//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Show Posts

This section allows you to view all posts made by this member. Note that you can only see posts made in areas you currently have access to.


Topics - Lily W

Pages: 1 2 3 [4] 5 6 7 8 9 10 11 ... 15
46
Pojok Seni / SENI BUAT KUE :))
« on: 26 July 2009, 10:44:13 PM »
Berhubung banyak yang berminat dengan resep Kue Bolu_Lotus... maka saya memposting resep tersebut di thread ini.... (GLOMOD, kalo salah kamar, tolong di pindahkan yaah..._/\_)

RESEP KUE BOLU_LOTUS   

Bahan-bahan :   

4 butir telur (putih & kuning)   
200 gram gula pasir ( halus/ biasa...kalo yg halus hasilnya juga halus)   
150 gram tepung terigu CAKRA (merk lain ngga bagus)   
200 gram mentega Blue Band (1 bungkus sachet mentega Blue Band [at] 200 gram)   
vanili secukupnya   
coklat secukupnya   
   
Cara membuat :   

Cairin mentega dulu dan tunggu adem
   
siapin loyangnya (loyang ukuran 20 cm, olesin mentega dulu & kemudian dilapisin tepung terigu)   

Sesudah mentega adem, panasin oven dulu     

terus kocok (dimixer) telur + gula pasir kira-kira 15 menit (kembang)   
Masukkin tepung terigu dan kocok (dimixer) rata serta kasih vanili secukupnya
pisahin adonan kira-kira 3 sendok untuk di kasih coklat dan aduk rata coklatnya
kemudian sisa adonan itu di campur ama mentega cair itu (menteganya di aduk rata dulu yah baru dituangkan ke adonan) dan aduk rata
(ingat …harus cepat-cepat aduknya, kalo kelamaan hasil kuenya akan bantet/tidak kembang)
Setelah rata,  tuangkan separuh adonan ke loyang yg telah di siapkan, terus di atasnya
tambahkan adonan yg warna coklat
kemudian masukkan semua sisa adonan di atasnya (menutupi warna coklat) dan segera di oven.

Kira-kira begitulah teorinya....silakan ber-ehipassiko.... ;D

Semoga bermanfaat...

_/\_ :lotus:

Note : Bagi yang sudah ehipassiko...silakan posting testimoninya...;D

47
Theravada / CITTA
« on: 26 July 2009, 07:21:23 AM »
CITTA

Citta adalah "Keadaan yang mengetahui obyek" atau Keadaan yang menerima, mengingat, berpikir dan mengetahui obyek".

Ada Pernyataan dalam bahasa Pali sebagai berikut:
"ARAMMANAM CINTETITI: CITTAM"
Artinya:
Keadaan yang mengetahui obyek, yaitu yang selalu menerima obyek, keadaan itu di sebut "Kesadaran/pikiran".

Sifat keadaan dari Kesadaran (Pikiran)
Kesadaran/Pikiran (Citta) adalah Sankhata Dhamma (Keadaan yang bersyarat) yaitu tertampak dilahirkannya (uppado-pannayati), tertampak lenyapnya (vayo-pannayati), dan selamanya hal ini masih ada, tertampak perubahan-perubahannya (thitassa-annathattan-pannayati). Kesadaran/Pikiran itu juga di cengkeram oleh Tilakhana (Tiga Corak Umum), yaitu:

1. Anicca Lakkhana:
Kesadaran/Pikiran itu tidak kekal, tidak tetap, tidak kuat, yaitu tidak dapat bertahan untuk selamanya.

2. Dukkha Lakkhana:
Kesadaran/Pikiran itu tidak dapat bertahan; dengan tidak dapat bertahan, maka kesadaran/pikiran itu selalu timbul-padam, timbul padam tanpa henti. Karena di cengkeram oleh Anicca, maka timbul Dukkha (tidak memuaskan).

3. Anatta Lakkhana:
Kesadaran/Pikiran itu tanpa inti atau tanpa aku yang kekal, tidak dapat berdiam selamanya.

Penjelasan:
Kesadaran/Pikiran itu selalu timbul-padam. timbul-padam tanpa henti, setelah timbul lalu padam, setelah padam lalu timbul. Proses Kesadaran/Pikiran itu timbul-padam sangat cepat sekali. Dalam satu detik entah sudah berapa ratus kali Kesadaran/Pikiran itu mengalami timbul dan padam tiada hentinya.


Jumlah Citta (Kesadaran/Pikiran)
Bila menurut sifat atau keadaan, bahwa Kesadaran/Pikiran itu adalah "Keadaan/Pikiran yang mengetahui obyek" saja, maka Kesadaran/Pikiran itu hanya satu. Akan tetapi bila menurut "Keadaan yang diketahui" dan "bagian yang diketahui" maka Citta itu ada banyak, yaitu mengetahui dalam hal nafsu keinginan yang baik dan tidak baik (jahat), mengetahui dalam hal rupa-jhana (Jhana bermateri atau tingkat ketenangan batin bermateri), mengetahui dalam hal arupa-jhana (Jhana tidak bermateri atau tingkat ketenangan batin tidak bermateri), mengetahui dalam hal nibbana dan lain-lain. Jadi, bila Kesadaran/Pikiran (Citta) itu dihitung secara terperinci, maka ada 89-121 macam/bulatan. Dalam jumlah tersebut, Citta dibagi menjadi 4 bagian, yaitu:
1. Kamavacara Citta: 54
2. Rupavacara-Citta: 15
3. Arupavacara-Citta: 12
4. Lokuttara-Citta: 8 atau 40
Jumlah keseluruhan Citta = 89 atau 121

~ KAMAVACARA CITTA
KAMA: Kesenangan dan kemelekatan batin terhadap 6 obyek (Arammana 6), yaitu:
a. Obyek warna/bentuk (Ruparammana), yang diserap oleh indirya mata, dan menimbulkan kesadaran penglihatan.
b. Obyek suara (Saddarammana) yang di cerap oleh indriya telinga, dan menimbulkan kesadaran mendengar
c. Obyek bau (Gandharammana) yang dicerap oleh indriya hidung, dan menimbulkan kesadaran mencium.
d. Obyek rasa (Rasarammana), yang di cerap oleh indirya lidah, dan menimbulkan kesadaran mencicip.
e. Obyek sentuhan (Photthabbarammana), yang dicerap oleh indriya badan, dan menimbulkan kesadaran rasa indirya pikiran, dan menimbulkan kesadaran batin.

Atau sesuatu yang di senangi, sesuatu itulah disebut "KAMA", ada pernyataan dalam bahasa Pali sebagai berikut:
"KAMETITI:KAMO(VA) KAMIYATITI: KAMO"
Artinya:
Keadaan yang mempunyai keinginan terhadap obyek kesenangan dan kemelekatan batin, keadaa itu disebut KAMA.
Atau keadaan yang senang dengan nafsu indriya, keadaan itu disebut KAMA.

AVACARA: berkelana atau berdiam
CITTA: Kesadaran atau pikiran

Jadi KAMAVACARA-CITTA adalah Kesadaran/Pikiran yang berkelana di Kama Bhumi atau Kama-loka 11.

