seorang praktisi bukan hanya di mana ia dapat duduk atau berdiam atau tidur tetapi juga harus memenuhi beberapa ketentuan. Yang pertama harus disediakan tempat untuk melakukan ritual, rumah sunyata namanya (rumah homa disebut rumah sunyata) ini penjelasannya di dalam tema Tantra jadi tidak akan dijelaskan. Tempat persembahan, lalu juga ada altar untuk melakukan persembahan; tempat arca, artinya altar juga; lalu untuk yang bersangkutan agar dibuatkan balai-balai, tirai (maksudnya adalah untuk mencegah serangga dan nyamuk), lalu tempat duduk dan alas tidur; segala yang menyenangkan hatimu. Ini perbedaan pertapaan menurut cara Buddhis dengan non-Buddhis. Kalau pada zaman dahulu para pertapa dengan latar belakang non-Buddhis yaitu para brahmana, para resi, juga para yogi Hindu; pertapaan mereka melewati dua jenjang, yang pertama adalah Wanaprasta dan yang kedua Bhiksuka. Masa Wanaprasta diawali setelah seseorang memensiunkan dirinya dari kehidupan rumah tangga lalu berkelana ke hutan, namun demikian masih memiliki tempat kediaman. Para pertapa dengan karakter atau model ini, setelah mereka merasa dirinya sudah siap kemudian pergi ke hutan……….
bertahun-tahun sebagai pengelana di hutan, melanjutkan pada tahap berikutnya yang disebut Bhiksuka yaitu tahap hanya menunggu kematian. Pertapaan praktisi semacam ini adalah pertapaan untuk mengantarkan kematian. Jadi bertapa sampai mati, sehingga mereka tidak makan, tidak berpakaian, atau tidak menggunakan segala yang dibutuhkan untuk keselamatan fisiknya, tidak memberikan nutrisi pada fisiknya, juga tidak menghiraukan kondisi tubuh fisiknya. Ini berbeda dengan pertapaan seorang Mahayanis, karena seorang Mahayanis semua latihan dan pencapaiannya adalah untuk menolong makhluk yang lain, maka pertapaan Mahayana selalu memiliki karakter bahwa latihan yang dilakukan sedemikian rupa, setelah latihan tersebut mencapai hasil, ia dapat kembali lagi ke dunia ramai, ke tengah masyarakat, dan menggunakan pencapaiannya tersebut untuk menolong makhluk yang lain. Pertapa Buddhis adalah pertapa yang masih harus memikirkan kebaikan tubuh fisik serta mentalnya, oleh karena itu instruksi slokha kedua ini digarisbawahi pada bagian terakhir: segala yang menyenangkan hatimu. Menyenangkan hati yaitu tidak menyakiti fisik, tidak menyakiti mental, diri sendiri, tidak menyiksa batin diri sendiri, karena apa? Penjelasannya ada pada slokha yang ketiga.
