Khotbah-khotbah Panjang
Sang Buddha
Digha Nikaya
Penerjemah:
Team Giri Mangala Publication
Team DhammaCitta Press
© DhammaCitta, 2009
DN 5-6
5.1. Sang Bhagavà berkata: ‘Ananda, mari kita menyeberangi Sungai Hira¤¤avatã dan pergi ke Hutan-sàl Malla di sekitar Kusinàrà.’412 ‘Baiklah, Bhagavà,’ jawab ânanda, dan Sang Bhagavà, bersama sejumlah besar bhikkhu, menyeberangi sungai dan pergi ke hutan-sàl. Di sana Sang Bhagavà berkata: ‘ânanda, siapkan tempat tidur untuk-Ku di antara pohon sàl-kembar ini dengan kepala-Ku mengarah ke utara. Aku lelah dan ingin berbaring.’ ‘Baik, Bhagavà,’ jawab ânanda, dan melakukan sesuai instruksi. Kemudian Sang Bhagavà berbaring pada posisi kanan dalam posisi singa, meletakkan satu kaki-Nya di atas kaki lainnya, penuh perhatian dan kesadaran jernih.
5.2. Dan pohon-sàl kembar itu menggugurkan banyak sekali bunga-bunganya yang mekar tidak pada musimnya, yang jatuh di atas tubuh Sang Tathàgata, menaburkan dan menyelimuti sebagai penghormatan. Bunga-bunga pohon koral surgawi jatuh dari angkasa, serbuk cendana surgawi jatuh dari angkasa, menaburkan dan menyelimuti tubuh Sang Tathàgata [138] sebagai penghormatan. Musik dan nyanyian surgawi terdengar di angkasa sebagai penghormatan kepada Sang Tathàgata.
5.3. Dan Sang Bhagavà berkata: ‘ânanda, pohon-sàl ini berbunga banyak tidak pada musimnya ... musik dan nyanyian surgawi terdengar di angkasa sebagai penghormatan kepada Tathàgata. Belum pernah sebelumnya, Tathàgata begitu dihormati, dipuja, dihargai, dan disembah. Akan tetapi, ânanda, para bhikkhu, bhikkhunã, umat-awam laki-laki atau perempuan mana pun juga yang mempraktikkan Dhamma dengan benar, dan dengan sempurna memenuhi jalan-Dhamma, ia telah memberikan penghormatan dan pemujaan tertinggi kepada Tathàgata. Oleh karena itu, ânanda, “Kita harus mempraktikkan Dhamma dengan benar dan dengan sempurna memenuhi jalan-Dhamma” – ini harus menjadi sloganmu.’
5.4. Saat itu, Yang Mulia Upavàõa sedang berdiri di depan Sang Bhagavà, mengipasi Beliau. Dan Sang Bhagavà menyuruhnya untuk bergeser. ‘Bergeserlah, bhikkhu, jangan berdiri di depan-Ku.’ Dan Yang Mulia ânanda berpikir: ‘Yang Mulia [139] Upavàõa telah lama menjadi pelayan Sang Bhagavà, berada di dekat Beliau, selalu datang saat dipanggil. Dan sekarang, di saat-saat terakhir, Sang Bhagavà menyuruhnya bergeser dan tidak berdiri di depan Beliau. Mengapakah Beliau melakukan hal itu?’
5.5. Dan ia menanyakan kepada Sang Bhagavà mengenai hal itu: ‘ânanda, para dewa dari sepuluh alam semesta telah berkumpul di sini untuk melihat Tathàgata. Dalam jarak dua belas yojana di sekeliling hutan-sàl milik para Malla di dekat Kusinàrà tidak ada ruang yang seluas sehelai rambut pun yang tidak ditempati oleh para dewa sakti, dan mereka mengeluh: “Kami datang dari jauh untuk melihat Sang Tathàgata, Buddha yang mencapai Penerangan Sempurna, muncul di dunia, dan malam ini pada jaga terakhir, Sang Tathàgata akan mencapai Nibbàna akhir, dan bhikkhu suci ini berdiri di depan Sang Bhagavà, menghalangi kami untuk menatap Sang Tathàgata untuk terakhir kalinya!”’