Kamavacara-Citta atau kama-citta berjumlah 54, dan dibagi menjadi 3 kelompok yaitu:
1. Akusala-Citta: 12
2. Ahetuka-Citta: 18
3. Kamavacarasobhana-Citta: 24
Jumlah Kamavacara-Citta: 54

Dalam Kamavacara-Citta 54 ini, YM. Anuruddhacariya Maha Thera mengajarkan Akusala Citta 12 terlebih dahulu, sebab Akusala-Citta ini bila telah timbul kepada seseorang akan memberikan akibat tidak baik. Maka itu patut diketahui sifat/keadaan dari Akusala-Citta yang dapat memberikan akibat yang tidak baik dalam kehidupan kita.

AKUSALA CITTA
Bisa baca di link.... http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,4378.0.html

 _/\_ :lotus:




48
Pengalaman Pribadi / PANNAVARO TENTANG PANNAVARO
« on: 24 July 2009, 01:30:53 PM »
PANNAVARO TENTANG PANNAVARO



Saya lahir di Blora, sebuah kota kecil di Jawa Tengah. Kakek dari ibu saya adalah seorang kapiten. Oleh karena seorang kapiten adalah sesepuh masyarakat, maka beliau dianggap sesepuh di klenteng. Waktu itu tugas kapiten mengurus berbagai macam hal, termasuk upacara agama. Tidak hanya Locu, kalau kapiten datang sembahyang di klenteng, tambur juga harus di pukul.

Setelah jaman Belanda, meskipun sudah tidak menjadi kapiten, masyarakat tetap menganggap beliau sebagai sesepuh. Karena pengaruh dari kakek, ibu saya tidak dekat dengan agama kr****n, meskipun bersekolah di sekolah Belanda. Ayah saya juga tidak pernah dekat dengan agama kr****n. Sehingga anak-anaknya menjadi umat klenteng, meskipun tidak mengerti apa yang diajarkan oleh agama. Dunia saya adalah dunia sembahyang, baik di klenteng ataupun di rumah. Orangtua saya menjadi pengurus klenteng ketika saya akhir SMP atau awal SMA.

MENGENAL AGAMA BUDDHA
Saya mengenal ajaran Agama Buddha dari guru sejarah SMP saya, Bapak Suprapto, ketika saya duduk di kelas 1. Memang sebelumnya saya sudah mendengar adanya ajaran Buddha tetapi tidak mengetahui apa yang diajarkan. Pak Suprapto adalah orang yang pertama kali menjelaskan apa yang diajarkan oleh Agama Buddha, tentang Empat Kesunyataan Mulia, Jalan Mulia Berunsur Delapan, dan sebagainya. Sejak itu saya tertarik dan merasa cocok dengan ajaran Agama Buddha karena merasa ajaran Agama Buddha sangat logis dan jelas sekali inti ajarannya.

Di tahun 1965, ketika saya kelas satu SMP, terjadi G 30 S. Waktu itu terjadi perubahan kurikulum sehingga saya duduk di SMP kelas satu selama satu setengah tahun. Semua orang harus menentukan agama apa yang dianut. Sebelumnya agama tidak menjadi keharusan. Lalu saya mulai ikut kebaktian pada hari Minggu jam empat sore di Klenteng Hok Tik Bio Blora. Klenteng itu dipakai untuk kebaktian Agama Buddha. Di sana terdapat altar Sang Buddha.

Pada tahun 1967, beberapa bulan setelah mengikuti kebaktian , Bhante Narada Mahathera datang ke Blora. Beliau adalah bhikkhu pertama yang saya lihat dalam kehidupan saya. Dari Beliaulah saya menjadi upasaka dengan nama Tejavanto. Pada awal suatu ceramah, beliau mengajukan pertanyaan-pertanyaan Dhamma. Kepada yang bisa menjawab—terutama generasi muda dan anak-anak—beliau memberi hadiah, antara lain kartupos Buddhis atau buku-buku Dhamma kecil.

Pada suatu kesempatan, beliau bertanya, ”Guru Agung Buddha Gotama sudah lama parinibbana, sudah tidak bersama kita lagi. Apakah Anda masih bisa melihat Beliau?” Saya ingat suatu kalimat yang artinya adalah: kalau Anda melihat Dhamma, Anda akan melihat Buddha. Itulah jawaban saya atas pertanyaan Bhante Narada Mahathera. Bhante Narada membenarkan jawaban itu, tetapi karena hadiahnya habis, sebagai gantinya beliau memberikan semacam harapan kepada saya dengan mengatakan, “Benar sekali jawabanmu. Semoga engkau menjadi bhikkhu yang baik untuk bangsamu.” Saya ingat sekali kalimat yang diterjemahkan oleh penterjemahnya itu, sampai hari ini. Beliau memberi inspirasi kepada saya untuk menjadi bhikkhu. Harapan Bhante Narada yang bagi saya dan masyarakat yang mendengarkan ceramah beliau pada waktu itu dianggap tidak lazim, terpatri pada pikiran saya. Hanya keinginan untuk menjadi bhikkhu belum muncul. Waktu itu saya masih duduk di SMP kelas 2.


Saya tekun mengikuti kebaktian sore yang dipimpin oleh Upasaka Pandita Muda Gunapriya. Nama Tionghoanya adalah Ong Seng Hiap. Dia adalah salah seorang tokoh awal, tokoh pertama yang mengenalkan Agama Buddha di Blora. Ada seorang lagi yang bernama Tan Bo Siu, nama buddhisnya Upasaka Bodhiphala Mulyono. Saya lebih banyak berdiskusi dengan om Bo Siu, meskipun juga dengan Upasaka Pandita Muda Gunapriya, Ong Seng Hiap. Om Bo Siu mempunyai toko bahan makanan. Setiap saya pulang sekolah dan tidak ada pelajaran tambahan atau les sore, saya selalu berkunjung ke tokonya. Selama tidak sibuk, sambil menunggu pembeli, saya berdiskusi tentang dhamma dan tentang aktivitas buddhis dengan om Bo Siu. Kemudian belakangan muncul lagi Upasaka Pandita Dharmapriya, seorang pensiunan angkatan darat, yang sempat menjadi anggota DPRD dari buddhis. Dia mengikuti aktivitas di Gabungan Tridharma Indonesia di Blora. Waktu saya aktif di Blora, sudah tidak ada lagi Perbudi maupun PUUI di Blora.

Setelah banyak berdiskusi dengan om Bo Siu, bergaul dengan om Seng Hiap, dan dengan Romo Dharmapriya, kemudian saya ikut mengasuh sekolah minggu pada Minggu Pagi. Lalu kedekatan dan kecintaan saya pada ajaran Agama Buddha bertambah. Pengertian saya juga bertambah. Kurang lebih 3 tahun kemudian timbullah keinginan untuk menjadi bhikkhu.

KEINGINAN MENJADI BHIKKHU
Saya melihat bermacam-macam kebahagiaan yang bisa dirasakan banyak orang. Tapi toh kebahagiaan itu akhirnya selesai, tidak kekal, berubah. Pikiran seperti itu muncul dalam pemikiran saya, dan itulah yang mendorong timbulnya keinginan untuk menjadi bhikkhu.

