471 > Mp mengilustrasikan bagaimana nafsu adalah “kurang tercela” dengan contoh perkawinan, yang, walaupun berakar pada keinginan seksual; namun diterima secara sosial dan dengan demikian kurang tercela sehubungan dengan konsekuensi kammanya. Tetapi karena nafsu berhubungan dengan kenikmatan, maka sulit dilenyapkan. Kebencian dan delusi keduanya dianggap tercela dalam masyarakat dan memiliki konsekuensi kamma yang serius. Akan tetapi, kebencian berhubungan dengan ketidak-nikmatan, dan karena makhluk-makhluk secara alami menyukai kebahagiaan maka mereka ingin terbebas darinya. Gagasan-gagasan delusi, jika berakar secara mendalam dalam ketagihan, pandangan salah, atau keangkuhan, juga akan sulit dilenyapkan seperti halnya nafsu.
472 >
Asatā dukkhaṃ upadahati. Mp (Ce): “Ia menciptakan penderitaan melalui kebohongan, melalui apa yang tidak ada, setelah mengatakan tentang kesalahan yang tidak benar” (
abhūtena avijjamānena yaṃ kiñci tassa abhūtaṃ dosaṃ vatvā dukkhaṃ uppādeti.) Perhatikan bahwa Mp menganggap
asatā sebagai bersinonim dengan
abhūtena. Dalam kedua teks dan Mp, Be membaca
uppādayati sedangkan Ce dan Ee membaca
upadahati.
473 > Di sini dan di bawahnya teks menyebutkan tiga jenis pohon:
sāla, dhava dan
phandana.474 > Para Nigaṇṭha adalah para petapa Jain, para pengikut Mahāvīra, guru besar paling terkenal dari Jainisme, dikenal dalam Nikāya-nikāya sebagai Nigaṇṭha Nātaputta (Nāthaputta, Ñātaputta). Ia sezaman dengan Sang Buddha dan termasuk dalam enam guru saingan (baca DN 2.16-33, I 52-59). Terlihat bahwa, ketika Nikāya-nikāya membahas Jainisme, nuansanya menjadi sindiran kalau bukan ejekan. Pujiannya, tentu saja, diberikan oleh kaum Jain. Hal ini dapat dipahami dari fakta bahwa Buddhis dan Jain awalnya berkembang di wilayah yang sama dan, sebagai kelompok peminta-minta, keduanya pasti bersaing untuk mendapatkan penyokong dari komunitas yang sama.
475 >
Ye puratthimāya disāya pāṇā paraṃ yojanasataṃ tesu daṇḍaṃ nikkhipāhi. Mp mengemas: “Letakkanlah tongkat pemukul dan tidak kejam terhadap makhluk-makhluk hidup yang berada di wilayah yang lebih jauh dari seratus
yojana” (
tesu yojanasatato parabhāgesu ṭhitesu sattesu daṇḍaṃ nikkhipa, nikkhittadaṇḍo hohi). Satu
yojana berkisar tujuh hingga sembilan mil. Demikianlah kaum Jain digambarkan seperti pada pernyataan, “Hanya kepada makkhluk-makhluk yang berada jauh maka kalian harus tidak kejam,” seolah-olah mereka diperbolehkan untuk menjadi kejam terhadap makhluk-makhluk yang berada dekat. Hal ini, tampaknya, bertolak belakang dengan ajaran Jainisme, yang mengajarkan ketidak-kejaman keras (
ahiṃsā) terhadap semua makhluk dalam segala kondisi. Baca
http://www.jainworld.com/philosophy/ahimsa.asp.
476 >
Nahaṃ kvacana, kassaci kiñcanatasmiṃ, na va mama kvacana, katthaci kiñcanatātthi. Ce, Be, dan Ee berbeda-beda dalam membaca formula ini. Saya mengikuti Ce di sini dan pada
4:185. tujuan dari formula ini, menurut teks, adalah untuk menanamkan sikap tidak-memiliki, salah satu moralitas dasar Jain. Sang Buddha juga mengajarkan formula ini – yang kemungkinan telah beredar di antara berbagai komunitas pertapaan – dengan menggunakannya sebagai alat untuk melenyapkan “pembentukan-aku” dan “pembentukan-milikku.” Untuk pembahasan lebih lanjut atas formuka ini, baca p.1713, catatan 896.
