//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: ATHEIS PIETIS - Oleh Aajin Sangmusafir  (Read 23246 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline junxiong

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 940
  • Reputasi: 12
  • Gender: Male
  • Semoga semua mahluk berbahagia
ATHEIS PIETIS - Oleh Aajin Sangmusafir
« on: 13 December 2010, 10:29:26 PM »
Hallo bro2 dan sis2,
Namo Amitabha _/\_
Kebetulan saya menemukan catatan yang sangat menarik ketika browsing. Tidak tahu apakah sudah ada atau belum
Terakhir di search sih tidak ada. Semoga tidak repost  ^:)^


Tahun ini adalah tahun yang membingungkan buatku. Baru di tahun ini rasanya aku merasa musim kemarau datang hanya sesaat. Bahkan bulan Agustus yang biasanya terik menyengat, malah menjadi dingin menusuk. Apa lagi kami tinggal di kota dimana hujan turun dengan melimpah.

Setiap kali hujan, biasanya manusia cenderung ogah, mengkerut dan moody. Begitu pula dengan saya saat ini. Malam menjelang, namun hujan gerimis yang mengguyur bumi dari tadi sore masih tampak jumawa, enggan berhenti. Dan tiap kali hujan gerimis turun, aku merasakan kesenduan, keheningan dan kehilangan. Kehilangan akan seseorang yang begitu bermakna. Kehilangan yang tidak akan mampu ditebus lagi. Kehilangan akan seseorang yang begitu dirindukan. Ia bukan pacar. Ia bukan saudara atau kerabat. Ia hanya seorang yang datang sesaat dalam kehidupanku, dan menyapaku dalam caranya yang lugu, khas dan sederhana, namun dampaknya bagaikan hantaman puting beliung dalam kepalaku. Ia hanya seorang laki-laki tua sederhana.

Beginilah ceritanya:

Sekitar dua puluhan tahun lalu, ketika aku masih muda, aku senang bepergian sendiri sebagai backpacker ke kota-kota sebelah timur, seperti Jogja, Magelang, Semarang, Kediri, Malang, Surabaya, Bali, bahkan sampai Papua. Berbekal uang seadanya dan saxophone untuk mengamen aku terbiasa pergi dari rumah sampai 2 bulan lebih.  Karena  cara mengamenku yang agak elite, mudah bagiku untuk mendapatkan uang ala kadarnya untuk melanjutkan perjalanan atau balik ke Jakarta. Itu aku lakukan sebelum kuliah dan selama liburan semester.

Suatu waktu kakiku menyeret tubuh dan sukmaku di jalanan kota kecil magelang. Saat itu malam hari dan hujan gerimis turun. Losmen yang aku tuju masih sekitar 500 meter lagi. Dan perut sudah keroncongan.  Di jajaran sebelah kiri aku lihat hanya ada sebuah warung angkringan. Sepi pula. Sop Buntut  dan Kaki Sapi Si Mbah. Demikian nama warung itu. Siapa nama Si mbah itu, tidak dituliskan. Namun aku berasumsi Si Mbah ini pasti sudah terkenal, jadi tidak perlu menuliskan lagi namanya.

Sesuai dengan nama warungnya, si pemilik memang sudah tua, kira-kira pertengahan awal 60an. Dengan sigap ia melayani pesananku. Tangannya yang ringkih dan keriput menciduk kuah sop di kuali. Sekalipun sendok sayur yang ia gunakan tidaklah panjang, tidak proporsional di bandingkan besarnya kuali kuah itu, tangannya tidak perlu merogoh sampai ke dasar. Terlihat jelas dari cara ia menciduk air kuah bahwa barang dagangannya masih banyak. Padahal ini sudah pukul 10 malam. Hujan gerimis dari tadi sore memang nampaknya tidak memberi ampun buat para pedagang angkringan ini.

Wajah pa tua ini kelihatan tegar.  Ia tampak santai tapi serius dengan sesuatu yang ada di kepalanya. Aku perhatikan sesekali bibirnya bergumam dan mengucapkan sesuatu yang tidak aku pahami.

“Silahkan mas dimakan,” sambil menyodorkan pesananku di meja.

“Trima kasih, pak,” aku jawab. Tanpa banyak menunggu langsung aku lahap sop kaki sapi ini.

Ia kembali ke tempat duduknya dan bibirnya terus mengucapkan sesuatu. Aku jadi tertarik ingin berbincang2 dengannya.

“Pak. Kalau boleh, kenapa bapak tidak duduk di sini saja? Khan gak ada orang lagi, cuma berdua. Dari pada anteng sendiri-sendiri mendingan kita ngobrol,” undangku.

“Wah, nanti Si mbah merepotkan, mas.”

“Apa yang direpotkan tokh pa?” tanyaku sampai meninggikan alis mataku, mengundangnya sekali lagi. Ia pun akhirnya duduk di depanku.

“Mas bukan dari orang kota ini,ya? Si mbah rasanya baru lihat.”

“Saya dari Jakarta, Mbah,” sekarang aku memberanikan diri menyebutnya mbah, sebagaimana ia menyebut dirinya.
 
“Sedang liburan mas?”

“Tidak Mbah, saya tukang ngamen. Cari duit dan pengalaman di sela-sela kuliah. Saya bawa alat tiup. Cuman malam ini saya lagi malas

karena hujan,” sambil aku menunjukan hard case saxophoneku. 

“Bagus sekali, mas. Jarang sekali si Mbah lihat pengamen pake saxophone.”

Lha kapan aku bilang saxophone, koq dia sudah tahu itu saxophone? Mungkin si mbah itu bukan orang udik. Mungkin di masa mudanya dia sering berdansa waltz atau cha-cha.

“Mbah sendirian berdagangnya?”