5.6. ‘Tetapi, Bhagavà, dewa apakah yang Engkau lihat?’ ‘ânanda, ada dewa-dewa angkasa yang batinnya melekat pada bumi, mereka menangis dan menjambak rambut mereka, mengangkat tangan mereka, [140] melempar diri mereka ke bawah dan berguling, meneriakkan: “Terlalu cepat Sang Bhagavà meninggal dunia, terlalu cepat Yang Sempurna menempuh Sang Jalan meninggal dunia, terlalu cepat Mata-Dunia lenyap!” dan juga ada para dewa-bumi yang batinnya melekat pada bumi, juga melakukan hal yang sama. Tetapi para dewa yang bebas dari kemelekatan, dengan sabar menahankan, dengan mengatakan: “Segala sesuatu yang tersusun adalah tidak kekal – apalah gunanya semua ini?”413’
5.7. ‘Bhagavà, sebelumnya para bhikkhu yang melewatkan musim hujan di berbagai tempat biasanya datang untuk menemui Sang Tathàgata, dan kita biasanya menyambut mereka sehingga para bhikkhu yang terlatih berkesempatan untuk menemui-Mu dan memberi hormat. Tetapi dengan wafatnya Bhagavà, kami tidak memiliki kesempatan untuk melakukan hal ini.’
5.8. ‘ânanda, ada empat tempat yang pemandangannya dapat membangkitkan emosi414 dalam diri mereka yang berkeyakinan. Apakah empat itu? “Tempat kelahiran Tathàgata” adalah yang pertama.415 “Tempat Tathàgata mencapai Penerangan Sempurna” adalah yang ke dua.416 “Tempat Tathàgata memutar Roda” adalah yang ke tiga.417 “Tempat Tathàgata mencapai unsur-Nibbàna tanpa sisa” adalah yang ke empat.418 [141] Dan, ânanda, para bhikkhu, bhikkhunã, umat-awam laki-laki dan perempuan yang berkeyakinan sebaiknya mengunjungi tempat-tempat tersebut. Dan siapa pun yang meninggal dunia saat mengunjungi tempat-tempat tersebut dengan penuh ketulusan hati akan, saat hancurnya jasmani, terlahir kembali di alam surga.’
5.9. ‘Bhagavà, bagaimanakah kami harus bersikap dalam menghadapi perempuan?’ ‘Jangan melihat mereka, ânanda.’ ‘Tetapi jika kami melihat mereka, bagaimanakah kami harus bersikap, Bhagavà?’ ‘Jangan berbicara kepada mereka, ânanda.’ ‘Tetapi, jika mereka berbicara kepada kami, Bhagavà, bagaimanakah kami harus bersikap?’ ‘Lakukanlah dengan penuh perhatian, ânanda.’419
5.10. ‘Bhagavà, apakah yang harus kami lakukan dengan jenazah Sang Tathàgata?’ ‘Jangan mengkhawatirkan urusan pemakaman, ânanda. Engkau harus berusaha untuk mencapai tujuan tertinggi,420 kerahkan dirimu untuk mencapai tujuan tertinggi, latihlah pikiranmu tanpa lelah, dengan penuh semangat untuk mencapai tujuan tertinggi. Ada para Khattiya, Brahmana, dan perumah tangga yang penuh pengabdian kepada Sang Tathàgata: mereka akan mengurus pemakaman.’
5.11. ‘Tetapi, Bhagavà, apakah yang harus kami lakukan dengan jenazah Sang Tathàgata?’ ‘ânanda, jenazah Sang Tathàgata harus diperlakukan seperti jenazah para raja pemutar roda.’ ‘Dan, bagaimanakah itu, Bhagavà?’ ‘ânanda, jenazah para raja pemutar roda dibungkus dengan kain-rami baru. Kemudian ini dibungkus lagi dengan kain-katun. Kemudian ini dibungkus lagi dengan [142] kain baru. Setelah melakukan hal ini masing-masing sebanyak lima ratus kali, kemudian mereka memasukkan jenazah raja ke dalam tabung minyak dari besi,421 yang ditutup dengan kendi dari besi. Kemudian setelah membuat tumpukan kayu pemakaman dari berbagai kayu harum, mereka mengkremasi jenazah raja, dan mereka membangun stupa di persimpangan jalan. Itu, ânanda, adalah apa yang mereka lakukan dengan jenazah raja pemutar roda, dan mereka harus melakukan hal yang sama dengan jenazah Sang Tathàgata. Sebuah stupa harus dibangun di persimpangan jalan untuk Sang Tathàgata. Dan para umat-awam yang mempersembahkan bunga atau wangi-wangian dan warna- warna422 di sana dengan penuh ketulusan hati, akan memperoleh manfaat dan kebahagiaan untuk waktu yang lama.’