Saya menyampaikan keinginan itu kepada orangtua. Namun, orangtua sangat berkeberatan. Apalagi saya tidak mempunyai saudara laki-laki, baik kakak maupun adik. Saya anak pertama laki-laki dan tiga adik saya perempuan. Ini membuat orangtua semakin berat untuk mengijinkan saya menjadi bhikkhu. Orangtua menganjurkan dan meminta dengan keras supaya saya melanjutkan studi terlebih dahulu, selesai SMA dan sampai ke perguruan tinggi semaksimal mungkin, baru nanti dipikirkan kembali keinginan untuk menjadi bhikhu tersebut.

Sebagai seorang anak muda yang mempunyai keinginan—dan keinginan itu berkembang—ditambah lagi dengan harapan Bhante Narada yang terpatri, memperkuat timbulnya keinginan menjadi bhikkhu. Permintaan orangtua untuk studi dulu sampai maksimal, terasa sebagai penghalang. Akan tetapi, setiap tahun saya menyampaikan lagi keinginan itu, setiap tahun pula orangtua juga menyampaikan permintaannya. Sehingga seperti tarik-menarik antara orangtua dengan saya. Banyak nasihat yang diberikan kepada saya dari berbagai pihak untuk tidak tergesa-gesa menjadi bhikkhu. Nasihat bahwa melengkapi diri dengan ilmu pengetahuan umum adalah sangat berguna, agar kelak kemudian bisa memahami Dhamma dan mengajarkan Dhamma kepada masyarakat dengan baik. Namun, banyak juga pihak yang memberikan nasihat kepada orangtua saya, untuk memahami keinginan sang anak, karena keinginan untuk menjadi bhikkhu juga keinginan yang luhur. Bahagia di dalam kehidupan spiritual, tidak kalah bila dibandingkan dengan kebahagiaan sukses di kehidupan duniawi.

Pada waktu kuliah di Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada Yogyakarta, saya banyak bertemu dengan para bhikkhu. Saya membantu para bhikkhu mengetik terjemahan naskah-naskah Dhamma dari bahasa Inggris. Membantu para bhikkhu ketika memberikan latihan meditasi. Mengikuti para bhikkhu ke pelosok-pelosok daerah di Jawa Tengah untuk membabarkan Dhamma. Semuanya itu memperkuat keinginan saya untuk menjadi bhikkhu. Saya melihat para bhikkhu hidup sederhana. Tidak disibukkan dengan mencari materi sebagaimana layaknya masyarakat dan tidak mempunyai banyak materi. Bahkan sangat sederhana. Tetapi para bhikkhu mempunyai kehidupan yang bahagia. Dan kehidupannya juga bermanfaat bagi orang banyak, tidak hanya bagi lingkungan kecil, keluarganya sendiri, seperti para perumah tangga.

Alasan-alasan itulah—yang saya lihat dengan mata kepala sendiri dan saya ikut terlibat dalam kehidupan para bhikkhu sehari-hari di Yogyakarta yang juga memperkuat keinginan saya untuk menjadi bhikkhu. Akhirnya orangtua mengijinkan saya untuk menjadi bhikkhu.


Setelah saya menjadi bhikkhu, harapan orangtua yang dahulu meminta saya untuk studi dulu, menunda menjadi samanera, yang dahulu saya anggap sebagai penghalang cita-cita luhur menjadi bhikkhu, sekarang saya membuktikan bahwa harapan orangtua itu ternyata sangat berguna sekali. Dengan pengetahuan yang meskipun tidak banyak — yang saya dapat pada waktu menjadi mahasiswa di Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada — membekali saya untuk mampu menyampaikan Dhamma dengan lebih baik. Memang dalam dunia di mana sains, ilmu pengetahuan berkembang dan digunakan dengan baik oleh masyarakat luas, para bhikkhu yang ingin menjadi Dhammaduta, menyampaikan bimbingan Dhamma kepada masyarakat, sebaiknya membekali diri dengan pengetahuan-pengetahuan umum yang memang tidak harus banyak, tetapi cukup membantu dalam pengabdian para bhikkhu memberikan pembinaan Dhamma kepada masyarakat. Oleh karena itu, sekarang saya sungguh berterima kasih bahwa orangtua mendorong saya untuk menyelesaikan sekolah saya sampai maksimal melanjutkan kuliah di Perguruan Tinggi.

MEMASUKI KEBHIKKHUAN

Pada tahun 1969 datang di Indonesia empat orang Dhammaduta dari Thailand untuk membantu mengembangkan Agama Buddha di Indonesia. Mereka adalah :


    * Ven. Phra Kru Pallad Attachariya Nukich yang kemudian memakai nama Chau Kun Vidhurdhammabhorn

    * Ven. Phra Kru Pallad Viriyacarya

    * Ven. Phra Maha Prataen Khemadas

    * Ven. Phara Maha Sujib Khemacharo


Para Dhammaduta Thailand bersama YA MNS Ashin Jinarakkhita di Vihara Vimala Dharma, Bandung

Bhante Vidhurdhammabhorn yang juga akrab di panggil Bhante Wim, menjadi upajjhaya yang mentahbiskan saya menjadi samanera di Vihara Dharmasurya, desa Kaloran, Temanggung pada tanggal 24 November 1974. Waktu pentahbisan saya sebagai samanera, di Kaloran, hadirlah Bhante Girirakkhito dan Bhante Jinapiya. Meskipun mereka sudah bergabung dalam Sangha Agung Indonesia, hubungan dengan Sangha Agung Indonesia sudah tidak harmoni lagi. Hadir juga Bhante Khemasarano, dan beberapa samanera yang tentu bukan anggota Sangha Theravada Indonesia karena Sangha Theravada Indonesia belum berdiri.

Bhante Vidhurdhammabhorn yang akrab dipanggil Bhante Wim, waktu itu mondar-mandir di Tangerang, di Jakarta di beberapa rumah yang disediakan oleh umat, dan di Malang di Dhammadipa Arama. Hubungan beliau dengan Sangha Agung Indonesia yang merupakan satu-satunya sangha waktu itu, tidak harmoni. Beliau bukan anggota Sangha Agung Indonesia. Apalagi beliau bhikkhu dari luar negeri. Sebagai samanera, saya bukanlah anggota sangha. Saya bertanggung jawab pada upajjhaya saya, Bhante Vidhurdhammabhorn dari Wat Bovoranies Vihara. Samanera adalah tanggung jawab penuh upajjhaya.

Waktu itu Vihara Mendut belum ada. Saya tinggal di Yogyakarta. Di suatu kuti kecil di belakang rumah umat, Ibu Soepangat Prawirokoesoemo. Tanggal 2 Januari 1976, saya pindah ke Vihara Mendut, yang tanahnya masih sekitar 200 meter. Vihara Mendut adalah milik Yayasan Mendut, yang waktu itu pendiri atau pengurusnya antara lain: Ibu Soepangat, Bapak Suradji.

Setelah lebih dari 2 tahun menjadi samanera, tepatnya tanggal 21 Februari 1977, saya ditahbis menjadi bhikkhu di Wat Bovoranives Vihara, Bangkok. Upajjhaya saya adalah His Holiness Somdeth Phra Nyanasamvara. Beliau adalah Sangharaja Thailand yang sekarang.