“Enggak mas, si mbah ditemani istri, dan seorang laden, tapi sekarang istri saya suruh pulang dan laden sedang ada perlu dulu. Nanti sebentar lagi dia datang.”

“Malam ini hujan terus ya Mbah. Orang pada males keluar rumah.”

“Ya begitulah,  mas. Daganganpun belum banyak laku. Tapi hidupkan harus tetap tabah dijalani. Sabar lan mantep aja mas.” Suaranya agak mendesah, namun tidak terkesan memelas.

“Mbah, dari tadi saya perhatikan mbah seperti sedang wiridan. Membaca asma Allah yah?” tanyaku penuh selidik.

“hahahhaha enggak mas. Mmm maksud si mbah itu bukan wiridan seperti yang mas pikirkan. Koq si mas perhatian banget sih?”

“Apaan dong mbah? Kalau boleh saya tahu. Saya pikir tadi si mbah wiridan supaya minta Allah hentikan hujan atau supaya orang banyak beli hehhe.”

“Si mbah menjapa Nammo Amitabha, mas,” jawabnya agak malu.

Ternyata si Mbah ini bukan muslim, tapi seorang buddhis. Oh bodohnya aku. Ini kan jawa tengah bukan Kampung Makassar di Jakarta. Dan aku berada di Magelang. Tentu saja ada banyak pemeluk Buddha di kota ini.

“Oh jadi si Mbah agamanya Buddha yah? Saya kira tadi si Mbah memanggil azma Allah.”

“Ah mas, kalo masalah agama, si Mbah ini orang bodoh, jadi gak tahu apa-apa. Maklum orang kampung. Apakah si mbah ini orang Buddha?  si mbah sendiri jarang ke vihara. Nanti kalau si mbah ini ngaku-ngaku orang Buddha malah mempermalukan orang-orang vihara.”

Nampaknya si pak tua ini menyembunyikan sesuatu dalam jawaban yang terkesan ditutup-tutupinya itu.

“Jadi kalau mbah memanggil-manggil Amitabha, itu gunanya untuk apa Mbah? Bukannya meminta hujan berhenti atau pembeli banyak berdatangan?” godaku. Ada sedikit rasa merendahkan dalam pertanyaanku.

Dari kecil sampai pradewasa aku dididik dalam islam militan. Guru-guru mengajiku mengajarkanku bahwa hanya islam agama yang diridhoi oleh Allah ta’ala. Agama lain sudah sesat dan palsu. Kitabnya dirubah-rubah sekehendak udel sendiri. Orang kr****n menuhankan manusia, tuhanya ada tiga, tuhan bapa, tuhan ibu dan tuhan anak. Orang Buddha dan Hindu memuja-muja patung yang mereka pahat sendiri. Pokoknya hanya ajaran islam yang luhur, murni, terakhir dan sempurna.

Waktu aku SMP aku dibawa saudara ke tanggerang melihat-lihat vihara dekat rumahnya. Banyak orang keturunan cina yang membawa buah-buahan ke depan patung. Wah bodoh sekali mereka patung koq dikasih makan buah-buahan. Tapi saudaraku yang lebih tua segera menukas, “Setidaknya tuhan mereka tidak meminta persembahan mahluk bernyawa,” katanya. Aku terlalu kecil untuk memahami makna kalimatnya. Orang-orang cina itu cuman pemuja Buddha dan Kong hucu yang tung-tung cep, alias orang2 yang muja-muji dewa dewi tunggak-tunggik kemudian nancepin hio cuman untuk minta diberkati secara material. Itulah apriori yang ada dibenakku selama ini.
 
“Mas, si mbah ini orang bodo, udik, dan tua, gak ngerti ajaran-ajaran Buddha dan agama. Jadi kalau si mas mau tanya ini itu,  si mbah ga bisa jawab. Berapa kilo meter dari sini ada vihara mendut, mas bisa tanya tentang ajaran Buddha sama wiku-wiku di sana (orang tua ini masih menyebut biksu dengan panggilan wiku).

Tapi mas, buat si Mbah, agama bukan masalah ajaran, tapi masalah laku hidup, masalah roso dan eling.

Kalau si mbah menjapa ‘nammo Amitabha’, yang artinya terpujilah Amitabha, bukan berarti memanggil-manggil dewa dari alam lain buat membantu si Mbah, tapi membuat si mbah ini selalu eling, sadar akan setiap laku, dan roso dalam sukma si mbah.

Apakah dengan si Mbah memanggil Namo Amitabha, Amitabha akan datang menghentikan hujan dan mendorong para pembeli berbondong-bondong ke warung sini? tentu tidak. Sama sekali tidak terpikir demikian dalam benak si mbah. Berdagang itu ada kalanya laku, ada kalanya tidak. Itu sudah biasa mas. Hari itu ada kalanya terik ada kalanya mendung, itu sudah fitrah alam mas. Buat apa membawa-bawa nama yang suci hanya untuk kepentingan pribadi kita yang dangkal dan sempit? Hujan ini datang karena suatu sebab, dan akan berakhir karena suatu sebab. Biarkan saja terjadi atas dasar siklus alam.

Menurut umat Buddha, Buddha Amitabha itu tinggal di sebuah alam surga penuh sukacita yang bernama Sukhowati. Mereka yang memanggil-manggil namanya ketika meninggal akan dibawa ke alam itu untuk belajar menjadi seorang Buddha. Itu kata umat Buddha, tapi buat si Mbah gak percaya.”

“Lha kalau si Mbah gak percaya kenapa masih memanggil-manggilnya?” sergahku keheranan.

