131. Kotbah tentang Menaklukkan Māra<428>
Demikianlah telah kudengar. Suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di negeri Bhagga, di Gunung Buaya (Suṃsumāragiri) di Hutan Menakutkan, Taman Rusa.
Pada waktu itu Yang Mulia Mahāmoggallāna, yang sedang mengawasi pembangunan sebuah gubuk meditasi untuk Sang Buddha,<429> sedang berjalan bolak-balik di tempat terbuka. Kemudian Raja Māra, mengubah dirinya menjadi bentuk kecil, memasuki perut Yang Mulia Mahāmoggallāna. Yang Mulia Mahāmoggallāna berpikir, “Saat ini perutku terasa seakan-akan aku baru saja makan kacang. Biarlah aku memasuki konsentrasi meditatif yang sesuai, sedemikian sehingga melalui konsentrasi tersebut aku dapat mengamati perutku sendiri.”
Kemudian Yang Mulia Mahāmoggallāna berjalan sampai ujung jalan setapak itu, membentangkan alas duduknya, duduk bersila di atasnya, dan memasuki konsentrasi meditatif yang sesuai. Mengamati perutnya sendiri melalui konsentrasi yang sesuai itu, Yang Mulia Mahāmoggallāna mengetahui bahwa Raja Māra sedang berada di dalam perutnya.
Yang Mulia Mahāmoggallāna bangkit dari konsentrasi meditatifnya dan berkata kepada Raja Māra:
Si Jahat, keluarlah! Si Jahat, keluarlah! Janganlah mengganggu Sang Tathāgata, dan janganlah mengganggu seorang siswa Sang Tathāgata! Janganlah [menyebabkan dirimu] kehilangan kesejahteraan dan kehilangan manfaat selama waktu yang panjang dan kepastian terlahir kembali di alam kehidupan yang buruk dan mengalami tak terhitung penderitaan!
Kemudian Raja Māra berpikir, “Pertapa ini tidak melihat dan mengetahui diriku ketika ia berkata: ‘Si Jahat, keluarlah! Si Jahat, keluarlah! Janganlah mengganggu Sang Tathāgata, dan janganlah mengganggu seorang siswa Sang Tathāgata! Janganlah [menyebabkan dirimu] kehilangan kesejahteraan dan kehilangan manfaat selama waktu yang panjang dan kepastian terlahir kembali di alam kehidupan yang buruk dan mengalami tak terhitung penderitaan!’ Gurumu yang mulia memiliki kekuatan batin besar, kebaikan besar dan agung, jasa besar, kekuatan besar dan agung, tetapi bahkan ia tidak dapat melihat dan mengetahui diriku dengan cepat. Lalu bagaimanakah siswanya dapat melihat dan mengetahui diriku?”
Yang Mulia Mahāmoggallāna lebih lanjut berkata kepada Raja Māra:
Aku juga mengetahui pikiranmu. Engkau berpikir demikian: “Pertapa ini tidak melihat dan mengetahui diriku ketika ia berkata: ‘Si Jahat, keluarlah! Si Jahat, keluarlah! Janganlah mengganggu Sang Tathāgata, dan janganlah mengganggu seorang siswa Sang Tathāgata! Janganlah [menyebabkan dirimu] kehilangan kesejahteraan dan kehilangan manfaat selama waktu yang panjang dan kepastian terlahir kembali di alam kehidupan yang buruk dan mengalami tak terhitung penderitaan!’ Gurumu yang mulia memiliki kekuatan batin besar, kebaikan besar dan agung, jasa besar, kekuatan besar dan agung, tetapi bahkan ia tidak dapat melihat dan mengetahui diriku dengan cepat. Lalu bagaimanakah siswanya dapat melihat dan mengetahui diriku?”
Kemudian Māra Si Jahat berpikir lagi, “Adalah karena pertapa ini telah melihat dan mengetahui diriku sehingga ia berkata demikian.” Setelah itu Māra, Si Jahat, mengubah dirinya menjadi bentuk kecil, keluar dari mulut Yang Mulia Mahāmoggallāna dan berdiri di hadapannya.
Yang Mulia Mahāmoggallāna berkata:
Si Jahat, pada masa lampau terdapat seorang Tathāgata, bebas dari kemelekatan dan tercerahkan sempurna, bernama Kakusandha. Pada waktu itu aku adalah seorang
māra bernama Perusak (Dūsī), dan aku memiliki saudara perempuan bernama Hitam (Kālī). Engkau adalah putranya, Si Jahat. Oleh sebab itu, engkau adalah keponakanku.