Sumber :
Forum Komunikasi Pelajar Buddhist Ananda

_/\_ :lotus:

Glomod...kalo salah kamar...tolong di pindahkan yaah...anumodana... _/\_

49
DHAMMA yang wajib di hindarkan oleh para upasaka-upasika (termasuk Pandita) yaitu:
~ VANIJJA 5 (5 macam perdagangan)
1. Sattha Vanijja: berdagang alat senjata
2. Satta Vanijja: Berdagang makhluk hidup
3. Mamsa Vanijja: Berdagang daging
4. Majja Vanijja: Berdagang minuman yang memabukkan
5. Visa Vanijja: Berdagang Racun
(Anguttaranikaya III. 207)

~ ABHITHANA 6 (6 macam perbuatan Durhaka) yaitu:
1. Matughata: Membunuh Ibu
2. Pitughata: Membunuh Ayah
3. Arahantaghata: Membunuh Arahat
4. Lohituppada: Melukai diri Sang Buddha sehingga meneteskan darahnya Keluar
5. Sanghabheda: Memecah belahkan Sangha
6. Annasatthuddesa: Mengikuti dan mengajarkan agama-agama lain (hanya untuk para Bhikkhu).
Keterangan:
Lima yang pertama adalah kejahatan-kejahatan besar bagi setiap orang, walaupun yang kelima lebih cenderung untuk dilakukan oleh para Bhikkhu daripada umat awam, tetapi yang keenam khusus dimaksud bagi para bhikkhu yang meskipun mengenakan jubah bhikkhu dan pernyataan mereka sendiri untuk menjadi bhikkhu, tetapi tidak tahu malu mengajarkan cara-cara dari agama lain dengan mengorbankan agamanya sendiri. ini adalah seperti suatu perbuatan penghianatan dan bhikkhu itu bukan lain hanyalah seorang penghianat.
(Anguttaranikaya III 439. Khuddakapatha VI 10. Suttanipata 231)

Sumber : Kamus Umum Buddha Dhamma (Panjika)

_/\_ :lotus:

50
DHAMMA yang wajib di laksanakan oleh para upasaka-upasika (termasuk Pandita):

~ PUNNAKIRIYA VATTHU 3 (3 macam perbuatan berjasa) yaitu:
1. Danamaya: Jasa yang di peroleh dengan memberikan dana
2. Silamaya: Jasa yang di peroleh dengan mempertahankan kelakuan bermoral
3. Bhavanamaya: Jasa yang diperoleh dengan mengembangkan bahvana/meditasi
(Anguttaranikaya IV. 241)

~ SAPPURISA PANATTI 3 (3 macam Dhamma yang patut dilaksanakan atau ciri orang yang bajik) yaitu:
1. Dana: Berdana kepada orang yang patut diberikan dana
2. Pabbajja: Penglepasan keduniawian, tidak melakukan kekejaman
3. Matapitu-upatthana: Melindungi dan memelihara orang tua, berusaha memberikan kebahagiaan lahir dan batin
(Anguttaranikaya I. 151)

~ SADDHA 4 (4 macam kenyakinan) yaitu:
1. Kamma Saddha: Kenyakinan terhadap Hukum Kamma
2. Vipaka Saddha: Kenyakinan terhadap akibat dari Hukum Kamma
3. Kammassakata Saddha: Kenyakinan bahwa semua makhluk mempunyai kamma masing-masing dan bertanggung jawab terhadap perbuatannya.
4. Tathagatabodhi Saddha: Kenyakinan terhadap pencapaian Penerangan Sempurna dari Sang Buddha, yakin bahwa Sang Buddha adalah Yang Maha Suci, Yang Maha Tahu, Yang Maha Bijaksana, Yang Maha Pengasih dan penyayang.
(Vijja Dhamma hal. 50)

~ ARIYA VADDHI 5 (5 macam Dhamma kepunyaan orang berbudi) yaitu:
1. Saddha: Mempunyai kenyakinan yang kuat terhadap Sang Tri Ratna, yang merupakan kebenaran dan kebajikan
2. Sila: Bersusila, melakukan perbuatan baik
3. Suta: Belajar dan mendengar untuk mencari pengetahuan benar
4. Caga: Mempunyai kemurahan hati, senang membantu dan tidak mementingkan diri sendiri.
(anguttaranikaya III.80)

~ UPASAKA DHAMMA 5 (5 macam Dhamma kepunyaan Upasaka dan Upasika) yaitu:
1. Mempunyai Kenyakinan (Saddha), kenyakinan terhadap Sang Tri Ratna
2. Mempunyai kesucian Sila
3. Tidak percaya akan perbuatan tahyul dan kabar angin atau desas desus yang belum di cek kebenarannya.
4. Tidak mencari sumber kebaikan dan kebenaran di luar Dhamma
5. Berbuat kebaikkan sesuai dengan Dhamma.
(Anguttaranikaya III. 206)

~ UPASAKA DHAMMA 7 (7 macam Dhamma untuk kemajuan batiniah Upasaka-Upasika) yaitu:
1. Sering mengunjung para Bhikkhu
2. Sering mendengarkan Dhamma
3. Melatih diri melaksanakan adhi-sila (sila tertinggi)
4. Mempunyai Kenyakinan terhadap para Bhikkhu yang tua dan muda vassanya.
5. Mendengarkan Dhamma tanpa tujuan untuk mengeritik
6. Tidak mencari sumber kebaikkan dan kebenaran di luar Dhamma
7. Berbuat kebaikkan sesuai dengan Dhamma
(Anguttaranikaya IV. 25.26)

~ ATTHA SILA 8 (8 macam sila/tata susila) yaitu:
1. Panatipata Veramani: Menahan diri dari pembunuhan
2. Adinnadana Veramani: Menahan diri dari pencurian
3. Abrahmacariya Veramani: Menahan diri dari hubungan kelamin
4. Musavada Veramani: Menahan diri dari berdusta
5. Sura Merayamajja Pamadatthana Veramani: Menahan diri dari makanan dan minuman yang memabukkan dan ketagihan.
6. Vikalabhojana Veramani: Menahan diri tidak akan makan setelah pukul 12.00 tengah hari.
7. Nacca Gita Vadita Visukadassana Malagandha Vilepana Dharana Mandana Vibhusanatthana Veramani: Menahan diri tidak akan menari, menyanyi, bermain musik, melihat pertunjukan, memakai bunga-bungaan, wangi-wangian, pomade dan perhiasan-perhiasan bersolek lainnya.
8. Uccasayana Mahasayana Veramani: Menahan diri tidak akan memakai tempat duduk dan tempat tidur yang mewah.
(Anguttaranikaya IV. 248)

~ SAPPURISA DHAMMA 8 (8 macam harta dari orang yang baik) yaitu:
1. Saddhamma Samannagato: Mempunyai kebajikan 7 macam adalah:
a. Mempunyai kenyakinan (saddha)
b. Mempunyai rasa malu (hiri)
c. Mempunyai rasa takut (ottappa)
d. Mempunyai banyak pengetahuan (bahussuta)
e. Mempunyai usaha yang giat (viriya)
f. Mempunyai kesadaran (sati)
g. Mmepunyai kebjikasanaan (panna)