“Semua itu cuman cerita mas. Amitabha itu sebenarnya kita sendiri. Surga Sukhowati itu adalah tubuh kita sendiri.  Ketika si mbah menjapa Nammo Amitabha, bukan berarti si mbah memanggil suatu dewa atau mahluk ilahi untuk datang mewujud di hadapan saya, sama seperti kita yang duduk berhadap-hadapan seperti ini.

Memanggil Amitabha berarti membangunkan roso, eling dan laku lampah yang mulia dalam diri kita, sehingga tubuh ini bukan untuk diri sendiri tapi untuk menjadi alat kebaikan bagi sesama, mas.

Menjapa namo Amitabha berarti menghadirkan ingatan dan kesadaran akan berartinya hidup ini dan menggugah pikiran ini untuk menjadikan kehidupan nyata kita sebagai surga sukhowati, suatu tempat agar semua mahluk mendapatkan kesempatan hidup yang layak dan jauh dari permusuhan dan kebencian.

Apa benar surga sukhowati itu ada dan kita masuki ketika si mbah nanti mati? Si mbah juga ga tau. Yang si mbah tahu itu cuma cerita. Agama itu cuman metoda, mas, bukan tujuan. Gusti Allah itu bukan seseorang yang duduk di suatu surga atau suatu zat tertentu, tapi suatu idea mulia. Menyembah gusti Allah itu artinya membangunkan diri ini agar tetap eling dan menerima hidup apa adanya dan mengusahakan yang terbaik darinya. Bukan memuja-muji suatu pribadi lain di luar diri.
 
Dulu waktu muda, si mbah orang yang suka memberontak dan berpikir bebas. Si mbah mempelajari ajaran-ajaran Tan Malaka, Karl Marx dan Lenin. Dan semua ini membikin si mbah analitis, gak mudah percaya dengan cerita-cerita tentang surga dan neraka.  Tapi justru dengan itu si Mbah bisa dengan mudah melihat arti rohani di balik kisah2 indah dan menawan itu.

Diri inilah amitabha itu. Diri inilah Avalokitesvara yang sedang berkarya di bumi. Diri inilah Buddha. Siapa yang memahami  diri yang sesungguhnya ialah yang telah sadar, yang eling, yang roso nya melimpah dengan ketenangan dan kelembutan. Entah itu para wiku, ulama, pedande ataupun umat awam semua adalah sama, calon-calon sang Buddha, sang eling dalam diri ini. 

Begitulah Mas, apa yang bisa si Mbah ceritakan.”

Aku tergagap-gagap mencoba memahami apa yang diulasnya. Aku tak pernah mendengar hal serupa dari guru ngaji, ulama dan da’i. Ironis sekali, justru dari seorang penjual angkringan seperti si mbah ini aku mendapatkan pelajaran berharga, sekalipun apa yang ia ajarkan harus memakan waktu bertahun-tahun agar tembok kekeraskepalaan ini bisa ditumbangkan. Namun apa yang ia ajarkan bagaikan api kecil yang membakar sumbu dalam otakku. Kelak sumbu ini akan mengantarkan si api kepada bensin yang siap dibakar.   

Melihat aku yang tertegun kebingungan, si mbah berkata:

“Para agamawan, mas, seperti para penjaja yang berjualan air segar di pinggiran sungai yang jernih. Banyak dari mereka tidak rela para pembelinya menyadari bahwa air jualan itu di ambil dari sungai jernih di belakang kios mereka. Untuk itu mereka membangun kios bederet-deret panjang dan tinggi menjulang, agar para pembeli tidak menyadari kehadiran air sungai segar dan jernih di belakangnya.”

Gila. Gila. Orang tua ini seakan-akan mampu membaca isi kepalaku dan memotong jalur kebingungan dalam otakku. Aku terdiam membatu. Mau didebat gimana, dia memang benar, mau di amini gimana, aku masih terlalu kukuh dengan kecetekan cara berpikir islamku ini.

“Mas, hujannya sudah berhenti “ sapa si Mbah membangunkan lamunanku.

Waduh. Aku baru ingat. Penjaga losmen tadi pagi bilang kalau losmen akan ditutup jam 11 malam demi keamanan. Segera aku membayar jajananku dan mengucapkan beribu-ribu trimakasih kepada si Mbah telah meluangkan waktu mengobrol dan mengajariku. Aku katakan bahwa aku akan kembali ke Jakarta besok siang, tapi kalau ada waktu, aku akan kembali ke Magelang dan bersua lagi dengan si Mbah. Pak tua ini hanya tertawa renyah dan menepuk-nepuk pundakku.

“Hati-hati di jalan, Mas.”

 
Pemahamanku Saat Ini

Perlu bertahun-tahun bagiku untuk mengendapkan perkataan si Mbah itu ke dalam relung hatiku. Memang begitu sukar tembok fanatisme dan neurosis agama lahiriah ini untuk ditembus. Namun pengalaman itu menjadi poin pemicu dalam diriku untuk mempelajari agama dan kebatinan lewat beragam penelaahan filsafat, psikologi, budaya, dan kebatinan.

Dan pencarian ini mengantarkanku pada statement bahwa apa yang si Mbah itu cocok bagiku. Menurut telaah studi yang kulakukan secara otodidak tentang kebathinan dalam agama Buddha, aku temui bahwa Buddha Amitabha tertulis dalam kitab Amitayus Sutra. Sangat memungkinkan bahwa kitab ini ditulis oleh seorang filsuf dan Yogi Nagarjuna, kira-kira 500 tahun setelah Gautama wafat.