477 >
Upakkiliṭṭhassa visākhe cittassa upakkamena pariyodapanā hoti. Mp: “Mengapakah Beliau mengatakan ini? Karena uposatha tidak sangat berbuah jika seseorang menjalankannya dengan pikiran kotor, melainkan menjadi sangat berbuah jika dijalankan dengan pikiran yang murni. Demikianlah Beliau membuat pernyataan ini untuk memperkenalkan subjek meditasi yang digunakan untuk memurnikan pikiran.” Apa yang dijelaskan selanjutnya adalah lima perenungan standar (
cha anussatiyo; baca
6:10, dan seterusnya). Untuk suatu alasan, perenungan ke enam, yaitu perenungan kedermawanan (
cāgānussati), dihilangkan. Penghilangan ini tampaknya, pada kesan pertama, diakibatkan dari kegagalan dalam transmisi. Akan tetapi, Paralel China, MĀ 202 (pada T I 770a16-773a1), juga tidak mencantumkan perenungan ini, yang menyiratkan bahwa penghilangan ini – apakah disengaja atau tidak – terjadi sebelum perpecahan aliran Vibhajjavāda
(cikal bakal Theravāda) dan Sarvāstivāda. Yang menarik, dalam MĀ 202 delapan aturan
mendahului lima perenungan, sedangkan Pāli menyusunnya secara kebalikanya. Urutan versi China adalah lebih konsisten dengan ajaran Buddhis lainnya, yang memperlakukan perilaku bermoral sebagai landasan bagi meditasi.
478 > Mp: “Adalah Sang Buddha yang tercerahkan sempurna yang disebut Brahmā (
brahmā vuccati sammā sambuddho).
479 > Ini adalah enam tingkat alam surga indriawi. Para deva yang lebih tinggi dari ini berada di alam berbentuk dan tanpa bentuk.
480 > Pada titik ini, Sang Buddha menjelaskan delapan aturan yang dijalankan oleh para umat awam pada hari-hari uposatha. Ini muncul kembali dalam AN pada
8:41-45. Aturan-aturan ini bersesuaian erat dengan sepuluh aturan samaṇera, dengan yang ke tujuh dan ke delapan digabungkan dan ke sepuluh (menghindari menerima emas dan perak, yaitu, uang) dihilangkan.
481 >
Ekabhattika: Ini juga dapat diterjemahkan “makan pada satu bagian siang hari.” Mp: “Ada dua [periode] makan, [periode] makan pagi dan [periode] makan malam. [periode] makan pagi berakhir di tengah hari; [periode] makan malam dimulai dari tengah hari hingga fajar keesokan harinya. Oleh karena itu bahkan mereka yang makan sepuluh kali sebelum tengah hari dikatakan makan sekali sehari.”
482 > Ce
pahūtasattaratanānaṃ; Be
pahūtarattaratanānaṃ; Ee
pahūtamahāsattaratanānaṃ. Mp (ce dan Be) membaca
pahūyarattaratanānaṃ, tetapi Mp (Ee) membaca –
satta- di sini. Mp menjelaskan: “Memiliki bahan berharga yang berlimpah yang terdapat dalam
ratta; makna ini adalah bahwa negeri itu dipenuhi dengan tujuh benda berharga sehingga, jika permukaan Jambudīpa (Sub benua India) berukuran seluas permukaan gendering
bheri, maka jumlah ketujuh benda tersebut adalah berukuran pinggang seseorang.” Dengan demikian terdapat ambiguitas tentang apakah tulisan aslinya adalah
–satta- atau
–ratta-. Mp-ṭ menyebutkan bahwa kata
ratta adalah bersinonim dengan benda berharga (
ratta-saddo ratanapariyāyo), tetapi juga mengatakan bahwa tulisan
pahūtasattaratanānaṃ terdapat dalam teks. Saya menerjemahkan dengan berdasarkan pada tulisan terakhir.
483 > Sebagian besar negeri ini berlokasi di Sub benua India, tetapi Gandhāra dan Kamboja terletak di barat laut, di sekitar Pakistan dan Afghanistan modern.
484 > Di sini dimulai gambaran kosmologi dari enam alam surga indria.
485 > Bersama dengan Be dan Ee membaca
nabhe pabhāsanti, bukan seperti Ce
nabhe pabhāsenti, “menerangi langit.”
486 > Mengikuti Mp, saya memahami
bhaddakaṃ di sini hanya sebagai sebuah kualifikasi dari
veḷuriyaṃ, bukan sebagai jenis tersendiri dari batu mulia.