2. Sappurisa Bhatti: Bergaul dengan orang baik
3. Sappurisa Cinti: Berfikir yang benar, tidak berfikir untuk merugikan diri sendiri dan makhluk lain.
4. Sappurisa Manti: Berunding dengan orang yang baik
5. Sappurisa Vaco: Berbicara yang benar, yaitu tidak bicara bohong, tidak menghina dan memfitnah, tidak bicara kasar, tidak omong kosong dan tidak bicara merugikan orang lain
6. Sappurisa Kammanto: Berbuat yang benar, yaitu tidak melakukan sesuatu yang merugikan orang lain.
7. Sappurisa Ditthi: Mempunyai pandangan yang benar, yaitu berbuat baik dapat kebaikkan, berbuat jahat dapat kejahatan dan lain-lainya.
8. Sappurisa Danam Ditthi: Berdana sesuai dengan Sappurisa Dana 8 (8 macam dana dari orang yang baik)
(Majjhimanikaya III. 23)

~ DASA SILA 10 (10 macam sila/tata susila) yaitu:
1. Panatipata Veramani: Menahan diri dari pembunuhan
2. Adinnadana Veramani: Menahan diri dari pencurian
3. Abrahmacariya Veramani: Menahan diri dari hubungan kelamin
4. Musavada Veramani: Menahan diri dari berdusta
5. Sura Merayamajja Pamadatthana Veramani: Menahan diri dari makanan dan minuman yang memabukkan dan ketagihan.
6. Vikalabhojana Veramani: Menahan diri tidak akan makan setelah pukul 12.00 tengah hari.
7. Nacca Gita Vadita Visukadassana Veramani: Menahan diri tidak akan menari, menyanyi, bermain musik, melihat pertunjukan
8. Malagandha Vilepana Dharana Mandana Vibhusanatthana Veramani: Menahan diri tidak akan memakai bunga-bungaan, wangi-wangin, pomade dan perhiasan-perhiasan bersolek lainnya.
9. Uccasayana Mahasayana Veramani: Menahan diri tidak akan memakai tempat duduk dan tempat tidur yang mewah.
10. Jatarupa Rajata patiggahana Veramani: Menahan diri tidak akan menerima mas dan perak (berarti uang).
(Khuddakapatha I. 1)

Sumber : Kamus Umum Buddha Dhamma (Panjika)

Semoga bermanfaat...

_/\_ :lotus:

51
Video Game / Game...Plants vs. Zombies
« on: 18 July 2009, 06:57:43 PM »
Teman-teman...

Ada yang punya Game Plants vs. Zombies ga? Anakku mau game itu. Tolong yaah...kirim ke email aku (alamat email via PM)... ^:)^

Thanks.. _/\_

:lotus:

52
Sutta Vinaya / MAHA SATIPATTHANA SUTTA
« on: 18 July 2009, 07:22:03 AM »
MAHA SATIPATTHANA SUTTA
(KHOTBAH TENTANG LANDASAN PERHATIAN MURNI YANG AGUNG)

Demikianlah telah saya dengar:
1. Pada suatu waktu Sang Bhagava berada bersama suku Kuru, di Kammasadhamma,
sebuah kota niaga suku Kuru. Di sana Sang Bhagava bersabda
kepada para bhikkhu: "Para bhikkhu !"
"Ya, bhante", jawab para bhikkhu. Sang Bhagava bersabda: "Inilah
satu jalan, para bhikkhu, untuk menuju kesucian makhluk-makhluk,
untuk mengatasi kesedihan dan ratap tangis, untuk mengakhiri
derita dan duka cita, untuk mencapai jalan benar (ñaya), untuk
merealisasi Nibbana, yaitu empat landasan perhatian murni.
Apakah empat landasan perhatian murni itu ?
Di sini (dalam ajaran ini), para bhikkhu, seorang bhikkhu melakukan
(I) perenungan jasmani sebagai jasmani (kayanupassana),
berusaha dengan rajin, dengan pengamatan jernih dan penuh perhatian
murni, mengatasi keserakahan dan kemurungan di dunia.
Seorang bhikkhu melakukan (II) perenungan perasaan sebagai perasaan
(vedananupassana), berusaha dengan rajin, dengan pengamatan
jernih dan penuh perhatian murni, mengatasi keserakahan dan kemurungan
di dunia.
Seorang bhikkhu melakukan (III) perenungan pikiran sebagai pikiran
(cittanupassana), berusaha dengan rajin, dengan pengamatan jernih
dan penuh perhatian murni, mengatasi keserakahan dan kemurungan di
dunia.
Seorang bhikkhu melakukan (IV) perenungan obyek pikiran sebagai
obyek pikiran (dhammanupassana), berusaha dengan rajin, dengan
pengamatan jernih dan penuh perhatian murni, mengatasi keserakahan
dan kemurungan di dunia.