Dalam Samadhi yang mendalam Nagarjuna “melihat” (tolong perhatikan makna tanda petik itu) Gautama sedang mengajar murid-muridnya. Gautama menceritakan tentang adanya seorang Buddha yang bernama Amita / Amida Buddha. Buddha ini tadinya adalah seorang raja yang dipuncak kejayaannya ia malah memutuskan untuk menempuh jalan kesucian. Ketika ia mencapai kesadaran tertinggi atau manunggal dengan semesta ia digelari Amida Buddha. Amida berarti cahaya tanpa batas. Buddha berarti kesadaran, atau yang sadar. Buddha Amitabha berarti cahaya kesadaran tanpa batas. Yang berarti personifikasi dari sang ilahi itu sendiri, samudra kesadaran tanpa batas.

Dalam misinya mencerahkan umat manusia, Buddha Amitabha dibantu oleh dua orang boddhisatwa yaitu Boddhisatva Avalokitesvara, yang bagi orang cina di sebut Dewi Kuan Im, dan Boddhisatva Maha Stamaprapta. Avalokitesvara adalah personifikasi dari sifat kelembutan, cinta kasih,  kemaharahiman, dan pengayoman alam semesta, sedangkan Maha Stamaprapta adalah personifikasi dari Kebijaksanaan.

Bagi orang yang mata bathinnya tajam, tentu saja semua ini sudah jelas, bahwa sebenarnya Amitabha Buddha itu adalah alegori perjalanan spiritual Buddha Gautama itu sendiri, yang mendesak dan mengundang si pembaca untuk menyikapi hidup ini dengan tujuan-tujuan mulia, bukan sekedar hidup dan akhirnya mati dan berharap masuk surga.

Baik itu Amitabha, Avalokitesvara dan Maha Stamaprapta adalah aspek2 mulia dalam diri kita sendiri. Amitabha mencerminkan aspek kerinduan akan kesempurnaan, Avalokitesvara mencerminkan cinta kasih, dan Maha Stamaprapta mencerminkan kebijaksanaan. Bukankah ketiga sifat ini; kerinduan akan kesempurnaan (summum bonum), Cinta Kasih (agape) dan Kebijasanaan (sofia) adalah sifat mendasar yang mewarnai mereka penempuh jalan mistik atau kebathinan?

Nagarjuna menuliskan Amitayus sutra sebagai upaya revolusioner, karena pada saat itu para biksu dari Aliran Selatan menjadikan jalan kebikuan sebagai pelarian kekanak-kanakan, childish escapism, dari kesumpekan hidup. Ajaran Buddha menjadi begitu dogmatis dan hanya bertumpu pada tafsir-tafsir elitis biksu saja. Sementara umat awam hanya memahami ajaran Gautama dari luarnya saja, para biksu malah disibukan dengan perbantahan dogma abstrak, winaya dan perselisihan antar sekte. Mereka sibuk dengan “nirwananya” sendiri. Adalah Nagarjuna, seorang yogi dan filsuf besar, bersama biksu dan yogi dari utara yang membidani Aliran Utara yg nantinya disebut Mahayana, kendaraan besar. Kenapa disebut kendaraan besar? karena kesucian dan kebuddhaan bukan hanya dicapai oleh sekelompok petapa berkepala pelontos saja (calon arahat), namun oleh semua orang, pria dan wanita umat awam yang membaktikan hidupnya dalam praksis kehidupan sehari-hari (jalan kebodhisatwaan).

Diri inilah Amitabha, diri inilah Avalokitesvara, dan diri inilah Buddha, yang telah eling dalam roso yang mendalam. Itulah kata si Mbah.

Dua tahun setelah kejadian itu, ketika aku mulai memahami lebih dalam perkataan si Mbah, aku kembali menapaki jalanan kota Magelang. Aku mencari kedai angkringannya. Namun sia-sia. Tempat angkringan itu telah berganti penghuni. Si penjual baru mengatakan bahwa si Mbah telah meninggal setahun sebelumnya. Dia sendiri tidak begitu kenal dengannya dan tidak tahu dimana pusara beliau. Mengalir air mata ini. Bersama dengan menangisnya langit malam Magelang saat itu.

Satu sesal yang tak kunjung berakhir dalam diri ini, kenapa aku tak sempat bertanya nama si Mbah. Nama apakah yang cocok buat aku sematkan padanya? Mbah Buddha? Mbah Amitabha? Rasanya tidak cocok. Mungkin yang cocok si Mbah sang Atheis Pietis. Atheis yang Suci.
……………………………

“Sopnya sudah siap,  pah. Cepet dimakan mumpung lagi panas. Dari tadi koq papah cuman menatapi jendela melihat hujan saja”

Aku terbangunkan dari lamunanku oleh suara merdu istriku. Sambil menyodorkan sop buntut. Loh koq seperti kebetulan. Hujan deras, malam yang dingin dan semangkuk sop buntut panas plus nasinya.

Tanpa sadar aku bergumam, “Amitabha. Amitabha”

“Ihhhh papah bicara apa sihhhhh?” seru istriku yang keheranan.

“Oh tidak…tidak…… itu artinya mensyukuri hidup kesempatan hidup yang indah ini yang memperkenalkan saya pada hidup yang mulia bersama seorang istri cantik yang setia.” Kataku mencari-cari alasan. Habis mau jelasin panjang lebar gimana?
 
“Ahhhh papah ini ada-ada saja.” Katanya.

“Ayo kita makan bersama di meja makan saja Mah, jangan di ruang kantor.” 

Istriku tersenyum, mencoba menebak-nebak apa yang dari tadi ada dalam benakku ini.
"The most likely way for the world to be destroyed, most experts argue, is by accident. That’s where we come in; we’re computer professionals. We cause accidents." - Nathaniel Borenstein

Offline Edward

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.968
  • Reputasi: 85
  • Gender: Male
  • Akulah yang memulai penderitaan ini.....
Re: ATHEIS PIETIS - Oleh Aajin Sangmusafir
« Reply #1 on: 13 December 2010, 11:11:43 PM »
Si Mbah yang menjual sop daging dan mengaku "bodoh" membaca Tan Malaka, Carl Max , Lenin?
Rada2 sulit dipercaya... Gw aj baru baca buku tokoh tersebut pas dipaksa dgn disuruh bikin ringkasan sama dosen... Sadies..
Btw, ini cerita fiksi atau nyata?
“Hanya dengan kesabaran aku dapat menyelamatkan mereka....."

