Betul. Apa yang orang awam sebut sebagai "aku" adalah Panca Khanda dalam terminologi Buddhisme. Buddha mengatakan khanda inilah penderitaan. Sejauh ini, saya rasa tetap sesuai.
Istilah "aku" yang ditekankan dalam MMD adalah
"aku sebagai pikiran yang belum berhenti". Dalam MMD, yang disebut penderitaan adalah "pikiran yang belum berhenti". MMD tidak pernah membahas fisik jasmani adalah penderitaan. Jadi secara tersirat, MMD menyatakan bahwa catukkhandha adalah penderitaan.
Ini yang memang sedikit rancu. Di kutipan Bro ryu dikatakan:
"[..]moha adalah ketidaktahuan bahwa aku ADALAH lobha dan dosa itu sendiri."
Dengan demikian, moha adalah sumber dari "aku" yang kemudian berlanjut pada lobha & moha. Ini pun saya lihat sesuai. Entah mengapa kemudian dikatakan di tempat lain "aku" sumber dari LDM.
Betul, ada banyak rancu di antara dua pernyataan Pak Hudoyo ini.
Ini dulu pernah kita bahas. Dalam Mulapariyaya Sutta, pikiran terbagi menjadi beberapa proses, bukan satu. Yang terhenti adalah proses kalau tidak salah namanya Manna'ti. Kalau hanya menghentikan semua pikiran, apalah bedanya dengan makhluk Asannasatta?
Ini namanya spekulasi. Dalam metode pengajaran MMD, Pak Hudoyo sebisa mungkin melepaskan konsep-konsep dan istilah-istilah yang ada dalam Buddhisme. Pak Hudoyo bahkan tidak pernah mengklaim bahwa pikiran yang hendak dihentikan dalam MMD adalah "mannati". Maka, jika kita berusaha menduga-duga tentang pikiran apa yang hendak dihentikan dalam MMD; itu artinya mem-Buddhis-kan MMD. Sama seperti analogi bila saya menuangkan paradigma bahwa hidup di jalan Allah sama dengan menjalani Pancasila.
Dan di dalam MMD, dikatakan bahwa pikiran memang bisa dihentikan (tidak ada proses pikiran, mungkin maksudnya tanpa konsepsi, tanpa perasaan; intinya tanpa lobha dan dosa). Namun di sisi lain, Jiddu Khrisnamurti menantang pada para praktisi untuk bisa menjalankan pikiran hanya ketika dibutuhkan; dan hal ini diseutujui oleh Pak Hudoyo. Singkatnya, di dalam konsep MMD, pikiran memang bisa berhenti total; kemudian bisa dijalankan lagi. Jadi tidak sama dengan makhluk asannatta (sekadar info, makhluk asannata pun makhluk yang hidup tanpa persepsi; bukan makhluk hidup dengan pikiran yang berhenti).
Saya telah menjelaskan bahwa yang saya setujui adalah yang sebatas diposting Bro ryu. Tidak lebih dari itu. Seharusnya sudah terlihat bahwa saya mempertanyakan "darimana asalnya aku?" pada postingan sebelumnya.
Iya, saya sudah tahu itu. Saya pun sebenarnya tidak memprotes postingan Anda. Saya hanya menjelaskan bahwa dalam hal ini, MMD memiliki fondasi pandangan yang berbeda dengan Buddhisme Theravada.
Terima kasih sarannya. Yang saya utarakan adalah pendapat saya (yang mungkin kebetulan ada kesamaan dengan Pak Hudoyo). Saya tidak punya kepentingan menyama-nyamakan atau membeda-bedakan MMD & Buddhisme Theravada.
Bagi saya metoda MMD yang memang berdasarkan Sutta, adalah sesuai dengan Ajaran Buddha.
Namun saya tidak mengatakan semua opini yang berkembang di kalangan praktisinya lantas adalah sesuai dengan Ajaran Buddha.
Saya sudah tahu Anda tidak memiliki kepentingan atau agenda apapun mengenai hal ini. Saya pun tidak memiliki kepentingan atau agenda apapun untuk meng-
counter Anda. Saya perlu menjelaskan ini supaya jangan ada salah paham.
Ada beberapa hal di MMD yang koheren dengan Buddhisme Theravada. Tetapi dalam hal ini, yakni pembahasan "Baru sadar bahwa Lobha, Dosa, Moha bukan masalah!" serta turunan pernyataan-pernyataan Pak Hudoyo berikutnya; saya harus mengatakan bahwa itu berbeda dengan pandangan Buddhisme Theravada. Kalau Anda tidak percaya, tanyakanlah pada Pak Hudoyo apakah pernyataan-pernyataannya itu semua sesuai dengan Pali Kanon atau tidak.