//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Bhiksu Wu Thung, Pengalaman dan Nasehat2nya  (Read 29079 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline hengki

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 741
  • Reputasi: 49
Bhiksu Wu Thung, Pengalaman dan Nasehat2nya
« on: 18 January 2008, 09:49:22 AM »
BAB 1

BHIKSU TUA DAN ANAK MUDA

Subuh itu, jam baru menunjukkan pukul empat kurang seperempat. Di pekarangan Vihara yg cukup besar dan masih sepi, terdengar bunyi sapu lidi beradu dgn ubin lantai. Orang tua itu pendek, dan sedikit gempal. Rambutnya hampir tidak ada, Cuma sedikit uban di sana sini. Sosoknya mirip guru silat yang menyembunyikan kesaktiannya dalam cerita komik Kung Fu Boy. Dan ia memang seorang Bhiksu.

Sayup2 terdengar kokok ayam jantan. Orang tua ini dengan tekun membersihkan daun2 kering yang berserakan di pekarangan yang redup diterangi lampu. Keringat mengucur di pundaknya, tapi ia terus bekerja.

Pukul 5 pagi, setelah Nien Cing (Baca Sutra dan Mantra) di depan Buddha Rupang, membersihkan lingkungan Vihara, dan membuka gerbang, Suhu tua itu duduk minum teh hangat. Wangi teh sedap sekali di pagi yang masih dingin dan bersih.

Tamu pertama datang. Suara motor bebek tua mengotori ketenangan, seolah tidak mau tahu indahnya keheningan ufuk genteng Vihara yang berkilau diusap lembut cahaya matahari. Pemuda itu turun dari motornya, ia gemuk tapi gempal dan tanpa ragu melangkahkan kaki ke dalam Vihara, memberi hormat pada Para Buddha dan Bodhisattva, lalu langsung menuju ke kamar Suhu tua.

Setelah memberi hormat, ia dipersilahkan duduk oleh Suhu tua dan disuguhkan teh dan roti. Anak muda itu mengucapkan terima kasih. Di belakang hari, Suhu tua mengungkapkan pada anak muda yang lain, pemuda gempal tadi akan jadi orang besar, “Wajahnya bagus sekali dan penuh semangat.”

“Suhu, tapi saya masih miskin. Sudah bekerja keras, dan akan terus bekerja keras sampai kaya,” kata pemuda gempal itu dengan penuh semangat.

“Untuk bisa jadi kaya, orang mesti berusaha yang benar. Itu juga tidak cukup. Orang harus memiliki hati yang murah hati dan penuh welas asih. Jika ada welas asih pada orang susah, dan suka menolong, orang tersebut suatu waktu akan kaya. Jika melihat peminta-minta, berilah dengan tulus dan penuh hormat serta welas asih, tidak boleh memberi dengan sembarangan. Orang ada yang punya hoki dan ada yang tidak. Ada dua toko, sama-sama jual barang yang sama. Satu laku, yang satu lagi tidak. Ada hoki, apa saja dibeli untung. Tapi hoki ada di tangan sendiri.

“Ikuti jejak Bodhisattva Kuan Im (Avalokitesvara), dan banyak2lah menolong orang lain tanpa pamrih. Nanti hoki kamu akan menjadi bagus, akan menjadi kaya, tidak usah takut. Tapi hati harus tulus dan tanpa pamrih.

“Saat kita berdana, yang penting bukan jumlahnya. Yang penting kita harus tulus. Dulu ada seorang perempuan miskin datang ke Vihara. Dia tidak punya uang, tapi tergerak hati untuk membantu. Dia Cuma berdana 2 sen, namun kepala Vihara sendiri yang datang mengadakan pelimpahan jasa untuknya. Beberapa tahun kemudian dia diangkat menjadi selir kaisar. Satu hari dia datang lagi ke Vihara dengan membawa berpeti-peti dana. Tapi kali ini, Kepala Vihara Cuma meminta muridnya menyambut. Selir kaisar merasa heran. Kepala Vihara menjawab bahwa dulu hatinya tulus sekali. Tapi saat ini meskipun membawa banyak dana, bukan dari hati yang paling tulus. Meskipun menyumbang ratusan keping emas, jika hati tidak tulus, berkah yang akan diterima bisa kalah dengan dana dua sen dari hati yang bersih.

“Tidak perlu minta2 kepada cai sen (dewa kekayaan). Bank banyak duit, tapi masa kamu pergi ke sana minta duit? Apa bank akan kasih duit kepada kamu begitu saja?

“Kebajikan yang kita lakukan hari ini, mungkin tidak langsung berbuah hari ini juga. Tapi yang pasti, dengan berbuat kebajikan, akibat2 dari perbuatan buruk kita di masa lampau akan berkurang. Jadi kamu harus sabar, jangan patah semangat dalam berbuat bajik. Hasilnya pasti datang cepat atau lambat.

“Kadang2 kesusahan suka datang tiba-tiba. Jangan kesal atau putus asa. Anggap saja itu hutang kita dari kehidupan yang lalu. Hutang yang harus dilunasi. Jalani semuanya dengan tabah, dan tetap berupaya berbuat kebajikan. Jangan karena kesulitan itu kita terdorong berbuat yang tidak benar. Nanti hidup kita malah makin susah.

“Meskipun setempo-tempo bisa terasa berat sekali, jangan takut. Sadari lagi, bahwa semua itu adalah hutang yang harus kita bayar. Bahwa itu memang harus terjadi akibat perbuatan kita di masa lampau. Teruslah berdoa pada Kwan Im Po Sat, dan dengan tulus memohon pertolongan Beliau. Nanti semuanya akan beres dengan sendirinya. Setelah hutang terbayar lunas, hidup kita akan menjadi makin baik.
Berbuat Baik dan Melatih Diri sebaiknya dilakukan sedari muda. Jangan menunggu sudah bungkuk, pikun, mata rabun, jalan pakai tongkat baru mau Berbuat Baik dan Melatih Diri

Offline hengki

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 741
  • Reputasi: 49
Re: Bhiksu Wu Thung, Pengalaman dan Nasehat2nya
« Reply #1 on: 18 January 2008, 08:37:24 PM »
"Kita hidup harus memiliki welas asih pada semua makhluk. Dulu di Tiongkok, saya ada kenal satu Bhiksu muda. Umurnya baru 20 tahun lebih. Ia suka siram air panas dari poci ke atas barisan semut yang sedang lewat. Itu perbuatan jelek sekali. Bhiksu itu akhirnya mati muda. Ia mati muda bukan karena apa2, tapi karena perbuatannya sendiri.

"Di Malang saya ada kenal satu orang. Itu orang ada hoki. Umur tiga puluh lebih sudah kaya raya, punya kerjasama dengan pabrik. Cuma sayang, dia suka pergi berburu, dan pelihara ikan naga. Kalau berburu suka tembak babi hutan. Banyak yang mati. Di samping itu, dia suka tangkap kecoa. Angkat batu, di bawah batu banyak kecoa, dia ambil terus kasih makan ikan naga. Itu perbuatan tidak bagus.

“Saya suka kasih nasehat, tapi tidak didengar. Orang itu juga pelihara burung. Tiap hari kasih makan jangkrik. Haiya, itu perbuatan juga tidak bagus. Saya bilang jangan. Tapi dia bilang tidak apa-apa. Tapi ya itulah, umur empat puluh lebih, dia sudah mati. Kena penyakit berat.

“Ada lagi satu orang. Sudah kawin bertahun-tahun, belum dapat anak. Itu orang suka pelihara ikan. Terus ambil anak ikan kecil2 buat dikasih makan ikan yang lebih besar. Itu juga perbuatan tidak baik. Ya, ingin punya anak, tapi perbuatan sendiri tidak mendukung. Bagaimana bisa?

“Kita ada rejeki dan ada umur, jangan disia-siakan. Rejeki dan umur itu harus dijaga, jangan dirusak sama diri sendiri dengan berbuat bodoh. Kita harus tahu bagaimana menjaga dan memupuk rejeki dan umur. Kalau suka menyakiti makhluk hidup lain, nanti diri sendiri akan menderita di belakang hari. Sering2 kita lihat ada bencana alam, ada ribut-ribut, itu semua karena orang sering menyakiti makhluk hidup lain, manusia maupun hewan.

“Orang banyak berbuat tidak baik seperti itu karena tidak mengerti. Jadi tidak takut. Kalau mengerti, mereka akan takut melakukan perbuatan seperti itu. Waktu kecil, kita mungkin ada berbuat yang kurang baik, seperti menganiaya makhluk-makhluk kecil dan tidak berdaya. Sekarang sesudah mengerti, jangan lagi berbuat seperti itu. Untuk mengurangi akibat perbuatan tidak baik kita di masa silam, banyak-banyaklah berbuat kebajikan dan Nien Cing. Baca Amithofo dengan tulus, terus limpahkan jasa bagi semua makhluk, terutama yang pernah kita sakiti. Dengan begitu hutang kita bisa menjadi tidak terlalu berat.

“Ada satu Bhiksu besar di Tiongkok. Beliau sangat dihormati dan menjadi Sesepuh dari banyak Vihara. Satu hari, Beliau minta satu orang Bhiksu kecil untuk membawa sepatu barunya ke luar Vihara, dan ditaruh di pinggir jalan. Selama tiga hari sepatu itu dibiarkan di sana. Tidak ada yang ambil. Sesudah itu, Beliau ambil kembali sepatu itu, dan Beliau tunjukkan pada semua muridnya.