Offline junxiong

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 940
  • Reputasi: 12
  • Gender: Male
  • Semoga semua mahluk berbahagia
Re: ATHEIS PIETIS - Oleh Aajin Sangmusafir
« Reply #2 on: 13 December 2010, 11:20:17 PM »
ntahlah
yang pasti sangat mengena ucapan si Mbah itu...
"The most likely way for the world to be destroyed, most experts argue, is by accident. That’s where we come in; we’re computer professionals. We cause accidents." - Nathaniel Borenstein

Offline Wijayananda

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 532
  • Reputasi: 69
  • Gender: Male
  • Semua akan berlalu...
Re: ATHEIS PIETIS - Oleh Aajin Sangmusafir
« Reply #3 on: 14 December 2010, 06:23:36 AM »
Ini adalah catatan seseorang yg bernana AA jin sang musafir difacebook..dia dasarnya seorang i**** tp sekarang mengaku sbg seorang pencari kebenaran/spiritualistis yg lepas dr sekat2 dogma agama2...catatan2nya sgt bgs dan pintar serta mengajak ulang kt berpikir ttg kepercayaan thd agama yg membabi buta...

Offline williamhalim

  • Sebelumnya: willibordus
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.869
  • Reputasi: 134
  • Gender: Male
Re: ATHEIS PIETIS - Oleh Aajin Sangmusafir
« Reply #4 on: 14 December 2010, 10:21:35 AM »
^
yup, terlepas dari ceritanya asli atau fiksi, namun tulisan2nya cukup trampil untuk membuka ruang2 baru bagi pemikiran kita....

::
Walaupun seseorang dapat menaklukkan beribu-ribu musuh dalam beribu kali pertempuran, namun sesungguhnya penakluk terbesar adalah orang yang dapat menaklukkan dirinya sendiri (Dhammapada 103)

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: ATHEIS PIETIS - Oleh Aajin Sangmusafir
« Reply #5 on: 14 December 2010, 12:50:25 PM »
jadi intinya amitabha itu hanya ilusi yak? ;D
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline tesla

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.426
  • Reputasi: 125
  • Gender: Male
  • bukan di surga atau neraka, hanya di sini
Re: ATHEIS PIETIS - Oleh Aajin Sangmusafir
« Reply #6 on: 14 December 2010, 12:53:52 PM »
jadi intinya amitabha itu hanya ilusi yak? ;D

kayanya bukan. justru katanya
"Diri inilah Amitabha, diri inilah Avalokitesvara, dan diri inilah Buddha, yang telah eling dalam roso yang mendalam. Itulah kata si Mbah."

yg ilusi justru Amitabha yg dicari2.
Lepaskan keserakahan akan kesenangan. Lihatlah bahwa melepaskan dunia adalah kedamaian. Tidak ada sesuatu pun yang perlu kau raup, dan tidak ada satu pun yang perlu kau dorong pergi. ~ Buddha ~

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: ATHEIS PIETIS - Oleh Aajin Sangmusafir
« Reply #7 on: 14 December 2010, 12:58:36 PM »
kayanya bukan. justru katanya
"Diri inilah Amitabha, diri inilah Avalokitesvara, dan diri inilah Buddha, yang telah eling dalam roso yang mendalam. Itulah kata si Mbah."

yg ilusi justru Amitabha yg dicari2.
Dalam Samadhi yang mendalam Nagarjuna “melihat” (tolong perhatikan makna tanda petik itu) Gautama sedang mengajar murid-muridnya. Gautama menceritakan tentang adanya seorang Buddha yang bernama Amita / Amida Buddha. Buddha ini tadinya adalah seorang raja yang dipuncak kejayaannya ia malah memutuskan untuk menempuh jalan kesucian. Ketika ia mencapai kesadaran tertinggi atau manunggal dengan semesta ia digelari Amida Buddha. Amida berarti cahaya tanpa batas. Buddha berarti kesadaran, atau yang sadar. Buddha Amitabha berarti cahaya kesadaran tanpa batas. Yang berarti personifikasi dari sang ilahi itu sendiri, samudra kesadaran tanpa batas.



sepertinya itu deh yang perlu diperhatikan ;D
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline Balhamoth

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 128
  • Reputasi: 6
  • Gender: Male
  • semoga semua makhluk hidup bahagia
Re: ATHEIS PIETIS - Oleh Aajin Sangmusafir
« Reply #8 on: 14 December 2010, 01:16:44 PM »
tulisannya bagus! :) _/\_
Ada yang mengukur hidup mereka dari hari dan tahun
Yang lain dengan denyut jantung, gairah, dan air mata
Tapi ukuran sejati di bawah mentari
Adalah apa yang telah engkau lakukan dalam hidup ini
Untuk orang lain - Ruth Smiller

Offline tesla

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.426
  • Reputasi: 125
  • Gender: Male
  • bukan di surga atau neraka, hanya di sini
Re: ATHEIS PIETIS - Oleh Aajin Sangmusafir
« Reply #9 on: 14 December 2010, 01:20:33 PM »
Dalam Samadhi yang mendalam Nagarjuna “melihat” (tolong perhatikan makna tanda petik itu) Gautama sedang mengajar murid-muridnya. Gautama menceritakan tentang adanya seorang Buddha yang bernama Amita / Amida Buddha. Buddha ini tadinya adalah seorang raja yang dipuncak kejayaannya ia malah memutuskan untuk menempuh jalan kesucian. Ketika ia mencapai kesadaran tertinggi atau manunggal dengan semesta ia digelari Amida Buddha. Amida berarti cahaya tanpa batas. Buddha berarti kesadaran, atau yang sadar. Buddha Amitabha berarti cahaya kesadaran tanpa batas. Yang berarti personifikasi dari sang ilahi itu sendiri, samudra kesadaran tanpa batas.

