VIVAnews - Perserikatan Bangsa-bangsa menetapkan daerah Somalia selatan sebagai daerah yang menderita kelaparan. Musim kemarau terparah selama 60 tahun ini membuat banyak anak-anak Somalia menderita kekurangan gizi.
Badan Bantuan Anak PBB, dilansir dari laman CNN, Rabu, 20 Juli 2011, mengatakan sebanyak 80 persen anak di Somalia selatan menderita kekurangan gizi. PBB mengatakan anak yang menderita kekurangan gizi akut di Somalia mencapai 30 persen. Sementara itu, angka kematian meningkat menjadi dua orang per 1.000 kepala per harinya.
Kekurangan gizi akibat kelaparan disebabkan oleh kemarau panjang yang berujung pada gagal panen, kematian ternak, meningkatnya harga pangan. Konflik berkepanjangan juga salah satu penyebab penderitaan warga Somalia. Perang saudara di Somalia juga membuat pemerintahan negara ini tidak efektif. Somalia telah lama disebut sebagai negara gagal.
Tingginya harga pangan membuat warga Somalia yang kebanyakan berada di bawah garis kemiskinan semakin menderita. PBB mencatat, sedikitnya 20 persen keluarga di negara ini menderita kekurangan pangan yang ekstrem. Daerah terparah adalah Bakool dan Shabelle.
Akibat kurangnya makanan, setiap minggunya sebanyak 5.000 warga Somalia rela berjalan berhari-hari di tengah terik menuju kamp pengungsi di Kenya dan Ethiopia. Saat ini di Kenya telah ada 400.000 pengungsi Somalia, padahal kamp pengungsi hanya mampu menampung 90.000 orang.
"Hampir setengah dari populasi Somalia, 3,7 juta orang, saat ini berada di situasi kritis. Sebanyak 2,8 juta di antaranya bermukim di wilayah selatan," ujar Mark Bowden, koordinator bantuan kemanusiaan PBB untuk Somalia.
Bantuan AS
Sesaat setelah pengumuman dari PBB, Kementerian Luar Negeri AS mengumumkan akan mengucurkan dana sebesar US$28 juta (Rp239 miliar) untuk warga Somalia.
"Tahun ini saja, AS telah memberikan bantuan sebesar US$431 juta dalam bentuk makanan dan bantuan darurat. Tapi ini tidak cukup, kebutuhan semakin banyak. AS dan komunitas internasional harus berbuat lebih," ujar Menteri Luar Negeri AS, Hillary Clinton.
Ket. foto: Anak kekurangan gizi di Somalia (AP Photo/Farah Abdi Warsameh)
FAJAR -- Puluhan juta penduduk Afrika kembali menderita kelaparan. Dominan di antaranya berada di Somalia. Mereka butuh bantuan segera.
SARAH, bocah perempuan berusia empat tahun, akhirnya meninggal dunia di salah satu kamp penampungan di Dadaab, Kenya, kemarin. Ayahnya, Aden Ibrahim, hanya bisa meratap sambil menggendong jasad putrinya. Sarah menghembuskan napas terakhirnya kala fajar.
Beberapa pria mengikuti Ibrahim, menghadap Mekah, menyalatkan jenazah, sebelum memakamkannya dengan balutan kain putih.
Paman Sarah, Ibrahim Hassan Mohammed, mengatakan, keluarganya melarikan diri dari Somalia ke Kenya, berharap ada kehidupan yang lebih baik. “Kami tak membawa uang atau apapun,” kata dia. “Kami pengungsi, dalam kondisi sekarat karena tak mendapatkan cukup bantuan.”
Dia menceritakan, keluarganya tiba di kamp Juni lalu. Ketika itu, mereka sudah dalam kondisi kelelahan dan kelaparan. Namun, alih-alih mendapat bantuan, mereka terpaksa mengemis makanan selama dua minggu.
Sarah yang sakit dan kurang gizi dibawa ke klinik terdekat, namun itu tak membantu. Mereka lalu dirujuk ke rumah sakit terdekat yang dioperasikan Doctors Without Borders. Namun, sayang, mereka ketinggalan kendaraan yang secara periodik mengambili para pasien. Sementara, tak ada uang sama sekali untuk menyewa kendaraan umum.
“Kami diberi tepung dan jagung, tapi anak yang sakit membutuhkan lebih dari itu,” kata Mohammed, seperti dikutip salah satu situs, Kamis, 21 Juli.
Mohammed berandai, kalau saja keponakannya segera diobati di rumah sakit, ia pasti selamat. Kini perasaan Mohammed bercampur aduk, khawatir, sedih dan marah. Ia kecewa agen bantuan internasional tak bisa membantu lebih.