487 > Mp: “Emas tanduk (
siṅgīsuvaṇṇa) adalah emas yang menyerupai [dalam hal warna] tanduk sapi (
gosiṅgasadisa). Emas gunung (
kañcana) adalah emas yang ditemukan di gunung. Emas alami (
jātarūpa) adalah emas yeng berwarna Buddha.
Haṭaka adalah emas yang dipindahkan oleh semut-semut.
488 >
Candappabhā. Mp: “Bentuk nomitatif yang digunakan dalam bentuk genitif, bermakna ‘cahaya rembulan’ (
candappabhāya).”
489 > Saya menganggap kalimat ini sebagai bermakna interogatif walaupun tidak mengandung partikel interogatif.
490 > Aliran Makkhali Gosāla, yang mengajarkan determinisme keras dan menekankan pada pertapaan keras yang ekstrim.
491 > Di sini dan di bawah digunakan bentuk jamak
sugatā. Dengan demikian dalam konteks ini kata ini memiliki makna yang lebih luas daripada sekedar Sang Buddha yang merupakan penerapan biasanya.
492 >
Attho ca vutto, attā ca anupanīto. Terdapat permainan kata di sini antara
attho, “makna”, dan
attā, “diri.”
493 > Ee menghilanglan pertanyaannya di sini.
494 > Mp: “Setelah menjelaskan perilaku bermoral, konsentrasi, dan kebijaksanaan dari seorang yang masih berlatih (
sekha), ia menjelaskan perilaku bermoral, konsentrasi, dan kebijaksanaan dari seorang yang melampaui latihan (
asekha) melalui buah Kearahattaan: ‘Pengetahuan buah dari seorang yang melampaui latihan muncul lebih belakangan daripada konsentrasi dan pengetahuan pandangan terang dari seorang yang masih berlatih. Konsentrasi buah pada seorang yang melampaui latihan muncul lebih belakangan daripada pengetahuan pandangan terang dari seorang yang masih berlatih.
495 > Kaum Licchavi adalah suku yang berkuasa dalam republik Vajji, yang beribukota di Vesālī.
496 > Sebuah satire dari pengakuan Nātaputta sebagai maha tahu, baca MN 76.21-22, II 519,13-33.
497 >
So purāṇānaṃ kammānaṃ tapasā byantībhāvaṃ paññāpeti navānaṃ kammānaṃ akaraṇā setughātaṃ. Mp: “Ia menyatakan kehancuran melalui praktik keras dari kamma-kamma yang terakumulasi (
āyūhitakammānaṃ) dan tanpa akumulasi kamma apa pun di masa sekarang yang mungkin telah terakumulasi.
Pembongkaran jembatan (setughātaṃ) adalah pembongkaran faktor dan pembongkaran kondisi (
padaghātaṃ paccayaghataṃ). Diduga apa yang dimaksudkan adalah hancurnya akumulasi kamma dan kondisinya. SED menjelaskan “ikatan, belenggu” sebagai makna dari
setu, yang tampak cocok di sini.
498 >
Evam etissā sandiṭṭhikāya nijjarāya visuddhiyā samatikkanto hoti. “Pengikisan” (
nijjarā) kamma masa lalu melalui pertapaan keras adalah konsep fundamental Jain.
499 >
So navañca kammaṃ na karoti, purāṇañca kammaṃ phussa phussa vyantikaroti. Mp: “Ia tidak mengakumulasi kamma baru. ‘Kamma lama’ adalah kamma yang terakumulasi di masa lalu. Setelah menyentuhnya lagi dan lagi, ia melenyapkannya. Ini berarti bahwa setelah menyentuh kontak-akibat lagi dan lagi, ia menghancurkan kamma itu.”
500 > Mp mengidentifikasikan tiga tingkat pengikisan sebagai empat pencapaian mulia. Penggambaran bhikkhu dalam “pengikisan” pertama sebagai bermoral, menurut Mp, menunjukkan kedua jalan dan buah yang lebih rendah – yaitu tingkat memasuki-arus dan yang-kembali-sekali – karena para siswa pada tingkat-tingkat ini dikatakan telah memenuhi perilaku bermoral. Penggambaran bhikkhu dalam “pengikisan” ke dua, sebagai seorang yang telah mencapai empat jhāna, menunjukkan pencapaian tingkat jalan dan buah ke tiga, yaitu yang-tidak-kembali, digambarkan sebagai seorang yang telah memenuhi konsentrasi. Dan penggambaran bhikkhu dalam “pengikisan” ke tiga sebagai seorang yang telah mencapai hancurnya noda-noda menunjukkan buah Kearahattaan, karena para Arahant telah memenuhi kebijaksanaan. Mp menyebutkan interpretasi lain, yang menganggap bahwa seluruh tiga jenis “pengikisan” adalah penggambaran Kearahatttaan, yang dibuat dari sudut pandang moralitas, konsentrasi, dan kebijaksanaan Arahant. Untuk hubungan antara ketiga latihan dan keempat pencapaian mulia, baca
3:86.