I. PERENUNGAN JASMANI (KAYANUPASSANA)
Perhatian murni terhadap nafas (anapanasati)
2. Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seorang bhikkhu dengan tekun melaku
kan perenungan jasmani sebagai jasmani ?
Dalam hal ini, para bhikkhu, seorang bhikkhu setelah pergi ke
hutan, atau pergi ke bawah sebuah pohon, atau ke satu tempat yang
sunyi; kemudian ia duduk bersila dengan badan yang tegak dan menetapkan
perhatian murni di hadapannya (artinya ia memperhatikan
dengan waspada obyek meditasinya, yaitu pernapasan). Ia memperhatikan
saat menarik nafas dan mengeluarkan nafas.
Saat menarik nafas yang panjang, ia menyadari: "menarik nafas panjang".
Saat mengeluarkan nafas panjang, ia menyadari: "mengeluarkan nafas
panjang".
Saat menarik nafas pendek, ia menyadari: "menarik nafas pendek".
Saat mengeluarkan nafas pendek, ia menyadari: "mengeluarkan nafas
pendek".
Setelah mengetahui seluruh tubuh, "saya akan menarik nafas", demikian
ia melatih diri.
Setelah mengetahui seluruh tubuh, "saya akan mengeluarkan nafas",
demikian ia melatih diri.
"Saya akan menarik nafas menenangkan unsur-unsur jasmani", demikian
ia melatih diri.
"Saya akan mengeluarkan nafas menenangkan unsur-unsur jasmani",
demikian ia melatih diri.
Bagaikan seorang pembuat kendi yang ahli atau muridnya, sewaktu
membuat putaran panjang, ia menyadari: "membuat putaran panjang",
membuat putaran pendek, ia menyadari: "membuat putaran pendek".
Demikian pula, para bhikkhu, seorang bhikkhu menarik nafas panjang,
ia menyadari: "menarik nafas panjang".
Mengeluarkan nafas panjang, ia menyadari: "mengeluarkan nafas panjang".
Menarik nafas pendek, ia menyadari: "menarik nafas pendek".
Mengeluarkan nafas pendek, ia menyadari: "mengeluarkan nafas pendek".
"Menyadari seluruh tubuh, saya akan menarik nafas", demikian ia melatih
diri.
"Menyadari seluruh tubuh, saya akan mengeluarkan nafas", demikian
ia melatih diri.
"Menenangkan unsur-unsur jasmani, saya akan menarik nafas", demikian
ia menarik nafas. "
"Menenangkan unsur-unsur jasmani, saya akan mengeluarkan nafas",
demikian ia melatih diri.
Demikianlah ia melakukan perenungan jasmani di dalam dirinya, ia
melakukan perenungan jasmani di luar dirinya, ia melakukan perenung
an jasmani di dalam dan di luar dirinya. Ia melakukan perenungan
terhadap proses timbulnya segala sesuatu di dalam jasmani, ia melakukan
perenungan proses padamnya segala sesuatu di dalam jasmani.
Ia melakukan perenungan proses timbul dan padamnya segala sesuatu
di dalam jasmani; atau bila ia sadar "ada jasmani", sebegitu jauh
hanya sekedar untuk pengetahuan dan untuk perhatian murni. Ia hidup
bebas tidak melekat lagi kepada apa pun di dunia.
Demikianlah, para bhikkhu, seorang bhikkhu senantiasa dengan tekun
melakukan perenungan jasmani sebagai jasmani.
Empat posisi tubuh (iriyapatha)
3. Selanjutnya, para bhikkhu, saat seorang bhikkhu (1)berjalan, ia menyadari
"berjalan".
Saat (2) berdiri, ia menyadari: "berdiri".
Saat (3) duduk, ia menyadari: "duduk".
Saat (4) berbaring, ia menyadari: "berbaring".
Bagaimanapun posisi tubuhnya, ia menyadarinya.
Demikianlah ia melakukan perenungan jasmani di dalam dirinya, ia
melakukan perenungan jasmani di luar dirinya, ia melakukan perenungan
jasmani di dalam dan di luar dirinya. Ia melakukan perenungan
terhadap proses timbulnya segala sesuatu di dalam jasmani,
ia melakukan perenungan proses padamnya segala sesuatu di dalam
jasmani. Ia melakukan perenungan proses timbul dan padamnya segala
sesuatu di dalam jasmani; atau bila ia sadar "ada jasmani", sebegitu
jauh hanya sekedar untuk pengetahuan dan untuk perhatian murni.
Ia hidup bebas tidak melekat lagi kepada apa pun di dunia.
Demikianlah, para bhikkhu, seorang bhikkhu senantiasa dengan tekun
melakukan perenungan jasmani sebagai jasmani.

Perhatian murni dengan kewaspadaan (sati sampajan~n~a)
4. Selanjutnya, para bhikkhu, seorang bhikkhu sewaktu berangkat atau
kembali, ia menerapkan kewaspadaan.
Sewaktu ia melihat ke depan atau berpaling ke belakang, ia menerapkan
kewaspadaan.
Sewaktu ia membungkukkan badan atau meluruskan badan, ia menerapkan
kewaspadaan.
Sewaktu mengenakan jubah atau membawa mangkuk, ia menerapkan kewaspadaan.
Sewaktu makan, minum, mengunyah dan mengenyam, ia menerapkan kewaspadaan.
Sewaktu buang air besar atau buang air kecil, ia menerapkan kewaspadaan.
Sewaktu berjalan, berdiri, duduk, berbaring, terjaga, berbicara dan
berdiam diri, ia menerapkan kewaspadaan.
Demikianlah ia melakukan perenungan jasmani di dalam dirinya, ia
melakukan perenungan jasmani di luar dirinya, ia melakukan perenungan
jasmani di dalam dan di luar dirinya. Ia melakukan perenungan
terhadap proses timbulnya segala sesuatu di dalam jasmani,
ia melakukan perenungan proses padamnya segala sesuatu di dalam
jasmani. Ia melakukan perenungan proses timbul dan padamnya segala
sesuatu di dalam jasmani; atau bila ia sadar "ada jasmani", sebegitu
jauh hanya sekedar untuk pengetahuan dan untuk perhatian murni.
Ia hidup bebas tidak melekat lagi kepada apa pun di dunia.
Demikianlah, para bhikkhu, seorang bhikkhu senantiasa dengan tekun
melakukan perenungan jasmani sebagai jasmani.
Perenungan terhadap jasmani yang penuh kekotoran (kayagatasati)
5. Selanjutnya, para bhikkhu, seorang bhikkhu merenungkan jasmani ini,
dari telapak kaki ke atas sampai ke ujung kepala yang terselubung
kulit dan penuh kekotoran, ia merenungkan demikian:
" Di dalam jasmani ini terdapat rambut, bulu, kuku, gigi, kulit,
daging, otot, tulang, sumsum, ginjal, jantung, hati, selaput otot,
limpa, paru-paru, perut, isi perut, usus halus, tinja, empedu,
getah lambung, nanah, darah, keringat, lemak, air mata, minyak
kulit, ludah, ingus, cairan sendi dan air kemih".
Laksana sebuah karung yang memiliki dua buah mulut dan penuh berisi
biji-bijian, yaitu: gabah, padi, bekatul, dedak, kulit padi; dan
seorang yang matanya telah terlatih, setelah membuka karung dan memeriksanya
demikian: "Ini gabah, ini padi, ini bekatul, ini
dedak, ini kulit padi. "Demikianlah, para bhikkhu, seorang bhikkhu
merenungkan jasmani ini, dari telapak kaki ke atas sampai ke ujung
kepala yang terselubung kulit dan penuh kekotoran, ia merenungkan
demikian:
" Di dalam jasmani ini terdapat rambut, bulu, kuku, gigi, kulit,
daging, otot, tulang, sumsum, ginjal, jantung, hati, selaput otot,
limpa, paru-paru, perut, isi perut, usus halus, tinja, empedu,
getah lambung, nanah, darah, keringat, lemak, air mata, minyak
kulit, ludah, ingus, cairan sendi dan air kemih".
Demikianlah ia melakukan perenungan jasmani di dalam dirinya, ia
melakukan perenungan jasmani di luar dirinya,ia melakukan perenungan
jasmani di dalam dan di luar dirinya. Ia melakukan perenungan
terhadap proses timbulnya segala sesuatu di dalam jasmani, ia
melakukan perenungan proses padamnya segala sesuatu di dalam jasmani.
Ia melakukan perenungan proses timbul dan padamnya segala
sesuatu di dalam jasmani; atau bila ia sadar "ada jasmani", sebegitu
jauh hanya sekedar untuk pengetahuan dan untuk perhatian murni.
Ia hidup bebas tidak melekat lagi kepada apa pun di dunia.
Demikianlah, para bhikkhu, seorang bhikkhu senantiasa dengan tekun
melakukan perenungan jasmani sebagai jasmani.