Si Jahat, Tathāgata Kakusandha, bebas dari kemelekatan dan tercerahkan sempurna, memiliki dua orang siswa utama, seorang bernama Suara dan yang lain bernama Persepsi. Si Jahat, karena alasan apakah Yang Mulia Suara dinamakan “Suara”? Si Jahat, Yang Mulia Suara, ketika berdiam di alam Brahmā, sering menyebabkan suaranya menembus seribu dunia. Tidak ada siswa lain yang memiliki suara sama dengan suaranya, mirip dengan suaranya, atau melampaui suaranya. Si Jahat, adalah karena hal ini sehingga Yang Mulia Suara dinamakan “Suara”.<430>
Selanjutnya, Si Jahat, karena alasan apakah Yang Mulia Persepsi dinamakan “Persepsi”? Si Jahat, Yang Mulia Persepsi biasa tinggal bergantung pada sebuah desa atau kota kecil. Ketika malam telah berakhir, saat fajar ia akan mengenakan jubahnya, membawa mangkuknya, dan pergi ke dalam desa untuk mengumpulkan dana makanan, terjaga dengan baik sehubungan dengan [pergerakan] jasmaninya, terkendali dengan baik sehubungan dengan indria-indrianya, dan berkembang dalam perhatian benar. Setelah mengumpulkan dana makanan dan setelah makan siang, ia akan meletakkan jubah dan mangkuknya dan mencuci tangan dan kakinya. Kemudian ia akan meletakkan alas duduknya di atas bahunya dan pergi ke hutan, gunung, di bawah sebatang pohon, atau suatu tempat terpencil [lainnya]. Ia akan membentangkan alas duduknya, duduk bersila di atasnya, dan dengan cepat memasuki konsentrasi meditatif dari lenyapnya persepsi dan perasaan.
Kemudian [kebetulan] beberapa penggembala sapi, penggembala domba, penebang kayu, dan orang-orang yang lewat memasuki hutan itu. Melihatnya dalam konsentrasi meditatif dari lenyapnya persepsi dan perasaan, mereka berpikir, “Sekarang, pertapa ini telah meninggal selagi duduk di dalam hutan. Marilah kita mengumpulkan kayu kering dan rerumputan, menumpuknya sampai menutupi tubuhnya, dan mengkremasinya.” Maka mereka mengumpulkan kayu kering dan rerumputan, menumpuknya sampai menutupi tubuhnya, menyalakan api padanya, dan pergi.
Ketika malam telah berakhir, saat fajar, Yang Mulia Persepsi bangkit dari konsentrasi meditatifnya, mengibaskan jubahnya [untuk menyingkirkan abu-abunya], dan pergi ke desa atau kota kecil di mana ia bergantung padanya. Mengenakan jubahnya dan membawa mangkuknya seperti biasanya, ia memasuki desa itu untuk mengumpulkan dana makanan, terjaga dengan baik sehubungan dengan [pergerakan] jasmaninya, terkendali dengan baik sehubungan dengan indria-indrianya, dan berkembang dalam perhatian benar.
Para penggembala sapi, penggembala domba, atau orang-orang yang lewat yang sebelumnya memasuki hutan itu dan melihatnya, yang telah berpikir, “Sekarang, pertapa ini telah meninggal selagi duduk di dalam hutan,” [sekarang berpikir,] “Kemarin kami mengumpulkan kayu kering dan rerumputan, menumpuknya sampai menutupi tubuhnya, menyalakan api padanya, dan kemudian pergi. Namun yang mulia ini telah memulihkan persepsinya.” Si Jahat, adalah karena alasan ini sehingga Yang Mulia Persepsi dinamakan “Persepsi”.<431>
Si Jahat, pada waktu itu
māra [bernama] Perusak berpikir, “Para pertapa berkepala gundul ini terikat oleh kegelapan [mereka sendiri], silsilah mereka terputus karena mereka tanpa anak;<432> ketika berlatih meditasi, mereka melamun, semakin banyak melamun, dan terus-menerus melamun, berulang-ulang.
