Bukan-kah sama manfaat-nya menceritakan adanya sammasmabuddha lain di konstelasi dunia lain (yang sedang hidup dan mengajar) dengan cerita/kisah sammasambuddha jaman lampau yang sudah parinibbana.
Menurut saya berbeda.
Pertama dari segi alasan diceritakannya, kebanyakan kisah tentang Para Buddha di masa lampau bersinggungan dengan pengalaman Bodhisatta sendiri di masa lampau seperti kisah Bodhisatta yang menjadi Jotipala pada masa Buddha Kassapa dikisahkan karena pada saat itu Buddha Gotama melewati tempat di Kosala tempat di mana dulu Buddha Kassapa berdiam. Buddha Gotama tersenyum dan Ananda menanyakannya, maka dikhotbahkanlah Ghatikarasutta tersebut.
Sebab lain dari menyinggung kisah Buddha masa lampau adalah bercerita tentang sebab akibat masa lampau sehingga terjadi sesuatu di masa sekarang, seperti kisah Sivali yang tidak pernah kekurangan sebab pada jaman Buddha vipassi, ia pernah mendanakan madu pada Sangha (berjumlah 6.8 juta bhikkhu).
Hal semacam ini berhubungan hanya pada Buddha masa lampau, tidak ada hubungannya dengan Buddha sekarang di galaksi lain.
Yang ke dua adalah masalah spekulasi. Baik Buddha masa lampau, masa sekarang di galaksi lain, dan masa depan, adalah di luar jangkauan manusia normal. Tanpa kemampuan bathin mengingat kehidupan lampau dan mata dewa yang luar biasa, tidak akan bisa membuktikannya.
Namun mengenai Buddha masa lampau, selalu dikisahkan betapa agung dan dahsyat Buddhasasana tersebut, hanya bertahan sekian tahun, lalu akan menurun, rusak, dan terlupakan. Ini mengingatkan kita betapa segala hal yang berkondisi adalah sangat rapuh dan tidak kekal. Buddhasasana di masa sekarang juga kita bisa lihat langsung perubahannya. Tapi Buddhasasana sekarang di galaksi lain akan menjadi spekulasi orang apakah lebih baik, lebih bertahan lama, sama/berbeda dengan Buddhasasana di sini sekarang. Ini perbedaannya.
NB: Buddha di masa depan, Metteyya, dikisahkan dalam konteks 'evolusi' dari manusia yang taat pada dhamma dan hidup bahagia, kemudian mulai menyimpang dan turun sampai titik terendah, lalu mulai membaik lagi, sampai akhirnya memuncak di Jaman Buddha Metteyya nanti. Intisari dari khotbah tersebut adalah agar seseorang selalu menjadikan diri sendiri sebagai pelindung, menjadikan dhamma sebagai pelita hidup, bukan 'menantikan Buddha Metteyya di masa depan'.