“Lihat,” katanya, “sepatu saya tidak ada yang ambil. Padahal banyak orang yang lalu lalang di depan Vihara. Ini karena di kehidupan yang lampau, saya tidak pernah mengambil apa yang bukan hak saya. Demikian juga dalam kehidupan-kehidupan sebelumnya. Jika kita tidak menyakiti orang lain, kita juga tidak akan disakiti. Kalau kita dianiaya orang lain, itu karena dulu mungkin dalam kehidupan sebelumnya, kita pernah menyakiti orang lain. Kalau kita tidak pinjam duit, tidak akan ada orang yang datang menagih kepada kita. Kalau kita banyak menolong orang lain, kita juga akan banyak ditolong orang.”

“Dulu ada satu Arahat melihat satu umat sedang membangun sebuah Vihara untuk masyarakat. Ia menunjukkan air muka yang cerah saat bertemu dengan umat ini. “Lihat”, ujarnya sambil menunjuk ke atas, ‘sudah disediakan tempat buat kamu di sana, walaupun Vihara belum selesai dibangun.’

“Kemudian mereka berjalan bersama, saat bertemu dengan seorang umat yang lain, wajah Arahat ini kembali terang. ‘Lihat,’ ujarnya lagi sambil menengadah. “Sudah ada tempat yang terang baginya di sana!’

“Mereka melanjutkan perjalanan. Mendadak air muka Arahat berubah sangat prihatin. Umat tadi heran, lalu menanyakan ada apa. ‘Lihat semut itu! Sungguh kasihan sekali. Berkalpa-kalpa yang lalu, zaman Buddha dahulu kala, ia adalah seekor semut. Sekarang juga masih seekor semut…..’

“Seperti cerita tadi, kita harus menggunakan kesempatan yang ada dengan sebaik-baiknya. Sungguh sukar dilahirkan sebagai manusia.”

Anak muda gempal segera merangkapkan kedua belah telapak tangan, dan membungkuk hormat, “Terima kasih, Suhu. Terima kasih atas nasehatnya.”

Ia lalu pamit. Jam sudah menunjukkan pukul 7 pagi lewat. Bhiksu tua mengantarkan sampai ke gerbang Vihara. Ia melambai-lambaikan tangannya. Motor bebek meraung penuh semangat, tapi kali ini kalah dengan suara bajaj yang sudah mulai hilir mudik di depan Vihara.
Berbuat Baik dan Melatih Diri sebaiknya dilakukan sedari muda. Jangan menunggu sudah bungkuk, pikun, mata rabun, jalan pakai tongkat baru mau Berbuat Baik dan Melatih Diri

Offline hengki

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 741
  • Reputasi: 49
Re: Bhiksu Wu Thung, Pengalaman dan Nasehat2nya
« Reply #2 on: 19 January 2008, 08:18:07 PM »
BAB 2

AKAR DAN BURUNG DARA

Pada tahun 1917, di kampung cukup besar, Hing Hwa di Tiongkok, lahir seorang anak laki2. Meskipun keluarga itu tidak berada, kelahiran anak laki2 yang diberi nama Kwa Mon Se ini disambut tawa bahagia. Ia merupakan anak kelima, setelah dua orang saudara laki2 dan dua orang saudara perempuannya lahir duluan.

Namun saat mencapai umur 5 tahun, anak laki2 ini digendong di atas punggung ibunya sendiri dan dibawa ke kampung lain untuk dititipkan pada satu keluarga yang belum punya anak. Ia diangkat anak, dan diberi nama baru Teng Ngi Kai. Setelah mengangkatnya sebagai anak, bak mendapatkan berkah, keluarga ini akhirnya mempunyai 5 anak lagi.

Pada usia remaja, Ngi Kai lari dari rumah ke tempat saudara kakeknya, karena merasa diperlakukan tidak adil oleh ibu angkatnya. Di sana, ia suka ke Vihara di sebelah rumah kakek paman, yang dipimpin oleh seorang Bhiksuni.

Setiap hari ia jadi sering ke Vihara, menyapu dan mengepel, membersihkan Altar, dan ikut Nien Cing (baca Sutra dan Mantra). Oleh Bhiksuni, ia kemudian dikirim untuk tinggal di Vihara lain. Tatkala getaran Dharma semakin menggema dalam hatinya, ia akhirnya memilih jalannya sendiri, memilih menjadi burung dara yang melesat lebih cepat dari burung merak.. ia mengambil keputusan menjadi seorang Samanera saat usianya baru 17 tahun.

Hari itu bertepatan dengan hari Waisak, tanggal 8 bulan keempat penanggalan imlek. Ia dicukur oleh Bhiksu Hok Sin. Dan diberi nama Wu Thung yang berarti ‘menjadi sadar dari ketidaktahuan’. Gurunya sebetulnya bukan Bhiksu Hok Sin. Bhiksu Hok Sin adalah guru dari kakek guru dari gurunya yang sebenarnya. Gurunya yang sebenarnya bernama Lie Tjhing dan sudah wafat dua tahun saat dia ditahbiskan. Memang waktu itu, tradisi seperti itu masih ada. Pada umur 21 tahun, dahinya ditotok dengan dupa enam kali, dan ia menjadi seorang Bhiksu. Aliran Viharanya itu disebut Aliran Tsao Tung. Di sana ada dua aliran besar, Aliran Lin Chi (Rinzai) dan Aliran Tsao Tung (Soto). Vihara Kong Hoa Sie, Vihara asal dari Bhiksu Pen Ching (guru dari Bhiksu Ashin Jinarakkhita) masuk dalam aliran Lin Chi.

Kehidupan sehari-hari seorang Bhiksu tidak banyak berbeda dengan umat, kecuali bahwa mereka tidak terikat lagi pada keduniawian. Sebagai Bhiksu, mereka juga harus bekerja untuk memenuhi kehidupan sehari-hari, mulai dari bercocok tanam dan memasak. Vihara di kampungnya besar2, adanya di kaki dan puncak gunung. Satu Vihara hampir seperti satu kampung kecil sendiri, bisa ditempati oleh sekitar 200 orang. Untuk bisa bertahan sebagai Vihara besar, paling tidak ada tiga kebutuhan yang harus dipenuhi, yaitu kayu, air, dan beras. Kayu terutama untuk memasak. Beras sebagai makanan, yang biasanya mereka tanam sendiri atau beli dari kampung lain. Dan air sebagai sumber kehidupan.

Pagi-pagi, para Bhiksu sudah harus bangun untuk Nien Cing, latihan kungfu, dan bekerja. Setiap Bhiksu memiliki tugasnya masing2, seperti memasak, membersihkan aula, dan sebagainya. Untuk memasak saja dibutuhkan tiga orang. Tempat masaknya besar, garis tengahnya bisa menjangkau rentangan tangan dua orang dewasa.

Bhiksu di sana tidak boleh makan bawang karena menurut Sang Buddha, seperti tertera dalam Leng Yen Cing/Sutra Suranggama – yang ada tujuh jilid – bawang tidak baik untuk dimakan. Jika dimakan sebelum dimasak, bawang akan membuat panas badan dan menambah amarah. Sesudah dimasak, bawang akan menimbulkan hasrat seksual. Di samping itu, sesudah makan bawang, mulut akan bau. Kalau kita tidur dan mulut terbuka, bau bawang akan mengundang makhluk halus untuk menciumnya. Makhluk halus itu kalau makan dengan mencium bau makanan, dan mereka suka yang bau-bau.

Disiplin, ketekunan, dan kejujuran Bhiksu Wu Thung membuat dia dipercaya untuk menjadi tang cia/kepala rumah tangga Vihara di Vihara Kong Hoa Sie di daerahnya, meskipun usianya masih muda – sekitar tiga puluh tahunan – dan ia bukan ditahbiskan dalam aliran Kong Hoa Sie. Ia bahkan sampai tiga kali memimpin Vihara Kong Hoa Sie di sana.

Di Kong Hoa Sie, ada dua ekor anjing, satu warnanya hitam, satu warnanya putih. Dua ekor anjing itu bisa pergi naik turun gunung ke Vihara lain, kurang lebih 35 mil. Pergi selama satu minggu, baru kembali. Vihara lain tahu dua ekor anjing itu dari Kong Hoa Sie, jadi kalau datang suka dikasih makan. Hebat juga itu anjing!

Pada umur 39 tahun, atas permintaan Sesepuhnya, ia berangkat ke Indonesia tahun 1956. Ia tiba di Jakarta menumpang pesawat terbang. Untuk sementara tinggal di bandung selama 3 bulan, selanjutnya ia pindah ke Bogor dan menetap di sana selama 9 tahun. Lalu pindah ke Malang dan memimpin satu Vihara di sana selama 27 tahun sebelum pindah ke kota Batu selama 2 tahun. Setelah itu, ia menetap di Gadog, Cipanas, Jawa Barat selama sekitar  9 bulan. Dan akhirnya pindah ke Jl. Tangki di Vihara Vaipulyasasana/Kong Hoa Sie Indonesia, Jakarta selama 3 bulan, sebelum menetap di Jl. Lautze di Vihara Dharmayuga dan Vihara Buddhayana yang sampai saat ini thn 1999 sudah hampir 4 tahun.