“Mereka seperti seekor keledai yang telah membawa beban berat sepanjang hari dan, ketika diikat di kandang tetapi belum makan gandum mereka, melamunkan tentang gandum itu, semakin banyak melamun, dan terus-menerus melamun berulang-ulang. Dengan cara yang sama, para pertapa berkepala gundul ini terikat oleh kegelapan [mereka sendiri], silsilah mereka terputus karena mereka tanpa anak; ketika berlatih meditasi, mereka melamun, semakin banyak melamun, terus-menerus melamun, berulang-ulang.
“Mereka seperti seekor kucing yang menanti di samping lubang tikus, menginginkan untuk menangkap tikus; karena hal itu, ia melamun, semakin banyak melamun, terus-menerus melamun berulang-ulang. Dengan cara yang sama, para pertapa berkepala gundul ini terikat oleh kegelapan [mereka sendiri], silsilah mereka terputus karena mereka tanpa anak; ketika berlatih meditasi, mereka melamun, semakin banyak melamun, terus-menerus melamun, berulang-ulang.
“Mereka seperti seekor burung hantu atau rubah yang menanti pada celah tumpukan kayu bakar kering karena ia ingin menangkap tikus; karena hal itu, ia melamun, semakin banyak melamun, terus-menerus melamun berulang-ulang. Dengan cara yang sama, para pertapa berkepala gundul ini terikat oleh kegelapan [mereka sendiri], silsilah mereka terputus karena mereka tanpa anak; ketika berlatih meditasi, mereka melamun, semakin banyak melamun, terus-menerus melamun, berulang-ulang.
“Mereka seperti seekor burung bangau yang menanti di tepi sungai karena ia ingin menangkap ikan; karena hal itu, ia melamun, semakin banyak melamun, terus-menerus melamun berulang-ulang. Dengan cara yang sama, para pertapa berkepala gundul ini terikat oleh kegelapan [mereka sendiri], silsilah mereka terputus karena mereka tanpa anak; ketika berlatih meditasi, mereka melamun, semakin banyak melamun, terus-menerus melamun, berulang-ulang.
“Apakah yang mereka lamunkan? Untuk manfaat apakah mereka melamun? Apakah yang mereka cari melalui lamunan? Mereka kebingungan, gila, dan hancur. Aku tidak mengetahui dari manakah mereka berasal, ke manakah mereka akan pergi, atau di manakah mereka berdiam. Aku tidak mengetahui tentang kematian mereka atau kelahiran kembali mereka. Biarlah aku menghasut para brahmana perumah tangga, ‘Ayo, kalian semua! Hinalah para pertapa tekun itu! Pukuli mereka dan celalah mereka!’ Mengapakah demikian? Mungkin ketika [para pertapa itu] dihina, dipukuli, dan dicela ini dapat memunculkan suatu keadaan pikiran tidak bermanfaat dalam diri mereka. Maka aku akan mendapatkan kesempatan.”
Si Jahat, ketika
māra [bernama] Perusak menghasut para brahmana perumah tangga [dengan cara ini], para brahmana perumah tangga menghina, memukuli, dan mencela para pertapa tekun itu. Beberapa brahmana perumah tangga memukuli mereka dengan potongan kayu, beberapa melempar batu kepada mereka, beberapa memukul mereka dengan tongkat, beberapa melukai kepala para pertapa tekun itu, beberapa mengoyakkan jubah mereka, dan beberapa menghancurkan mangkuk dana mereka.<433>
Kemudian, karena hal ini, dikondisikan oleh hal ini, ketika para brahmana perumah tangga tersebut meninggal, ketika hancurnya jasmani saat kematian, mereka pasti pergi menuju alam yang buruk, terlahir kembali di neraka. Setelah terlahir kembali di sana, mereka berpikir, “Kita pantas mengalami penderitaan ini, dan kita akan mengalami penderitaan yang lebih ekstrem daripada ini. Mengapakah demikian? Karena kami melakukan perbuatan jahat terhadap para pertapa tekun.”
Si Jahat, para siswa Tathāgata Kakusandha, bebas dari kemelekatan dan tercerahkan sempurna, setelah kepala mereka dilukai, jubah mereka dikoyak-koyak, dan mangkuk dana mereka dihancurkan, mendekati Tathāgata Kakusandha, bebas dari kemelekatan dan tercerahkan sempurna.