5.12. ‘ânanda, ada empat orang yang layak dibuatkan stupa. Siapakah mereka? Pertama adalah Seorang Tathàgata, Arahat, Buddha yang mencapai Penerangan Sempurna. Ke dua adalah seorang Pacceka Buddha423. Ke tiga adalah seorang siswa Sang Tathàgata. Dan ke empat adalah seorang Raja Pemutar Roda. Dan mengapakah mereka layak dibuatkan stupa? Karena, ânanda, dengan berpikir: “Ini adalah stupa seorang Tathàgata, Pacceka Buddha, [143] seorang siswa Sang Tathàgata, seorang Raja Pemutar Roda,” hati orang-orang akan menjadi damai, dan kemudian, saat hancurnya jasmani setelah kematian, mereka akan pergi menuju alam yang baik dan muncul kembali di alam surga. Ini adalah alasannya, dan itu adalah empat individu yang layak dibuatkan sebuah stupa.’
5.13. Dan Yang Mulia ânanda pergi ke tempat tinggalnya424 dan berdiri meratap, bersandar pada tiang pintu.425 ‘Aduh, aku masih seorang pelajar yang masih harus melakukan banyak hal! Dan Sang Guru segera akan wafat, yang sangat berbelas kasihan kepadaku!’
Kemudian Sang Bhagavà bertanya kepada para bhikkhu di mana ânanda berada dan mereka memberitahu-Nya. Maka Beliau berkata kepada seorang bhikkhu: ‘Pergilah, bhikkhu, dan katakan kepada ânanda: “Sahabat ânanda, Guru memanggilmu.”’ [144] ‘Baiklah, Bhagavà,’ jawab bhikkhu itu, dan melakukan sesuai instruksi. ‘Baiklah, Sahabat,’ ânanda menjawab kepada bhikkhu tersebut, dan ia menghadap Sang Bhagavà, memberi hormat kepada Beliau dan duduk di satu sisi.
5.14. Dan Sang Bhagavà berkata: ‘Cukup, ânanda, jangan menangis dan meratap! Bukankah Aku sudah mengatakan kepadamu bahwa segala sesuatu yang indah dan menyenangkan pasti mengalami perubahan, pasti berpisah dan menjadi yang lain. Jadi, bagaimana mungkin, ânanda – karena segala sesuatu yang dilahirkan, menjelma, tersusun pasti mengalami kerusakan – bagaimana mungkin hal itu tidak berlalu? Sejak lama, ânanda, engkau telah berada di sisi Sang Tathàgata, memperlihatkan cinta-kasih, sepenuh hati dan tidak terbatas, engkau telah mendapatkan banyak jasa. Berusahalah, dan dalam waktu singkat, engkau akan terbebas dari kekotoran.’426
5.15. Kemudian Sang Bhagavà berkata kepada para bhikkhu: ‘Para bhikkhu, Semua Arahat Buddha yang mencapai Penerangan Sempurna di masa lampau memiliki pelayan pribadi seperti ânanda, dan demikian pula para Buddha di masa depan. Para bhikkhu, ânanda memiliki kebijaksanaan. Ia tahu kapan saat yang tepat bagi para bhikkhu untuk menemui Sang Tathàgata, kapan saat yang tepat bagi para bhikkhunã, para umat-awam laki-laki, [145] bagi para umat-awam perempuan, bagi para raja, bagi para menteri, bagi para pemimpin aliran lain, dan bagi para murid mereka.’