Perenungan unsur (dhatu)
6. Selanjutnya, para bhikkhu, seorang bhikkhu merenungkan jasmani ini,
yang diletakkan dan diuraikan, sehubungan dengan unsur-unsurnya,
demikian: "Terdapat empat unsur dalam jasmani ini:
unsur tanah, unsur cair, unsur panas dan unsur udara."
Seperti seorang penjagal sapi atau pembantunya setelah menyembelih
seekor sapi, dan kemudian duduk di perempatan jalan, lalu meletakkan
potongan-potongan daging di setiap jalan. Demikian pula, seorang
bhikkhu merenungkan jasmani ini, yang diletakkan dan diuraikan,
sehubungan dengan unsur-unsurnya, demikian: "Terdapat empat
unsur dalam jasmani ini:
unsur tanah, unsur cair, unsur panas dan unsur udara."
Demikianlah ia melakukan perenungan jasmani di dalam dirinya, ia
melakukan perenungan jasmani di luar dirinya, ia melakukan perenungan
jasmani di dalam dan di luar dirinya. Ia melakukan perenungan
terhadap proses timbulnya segala sesuatu di dalam jasmani,
ia melakukan perenungan proses padamnya segala sesuatu di dalam
jasmani. Ia melakukan perenungan proses timbul dan padamnya segala
sesuatu di dalam jasmani; atau bila ia sadar "ada jasmani", sebegitu
jauh hanya sekedar untuk pengetahuan dan untuk perhatian murni.
Ia hidup bebas tidak melekat lagi kepada apa pun di dunia.
Demikianlah, para bhikkhu, seorang bhikkhu senantiasa dengan tekun
melakukan perenungan jasmani sebagai jasmani.
Perenungan pada sembilan jenis mayat (sivathika)

7. Selanjutnya, para bhikkhu, seorang bhikkhu jika melihat sesosok tubuh
yang terbuang di pembuangan mayat, (1) sudah menjadi mayat satu
hari, dua hari atau tiga hari, membengkak, membiru dan membusuk;
maka ia merenungkan mayat tersebut terhadap tubuhnya sendiri, demikian:
"Jasmaniku ini juga mempunyai sifat alami yang sama, tidak akan
luput dari keadaan demikian."
Demikianlah ia melakukan perenungan jasmani di dalam dirinya, ia
melakukan perenungan jasmani di luar dirinya,ia melakukan perenungan
jasmani di dalam dan di luar dirinya. Ia melakukan perenungan
terhadap proses timbulnya segala sesuatu di dalam jasmani, ia
melakukan perenungan proses padamnya segala sesuatu di dalam jasmani.
Ia melakukan perenungan proses timbul dan padamnya segala
sesuatu di dalam jasmani; atau bila ia sadar "ada jasmani", sebegitu
jauh hanya sekedar untuk pengetahuan dan untuk perhatian murni.
Ia hidup bebas tidak melekat lagi kepada apa pun di dunia.
Demikianlah para bhikkhu, seorang bhikkhu senantiasa dengan tekun
melakukan perenungan jasmani sebagai jasmani.
Selain itu, para bhikhu, seorang bhikkhu jika melihat sesosok tubuh
yang terbuang di pembuangan mayat, (2) sudah dikoyak-koyak oleh
burung gagak, alap-alap atau burung nasar, oleh anjing atau anjing
hutan, atau oleh berbagai macam binatang-binatang kecil; maka ia
merenungkan .......................................................
Selain itu, para bhikhu, seorang bhikkhu jika melihat sesosok tubuh
yang terbuang di pembuangan mayat, (3) sudah merupakan kerangka
tulang belulang yang terangkai oleh otot-otot, dagingnya masih ada
dan berlumuran darah; maka ia merenungkan .........................
Selain itu, para bhikhu, seorang bhikkhu jika melihat sesosok tubuh
yang terbuang di pembuangan mayat, (4) sudah merupakan kerangka
tulang belulang yang terangkai oleh otot-otot, dagingnya sudah
tidak ada, masih berlumuran darah; maka ia merenungkan ............
Selain itu, para bhikhu, seorang bhikkhu jika melihat sesosok tubuh
yang terbuang di pembuangan mayat, (5) sudah merupakan belulang
terangkai oleh otot-otot, tidak berdaging dan tidak dilumuri darah
lagi; maka ia merenungkan .........................................
Selain itu, para bhikhu, seorang bhikkhu jika melihat sesosok tubuh
yang terbuang di pembuangan mayat, (6) sudah merupakan tulang
belulang, yang tidak bersambungan, bercerai berai dan berserakan ke
semua arah; di sini tulang tangan, di sana tulang kaki, di sini
tulang kering, di sana tulang paha, di sini tulang panggul, di sana
tulang punggung, di sini tulang tengkorak; maka ia merenungkan ....
Selain itu, para bhikhu, seorang bhikkhu jika melihat sesosok tubuh
yang terbuang di pembuangan mayat, (7) sudah merupakan tulang
belulang yang sudah memutih menyerupai kulit kerang, maka ia merenungkan
...........................................................
Selain itu, para bhikhu, seorang bhikkhu jika melihat sesosok tubuh
yang terbuang di pembuangan mayat, (8) sudah merupakan tumpukan
tulang yang sudah bertumpuk selama beberapa tahun; maka ia merenungkan
...........................................................
Selain itu, para bhikkhu, seorang bhikkhu melihat sesosok tubuh
yang dilemparkan ke pembuangan mayat, (9) sudah merupakan tulang
belulang yang oleh karena hujan dan panas telah berubah menjadi
tumpukan tulang lapuk dan menjadi debu; maka ia merenungkan mayat
tersebut pada dirinya sendiri; ia merenungkan:
"Jasmaniku ini mempunyai sifat alamiah yang sama; tidak akan luput
dari keadaan demikian."
Demikianlah ia melakukan perenungan jasmani di dalam dirinya, ia
melakukan perenungan jasmani di luar dirinya, ia melakukan perenung
an jasmani di dalam dan di luar dirinya. Ia melakukan perenungan
terhadap proses timbulnya segala sesuatu di dalam jasmani, ia melakukan
perenungan proses padamnya segala sesuatu di dalam jasmani.
Ia melakukan perenungan proses timbul dan padamnya segala sesuatu
di dalam jasmani; atau bila ia sadar "ada jasmani", sebegitu jauh
hanya sekedar untuk pengetahuan dan untuk perhatian murni. Ia hidup
bebas tidak melekat lagi kepada apa pun di dunia.
Demikianlah, para bhikkhu, seorang bhikkhu senantiasa dengan tekun
melakukan perenungan jasmani sebagai jasmani.

Bersambung....

:lotus:

53
Kesehatan / Jahe untuk Terapi Kanker
« on: 01 July 2009, 01:56:26 PM »
Jahe untuk Terapi Kanker


Jahe dapat digunakan untuk membunuh sel kanker ovarium sementara komponen yang terdapat pada cabai diduga dapat mengecilkan atau menyusutkan tumor pankreas.
Demikian kata Dr. Rebecca Liu, asisten profesor pada bidang obstetri and ginekologi di Universitas Michigan Comprehensive Cancer Center (http://www.tcc.sg/index.html), AS, dan timnya, yang melakukan tes terhadap bubuk jahe yang dilarutkan dan diberikan pada kultur sel kanker ovarium.

Hasil studi itu menyebutkan bahwa terdapat bukti berbagai makanan pedas atau panas bermanfaat untuk menghambat pertumbuhan kanker.