Pada waktu itu Tathāgata Kakusandha, bebas dari kemelekatan dan tercerahkan sempurna, dikelilingi oleh tak terhitung ratusan dan ribuan pengikut di mana beliau sedang mengajarkan Dharma kepada mereka.<434> Tathāgata Kakusandha, bebas dari kemelekatan dan tercerahkan sempurna, melihat dari jauh bahwa para siswanya dengan kepala mereka dilukai, jubah mereka dikoyak-koyak, dan mangkuk mereka dihancurkan, sedang mendekat. Melihat hal ini, beliau berkata kepada para bhikkhu, “Apakah kalian melihat itu?
Māra [bernama] Perusak telah menghasut para brahmana perumah tangga: ‘Ayo, kalian semua! Hinalah para pertapa tekun itu! Pukuli mereka dan celalah mereka!’ Mengapakah demikian? [Karena ia berpikir,] ‘Mungkin ketika [para pertapa itu] dihina, dipukuli, dan dicela ini dapat memunculkan suatu keadaan pikiran tidak bermanfaat dalam diri mereka. Maka aku akan mendapatkan kesempatan.’
“Para bhikkhu, kalian seharusnya berdiam dengan pikiran yang dipenuhi dengan cinta kasih, secara batin meliputi satu arah, demikian juga arah kedua, ketiga, dan keempat – seluruh empat arah dan juga empat arah di antaranya, atas dan bawah, semua di sekelilingnya, di mana pun. Berdiamlah dengan pikiran yang dipenuh dengan cinta kasih – tanpa belenggu, kebencian, permusuhan, dan perselisihan – [dengan pikiran] yang telah menjadi tidak terbatas, luhur, tak terukur, dan berkembang dengan baik, setelah meliputi seluruh dunia. Berdiamlah seperti ini, setelah meliputi seluruh dunia dengan pikiran yang dipenuhi dengan belas kasih ... dengan kegembiraan empatik ... dengan keseimbangan, tanpa belenggu, kebencian, permusuhan, dan perselisihan – [dengan pikiran] yang telah menjadi tidak terbatas, luhur, tak terukur, dan berkembang dengan baik. Biarlah
māra [bernama] Perusak yang mencari untuk mendapatkan kesempatan tidak dapat memperoleh kesempatan.”
Si Jahat, [ketika] Tathāgata Kakusandha, bebas dari kemelekatan dan tercerahkan sempurna, mengajarkan para siswanya ajaran ini dan mereka telah menerima ajaran ini, mereka berdiam secara batin meliputi satu arah dengan pikiran yang dipenuhi dengan cinta kasih, demikian juga arah kedua, ketiga, dan keempat – seluruh empat arah dan juga empat arah di antaranya, atas dan bawah, semua di sekelilingnya, di mana pun. Mereka berdiam dengan pikiran yang dipenuhi dengan cinta kasih – tanpa belenggu, kebencian, permusuhan, dan perselisihan – [dengan pikiran] yang telah menjadi tidak terbatas, luhur, tak terukur, dan berkembang dengan baik, setelah meliputi seluruh dunia. Mereka berdiam seperti ini setelah meliputi seluruh dunia dengan pikiran yang dipenuhi dengan belas kasih ... dengan kegembiraan empatik ... dengan keseimbangan, tanpa belenggu, kebencian, permusuhan, dan perselisihan – [dengan pikiran] yang telah menjadi tidak terbatas, luhur, tak terukur, dan berkembang dengan baik, setelah meliputi seluruh dunia. Karena alasan ini,
māra [bernama] Perusak yang mencari untuk mendapatkan kesempatan tidak dapat memperoleh kesempatan.
Si Jahat, pada waktu itu
māra [bernama] Perusak berpikir, “Aku tidak dapat memperoleh kesempatan dengan para pertapa tekun dengan cara ini. Biarlah aku sekarang alih-alih mendorong para brahmana perumah tangga, ‘Ayo, kalian semua. Hormatilah, pujalah, dan layanilah para pertapa tekun itu!’ Mungkin, ketika para pertapa tekun itu dihormati, dipuja, dan dilayani itu dapat memunculkan suatu keadaan pikiran tidak bermanfaat dalam diri mereka. Maka aku akan mendapatkan kesempatan.”
Si Jahat, setelah didorong [demikian] oleh
māra [bernama] Perusak, semua brahmana perumah tangga menghormati, memuja, dan melayani para pertapa tekun itu.<435> [Mereka] membentangkan pakaian mereka di atas tanah dan berkata, “Para pertapa tekun, mohon berjalanlah di atas ini. Para pertapa tekun berlatih apa yang sulit dilatih. Berikanlah kami manfaat dan perolehan yang bertahan lama, kedamaian dan kebahagiaan [dengan menginjak pakaian ini]!”