sepertinya itu deh yang perlu diperhatikan ;D

iya, menurut pemahaman Mahayana sih kira2 seperti ini:
dalam mahayana (sebenarnya sih di aliran lain iya juga tp di mahayana lebih jelas), faktor2 pencerahan dll dilambangkan sbg suatu person. mis Amitabha melambangkan kebijaksanaan. Avalokitesvera melambangkan kasih sayang/metta. Mara melambangkan pemuasan nafsu.
jadi semua mahkluk itu sebenarnya punya benih Kebudhaan, Buddha Amitaba, Avalokitesvara, dll

tambahan dalam penyampaiannya, karena faktor2 tadi sudah menjadi person (personifikasi). maka biasa ada legendanya, di mana hasil person tadi menunjukkan karakteristiknya.
« Last Edit: 14 December 2010, 01:22:05 PM by tesla »
Lepaskan keserakahan akan kesenangan. Lihatlah bahwa melepaskan dunia adalah kedamaian. Tidak ada sesuatu pun yang perlu kau raup, dan tidak ada satu pun yang perlu kau dorong pergi. ~ Buddha ~

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: ATHEIS PIETIS - Oleh Aajin Sangmusafir
« Reply #10 on: 14 December 2010, 01:27:51 PM »
iya, menurut pemahaman Mahayana sih kira2 seperti ini:
dalam mahayana (sebenarnya sih di aliran lain iya juga tp di mahayana lebih jelas), faktor2 pencerahan dll dilambangkan sbg suatu person. mis Amitabha melambangkan kebijaksanaan. Avalokitesvera melambangkan kasih sayang/metta. Mara melambangkan pemuasan nafsu.
jadi semua mahkluk itu sebenarnya punya benih Kebudhaan, Buddha Amitaba, Avalokitesvara, dll

tambahan dalam penyampaiannya, karena faktor2 tadi sudah menjadi person (personifikasi). maka biasa ada legendanya, di mana hasil person tadi menunjukkan karakteristiknya.
apakah memang demikian mahayanis memahami amitabha seperti itu? juga seperti ksitigargha buddha, avalokitesvara dll apakah hanya lambang saja atau simbol?
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline morpheus

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.750
  • Reputasi: 110
  • Ragu pangkal cerah!
Re: ATHEIS PIETIS - Oleh Aajin Sangmusafir
« Reply #11 on: 14 December 2010, 01:45:56 PM »
demikian yg owe dengar dari mahayanis dan tibetan... memang begini pemahaman dan praktik yg seharusnya.
* I'm trying to free your mind, Neo. But I can only show you the door. You're the one that has to walk through it
* Neo, sooner or later you're going to realize just as I did that there's a difference between knowing the path and walking the path

Offline andry

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 4.117
  • Reputasi: 128
Re: ATHEIS PIETIS - Oleh Aajin Sangmusafir
« Reply #12 on: 14 December 2010, 02:07:32 PM »
ya, saya rasa paham mengenai amitabha dan avalokitesvara itu bukan untuk di perdebatkan/di diskusikan lebih dalam. tapi lebih ke pemaknaan dan pen"nyelaman".
Samma Vayama

Offline Blacquejacque

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 229
  • Reputasi: 7
Re: ATHEIS PIETIS - Oleh Aajin Sangmusafir
« Reply #13 on: 14 December 2010, 03:37:31 PM »
iya, menurut pemahaman Mahayana sih kira2 seperti ini:
dalam mahayana (sebenarnya sih di aliran lain iya juga tp di mahayana lebih jelas), faktor2 pencerahan dll dilambangkan sbg suatu person. mis Amitabha melambangkan kebijaksanaan. Avalokitesvera melambangkan kasih sayang/metta. Mara melambangkan pemuasan nafsu.
jadi semua mahkluk itu sebenarnya punya benih Kebudhaan, Buddha Amitaba, Avalokitesvara, dll

tambahan dalam penyampaiannya, karena faktor2 tadi sudah menjadi person (personifikasi). maka biasa ada legendanya, di mana hasil person tadi menunjukkan karakteristiknya.

"Menurut pemahaman saya mengenai pandangan mahayana" adalah kalimat yang lebih tepat.

Offline tesla

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.426
  • Reputasi: 125
  • Gender: Male
  • bukan di surga atau neraka, hanya di sini
Re: ATHEIS PIETIS - Oleh Aajin Sangmusafir
« Reply #14 on: 14 December 2010, 03:44:00 PM »
"Menurut pemahaman saya mengenai pandangan mahayana" adalah kalimat yang lebih tepat.
mahayana adalah saya ;)
Lepaskan keserakahan akan kesenangan. Lihatlah bahwa melepaskan dunia adalah kedamaian. Tidak ada sesuatu pun yang perlu kau raup, dan tidak ada satu pun yang perlu kau dorong pergi. ~ Buddha ~

Offline Aryacetana

  • Bukan Tamu
  • *
  • Posts: 44
  • Reputasi: 3
  • Gender: Male
  • Buddhist KTP (Kritis, To-the-Point)
« Last Edit: 14 December 2010, 03:58:28 PM by Aryacetana »
i'm a non-god-ly human being _/\_
it means if gods (of any religions) try to play 'GOD' on me, i will 'HUMAN-ize' them :))