5.16. ‘ânanda memiliki empat kualitas yang baik dan menakjubkan. Apakah itu? Jika sekelompok bhikkhu datang menemui ânanda, mereka gembira saat melihatnya, dan ketika ânanda membabarkan Dhamma, mereka gembira, dan ketika ia diam, mereka kecewa. Demikian pula halnya dengan para bhikkhunã, umat-awam laki-laki dan perempuan.427 Dan empat kualitas ini juga berlaku pada raja pemutar roda; jika ia dikunjungi oleh sekelompok Khattiya, Brahmana, perumah tangga, atau petapa, mereka gembira saat melihatnya dan ketika ia berbicara kepada mereka, dan ketika ia diam, mereka kecewa. [146] dan demikian pula halnya dengan ânanda.’
5.17. Setelah itu, Yang Mulia ânanda berkata: ‘Bhagavà, sudilah Bhagavà tidak wafat di kota kecil yang menyedihkan dan dengan ranting pohon berserakan ini, di tengah hutan, di tempat yang jauh dari mana-mana! Bhagavà, ada kota-kota besar lainnya seperti Campà, Ràjagaha, Savatthi, Sàketa, Kosambi, atau Vàràõasã. Di tempat-tempat itu, ada para Khattiya, Brahmana, dan perumah tangga kaya yang penuh pengabdian kepada Sang Tathàgata, dan mereka akan melakukan pemakaman yang layak untuk Sang Tathàgata.’ ‘ânanda, jangan menyebut tempat ini kota kecil yang menyedihkan dan dengan ranting pohon berserakan ini, di tengah hutan, di tempat yang jauh dari mana-mana!’
5.18. ‘Suatu ketika, ânanda, Raja Mahàsudassana adalah seorang raja pemutar-roda, raja yang adil dan jujur, yang telah menaklukkan wilayah di empat penjuru dan memastikan keamanan wilayahnya, dan yang memiliki tujuh pusaka. Dan, ânanda, Raja Mahàsudassana ini membangun Kusinàrà ini, dengan nama Kusàvatã, sebagai ibu kota kerajaannya. Dan luasnya dua belas yojana dari timur ke barat, dan tujuh yojana dari utara ke selatan. Kusàvatã adalah negeri yang kaya, makmur [147] dan berpenduduk banyak, ramai oleh penduduk dan memiliki banyak persediaan makanan. Bagaikan kota dewa âëakamandà428 yang kaya, makmur dan berpenduduk banyak, ramai oleh yakkha dan memiliki banyak persediaan makanan, demikian pula kota kerajaan Kusàvatã. Dan kota Kusàvatã tidak pernah sepi dari sepuluh suara siang dan malam: suara gajah, kuda, kereta, genderang-bernada, genderang-samping, kecapi, nyanyian, simbal dan gong, dan teriakan, “Makan, minum, dan bergembiralah” sebagai yang ke sepuluh.’429
5.19. ‘Dan sekarang, ânanda, pergilah ke Kusinàrà dan umumkan kepada para Malla dari Kusinàrà: “Malam ini, Vàssettha,430 pada jaga terakhir, Tathàgata akan mencapai Nibbàna akhir. Datangilah Beliau, Vàsettha, dekatilah, agar kalian tidak menyesal kelak dengan mengatakan: ‘Sang Tathàgata meninggal dunia di wilayah kita, dan kita tidak memanfaatkan kesempatan untuk menemui-Nya untuk yang terakhir kalinya!’”’ ‘Baiklah, Bhagavà,’ jawab ânanda dan, membawa jubah dan mangkuknya, ia pergi disertai seorang bhikkhu menuju Kusinàrà.’
5.20. Saat itu, para Malla dari Kusinàrà sedang berkumpul di aula pertemuan mereka untuk suatu urusan. Dan ânanda mendatangi mereka dan menyampaikan kata-kata Sang Bhagavà. [148]
5.21. Dan ketika mereka mendengar kata-kata ânanda, para Malla bersama putra-putra, menantu, dan istri mereka diserang kesedihan dan dukacita, batin mereka dikuasai oleh kesedihan sehingga mereka menangis dan menjambak rambut mereka .… Kemudian mereka semua pergi ke hutan-sàl di mana Yang Mulia ânanda berada.