Menurut Alm. Mahasthavira Ashin Jinarakkhita, Sesepuh Bhiksu di Indonesia, umat perlu bersyukur akan keberadaan Bhiksu Wu Thung di sini, dan semestinya menggunakan semua kesempatan yang ada untuk belajar darinya. Ia dianggap sebagai Bhiksu paling bersahaja dan luar biasa yang pernah Beliau jumpai. Jika bertemu, Alm. Bhiksu Ashin Jinarakkhita sendiri akan bersujud di depan kakinya. Kesederhanaan, disiplin, dan kebijakannya harus diteladani Bhiksu-Bhiksu muda saat ini.

Hingga hari ini, Bhiksu Wu Thung hidup sehat dan sendiri, meskipun telah berumur 82 tahun lebih (thn 1999). Keseharian dijalani dengan sangat sederhana dan apa adanya. Pagi-pagi sebelum ayam berkokok sudah bangun, berdoa, membersihkan Vihara, dan membuka gerbang menyambut umat yang datang bersembahyang. Kebanyakan dari kebutuhannya sehari-hari seperti mencuci, memasak, bercocok tanam, membuat tempat sampah, ia kerjakan sendiri.

Jika berhadapan dengan Beliau, akan sukar untuk menganggap Beliau sebagai orang yang luar biasa. Penampilannya sangat biasa. Keserhanaannya benar-benar sederhana. Bukan kesederhanaan supaya dibilang atau supaya dikenal sebagai orang yang sederhana.

Bhiksu Wu Thung, ya Cuma seperti itulah. Tulus polos dan apa adanya.

Dulu waktu di Malang, Bhiksu Wu Thung berdiam di Vihara Eng An Kiong. Di sana ia pernah memelihara seekor ayam putih dan seekor babi. Ayam putih dan babi punya cerita masing2.

Waktu itu ada sepasang suami istri yang mau membuat sumpah, karena tidak ada kepercayaan satu sama lain. Sebelum bersumpah, mereka mau menyembelih ayam putih. Bhiksu Wu Thung melarang, “Sumpah sambil berbuat kekerasan akan membawa akibat buruk. Daripada dipotong, biar saya pelihara.”

Ayam putih itu kemudian dia pelihara, dan setiap pagi selalu datang ke kamarnya menunggui dia keluar. Banyak kamar di sana, tapi ayam itu bisa tahu yang mana kamar Bhiksu Wu Thung. Lihai juga ayam putih ini!

Lalu ada seorang ayah yang mendermakan seekor babi ke Vihara karena mengikuti ramalan orang yang mengatakan jika ingin nasib puterinya lebih baik, ia harus menyumbangkan seekor babi hidup ke Vihara.

Bhiksu Wu Thung takut babi itu disembelih kalau dikasih ke orang lain. Jadi ia membuatkan sebuah kandang di tanah lapang dalam lingkungan Vihara dan memeliharanya. Tapi babi itu jatuh sakit, mungkin karena kedinginan di luar. Merasa iba, ia membuatkan sebuah kandang di dalam kamarnya sendiri dan sejak itu babi itu tidur di sana. Setiap pagi, babi minta keluar untuk buang air, habis itu baru masuk kembali ke kandang. Tapi akhirnya, setelah beberapa bulan babi itu mati. Babi lalu dikubur, dan Bhiksu Wu Thung mengatakan tidak apa-apa, karena bukan mati disembelih.
Berbuat Baik dan Melatih Diri sebaiknya dilakukan sedari muda. Jangan menunggu sudah bungkuk, pikun, mata rabun, jalan pakai tongkat baru mau Berbuat Baik dan Melatih Diri

Offline hengki

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 741
  • Reputasi: 49
Re: Bhiksu Wu Thung, Pengalaman dan Nasehat2nya
« Reply #3 on: 20 January 2008, 07:36:12 PM »
BAB 3

UMAT BUDDHA DAN GUNUNG EMAS

Ada dua hal pokok menurut Bhiksu Wu Thung yang harus dilakukan Umat Buddha. Nien Cing (baca Sutra dan Mantra) dan menolong orang. Baca Sutra dan Mantra dapat membantu kita mendapatkan kebijaksanaan, membuat kita menjadi cemerlang. Hati yang welas asih dan banyak menolong orang dengan tanpa pamrih akan mendatangkan hoki yang baik, dan membuat hidup kita lebih makmur dan sejahtera.

Orang pergi beramai-ramai saat menemukan gunung emas. Jika kita pulang dari gunung emas dengan tangan kosong, tentu percuma sekali. Demikian juga halnya, Umat Buddha yang tidak Nien Cing seperti orang yang pulang dari gunung emas dengan tangan hampa.

Umat Buddha harus Nien Cing, sehari paling tidak satu kali. Apa saja juga boleh, misalnya Ta Pei Cou. Baca Ta Pei Cou boleh 3, 7, atau 21 kali sekali baca. Yang penting saat sedang membaca, ucapan, tubuh, dan hati harus satu. Pikiran jangan melayang kemana-mana. Harus dilakukan setiap hari pada saat yang sudah ditentukan. Mesti ada semangat, tidak boleh hari ini Nien Cing, besok berhenti, besoknya baru Nien Cing lagi. Seperti kita masak air, kalau apinya sebentar-sebentar dipadamkan tentu susah mendidih.

Dulu di Tiongkok ada seorang Bhiksu yang kalau bicara tidak didengar sama sekali sama orang-orang. Semua mencemooh dan mengabaikannya. Dia diberi nasehat untuk menyepi di Vihara dan terus Nien Cing dengan tulus. Lebih kurang 20 tahun dia menyepi dan Nien Cing. Di samping itu setiap ada kesempatan dia selalu menolong makhluk hidup, seperti memberi makan burung. Setiap kali menaburkan makanan untuk burung, ia selalu menyebut, “Omithofo!”

Setelah 20 tahun menyepi, akhirnya dia ‘turun gunung’. Sejak saat itu, banyak sekali orang datang meminta nasehat darinya. Ini menunjukkan akibat karma dapat dirubah, dan berbuat kebajikan sambil melafal Nama Buddha akan membawa pahala yang luar biasa.

Pernah sekali, ada seorang Bhiksu yang memelihara burung beo. Setiap kali lewat di depan burung beo, ia akan menyapa, “Namo Omithofo!”

Lama-lama burung beo itu bisa mengeluarkan suara, “Namo Omithofo!”

Setiap kali orang lewat di depannya, burung beo akan menyebut, “Namo Omithofo!”

Suatu hari, burung itu mati lalu dikubur. Dari tanah itu tumbuh bunga teratai. Orang-orang pada terkejut. Setelah digali, ternyata bunga teratai tumbuh dari mulut burung beo itu. Burung beo saja kalau menyebut, “Namo Omithofo!” bisa membuahkan hasil, apalagi manusia.

Memang, pada awalnya Nien Cing sulit dilakukan. Dibutuhkan tekad yang kuat. Saat baca Cing, bentuk2 pikiran suka berkelebat muncul. Begitu sadar pikiran berkeliaran, segera kembali ke suara Cing yang diucapkan. Dengarkan baik-baik suara yang keluar dari mulut. Yang penting hati harus tulus. Tanya dalam hati siapa yang lagi baca Cing. Kalau pikiran lari, Tanya lagi dalam hati siapa ini yang sedang baca Cing. Nanti lama-lama bisa berhasil.

Dulu ada dua orang Bhiksu. Yang satu kalau sedang Nien Cing, hatinya suka kemana-mana. Oleh sahabatnya, dia dinasehatkan untuk konsentrasi waktu Nien Cing. Satu hari dia wafat, dan masuk ke suatu tempat yang gelap gulita. Di depannya ada Kitab Suci tapi tidak terbaca karena gelap. Setempo-tempo ada makhluk halus yang lewat di depannya dengan membawa lentera kecil. Sekilas kalau dia lewat, Kitab Suci bisa terbaca. Tapi Cuma sebentar. Ternyata banyak kursi di sana, dan yang ada di tempat itu semuanya Bhiksu atau Sai Kong (Pendeta Taois). Dia merasa sedih dan ketakutan. Akhirnya dia teringat ucapan sahabatnya. Jadi dia membuat sahabatnya bermimpi, dan bercerita padanya soal ini.

Dalam mimpi itu, sahabatnya bilang, “kamu sih tidak percaya omongan saya. Kamu sudah bisa hafal Cing apa?”

“Amitocing/ Sutra Amitabha.”

“Kalau begitu, kamu baca Cing itu saja setiap waktu di sana. Tapi harus memusatkan perhatian, pikiran tidak boleh kemana-mana.”

Setelah kejadian itu, ia berusaha Nien Amitocing dengan penuh konsentrasi meskipun tempat itu gelap gulita. Akhirnya ia bisa keluar dari tempat itu. Satu hari, ia kembali mendatangi sahabatnya lewat mimpi untuk menyatakan terima kasih.

Dulu juga ada dua orang saudara, dua2nya jadi Bhiksu. Satu pintar sekali berdebat, yang satu tidak pandai berbicara, Cuma bisa Nien Cing (baca Ta Pei Cou). Setiap hari kerjanya Cuma Nien Cing. Satu kali mereka bertemu muka. “Engkau sudah punya kemampuan apa?”

”Cuma bisa Nien Cing,” jawab saudaranya. Dia ketawa terbahak-bahak meremehkan. Suatu hari, di depan Altar dia melihat saudaranya sedang Nien Cing, dan seluruh ruangan bisa bergetar. Dia kaget, sehingga sejak hari itu dia juga Nien Cing (baca Amitocing).