501 >
Abbhanumodasi. Lit. “bergembira bersama dengan.”
502 >
Aveccappasāda. Mp: “Keyakinan tak tergoyahkan yag muncul setelah mengalami, setelah mengetahui, moralitas-moralitas mereka.” Ungkapan ini menyiratkan keyakinan yang dimiliki oleh seorang mulia, seorang yang telah mencapai setidaknya tingkat memasuki-arus.
503 >
Bhava. Apa yang dimaksudkan adalah kondisi nyata penjelmaan individual dalam salah satu dari tiga alam. Nibbāna disebut
bhavanirodha, lenyapnya penjelmaan individual.
504 >
Āyatiṃ punabbhavābhinibbati hoti. Mp mengatakan bahwa kesadaran yang berfungsi sebagai benih (
bīja) adalah kesadaran yang aktif secara kamma (
abhisaṅkhāraviññāṇaṃ) yang muncul bersamaan dengan kamma. Dalam menyebutkan ketagihan sebagai kelembaban (
sneha) melibatkan suatu permainan kata.
Sneha, dalam Pāli, dapat berarti kelembaban atau kasih sayang; dalam makna terakhir,
sneha kadang-kadang digunakan sebagai sinonim bagi ketagihan. Proses kelahiran kembali digambarkan dalam kata-kata serupa dalam SN 5:9, SN 12:64, SN 23:53, SN 22:54. “Alam rendah” (
hīnā dhātu) adalah alam indria. Demikian pula, persis di bawah, “alam menengah” (
majjhima dhātu) adalah alam berbentuk, dan “alam tinggi” (
paṇītā dhātu) adalah alam tanpa bentuk. Jalan Sang Buddha bertujuan untuk mengatasi kelahiran kembali di segala alam.
505 >
Cetanā patiṭṭhitā patthanā patiṭṭhitā. Mp: “Kehendak kamma dan aspirasi kamma.”
506 >
Silabbataṃ jīvitam brahmacariyaṃ upaṭṭhānasāraṃ. Dari urutan, tiadk jelas apakah
upaṭṭhānasāra adalah satu kata yang paralel dengan kata lainnya atau terdistribusi diterapkan pada masing-masing kata yang mendahuluinya. Mp mengemas seolah-olah kasus yang ke dua, yaitu, seolah-olah bermakna
penegakan ketiga praktik sebelumnya, menganggapnya sebagai inti kehidupan spiritual.
Upaṭṭhānena sāraṃ ‘idaṃ varaṃ idaṃ niṭṭhā’ ti eva upaṭṭhitan (“Mengokohkannya sebagai inti, setelah menegakkannya [dengan pendirian] bahwa itu baik, menjadi tujuannya”). Urutan kata yang sama terdapat pada Ud 6:8, 71,29-32. Ud-a 351, 9-12, memperbolehkan kedua interpretasi: apakah sebagai terdistribusi atau sebagai satu jenis tambahan dari praktik pertapaan. Secara kolektif, ketiga (atau empat) kata ini mewakili penyiksaan-diri ekstrim; praktik-praktik secara spesifik digambarkan di bawah pada
3:156 §2 di mana disebutkan “cara praktik yang melepuhkan.” Ekstrim lawannya adalah pandangan bahwa tidak ada bahaya dalam kenikmatan indria, yang bersesuaian dengan praktik yang mementingkan kenikmatan indria yang dijelaskan pada
3:156 §1. Jalan Tengah Sang Buddha, pada
3:156 §3,
menghindari kedua ekstrim ini.
507 > Ce dan Ee membaca
devatāpi’ssa amanussā. Be tidak menuliskan
amanussā, “makhluk-makhluk halus.”
508 > Semak belukar yang darinya bubuk harum dihasilkan.
509 > Syair ini juga terdapat dalam Dhp 54.
510 > Baca SN 6:14, I 155-57. “Menyampaikan suaranya” diterjemahkan dari
sarena viññāpesi, secara lebih literal “berkomunikasi dengan suaranya.”