Para brahmana perumah tanga membentangkan rambut mereka di atas tanah dan berkata, “Para pertapa tekun, mohon berjalanlah di atas ini. Para pertapa tekun berlatih apa yang sulit dilatih. Berikanlah kami manfaat dan perolehan yang bertahan lama, kedamaian dan kebahagiaan [dengan menginjak rambut ini]!”
Para brahmana perumah tangga, dengan memegang berbagai jenis makanan dan minuman pada tangan mereka, berdiri menanti di pinggir jalan, dengan berkata, “Para pertapa tekun, terimalah ini, makanlah ini, ambillah ini dengan tangan kalian dan gunakanlah ini seperti kalian inginkan. Berikanlah kami manfaat dan perolehan yang bertahan lama, kedamaian dan kebahagiaan!”
Para brahmana perumah tangga yang berkeyakinan, melihat para pertapa tekun itu, dengan hormat membawa mereka pada lengan, menuntun mereka ke dalam [rumah mereka] dan, memegang berbagai benda berharga, berkata kepada para pertapa tekun itu, “Terimalah ini! Bawalah ini bersama kalian dan gunakanlah ini seperti kalian inginkan!”
Kemudian karena hal ini, dikondisikan oleh hal ini, ketika para brahmana perumah tangga tersebut meninggal ketika hancurnya jasmani saat kematian, mereka pasti pergi menuju alam kehidupan yang baik, terlahir kembali di alam surga. Setelah terlahir kembali di sana, mereka berpikir, “Kami layak mengalami kebahagiaan ini, dan kami akan mengalami kebahagiaan yang bahkan lebih ekstrem. Mengapakah demikian? Karena kami melakukan perbuatan baik terhadap para pertapa tekun.”
Si Jahat, para siswa Tathāgata Kakusandha, bebas dari kemelekatan dan tercerahkan sempurna, setelah dihormati, dipuja, dan dilayani, mendekati Tathāgata Kakusandha, bebas dari kemelekatan dan tercerahkan sempurna. Pada waktu itu, Tathāgata Kakusandha, bebas dari kemelekatan dan tercerahkan sempurna, dikelilingi oleh tak terhitung ratusan dan ribuan pengikut di mana beliau sedang mengajarkan Dharma kepada mereka.
Tathāgata Kakusandha, bebas dari kemelekatan dan tercerahkan sempurna, melihat dari jauh bahwa para siswanya, yang telah dihormati, dipuja, dan dilayani, sedang mendekat. Melihat hal ini, beliau berkata kepada para bhikkhu, “Apakah kalian melihat itu?
Māra [bernama] Perusak mendorong para brahmana perumah tangga, ‘Ayo, kalian semua. Hormatilah, pujalah, dan layanilah para pertapa tekun itu!’ [Ia berpikir,] ‘Mungkin, ketika para pertapa tekun itu dihormati, dipuja, dan dilayani, ini dapat memunculkan suatu keadaan pikiran tidak bermanfaat dalam diri mereka, maka aku akan mendapatkan kesempatan.’
“Para bhikkhu, kalian seharusnya merenungkan semua bentukan sebagai tidak kekal, merenungkannya sebagai bersifat muncul dan lenyap, merenungkan kebosanan, merenungkan ditinggalkannya, merenungkan lenyapnya, dan merenungkan pelenyapan.<436> Biarlah
māra [bernama] Perusak, yang mencari untuk mendapatkan kesempatan tidak dapat memperoleh kesempatan.”
Si Jahat, ketika Tathāgata Kakusandha, bebas dari kemelekatan dan tercerahkan sempurna, mengajarkan para siswanya ajaran ini dan mereka telah menerima ajaran tersebut, mereka merenungkan semua bentukan sebagai tidak kekal, mereka merenungkannya sebagai bersifat muncul dan lenyap, mereka merenungkan kebosanan, mereka merenungkan ditinggalkannya, mereka merenungkan lenyapnya, dan mereka merenungkan pelenyapan, sehingga
māra [bernama] Perusak, yang sedang mencari untuk mendapatkan kesempatan, tidak dapat memperoleh kesempatan.