Baca Cing banyak sekali manfaatnya. Dulu ada orang yang susah melahirkan. Lalu kakeknya membacakan Cin Kang Cing/Sutra Intan untuknya. Akhirnya cucu mantunya bisa melahirkan dengan lancar, dan anaknya di kemudian hari menjadi orang besar. Kalau ada orang mau melahirkan, dibacakan Cin Kang Cing, manfaatnya akan baik sekali bagi ibu dan anak.

Bagaimana dengan Ko Ong Kwan Sie Im Keng? Menurut Bhiksu Wu Thung, itu Cing tidak ada dalam Sutra Agama Buddha. Mau dibaca juga tidak apa2. tapi itu bukan Sutra Buddha.

Lalu apakah dengan Nien Cing, orang bisa menjadi hidup makmur? Menurut Bhiksu Wu Thung, kalau hendak hidup makmur, harus bekeja keras dengan benar dan memupuk hati yang welas asih, banyak menolong orang tanpa pamrih. Nien Cing akan membantu orang menjadi bijaksana dan cemerlang, bukan untuk membuat orang menjadi kaya.

Sehari-hari, Bhiksu Wu Thung membaca Ta Pei Cou sebanyak 21 kali dipagi hari, Amitocing sebanyak 2 kali, dan Wang Sen Cou sebanyak 21 kali. Cou itu artinya mulut, hati, dan tubuh menjadi satu. Mulut bersih, hati bersih tidak memikirkan yang jelek, tidak membenci, iri, dan sebagainya. Dan tubuh tidak boleh melakukan kejahatan.

Nien Cing itu seperti tongkat. Kalau kita Nien Cing, kita tidak akan takut ke manapun kita pergi, ke tempat tinggi, tempat terjal, tempat rendah, kita tidak akan takut, karena ada tongkat di tangan yang siap menopang.
Berbuat Baik dan Melatih Diri sebaiknya dilakukan sedari muda. Jangan menunggu sudah bungkuk, pikun, mata rabun, jalan pakai tongkat baru mau Berbuat Baik dan Melatih Diri

Offline hengki

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 741
  • Reputasi: 49
Re: Bhiksu Wu Thung, Pengalaman dan Nasehat2nya
« Reply #4 on: 22 January 2008, 05:43:19 AM »
BAB 4
HATI YANG LEMBUT

Motor bebek itu meraung lagi. Anak muda gempal datang lagi. Tapi kali ini bersama satu anak gadis. Berdua mereka memberi sujud hormat pada Buddha dan Bodhisattva. Satu laki-laki setengah baya menyapa ramah, “Suhu ada di dalam. Masuk saja.”

“Terima kasih Om. Ini kita bawain sayur sawi hijau.”

“Iya. Suhu paling cocok sama mangga, jambu kelutuk, caisim, dan ubi. Tahu nggak, Suhu jam tiga sudah nyapu pekarangan? Ia suka baca buku dan Nien Cing. Tahu nggak. Suhu tiap tahun baru selalu ngundang Bhiksu-Bhiksu untuk ikut baca Nien Cing? Biasanya sampai tiga jam. Tapi yang lain pada akhirnya duduk, nggak tahan kali ya, kelamaan. Tapi Suhu terus berdiri loh. Tekadnya luar biasa. Padahal sudah tua, saya suka kasihan juga.”

“Iya Om, kita ke dalam dulu.”

“Tahu nggak? Suhu tidak mau menerima dana begitu saja. Selalu suruh kasih saja ke yayasan.”

“Iya Om, kita ke dalam dulu ya.”

”Suhu kalau pagi-pagi suka kasih makan burung loh, burung2 yang datang ke halaman Vihara.”

“Iya Om, kita ke dalam dulu ya.”

Mereka berdua cepat2 ke kamar Suhu. Bhiksu Wu Thung tampak sedang jalan bolak-balik di kamarnya. Tahu ada yang datang, ia mempersilahkan mereka duduk.

“Suhu sedang apa?”

“Sedang Nien Cing.”

“Nien Cing kok jalan bolak-balik gitu?”

“Iya, tidak apa-apa. Baca Cing itu seperti makan. Kalau tidak makan, bisa sakit. Makan yang wajar-wajar saja, berlebihan juga tidak baik.”

“Suhu, ini kenalkan adik angkat saya.”

“Ya, ya. Baik, baik.”

”Dia mau taruh Altar di dalam kamar. Boleh nggak ya Suhu? Dia masih kuliah, dan kost di rumah orang.”

“Boleh, bagus. Tapi harus ditutup kain waktu sedang ganti baju. Sang Buddha tidak apa-apa, Cuma bagi kita sendiri kurang begitu bagus kalau tidak ditutup kain.”

Gadis itu Cuma senyum2 malu. Dalam hati dia mengucapkan terima kasih.

“Dulu pernah ada suami istri sangat miskin. Baju yang lumayan Cuma punya satu. Kalau suami pakai, istri tinggal di rumah, tidak bisa keluar. Kalau istri keluar, suami yang tinggal di rumah.

“Suatu hari, mereka mendengar Sang Buddha telah tiba. Muncul niat yang sangat kuat untuk mengunjungi Beliau. Akhirnya diputuskan istri yang akan pergi. Waktu sampai di sana, hampir semua orang menutup hidung, karena bau sekali istri ini. Bajunya Cuma satu, dipakai bergantian sepanjang tahun. Dia tidak dikasih mendekat ke Sang Buddha.

“Sang Buddha menanyakan ada apa ribut2 di belakang. Setelah tahu, Beliau meminta orang itu maju ke hadapan-Nya. Istri tersebut merasa bahagia sekali. Dia mempersembahkan baju satu-satunya yang dia punya kepada Sang Buddha. Bau sekali, tidak ada yang mau menyentuh baju itu. Sang Buddha  sendiri yang mengambilnya, kemudian menyimpannya di dalam kamar Beliau. Setelah dilahirkan kembali, orang ini memiliki baju yang tidak kotor2. Cemerlang terus sepanjang hidup.”

“Wah, hebat sekali ya Suhu!” anak muda dan gadis itu bersahut bersama-sama.

“Pernah sekali, ada salah satu dari delapan belas Arahat mendengar suara perempuan menangis pilu. Dia cari2, ternyata ada satu perempuan di pinggir sungai kelihatan susah sekali. Dia bilang Cuma punya satu mangkok untuk mengambil air buat majikannya dan tidak punya apa2 lagi. Majikannya sangat telengas, suka marah. Dia sedang mengambil air untuknya. Setelah itu dia menangis lagi.

“Arahat itu bertanya padanya, kenapa kesusahannya itu tidak dijual saja. Perempuan itu bilang, ‘Mana ada orang yang mau membeli kesusahan? Tuan ini ada2 saja.’

“Ada, jual saja kepada saya.”

“Tapi saya tidak punya apa2 Tuan.”

“Itu kan ada air di mangkok.”

“Perempuan itu akhirnya mempersembahkan air kepada Arahat. Setelah dilahirkan kembali, ia menjadi orang yang berkecukupan, kaya raya, makmur, walaupun Cuma mempersembahkan semangkok air dari sungai.

“Memberi persembahan dengan tulus kepada Sang Buddha, pada Arahat, Orang Suci, itu luar biasa berkahnya.
Berbuat Baik dan Melatih Diri sebaiknya dilakukan sedari muda. Jangan menunggu sudah bungkuk, pikun, mata rabun, jalan pakai tongkat baru mau Berbuat Baik dan Melatih Diri

Offline hengki

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 741
  • Reputasi: 49
Re: Bhiksu Wu Thung, Pengalaman dan Nasehat2nya
« Reply #5 on: 24 January 2008, 09:25:10 AM »
Orang tidak boleh takut mati. Kalau takut mati, nanti matinya tidak bagus. Jadi orang harus banyak berbuat baik dengan tulus, sehingga mati tidak takut.

“Ada satu orang tua di Tiongkok. Waktu hidup banyak berbuat jahat. Jelek sekali. Waktu mau mati, dia sangat menderita. Tidak bisa mati, tapi sudah sekarat. Kebetulan ada satu orang Bhiksu lewat, dan mengunjungi dia. Melihat Bhiksu ini, dia langsung beranjali memberi hormat dengan tulus. Setelah itu langsung mati.

“Tidak berapa lama, Bhiksu ini bermimpi seekor babi mohon dipelihara. Kebetulan ada orang mau menjual anak babi, katanya babi itu waktu lahir kaki depannya dalam keadaan dirangkapkan seperti orang sedang beranjali. Bhiksu itu membeli babi ini dan memeliharanya. Itu babi tadinya ya orang yang banyak berbuat jahat tadi. Setelah babi itu mati, akhirnya dilahirkan kembali sebagai manusia.

“Ada satu orang di Malang, tukang potong kambing. Waktu sudah tua, dia punya lidah sering menjulur seperti kambing. Keluar masuk, keluar masuk. Betul itu. Itu nanti mati sepertinya juga bakal jadi kambing untuk dipotong. Daun dari perbuatannya sudah kelihatan, sebentar lagi bunga dan buahnya akan muncul. Di sini banyak terjadi pembunuhan hewan, sangat tidak baik. Makanya sering ada gunung meletus, bencana, dan macam-macam.

“Orang itu kadang-kadang tidak pernah puas kalau makan. Semua juga dimakan. Makanya orang ada yang saling bunuh. Jangan salahkan tukang jagal. Yang beli untuk makan juga punya peranan. Tetapi memang seharusnya orang tidak menjagal. Meskipun karena karma, hewan itu mungkin memang waktunya untuk dipotong. Tapi jangan saling memotong, harus menahan diri. Harus berusaha memutuskan lingkaran karma. Tapi sukar sekali….. Vegetarian itu bagus, kalau belum bisa, coba kurangi makan daging.