5.22. Dan ânanda berpikir: ‘Jika aku mengizinkan para Malla dari Kusinàrà memberi penghormatan satu demi satu, malam akan berlalu sebelum mereka semuanya sempat memberikan penghormatan. Lebih baik aku mengizinkan mereka memberikan penghormatan satu keluarga demi satu keluarga, dengan mengatakan: “Bhagavà, seorang Malla ini bersama anak, istri, para pelayan, dan teman-temannya memberi hormat di kaki Bhagavà.”’ Dan demikianlah ia melakukannya, dan dengan demikian semua Malla dari Kusinàrà telah memberikan penghormatan dalam jaga pertama malam itu.
5.23. Dan pada saat itu, seorang pengembara bernama Subhadda sedang berada di Kusinàrà, dan ia mendengar bahwa Petapa Gotama akan mencapai Nibbàna akhir pada jaga terakhir malam itu. [149] Ia berpikir: ‘Aku telah mendengar dari para pengembara yang mulia, yang tua, guru dari para guru, bahwa seorang Tathàgata, Buddha yang mencapai Penerangan Sempurna, jarang muncul di dunia ini. Dan malam ini, pada jaga terakhir, Petapa Gotama akan mencapai Nibbàna akhir. Sekarang suatu keraguan muncul dalam pikiranku, dan aku yakin bahwa Petapa Gotama dapat membabarkan ajaran untuk menyingkirkan keraguanku itu.’
5.24. Maka Subhadda pergi ke hutan-sàl milik para Malla, ke tempat Yang Mulia ânanda berada, dan memberitahunya mengenai apa yang ia pikirkan: ‘Yang Mulia ânanda, izinkanlah aku menemui Petapa Gotama,’ tetapi ânanda menjawab: ‘Cukup, sahabat Subhadda, jangan mengganggu Sang Tathàgata, Sang Bhagavà lelah.’ Dan Subhadda memohon untuk ke dua dan ke tiga kalinya, tetapi ânanda tetap [150] menolaknya.
5.25. Tetapi Sang Bhagavà mendengarkan percakapan antara ânanda dan Subhadda, dan ia memanggil ânanda: ‘Cukup, ânanda, jangan halangi Subhadda, biarkan ia menemui Tathàgata. Karena apa pun yang ditanyakan Subhadda kepada-Ku, ia bertanya demi mencari pencerahan431 dan bukan untuk mengganggu-Ku, dan apa pun yang Kukatakan sebagai jawaban atas pertanyaannya, ia akan cepat memahaminya.’ Kemudian ânanda berkata: ‘Masuklah, sahabat Subhadda, Sang Bhagavà memberimu izin.’
5.26. Kemudian Subhadda mendekati Sang Bhagavà, saling bertukar sapa, dan duduk di satu sisi, dan berkata: ‘Yang Mulia Gotama, semua para petapa dan Brahmana yang memiliki kelompok dan pengikut, yang menjadi guru, terkenal dan termasyhur sebagai pendiri sekte-sekte, dan dianggap sebagai orang suci, seperti Påraõa Kassapa, Makkhali Gosàla, Ajita Kesakambalã, Pakudha Kaccàyana, Sa¤jaya Belaññhaputta, dan Nigaõñha Nàtaputta – apakah mereka semua telah menembus kebenaran seperti yang mereka semua pahami, atau tidak seorang pun dari mereka [151], ataukah sebagian menembus dan sebagian lainnya tidak?’ ‘Cukup, Subhadda, jangan pikirkan apakah mereka semua, atau tidak seorang pun, atau sebagian dari mereka telah menembus kebenaran. Aku akan mengajarkan Dhamma kepadamu. Dengarkan, perhatikanlah baik-baik, dan Aku akan berbicara.’ ‘Baik, Bhagavà,’ Subhadda menjawab, dan Sang Bhagavà berkata:
5.27. ‘Dalam Dhamma dan disiplin apa pun di mana tidak ditemukan Jalan Mulia Berfaktor Delapan, tidak akan ditemukan petapa tingkat pertama, ke dua, ke tiga atau ke empat.432 Tetapi petapa demikian, tingkat pertama, ke dua, ke tiga atau ke empat dapat ditemukan dalam Dhamma dan disiplin Jalan Mulia Berfaktor Delapan. Sekarang, Subhadda, dalam Dhamma dan disiplin ini, Jalan Mulia Berfaktor Delapan ditemukan, dan di dalamnya dapat ditemukan petapa-petapa tingkat pertama, ke dua, ke tiga dan ke empat. Dalam aliran-aliran lainnya tidak ada petapa-petapa [sejati]; tetapi jika di dalam yang satu ini, para bhikkhu hidup menjalani kehidupan sempurna, dunia ini tidak akan kekurangan Arahat.’