Offline junxiong

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 940
  • Reputasi: 12
  • Gender: Male
  • Semoga semua mahluk berbahagia
"The most likely way for the world to be destroyed, most experts argue, is by accident. That’s where we come in; we’re computer professionals. We cause accidents." - Nathaniel Borenstein

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: ATHEIS PIETIS - Oleh Aajin Sangmusafir
« Reply #17 on: 14 December 2010, 08:31:13 PM »
iya, menurut pemahaman Mahayana sih kira2 seperti ini:
dalam mahayana (sebenarnya sih di aliran lain iya juga tp di mahayana lebih jelas), faktor2 pencerahan dll dilambangkan sbg suatu person. mis Amitabha melambangkan kebijaksanaan. Avalokitesvera melambangkan kasih sayang/metta. Mara melambangkan pemuasan nafsu.
jadi semua mahkluk itu sebenarnya punya benih Kebudhaan, Buddha Amitaba, Avalokitesvara, dll

tambahan dalam penyampaiannya, karena faktor2 tadi sudah menjadi person (personifikasi). maka biasa ada legendanya, di mana hasil person tadi menunjukkan karakteristiknya.
kalau mengacu di wiki, sepertinya mahayana ada perubahan gara2 terpengaruh aliran lain sehingga merubah esensi ajaran buddha

Quote
Berkembangnya aliran Mahayana (Abad Pertama SM-Abad ke-2)
Koin emas Kekaisaran Kushan memperlihatkan maharaja Kanishka I (~100–126 Masehi) dengan sebuah lukisan Helenistik Buddha, dan kata "Boddo" dalam huruf Yunani.

Berkembangnya agama Buddha Mahayana dari abad ke-1 SM diiringi dengan perubahan kompleks politik di India barat laut. Kerajaan-kerajaan Yunani-India ini secara bertahap dikalahkan dan diasimilasi oleh kaum nomad Indo-Eropa yang berasal dari Asia Tengah, yaitu kaum Schytia India, dan lalu kaum Yuezhi, yang mendirikan Kekaisaran Kushan dari kira-kira tahun 12 SM.

Kaum Kushan menunjang agama Buddha dan konsili keempat Buddha kemudian dibuka oleh maharaja Kanishka, pada kira-kira tahun 100 Masehi di Jalandhar atau di Kashmir. Peristiwa ini seringkali diasosiasikan dengan munculnya aliran Mahayana secara resmi dan pecahnya aliran ini dengan aliran Theravada. Mazhab Theravada tidak mengakui keabsahan konsili ini dan seringkali menyebutnya "konsili rahib bidaah".

Konon Kanishka mengumpulkan 500 bhiksu di Kashmir, yang dikepalai oleh Vasumitra, untuk menyunting Tripitaka dan memberikan komentar. Maka konon pada konsili ini telah dihasilkan 300.000 bait dan lebih dari 9 juta dalil-dalil. Karya ini memerlukan waktu 12 tahun untuk diselesaikan.

Konsili ini tidak berdasarkan kanon Pali yang asli (Tipitaka). Sebaliknya, sekelompok teks-teks suci diabsahkan dan juga prinsip-prinsip dasar doktrin Mahayana disusun. Teks-teks suci yang baru ini, biasanya dalam bahasa Gandhari dan aksara Kharosthi kemudian ditulis ulang dalam bahasa Sansekerta yang sudah menjadi bahasa klasik. Bagi banyak pakar hal ini merupakan titik balik penting dalam penyebaran pemikiran Buddha.

Wujud baru Buddhisme ini ditandai dengan pelakuan Buddha yang mirip dilakukan bagaikan Dewa atau bahkan Tuhan. Gagasan yang berada di belakangnya ialah bahwa semua makhluk hidup memiliki alam dasar Buddha dan seyogyanya bercita-cita meraih "Kebuddhaan". Ada pula sinkretisme keagamaan terjadi karena pengaruh banyak kebudayaan yang berada di India bagian barat laut dan Kekaisaran Kushan.

http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Agama_Buddha
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline Edward

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.968
  • Reputasi: 85
  • Gender: Male
  • Akulah yang memulai penderitaan ini.....
Re: ATHEIS PIETIS - Oleh Aajin Sangmusafir
« Reply #18 on: 14 December 2010, 08:40:28 PM »
wah, yg nulis ttng mahayana di wiki versi indo perlu diprotes neh... beda dgn yg versi inggris...
http://en.wikipedia.org/wiki/History_of_Buddhism
Kalo diperhatikan, parah jg yah yg versi indo ini... terutama pada kalimat
Quote
Konsili ini tidak berdasarkan kanon Pali yang asli (Tipitaka). Sebaliknya, sekelompok teks-teks suci diabsahkan dan juga prinsip-prinsip dasar doktrin Mahayana disusun. Teks-teks suci yang baru ini, biasanya dalam bahasa Gandhari dan aksara Kharosthi kemudian ditulis ulang dalam bahasa Sansekerta yang sudah menjadi bahasa klasik. Bagi banyak pakar hal ini merupakan titik balik penting dalam penyebaran pemikiran Buddha.

Fakta + opini = pembentukan persepsi  :|
« Last Edit: 14 December 2010, 08:45:25 PM by Edward »
“Hanya dengan kesabaran aku dapat menyelamatkan mereka....."