“Memelihara ikan arwana, terus dikasih makan kecoa, cecak, jangkrik, itu juga kurang baik. Kasihan itu hewan-hewan kecil. Pelihara burung penyanyi di dalam sangkar juga tidak baik. Kamu mau nggak dipenjara, tidak bisa kemana-mana? Jangan mengurung burung dalam sangkar. Itu perbuatan tidak baik, nanti membawa akibat yang jelek kepada diri kita.”

“Suhu, kalau dulu sudah berbuat seperti itu karena tidak tahu bagaimana?”

“Ya jangan diteruskan, bertobat. Fang shen (melepaskan hewan ke alam bebas) itu juga baik. Kalau fang shen lebih baik jangan burung. Karena kalau burung itu dilepas, suka sukar cari makan sendiri, sehingga banyak yang mati kelaparan. Kalau burung-burungnya mati, nanti malah bisa mengurangi rejeki dan umur. Kecuali kalau yakin di tempat itu, burung akan gampang cari makan. Kalau kura2 atau belut lebih bisa mencari makan sendiri.

“Lepas burung itu tradisi dari Tiongkok kuno. Sudah berlangsung ribuan tahun. Ceritanya dulu ada orang kaya tapi murah hati. Ia suka membeli burung untuk dilepaskan. Satu kali, ada orang tua yang mengerti dan memberi dia nasehat. Itu burung kalau ditangkap di kampung2 terus dilepas di kota, suka susah cari makan sendiri. Akhirnya banyak yang mati kelaparan. Itu malah membawa hasil kurang baik bagi dia. Setelah itu, dia jarang melakukannya lagi. Tapi tradisi itu masih berlangsung sampai saat ini.

“Burung kecil itu lain, tidak seperti ayam atau kelinci. Tidak ada yang nangkap mereka untuk dimakan. Itu burung kecil dijaring di kampung-kampung, hutan-hutan, lalu dibawa ke kota untuk dijual pada yang mau fang shen. Ditumpuki dalam kandang kecil, suka tidak dikasih makan. Banyak yang mati, kalau dilepas juga banyak yang tidak bisa cari makan sendiri, akhirnya mati kelaparan.

“Burung-burung itu tidak seperti ayam yang akan dipotong untuk dimakan. Kalau ayam, tidak kita beli untuk dipelihara, akhirnya ya dipotong. Itu burung sengaja ditangkap untuk orang yang mau fang shen. Kalau kita beli, penjualnya merasa laku, akan tangkap lebih banyak burung lagi.

“Fang shen yang sejati itu muncul spontan dari dalam hati, menolong yang sedang dalam kesusahan. Paling baik, kalau kebetulan melihat ada yang kesusahan, manusia maupun hewan, kita harus cepat2 mengulurkan tangan membantu dengan tulus.”


“Suhu, kalau fang shen bisa buat kias ciong tidak? Saya ciong sama teman dekat, beda enam tahun. Tapi saya sayang sekali sama dia. Tidak bisa melepaskan. Orang tuanya tidak setuju, karena bilang ciong tidak baik nantinya. Bagaimana baiknya ya Suhu?”

“Temannya percaya ciong tidak?”

“Tidak Suhu.”

“Ya tidak apa2. jalan terus saja. Ciong itu bikinan orang. Kalau nanti kalian bahagia, orang tua pasti bahagia juga.”

“Harus kung tek (melakukan kebajikan untuk menolak bala atau akibat karma buruk) tidak Suhu? Fang shen misalnya.”

“Berbuat bajik itu harus setiap saat. Kung tek paling baik berasal dari hati. Baca Ta Pei
Cou dengan tulus adalah kung tek yang paling baik. Sudah, kamu baca Ta Pei Cou saja setiap hari dengan tekun dan tulus. Nanti segalanya akan lancar.

“Tentukan satu waktu yang tetap, misalnya pagi-pagi. Setelah cuci mulut atau mandi, baca Ta Pei Cou. Harus dijalankan setiap hari. Usahakan pada waktu yang sama. Tidak boleh terputus-putus, tidak boleh hari ini baca, besok tidak, besoknya lagi baca. Harus disiplin. Setelah selesai baca, dengan tulus mohon pertolongan kepada Bodhisattva Kwan Im. Kalau niat kita baik dan hati kita bersih, nanti semuanya akan lancar. Paling baik kalau lagi baca Ta Pei Cou, kita vegetarian. Jika belum mampu vegetarian, ya harus membersihkan mulut dulu sebelum baca.”
Berbuat Baik dan Melatih Diri sebaiknya dilakukan sedari muda. Jangan menunggu sudah bungkuk, pikun, mata rabun, jalan pakai tongkat baru mau Berbuat Baik dan Melatih Diri

Offline hengki

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 741
  • Reputasi: 49
Re: Bhiksu Wu Thung, Pengalaman dan Nasehat2nya
« Reply #6 on: 25 January 2008, 02:32:19 PM »
“Kenapa baca Ta Pei Cou itu kung tek yang paling baik?
Ta Pei Cou artinya apa Suhu?”

“Jangan Tanya. Jalankan saja. Nanti kamu akan mengerti sendiri. Waktu baca, jangan terlalu cepat, jangan terlalu lambat. Jangan pula dilagukan, nanti muncul bayangan keindahan, bukan ketulusan. Waktu mulut mengucapkan, dengarkan dengan penuh perhatian, dengan hati selalu tulus dan bersih. Seperti centong yang warnanya putih bersih, kalau dikasih air bersih, kita minum juga bersih. Tapi kalau centongnya kotor, kita minum air bersih dari sana juga bisa sakit, karena airnya menjadi kotor.

“Terima kasih Suhu. Mau pamit sekarang. Terima kasih Suhu, terima kasih banyak…”
Mereka berdua memberi hormat, lalu pulang.



BAB 5
BODHISATTVA KWAN IM

Bhiksu Wu Thung punya keyakinan kuat pada Bodhisattva Kwan Im dan Buddha Amitabha. Ia sayang sekali dengan gambar ataupun patung Bodhisattva Kwan Im. Ia pernah memberi nasehat bahwa orang hidup harus punya pegangan. Kalau misalnya percaya sama Bodhisattva Kwan Im, ya sudah baca Ta Pei Cou saja. Atau kalau percaya pada Buddha Amitabha, baca Omithofo saja. Tidak perlu ke yang lain-lain.

Mengapa Bodhisattva Kwan Im sangat dihormati dan disayangi umat? Itu karena Beliau bisa ada di mana saja, dalam bentuk apa saja untuk menolong semua makhluk. Bhiksu Wu Thung memberikan satu contoh.

Dulu ada seorang penebang kayu di Tiongkok. Pada suatu hari saat mau menebang sebatang pohon, dia melihat pohon itu bagus untuk dijadikan patung Bodhisattva Kwan Im. Jadi dia tebang itu pohon jati sedikit, dan membawanya pulang. Besoknya dia lupa membuat patung, melainkan langsung pergi lagi ke hutan untuk menebang pohon. Mendadak ada harimau besar muncul di hadapannya, dan bersiap menerkam. Dia takut sekali, badannya menggigil dan tidak bisa berbuat apa2. Tiba2 muncul seorang nenek, “Hei harimau, kamu pergi sana! Jangan ganggu!”

Aneh sekali, itu harimau pergi begitu saja. Orang tua itu kaget sekali. Dalam hatinya tiba2 ia ingat Bodhisattva Kwan Im. Penebang kayu itu belum mewujudkan niatnya yang tulus untuk membuat patung Bodhisattva Kwan Im, tapi niat yang tulus itu sudah cukup untuk menyelamatkan jiwanya.

Menurut Bhiksu Wu Thung, kalau mengalami kesusahan, misalnya sakit berat, asal kita berdoa dengan sepenuh hati kepada Bodhisattva Kwan Im, sakit itu bisa sembuh. Tapi doa itu harus dilakukan dengan sepenuh hati, dimana ucapan, tubuh, dan hati harus menyatu dalam doa. Bacalah Ta Pei Cou setiap hari, setelah itu mohon jalan keluar kepada Bodhisattva Kwan Im. Pasti kita akan diberi jalan keluar, tidak usah takut.

Dulu ada seorang anak yang berbakti pada ibunya. Namun dalam hidupnya, ibu ini perbuatannya kurang benar. Anak ini mengerti akan hal ini. Ibunya sudah wafat. Anak ini setiap hari berdoa di Vihara dengan sepenuh hati, memohon kepada Buddha dan Bodhisattva untuk menunjukkan dimana ibunya berada dan menolongnya. Namun doanya tidak dikabulkan. Tapi ia tetap teguh dan niatnya tidak pernah kendur. Ia terus berdoa sampai fisiknya sakit, tetapi hatinya tetap kuat dalam tekad.

Akhirnya, pada suatu hari ada suara terdengar dari atas dan meminta dia pulang. Nanti di rumahnya ia akan dikasih tahu dimana ibunya berada.

Jadi kalau berdoa dengan sungguh2, doa kita pasti akan dikabulkan asal niatnya baik. Namun ini tidaklah mudah, harus benar2 murni dan sepenuh hati.

Kita harus berdoa meskipun keadaan sedang baik. Kalau kita menunggu keadaan susah baru Nien Cing, kondisi yang ada juga sudah kurang baik. Kalau kita terus berbuat kebajikan, terus Nien Cing pada saat senang maupun susah, kita akan mendapat banyak pertolongan dan jalan keluar kalau kesusahan tiba2 datang menyergap.