‘Pada saat usia-Ku dua puluh sembilan tahun
Ketika Aku pergi mencari kebaikan.
Sekarang lebih lima puluh tahun telah berlalu
Sejak hari Aku meninggalkan keduniawian
Berkelana di alam hukum kebijaksanaan
Yang di luarnya tidak ada petapa [152]
[pertama, ke dua, ke tiga atau ke empat].
Aliran-aliran lainnya adalah mandul,
Tetapi jika para bhikkhu menjalani kesempurnaan,
Dunia ini tidak akan kekurangan Arahat.’433
5.28. Mendengar kata-kata ini, Pengembara Subhadda berkata: ‘Sungguh indah, Bhagavà, sungguh indah! Ini bagaikan seseorang menegakkan apa yang telah terjatuh, atau menunjukkan jalan kepada seseorang yang tersesat, atau menyalakan pelita di dalam kegelapan, sehingga mereka yang memiliki mata dapat melihat. Demikian pula, Bhagavà Yang Terberkahi telah membabarkan Dhamma dalam berbagai cara. Dan aku, Bhagavà, berlindung kepada Bhagavà Yang Terberkahi, kepada Dhamma, dan kepada Sangha. Semoga aku menerima pelepasan dari tangan Sang Bhagavà! Semoga aku menerima penahbisan!’
5.29. ‘Subhadda, siapa pun yang berasal dari sekte lain dan menginginkan pelepasan atau penahbisan dalam Dhamma dan disiplin ini, harus menunggu selama empat bulan dalam percobaan, dan di akhir dari empat bulan, para bhikkhu yang telah kokoh pikirannya434 akan memberikan pelepasan dan penahbisan menjadi bhikkhu. Akan tetapi, ada pengecualian dalam hal ini.’
‘Bhagavà, jika mereka yang berasal dari sekte lain harus menunggu empat bulan dalam percobaan, … aku akan menunggu bahkan sampai empat tahun, dan pada akhir waktu itu, sudilah memberikan pelepasan dan penahbisan kepadaku.’ Tetapi Sang Bhagavà berkata kepada ânanda: ‘Izinkan Subhadda melepaskan keduniawian.’ ‘Baiklah, Bhagavà,’ jawab ânanda.
5.30. Dan Subhadda berkata kepada Yang Mulia ânanda: ‘Sahabat ânanda, kalian sungguh beruntung, kalian ditahbiskan sebagai bhikkhu di hadapan Sang Guru.’ [153]
Kemudian Subhadda menerima pelepasan di depan Sang Bhagavà, dan penahbisan. Dan sejak saat ia ditahbiskan, Yang Mulia Subhadda sendirian, terasing, tanpa lelah, penuh semangat, dan bertekad, dalam waktu singkat mencapai apa yang dicari oleh para pemuda yang berasal dari keluarga mulia yang meninggalkan rumah untuk menjalani kehidupan tanpa rumah, yaitu puncak kehidupan suci yang tanpa tandingan, setelah mencapainya di sini dan saat ini dengan pengetahuan-super yang ia miliki dan berdiam di sana mengetahui: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak ada lagi yang lebih jauh di sini.’ Dan Yang Mulia Subhadda menjadi salah satu dari Para Arahat. Ia adalah siswa langsung terakhir dari Sang Bhagavà.435
[Akhir dari bagian pembacaan ke lima]