“Kami mohon pada dunia, bantulah kami,” lanjut Monadmmed. “Anak-anak kami sekarat karena kelaparan. Kami butuh makanan, rumah sakit, jangan abaikan kami.”
Kamp pengungsian pun jauh dari layak. Ini gambarannya; infeksi saluran pernafasan merebak, tidak ada sumber air dan sanitasi. Para pengungsi terutama anak-anak sekarat karena kelaparan. Tak ada sekolah dan petugas yang mendistribusikan makanan. Beberapa pengungsi bahkan tak tinggal di tenda terpal yang beratap. Mereka hanya bernaung di bawah ranting-ranting yang ditata tak rapat.
ANTRE. Warga Somalia harus antre berjam-jam untuk mendapatkan sedikit makanan, seperti yang terlihat di Mogadishu,
Warga Somalia Terancam Mati Kelaparan
Perempuan dan anak-anak kurus kering bagai tengkorak. Mereka bahkan tak bisa bergerak.
VIVAnews - Horor tergambar di wajah tirus Saida Abdi Mahdi. Ancaman kelaparan dan bayangan tragis nasib orang-orang yang ia saksikan, menghantui perempuan itu.
Ia menatap lesu ke arah delapan anaknya yang bergeletakan -- ada yang tidur, ada yang menangis, lainnya terdiam bagai onggokan di atas tanah. Tak bergerak. Sementara, bayi dalam gendongannya memegangi kain sambil menyusu di payudaranya yang layu. Wajah bayi lelaki itu berkerut, tubuhnya menyusut.
Saida bahkan tak punya cukup energi untuk berbicara, sehingga suaminya, Yusuf yang menceritakan bagaimana mereka bisa menempuh perjalanan jauh sampai di kamp bantuan internasional. "Tak ada apa-apa lagi di tanah kami, kecuali bangkai-bangkai hewan bertebaran, sungai yang kering kerontang, dan perempuan serta anak-anak yang kurus kering bagai tengkorak -- mereka bahkan tak bisa bergerak apalagi meninggalkan kampung seperti yang kami lakukan," kata Yusuf seperti dimuat Iris Times, Rabu 20 Juli 2011.
Yusuf menceritakan, kampungnya kini bagai gurun, tumbuhan meranggas. "Selama tiga tahun, tak ada hujan yang turun. Sebelumnya kami adalah penggembala, kami bisa memberi makan diri sendiri. Sekarang, sama sekali tak bisa."
Yusuf dan keluarganya menempuh jarak sepanjang 370 kilometer untuk mencapai kamp. Mereka cukup beruntung mendapat tumpangan kamp, setelah berjalan jauh dengan perut kosong di tengah udara menyengat.
Sementara, Sharif Nuro, ayah tujuh anak yang menempuh jarak 300 kilometer menuju kamp menyebut, ada dua alasan mengapa warga Somalia menghadapi krisis akut. "Kekeringan mengerikan selama beberapa tahun ini dan tekanan al Shabab," kata dia.
Al Shabab adalah kelompok pemberontak yang diyakini berafiliasi dengan Al Qaeda. Mereka mengontrol sejumlah kantung di ibukota Mogadishu dan sejumlah bagian di selatan dan tengah Somalia. "Mereka memaksa kami membayar pajak tambahan berupa hewan ternak dan hasil pertanian, mereka memaksa putra-putra kami bergabung dalam kelompok bersenjata, mereka juga memaksa putri kami menikah dengan mereka tanpa mahar."
Apa yang terjadi di Somalia adalah tragedi. Hasil dari setumpuk masalah: perubahan iklim, naiknya harga pangan, dan ketidakstabilan negeri selama beberpa dekade. Kekeringan sebelumnya dialami Somalia 19 tahun lalu.
Seperti dimuat BBC, Perserikatan Bangsa-bangsa telah mendeklarasikan kejadian luar biasa di Somalia: kelaparan. Negeri ini mengalami kekeringan paling parah dalam kurun waktu setengah abad.
PBB menyatakan, situasi kemanusiaan memburuk secara cepat. Parahnya, bantuan kemanusiaan dari sejumlah negara dan lembaga sulit masuk. PBB dan Amerika Serikat sedang berjuang meminta kelompok bersenjata Al Shabab mengizinkan dan menjamin staf dan bantuan bisa masuk dan diberikan pada mereka yang membutuhkan.
Untuk diketahui, sejak 2009, Al Shabab menutup akses masuk lembaga asing ke wilayah terotial mereka. Baru belakangan ini ada sedikit kelonggaran.
Sepuluh juta orang di Afrika terdampak dan membutuhkan bantuan secepatnya, termasuk 2,85 juta di Somalia -- di maan 1 dari 3 anak-anak menderita malnutrisi. (umi)
Source : World Food Programme [
www.wfp.org ]