Kita harus punya keyakinan pada Bodhisattva Kwan Im. Seperti juga orang ciam sie (meminta petunjuk Bodhisattva Kwan Im dengan cara mengambil potongan bambu kecil yang memiliki nomor untuk kertas yang berisi nasehat).Orang ciam sie tidak perlu lempar phoi (dua keping bambu yang dilempar, secara umum dipercayai jika setelah dilempar dua2nya menunjukkan sisi yang sama, artinya tidak direstui, jika menunjukkan sisi yang berbeda artinya direstui). Masa tidak percaya sama Bodhisattva Kwan Im? Kalau sudah ciam sie, ya sudah percaya saja, tidak perlu lempar phoi lagi.

Bhiksu Wu Thung mengikuti jejak Bodhisattva Kwan Im. Hatinya penuh belas kasih. Dia tidak tahan melihat ada makhluk yang disakiti. Kelinci yang ada di belakang Vihara juga tadinya mau dipotong orang. Dia bilang buat dia saja, terus dipelihara.
Berbuat Baik dan Melatih Diri sebaiknya dilakukan sedari muda. Jangan menunggu sudah bungkuk, pikun, mata rabun, jalan pakai tongkat baru mau Berbuat Baik dan Melatih Diri

Offline hengki

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 741
  • Reputasi: 49
Re: Bhiksu Wu Thung, Pengalaman dan Nasehat2nya
« Reply #7 on: 27 January 2008, 05:24:42 AM »
Pernah ada satu ibu minta dia mengangkat puterinya sebagai dayika (orang yang mengurusi kebutuhan sehari-hari). Bhiksu Wu Thung belum pernah mengangkat dayika. Dia Tanya, “Sanggup tidak mengurusi obat buat saya sampai saya mati.”

“Sanggup,” jawab anak perempuan itu. Akhrinya Bhiksu Wu Thung bersedia menerimanya sebagai dayika.

Pernah ada yang bertanya kenapa dia mau menerima orang sebagai dayika. Bhiksu Wu Thung hanya bilang, “Saya sudah tua. Takut nanti tidak ada yang urus.”

Jawaban yang polos dan jujur seperti itu membuat yang bertanya menahan air mata.

Dia berpesan, kalau dia wafat tolong disediakan peti mati yang paling murah saja. Dan ditaruh minimal tiga hari sebelum dibakar (hari ketiga boleh dibakar). Ada yang Tanya  kenapa harus menunggu tiga hari. Menurutnya, karena kalau belum tiga hari kesadaran masih ada di sana. Dan kalau dibakar, kesadaran itu bisa merasa sakit, nanti menimbulkan racun, bisa membawa kelahiran kembali yang kurang baik.
 
Kalau dia sudah dibakar, buang saja abunya ke mana saja, asal tidak ke laut. Soalnya kalau dibuang ke laut nanti merepotkan banyak orang. Buang saja ke tong sampah juga tidak apa2. sudah jadi tulang, abu, untuk apa dipikirkan. Jangan sampai bikin repot orang. Nanti kalau dia wafat, bajunya jangan dimasukkan ke peti banyak2, dan tidak perlu dicuci. Untuk apa repot2.

Selama lebih dari 60 tahun masa kebhiksuannya, dia belum memiliki satu orang murid pun. Namun, ia terbuka memberi nasehat kepada siapa pun yang datang. Menurutnya, Theravada, Mahayana, atau Tantrayana, itu sama saja. Meskipun jubahnya berbeda-beda, semuanya membawa manfaat dan bagus. Tergantung pada masing2 orang lebih cocok ke mana.

Jubah bhiksu ada yang namanya sam ie (baju tiga), cit ie (baju tujuh), ciu ie (baju sembilan), dan baju dua puluh satu. Sam ie, satu baris mempunyai tiga kotak. Cit ie, tujuh kotak, ciu ie, sembilan kotak. Sam ie dipakai untuk kerja. Cit ie untuk Nien Cing. Ciu ie untuk membabarkan Dharma. Dan baju dua puluh satu untuk Samadhi. Kalau sedang pakai jubah, itu sebetulnya untuk bersujud pada Triratna. Jadi kalau pakai jubah, baik sam ie maupun yang lainnya, tidak boleh bersujud pada orang mati, atau pada gambar orang yang sudah mati. Kalau sekedar memberi hormat boleh, tapi tidak boleh bersujud. Karena jubah itu waktu dipakai Cuma untuk bersujud pada Triratna (Buddha, Dharma, dan Sangha).
Berbuat Baik dan Melatih Diri sebaiknya dilakukan sedari muda. Jangan menunggu sudah bungkuk, pikun, mata rabun, jalan pakai tongkat baru mau Berbuat Baik dan Melatih Diri

Offline hengki

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 741
  • Reputasi: 49
Re: Bhiksu Wu Thung, Pengalaman dan Nasehat2nya
« Reply #8 on: 27 January 2008, 07:10:15 PM »
BAB 6
BEBAS

Hari itu sudah mendung. Dan hujan lantas turun seperti benang2 lepas dari langit. Mobil itu keluar dari jalan kecil dan ramai, lalu menikung ke dalam Vihara, setelah nyaris menubruk satu orang tua gila yang tidak berbaju dan celananya hampir melorot.  Tanah sudah mulai becek. Dari dalam mobil keluar satu orang perempuan muda dan satu anak muda gempal.

Mereka berlari kecil masuk ke dalam Vihara, memberi hormat pada Buddha dan Bodhisattva. Ada satu laki2 yang menyapa ramah.

“Mau ketemu Suhu ya?”

“Iya Om,Suhu ada?”

“Ada, mungkin lagi baca buku. Tahu nggak, Suhu suka sekali baca buku?”

“Iya, kita bawain mangga nih. Kita masuk dulu ya Om.”

Tanpa menunggu jawaban, pemuda gempal cepat2 menarik tangan temannya dan langsung menuju ke kamar Bhiksu tua.

“Selamat sore Suhu.  Ini kenalkan, kakak angkat saya.”

“Oh ya, bagus. Silahkan duduk.”

“Ini kakak, kerja di tempat jual beli uang, Suhu.”

“oh ya, bagus. Jadi orang harus bekerja dengan baik. Sama seperti orang Nien Cing, mesti tekun. Kalau ada satu pekerjaan harus diselesaikan sampai bagus, jangan asal2an. Jangan buat malu umat Buddha. Kalau ada satu pekerjaan dibereskan dulu dengan baik baru pindah ke pekerjaan lain.”

“Iya suhu, dia sudah kaya. Banyak duitnya.”

“Bagus, bagus. Manusia hidup jangan terlalu terikat dengan harta dan uang. Semua akan ditinggal di dunia ini jika orang sudah mati. Hanya hasil perbuatan baik atau perbuatan buruk kita yang akan mengikuti terus.

“Ada satu kejadian. Dulu di Tiongkok dalam sebuah Vihara, ada seorang Bhiksu tua yang menyimpan dana dalam sebuah guci. Guci itu ditaruh di balik Patung Buddha. Hanya ia sendiri yang tahu. Setiap hari jika ada yang memberinya dana, ia menyimpannya di dalam guci. Pada suatu hari, Bhiksu tua itu wafat.

“Tidak berapa lama, seorang Bhiksu bermeditasi. Dia melihat ada bayangan orang lewat dan berjalan menuju ke balik Buddha Rupang, lalu mengambil satu guci. Orang itu keudian merogoh ke dalam guci seperti memeriksa sesuatu. Setelah itu ia meletakkan kembali guci ke tempat semula sebelum berjalan pergi.

“Bhiksu ini keesokan harinya bercerita pada Bhiksu yang lebih tua. Mereka beramai-ramai menuju ke balik Buddha Rupang dan ternyata di sana ada sebuah guci yang banyak dananya. Dana ini oleh Bhiksu tua kemudian diserahkan kepada yayasan.

“Sore hari itu, tatkala Bhiksu yang sama sedang bermeditasi, ia melihat lagi bayangan orang yang lewat dan berjalan menuju ke balik Buddha Rupang, lalu mengeluarkan guci dan merogoh ke dalamnya. Tapi kali ini, ia tidak menemukan apapun. Setelah merogoh berkali-kali, ia berjalan pergi. Sayup2 terdengar isak tangisnya.

“Ini kejadian benar. Jadi kalau ada cerita di Jawa Tengah ada terdengar suara tangis dari makam orang terkenal, itu kemungkinan bisa benar. Memang kalau keterikatan masih kuat, orang itu bisa sedih, karena banyak harta tapi tidak bisa menikmati.

”Kalau mencari istri harus yang bisa mengatur pengeluaran. Kalau dapat istri yang Cuma bisa makan enak, beli pakaian bagus, berhias, wah bisa celaka itu laki2. waktu dulu ayah pergi berdagang di dekat Madiun, ia suka kirim uang pulang ke Hing Hwa. Sama ibu disimpan buat dibelikan sawah dan pohon lengkeng. Pohon lengkengnya sampai tiga ratus pohon.”

“Wah hebat ya Suhu. Lengkeng enak ya Suhu.”

“Iya, manis. Tapi tidak apa2. kalau makan buah manis, tidak apa2. asal tidak gula. Nasi makan sedikit saja. Makan banyak bisa oyong2.”
Berbuat Baik dan Melatih Diri sebaiknya dilakukan sedari muda. Jangan menunggu sudah bungkuk, pikun, mata rabun, jalan pakai tongkat baru mau Berbuat Baik dan Melatih Diri

Offline hengki

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 741
  • Reputasi: 49
Re: Bhiksu Wu Thung, Pengalaman dan Nasehat2nya
« Reply #9 on: 29 January 2008, 05:20:35 PM »
“Ini kakak angkat saya suka meditasi, Suhu.”