Offline junxiong

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 940
  • Reputasi: 12
  • Gender: Male
  • Semoga semua mahluk berbahagia
Re: ATHEIS PIETIS - Oleh Aajin Sangmusafir
« Reply #19 on: 14 December 2010, 08:51:43 PM »
secara aturan sih Wikipedia Indonesia tidak perlu ada keharusan sama dengan wikipedia Indonesia....
tetapi karena banyak paragrafnya yang tidak ada catatan kaki/kutipan, (faktanya di wikipedia versi Indonesia banyak yang tidak ada catatan kaki) maka isi teks ini memang boleh dipertanyakan..
"The most likely way for the world to be destroyed, most experts argue, is by accident. That’s where we come in; we’re computer professionals. We cause accidents." - Nathaniel Borenstein

Offline Satria

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 673
  • Reputasi: -17
  • Semoga semua mahluk berbahagia
Re: ATHEIS PIETIS - Oleh Aajin Sangmusafir
« Reply #20 on: 14 December 2010, 09:21:01 PM »
setiap agama dihadapkan kepada kesalahan fahaman sebagian besar umat terhadapnya.

setiap orang yang selalu menemukan sisi faham yang salah dari setiap agama, maka ia akan menciptakan agama baru.

setiap orang yang selalu menemuhan sisi faham yang benar dari setiap agama, maka ia akan melihat bahwa agama itu satu.

setiap orang yang sombong dengan label agamanya, ia tidak dapat melihat kebenaran di dalam ajaran agama orang lain. inilah fanatisme.

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: ATHEIS PIETIS - Oleh Aajin Sangmusafir
« Reply #21 on: 14 December 2010, 10:12:52 PM »
setiap agama dihadapkan kepada kesalahan fahaman sebagian besar umat terhadapnya.

setiap orang yang selalu menemukan sisi faham yang salah dari setiap agama, maka ia akan menciptakan agama baru.

setiap orang yang selalu menemuhan sisi faham yang benar dari setiap agama, maka ia akan melihat bahwa agama itu satu.

setiap orang yang sombong dengan label agamanya, ia tidak dapat melihat kebenaran di dalam ajaran agama orang lain. inilah fanatisme.
masa?
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline adi lim

  • Sebelumnya: adiharto
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 4.993
  • Reputasi: 108
  • Gender: Male
  • Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta
Re: ATHEIS PIETIS - Oleh Aajin Sangmusafir
« Reply #22 on: 15 December 2010, 05:57:42 AM »
setiap agama dihadapkan kepada kesalahan fahaman sebagian besar umat terhadapnya.

setiap orang yang selalu menemukan sisi faham yang salah dari setiap agama, maka ia akan menciptakan agama baru.

setiap orang yang selalu menemuhan sisi faham yang benar dari setiap agama, maka ia akan melihat bahwa agama itu satu.

setiap orang yang sombong dengan label agamanya, ia tidak dapat melihat kebenaran di dalam ajaran agama orang lain. inilah fanatisme.

sepertinya kata 'fanatisme' istilah dari tetangga deh  :whistle:
 _/\_
Seringlah PancaKhanda direnungkan sebagai Ini Bukan MILIKKU, Ini Bukan AKU, Ini Bukan DIRIKU, bermanfaat mengurangi keSERAKAHan, mengurangi keSOMBONGan, Semoga dapat menjauhi Pandangan SALAH.

Offline adi lim

  • Sebelumnya: adiharto
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 4.993
  • Reputasi: 108
  • Gender: Male
  • Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta
Re: ATHEIS PIETIS - Oleh Aajin Sangmusafir
« Reply #23 on: 15 December 2010, 06:00:22 AM »
kalau mengacu di wiki, sepertinya mahayana ada perubahan gara2 terpengaruh aliran lain sehingga merubah esensi ajaran buddha

http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Agama_Buddha

bisa juga benar ! 8)

 _/\_
Seringlah PancaKhanda direnungkan sebagai Ini Bukan MILIKKU, Ini Bukan AKU, Ini Bukan DIRIKU, bermanfaat mengurangi keSERAKAHan, mengurangi keSOMBONGan, Semoga dapat menjauhi Pandangan SALAH.

Offline Aryacetana

  • Bukan Tamu
  • *
  • Posts: 44
  • Reputasi: 3
  • Gender: Male
  • Buddhist KTP (Kritis, To-the-Point)
Re: ATHEIS PIETIS - Oleh Aajin Sangmusafir
« Reply #24 on: 15 December 2010, 01:30:27 PM »
kalau mengacu di wiki, sepertinya mahayana ada perubahan gara2 terpengaruh aliran lain sehingga merubah esensi ajaran buddha

http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Agama_Buddha

Ryu, aliran lain = kr****n (dari Yunani) ;D , krishna (dari India) :)) , mithra (dari Persia) ;) ?
i'm a non-god-ly human being _/\_
it means if gods (of any religions) try to play 'GOD' on me, i will 'HUMAN-ize' them :))

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: ATHEIS PIETIS - Oleh Aajin Sangmusafir
« Reply #25 on: 15 December 2010, 03:36:38 PM »
Ryu, aliran lain = kr****n (dari Yunani) ;D , krishna (dari India) :)) , mithra (dari Persia) ;) ?
keknya sih yunani
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline Aryacetana

  • Bukan Tamu
  • *
  • Posts: 44
  • Reputasi: 3
  • Gender: Male
  • Buddhist KTP (Kritis, To-the-Point)
Re: ATHEIS PIETIS - Oleh Aajin Sangmusafir
« Reply #26 on: 24 December 2010, 10:24:21 AM »
keknya sih yunani

bukannya kr****n adopsi dari krishna? ;D
i'm a non-god-ly human being _/\_
it means if gods (of any religions) try to play 'GOD' on me, i will 'HUMAN-ize' them :))

Offline Meliodas Amirta

  • Bukan Tamu
  • *
  • Posts: 20
  • Reputasi: 0
  • Semoga semua mahluk berbahagia
Re: ATHEIS PIETIS - Oleh Aajin Sangmusafir
« Reply #27 on: 06 August 2016, 06:10:34 PM »
testing