Sekarang slokha yang ketiga:
3. Demikian pula tubuhmu juga jangan dipaksa-paksa, dengan tidak memperbolehkannya makan segala makanan yang dapat menyenangkan hatimu; apa yang enak di mulut hendaknya engkau makan, agar dekat bagimu untuk makan. Jangan lupa tata cara seorang bhakta (seorang praktisi)
Slokha yang keempat:
4. Demikian pula jika tubuh sakit, tidak salah bila engkau mengobatinya; sama artinya bagimu, jangan tergesa menjadi suci, sangat sulit untuk benar-benar suci. Jelasnya: rawatlah juga tubuhmu, karena kesehatan tubuhmu menjadi sebab bagi tercapainya kebahagiaan, kebahagiaan menjadi sebab terjadinya keteguhan hati, keteguhan hati menjadi sebab terlaksananya samadhi, samadhi menjadi sebab tercapainya moksha (atau pembebasan). (4)
Slokha yang kelima:
5. Rawatlah tubuhmu dengan memakai niwasana (jubah bagian bawah), memakai katiwandha (jubah bagian atas), siwara (jubah selimut) selengkapnya, membawa waluh (yaitu patra, pada zaman dahulu para bhiksu di sekitar Borobudur menggunakan patra yang terbuat dari kulit waluh yang dikeringkan), memegang kakakara (ini adalah tongkat bhiksu yang terbuat dari kombinasi kayu dan logam di mana bagian atasnya terdiri dari banyak cincin logam dan bila digunakan sebagai tongkat berjalan ia akan bergemerincing dan memberi tanda bagi orang atau makhluk lain yang mendengarnya bahwa ada bhiksu yang sedang melintas). Jika engkau Resi Buddha (bila instruksi ini didengar oleh resi Buddha yaitu seorang pertapa atau praktisi Buddhis tetapi bukan bhiksu), pakailah kulit kayu (pada zaman itu tidak banyak tersedia kain tetapi jenis kayu tertentu bisa digunakan sebagai penutup tubuh), memakai sampet (ikat kepala atau kain penutup kepala), memakai basma cendana (minyak cendana yang dioleskan pada tubuh untuk mengusir serangga dan memberi rasa hangat pada tubuh yang terbuka), memakai ganitri (mala) selengkapnya. (5)
Slokha yang keenam:
6. Bila engkau seorang upashaka, berbuatlah sesuai tata cara, berdiamlah dengan memandang ujung hidung. (6)
13
Buddhisme untuk Pemula / Jubah/Benang pada Buddha Rupang
« on: 02 November 2013, 08:10:19 PM »
Tradisi pada beberapa daerah,
ada yang mengenakan Jubah pada rupang buddha.
Jubah/Kain pada rupang buddha
Tanya>
1. Kegunaan ?
2. Kapan memulai, Kapan menganti ?
3. Bahan dan warna apa sebaiknya ?
4. Tata-cara pemakaian/mengikat
Benang pada rupang buddha
Tanya>
1. Kegunaan ?
2. Kapan memulai, Kapan menganti ?
3. Bahan dan warna apa sebaiknya ?
4. Tata-cara pemakaian/mengikat
Thanks,
ada yang mengenakan Jubah pada rupang buddha.
Jubah/Kain pada rupang buddha
Tanya>
1. Kegunaan ?
2. Kapan memulai, Kapan menganti ?
3. Bahan dan warna apa sebaiknya ?
4. Tata-cara pemakaian/mengikat
Benang pada rupang buddha
Tanya>
1. Kegunaan ?
2. Kapan memulai, Kapan menganti ?
3. Bahan dan warna apa sebaiknya ?
4. Tata-cara pemakaian/mengikat
Thanks,
14
Buddhisme dengan Agama, Kepercayaan, Tradisi dan Filsafat Lain / Tanya mengenai ?? | Ancestral Tablets | Papan Leluhur
« on: 23 August 2013, 06:55:26 PM »Tanya mengenai 神牌 | Ancestral Tablets | Papan Leluhur (sin chu pai) untuk dirumah
Boleh tanya-tanya mengenai spesifikasi mengenai pembuatan / penulisan papan arwah/leluhur | Ancestral Tablets ?, seperti:
1. Ukuran papan
2. Bahan
3. Elemen Tulisan yang harus ada ?
3a. Apakah "X氏堂上历代祖先" (X=Marga/Surname)
3b. ataukah "X氏堂上历代祖先之神位"
3c. Apakah perlu ada nama lengkap mendiang ?
3d. Apakah perlu dituliskan tanggal lahir/meninggal ?
4. Berapa tinggi minimal/maximal penempatan meja ?
5. Berapa Ukuran meja yang benar ?
6. Ada referensi dimana ada menjual ?
7. Atau menempa ?
8. Dimana saya kira-kira bisa bertanya lebih jauh ? (Posisi Jakarta ~ Tangerang)
Thanks,
15
Pojok Seni / Ada yang pegang "Da_Bei_Zhou_Chanting_FullSpeed.mp3" 52.0MB
« on: 22 May 2013, 09:50:42 AM »
ada yang pegang "Da_Bei_Zhou_Chanting_FullSpeed.mp3" 52.0MB ?
Makasih seblonnya,
Makasih seblonnya,