“Meditasi itu baik, bagus. Tapi harus ada gurunya. Kalau tidak, suka salah jalan, bisa gila. Jangan main di pikiran, tapi melatih hati. Kalau mau meditasi harus punya keyakinan. Misalnya, keyakinan pada Kwan Im atau Buddha Amitabha. Meditasi harus dibantu sama ‘tongkat’. Meditasi sambil baca Omithofo atau Namo Kwan She In Phu Sa dalam hati itu bagus. Itu jadi ’tongkat’ buat Bantu kita. Kalau pikiran lari, cepat sadari, cepat Tanya, ‘Ini yang baca Omithofo, siapa? Siapa ini sedang duduk?’ Kalau hati sudah bersih, pikiran jadi enak, jadi jernih.

“Dulu di Hing Hwa ada satu Bhiksu namanya Hok Siong. Itu Bhiksu suka baca ‘Namo Omithofo!’ keras2. dia punya perbuatan seperti orang gila. Tempo2 suka panjat pohon, duduk di dahan, lalu baca ‘Namo Omithofo!’ kuat-kuat. Pernah satu hari, dia datang ke depan Vihara lalu baca Omithofo keras-keras. Orang2 pada marah, ‘Hei, ini Vihara, jangan bikin ribut.’

“Tapi dia terus baca kuat-kuat. Akhirnya orang2 pukul dia. Dia tidak marah. Malah tertawa-tawa terus pergi. Dalam hatinya tidak ada kebencian. Orang anggap dia gila. Satu hari dia jual semua barang yang dia punya, tasbih, kantong, dan lain2. terus dia undang orang2 makan. Waktu orang2 sedang makan, ia tinggal pergi. Dia bilang mau pulang. Waktu dicari ke tempatnya, ternyata dia sudah ‘pulang’ alias wafat sambil duduk bersila.

“Itu orang tidak gila. Hatinya bersih. Tapi bagi orang awam, kelihatannya seperti gila. Dulu suka ada yang seperti itu, kelihatannya gila tapi tidak.

“Bhiksu tidak boleh menceritakan kepada orang lain bahwa ia telah mencapai Kesucian tingkat ini atau tingkat itu. Cuma waktu yang akan membuktikan tingkat Kesuciannya.

“Dulu di Tiongkok, ada satu umat Buddha. Pada suatu hari dia tiba2 lari meninggalkan rumah pergi ke gunung. Dicari kemana-mana tidak ketemu. Berbulan-bulan kemudian ada penduduk dari kampung dia yang pergi ke gunung dan menemukan sebuah gua. Di dalamnya ada orang yang aneh, berambut panjang sedang bermeditasi. Bajunya sudah compang-camping. Setelah diperhatikan, ternyata betul ia orang yang dulu melarikan diri tiba2. waktu ditanya, ternyata ia sedang bersamadhi sambil melafal nama Buddha Amitabha.

“Sejak saat itu orang kampung datang membawa makanan ke tempat dia. Tapi semuanya tidak dia sentuh. Sewaktu-waktu, kalau butuh makan, dia akan turun gunung meminta makanan ke orang kampung. Dengan cara seperti itu dia hidup selama bertahun-tahun.

“Satu hari, ia terlihat berkata pada celananya yang sudah bolong. ‘Jangan khawatir, nanti juga akan dapat kain yang bagus.’

“Kebetulan pada saat itu, raja bermaksud mengadakan pelimpahan jasa bagi ibundanya yang baru wafat. Raja mengundang semua Bhiksu di seluruh negeri untuk datang ke istana. Berita ini juga sampai ke tempat orang aneh yang sedang bersamadhi tadi. Ia memutuskan untuk ikut datang ke istana. Tapi orang2 mentertawakan dia, apalagi ia bukan seorang Bhiksu. Namun ia tetap datang ke istana.

“Raja ini adalah orang yang tinggi tingkat spiritualnya. Ia menyuruh pengawalnya menanam Cin Kang Cing tepat di bawah pintu masuk ke tempat upacara pelimpahan jasa akan dilakukan. Ia berpesan, jika ada bhiksu yang melangkah masuk ke tempat itu, segera beri uang padanya, dan suruh kembali ke tempat asalnya dengan ucapan terima kasih.

“Ternyata semua Bhiksu yang datang, melangkahi tempat Cin Kang Cing ditanam tepat di bawah pintu masuk. Sehingga semuanya disuruh pulang. Satu hari, pengawal melaporkan ada orang gila yang berkeras hendak membuat pelimpahan jasa buat ibunda raja. Raja meminta pengawalnya membiarkan orang gila itu masuk ke tempat pelimpahan jasa, dan memberinya uang begitu dia masuk ke sana, sebelum menyuruhnya pergi.

“Tapi orang ini tidak mau masuk ke sana. Raja merasa kaget, dan datang sendiri melihatnya.

“Mengapa tidak mau masuk? Jika tidak masuk, bagaimana bisa mengadakan upacara pelimpahan jasa?’ Tanya raja.

“Ada Cin Kang Cing di bawah pintu. Tapi jika Paduka mendesak, baiklah.’ Kata orang aneh itu.

“Setelah itu, ia masuk ke tempat pelimpahan jasa, tapi dengan jungkir balik, kepala di bawah, kaki di atas. Dengan cara seperti itu, dia melewati pintu menuju tempat upacara pelimpahan jasa.

“Tapi raja masih belum yakin. Dia menyuruh dayang-dayangnya yang cantik jelita memandikan orang itu dengan penuh kemesraan dan melaporkan padanya apa yang terjadi. Ternyata orang itu biasa2 saja, tidak terjadi apa2. baru sejak itu, raja merasa yakin. Dan meminta dia melakukan upacara pelimpahan jasa untuk ibundanya.

‘Orang aneh melakukan upacara pelimpahan jasa. Dia melangkah ke atas Altar yang dibangun tinggi. Sampai di sana, menyebut ‘Namo Omithofo!’ satu kali.

“Setelah itu ia turun, dan mengatakan kepada raja bahwa upacaraa telah selesai. Raja merasa tidak percaya. Itu tempat upacara dipersiapkan selama tiga bulan, mampu mengisi ribuan orang dengan dipenuhi berbagai perlengkapan. Dan Cuma diselesaikan dengan cara seperti itu? Raja memohon orang itu melakukan persembahan sekali lagi.

“Baiklah,’ ia berkata. Lalu naik ke tempat Altar, dan berseru, ‘Namo Omithofo!’

“Tiba-tiba, raja seperti melihat cahaya ibunya di atas langit. Oleh kejadian itu, raja menjadi percaya, dan menyatakan terima kasih kepada orang aneh tersebut. Raja menanyakan apa yang ia inginkan sebagai hadiah atas jasa baiknya. Orang itu bilang, ia suka stupa yang ada di dalam istana, dan akan bersenang hati jika raja memberinya stupa itu.

“Raja mengabulkan permintaannya, dan memintanya tinggal di dalam stupa itu. Dia menolak, dan mengatakan bahwa ia ingin kembali ke tempat asalnya.

“Kalau begitu, saya akan membangunkan sebuah stupa yang sama seperti ini di sana.’

“Ia tetap menolak, dan megatakan bahwa ia Cuma suka dengan stupa yang ada di istana. Dan jika raja tidak berkenan memberikannya, dia juga tidak apa2.

“Baiklah, kalau begitu, ambillah sesukamu,’ jawab raja sambil geleng2 kepala.

“Orang aneh itu mengambil stupa tersebut, yang tiba2 menjadi kecil, dan memasukkannya ke dalam saku bajunya. Setelah itu ia lenyap. Diberitakan bahwa stupa itu muncul di tempat orang aneh itu berasal. Orang aneh ini akhirnya menjadi seorang Bhiksu.

“Itu bukan orang biasa, tapi Orang Suci. Meskipun Cuma menyebut, ‘Namo Omithofo!’ satu kali, lafalannya utuh dan lengkap. Ucapan, tubuh, dan hati, jadi satu. Sehingga hasilnya juga luar biasa. Jadi kalau Nien Cing, lakukan dengan penuh perhatian dan sepenuh hati. Nanti hasilnya juga akan luar biasa. Jadi jangan anggap enteng sama Bhiksu tua yang kalau dimintai tolong untuk Nien Cing, dia bacanya Cuma sebentar.
Berbuat Baik dan Melatih Diri sebaiknya dilakukan sedari muda. Jangan menunggu sudah bungkuk, pikun, mata rabun, jalan pakai tongkat baru mau Berbuat Baik dan Melatih Diri

Offline Fei Lun Hai

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 686
  • Reputasi: 24
  • Gender: Female
Re: Bhiksu Wu Thung, Pengalaman dan Nasehat2nya
« Reply #10 on: 29 January 2008, 05:27:25 PM »
 [at]  Ko Hengki: Anumodana untuk sharingnya  _/\_
your life simple or complex is depend on yourself

Offline hengki

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 741
  • Reputasi: 49
Re: Bhiksu Wu Thung, Pengalaman dan Nasehat2nya
« Reply #11 on: 01 February 2008, 08:02:28 PM »
“Hui Neng, Sesepuh Zen Keenam, tidak bisa baca, tidak bisa tulis. Tapi hatinya luar biasa. Dia dulu ke hutan ambil kayu bakar untuk dijual, buat menghidupi ibunya. Satu kali dia mendengar satu orang Bhiksu membaca Sutra. Dia langsung mengerti.

“Setelah mengurus kebutuhan ibunya, dia ikut itu orang ke Vihara dan bekerja di sana jadi tukang sapu sama tumbuk beras. Badannya kecil dan hitam. Untuk tumbuk beras, dia harus pakai pemberat di pinggang dengan batu.

“Satu hari, Kepala Vihara, Sesepuh Kelima membuat perlombaan bikin syair untuk melihat siapa dari muridnya yang sudah mengerti.

“Semua menulis di tembok Vihara. Kebanyakan tidak mau memberi nama, supaya kalau jelek tidak ketahuan siapa yang buat. Kalau bagus, baru diakui. Hui Neng tidak bisa menulis, jadi minta orang lain menulis syair untuknya. Wah, itu syair luar biasa, semua bilang hebat. Tapi Kepala Vihara cepat2 menghapusnya, bilang itu syair tidak bagus.

“Malam hari, Kepala Vihara datang sendiri ke tempat Hui Neng menumbuk beras, ‘Beras sudah bersih belum?’

‘Sudah, tapi belum disaring,’ kata Hui Neng. Kepala Vihara segera tahu Hui Neng sudah mengerti. Jawaban Hui Neng artinya dia sudah mengerti tapi kepala belum dicukur. ‘Beras sudah bersih, tapi belum disaring.’

“Setelah itu Kepala Vihara memukul tempat tumbuk beras tiga kali pelan2. pukul tiga subuh, Hui Neng datang ke tempat Kepala Vihara. Di sana Sesepuh Kelima mewariskan jubah dan Dharma kepada Hui Neng, dan memintanya cepat2 pergi karena takut murid2nya yang sirik akan membunuh dia.

“Hui Neng luar biasa. Dia buta huruf, tapi hatinya luar biasa. Jangan banyak berpikir, kembangkan hati yang se-luas2nya saja ya.”

“Suhu, hati itu apa? Hati sama pikiran apa bedanya?” perempuan muda itu bertanya.

“Sudah jangan banyak Tanya. Jangan banyak pikir, nanti kamu pusing. Banyak2 menolong orang saja dan Nien Cing dengan tulus. Yakin teguh pada Kwan Im dan Omithofo. Nanti kamu mengerti sendiri.

“Itu kue dimakan lagi. Saya bikinkan kopi ya…”

“Jangan Suhu. Tidak usah, terima kasih Suhu.”

“Saya baca Cing dulu ya. Udah mau pulang ya?”

“Iya Suhu, terima kasih banyak ya.” Mereka cepat bangkit dari tempat duduk, memberi hormat, lalu pamit.

Bhiksu Wu Thung mengantar sampai ke depan Vihara. Kemudian kembali ke kamarnya sambil goyang2 kepala. Mungkin dia sedang bertanya-tanya dalam hati, itu pemuda gempal hari itu bawa adik angkat perempuan, hari ini bawa kakak angkat perempuan. “Kok banyak ya saudari angkatnya? Saudara angkat kok tidak ada ya?”

Mobil keluar dari Vihara pelan2. di sisi jalan, orang tua gila sedang tidur2an. Pemuda gempal saling pandang sama kakak angkatnya. Itu orang gila atau orang sakti?
Berbuat Baik dan Melatih Diri sebaiknya dilakukan sedari muda. Jangan menunggu sudah bungkuk, pikun, mata rabun, jalan pakai tongkat baru mau Berbuat Baik dan Melatih Diri

Offline hengki

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 741
  • Reputasi: 49
Re: Bhiksu Wu Thung, Pengalaman dan Nasehat2nya
« Reply #12 on: 03 February 2008, 09:55:33 PM »
BAB 7
SEMUA ORANG HEBAT

Dulu di Hing Hwa, ada satu orang Bhiksu, namanya Bhiksu Chu Chi. Umurnya sudah delapan puluh  tahun lebih. Pagi2 cuci muka, itu air sisanya ditampung lagi buat cuci baju sore hari. Bukan karena lagi susah air di sana, tetapi karena ia takut membuang air dengan percuma. Hidupnya sederhana sekali. Cuci dan masak dilakukan sendiri.

Bhiksu Wu Thung pernah bertemu sekali. Waktu bercakap-cakap, dia Cuma Tanya apa mengerti yang dia ucapkan. Bhiksu Wu Thung bilang tidak. Habis itu dia langsung masuk kamar, tidak keluar lagi. Dalam hati Bhiksu Wu Thung merasa hilang kesempatan belajar dari dia. “Saya tidak punya hoki.” Katanya kalau bercerita soal itu.

Di Tiongkok dulu ada satu Bhiksu besar, namanya Bhiksu Hsu Yun. Orang tuanya tadinya tidak punya anak, terus baca Cin Kang Cing/Sutra Intan. Tidak berapa lama, ibunya hamil dan melahirkan sebuah pho tai/telur besar. Ibunya wafat setelah melahirkan. Itu telur besar disimpan saja dalam rumah, sampai akhirnya satu hari ada satu orang datang bertamu. Tamu itu bertanya apa betul di sana ada satu telur besar. Ayahnya tercengang, kenapa orang itu bisa tahu. Setelah dikasih kesempatan melihat, orang itu membelah telur dan dari dalamnya keluar seorang bayi.

Sejak kecil, Bhiksu ini sudah suka menolong orang. Menginjak dewasa, sebelum menjadi Bhiksu, ia dikawinkan dengan dua orang gadis kakak beradik satu ayah lain ibu. Setelah masuk ke kamar pengantin, mereka tidak melakukan apa2. Bhiksu ini Cuma memberikan nasehat, dan kedua kakak beradik langsung berubah pikiran, lalu memutuskan menjadi Bhiksuni. Di belakang hari mereka menjadi Bhiksuni besar di Tiongkok.

Setelah termasyhur, Bhiksu ini sering diundang olehVihara-Vihara yang sedang dalam kesusahan. Jika datang, dia akan tinggal di belakang Vihara dalam gubuk paling sederhana. Umat yang tahu dia ada di sana, pada berdatangan membawa persembahan. Semuanya dia kembalikan ke Vihara. Setelah Vihara mendapatkan cukup dana untuk perbaikan, ia akan pergi lagi ke tempat lain, tanpa membawa apa2, Cuma baju dan caping. Ongkos jalan saja dia tidak punya, sehingga harus diberi oleh pengurus Vihara. Ia terus berkunjung dari satu tempat ke tempat yang lainnya, membawa berkah ke mana2.

Pernah satu kali, ia bermeditasi di satu gunung. Di gunung sebelahnya ada satu Bhiksu yang juga bermeditasi. Kedua gunung dipisahkan satu sungai. Mereka buat kesepakatan, kalau ke sungai ambil air, satu mangkok akan ditelungkupkan. Jika yang satunya lagi datang, akan membalikkannya. Jadi saling tahu bahwa temannya sudah datang ambil air sebelumnya.

Sekali waktu, sudah hampir satu bulan, itu mangkok tidak dibalikkan. Temannya menjadi khawatir, jadi ia pergi ke atas gunung untuk menjenguk. Ternyata Bhiksu Hsu Yun sedang bermeditasi. Di sisinya ada satu tempat masak yang sudah kering. Pintu dalam keadaan terbuka. Banyak debu di lantai, dan ada jejak harimau. Temannya membunyikan talu logam kecil, baru Bhiksu Hsu Yun bangun dari meditasinya. Dia bilang baru meditasi sebentar. Kata temannya, sudah lama sekali. Mungkin sudah satu bulan.

Bhiksu besar seperti ini sangat dikagumi oleh Bhiksu Wu Thung. Kesederhanaan dan kebijakan mereka selalu menimbulkan rasa hormat mendalam di hatinya. Di kamarnya yang sederhana, terdapat gambar empat orang Bhiksu besar abad kedua puluh yang dia gunting dari buku dan dia bingkai. Salah satunya adalah Bhiksu hsu Yun. Satunya lagi bernama Bhiksu Hong I, yang mengarang lagu Trisarana/San Pau Ke. Dan yang lain adalah Bhiksu Yin Kuang dan Bhiksu Tai Hsu.

SELESAI
Berbuat Baik dan Melatih Diri sebaiknya dilakukan sedari muda. Jangan menunggu sudah bungkuk, pikun, mata rabun, jalan pakai tongkat baru mau Berbuat Baik dan Melatih Diri

Offline pannadevi

  • Samaneri
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.960
  • Reputasi: 103
  • Gender: Female
Re: Bhiksu Wu Thung, Pengalaman dan Nasehat2nya
« Reply #13 on: 03 October 2010, 10:22:02 AM »
Nice post....semoga anda masih semangat untuk posting lagi bro...Anumodana.

mettacittena,

Offline hengki

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 741
  • Reputasi: 49
Re: Bhiksu Wu Thung, Pengalaman dan Nasehat2nya
« Reply #14 on: 03 October 2010, 11:59:25 AM »
Saya skrg belum sempat utk posting lagi
Nanti kalau saya ada waktu pasti saya akan posting lagi.
Terima kasih atas perhatiannya.
Berbuat Baik dan Melatih Diri sebaiknya dilakukan sedari muda. Jangan menunggu sudah bungkuk, pikun, mata rabun, jalan pakai tongkat baru mau Berbuat Baik dan Melatih Diri