Studi itu meneliti efektivitas jahe terhadap sel penderita kanker. Meskipun demikian, studi ini masih merupakan langkah pertama.

Dikatakan, jahe dapat membunuh sel kanker dengan dua jalan, yaitu proses penghancuran yang dinamakan apoptosis dan autophagy, proses pemakanan sel

Hal ini diuraikan para ahli dalam pertemuan American Association for Cancer Research. Menurut Dr. Rebecca, banyak penderita kanker yang mengalami resistensi
terhadap kemoterapi standar, di mana tindakan kemoterapi merupakan proses apoptosis. Sementara jahe yang memiliki kemampuan memakan sel (autophagy) dapat membantu mereka yang mengalami resistensi terhadap kemoterapi.

American Cancer Society melaporkan kanker ovarium membunuh 16.000 dari 22.000 wanita AS. Jahe terbukti dapat mengontrol keadaan inflamasi, yang berhubungan dengan perkembangan sel kanker ovarium.

Dalam penelitian lain menggunakan tikus yang diberikan capsaicin (salah satu kandungan pada cabai), Sanjay Srivastava dari Universitas Pittsburgh School of Medicine, AS, mendapati bahwa capsaicin ternyata dapat mematikan sel kanker pankreas. Capsaicin membuat sel-sel kanker mati dan memiliki kemampuan memperkecil ukuran tumor.

_/\_ :lotus:

54
Buddhisme untuk Pemula / Renungan
« on: 01 July 2009, 01:39:23 PM »
Kamu menunggang seekor kuda, sedangkan saya menunggang seekor keledai

Kelihatannya kamu lebih baik daripada saya!

Saat menoleh kebelakang, saya melihat seorang pria mendorong gerobaknya

Beberapa orang lebih baik daripada saya

Tetapi beberapa orang kurang beruntung dibanding saya

 

------------------------

 

Dalam dunia ini, kita tidak seharusnya membandingkan diri sendiri dengan orang lain. Jika itu kita lakukan, kita akan terjatuh dalam frustasi berkepanjangan. Kita juga tidak seharusnya terlalu perhitungan. Orang yang terlalu perhitungan akan terus menerus berada dalam kondisi seperti permainan tarik tambang dan tidak akan pernah menemukan kedamaian.

 

" Kamu menunggang seekor kuda, sedangkan saya menunggang seekor kedelei "

Kamu selalu dapat menemukan seseorang yang lebih baik daripada dirimu sendiri. Kamu mengendarai mobil impor sedangkan saya mengendarai mobil

lokal. Kamu mengendarai mobil sedang saya hanya mengendarai sepeda motor.

Kamu mengendarai sepeda motor sedangkan saya mengendarai sepeda. Tetapi, ...

" Saat menoleh kebelakang, saya melihat seorang pria mendorong gerobaknya "

Banyak orang yang bahkan tidak memiliki sepeda dan mereka harus berjalan kaki. Kita perlu menyadari bahwa walaupun ada beberapa orang lebih beruntung

dari kita, ada banyak juga yang lebih tidak beruntung. Kita perlu merasa puas dengan keadaan kita dan tidak selalu berharap lebih. Jika kita harus membandingkan, kita tidak seharusnya membandingkan diri sendiri dalam cakupan kekayaan, ketenaran dan kemewahan. Sebaliknya, kita seharusnya membandingkan dalam cakupan etika, kemampuan, pengetahuan dan sifat

memaafkan. Kita seharusnya lebih baik ada dalam cakupan seperti itu.

 

Syair diatas memberitahukan kita agar merasa puas dengan keadaan kita

sendiri. Saya akan memaparkan sebuah syair yang isinya menyindir orang yang

tidak pernah puas dengan dirinya sendiri:

 

Awalnya, saya bekerja keras untuk dapat makan dua kali sehari,

berikutnya untuk memiliki pakaian yang bagus.

Sekarang saya sudah memiliki pakaian yang bagus,

saya ingin seorang istri yang cantik.

Sekarang saya sudah memiliki seorang istri cantik,

saya menginginkan kendaraan yang bagus.

Sekarang saya sudah memiliki kendaraan bagus dan nyaman,

saya menginginkan sebuah ladang subur.

Sekarang saya sudah memiliki beberapa hektar tanah subur,

saya menginginkan jabatan pemerintahan untuk membuat orang terkesan.

Saya tidak mau memulai dari anak tangga yang terbawah, tidak juga dari

tengah.

Saat saya berada dipuncak, saya ingin menjadi kaisar untuk sesaat.

Saat saya menjadi kaisar dan segala sesuatu berjalan baik,

SAYA INGIN HIDUP SELAMANYA.

Keinginan saya tidak ada habisnya,

hingga satu hari saya meninggal dengan keengganan.

 

Dari puisi ini anda dapat melihat bahwa keinginan kita tidak ada hentinya.

Kebahagiaan seseorang tidak tergantung dari berapa banyak uang yang dimiliki

atau gelar yang disandangnya. Kadangkala, uang dapat membuatmu sakit kepala

dan posisi yang bagus dapat membuatmu lebih resah. Kita sebaiknya tidak

egois. Kita seharusnya tidak hanya meminta, namun juga memberi. Seseorang

yang hanya tahu bagaimana meminta, tanpa memberi, tidak akan bahagia.

 

----------------------------------------------

Master Hsing Yun "Cloud and Water", Suara Bodhidharma No.39

_/\_ :lotus:

55
Kafe Jongkok / MENGAPA
« on: 01 July 2009, 09:16:46 AM »
Mengapa harus lari, jika kau belum mencoba untuk menghadapinya.

Mengapa harus menyerah, jika belum mencoba untuk berjuang.

Mengapa harus mengeluh, jika kau belum mencoba mengerjakan sesuatu yang kau keluhkan.

Mengapa harus lari dari tanggung jawab, jika kau tahu bahwa kau lah yang benar.

Mengapa harus bersedih, jika masih ada begitu banyak kegembiraan.

Mengapa harus bersaing, jika kau belum mencoba untuk bekerjasama

Mengapa harus mengeluarkan begitu banyak amarah, jika kau tahu hal itu akan menyakitkan orang lain.

Mengapa harus mencari keburukan orang lain, jika kau memiliki banyak keburukan dalam dirimu sendiri.

Mengapa harus berdiam diri, jika kau bisa mengerjakan sesuatu yang berarti.

Mengapa harus mengkhawatirkan jalan hidupmu, jika masih banyak waktu yang berada didepanmu.

Mengapa harus takut akan kematian, jika kau tahu kematian tidak bisa kau hindari.

Kita hanyalah manusia yang tidak sempurna, mempunyai kesalahan, berdarah, sakit hati, marah, sedih, senang, keras kepala, baik hati, dengki, dan semua emosi baik, dan emosi buruk.

Kita mungkin sering jatuh, dan banyak teman-teman kita yang akan mencoba memberi semangat pada diri kita, dan mengulurkan tangan pada diri kita, tapi bila kita tidak mencoba untuk bangkit dan berusaha lebih keras untuk diri kita sendiri, maka sia-sia lah apa yang di usahakan oleh teman-teman kita.

(note: forward dari teman)

 _/\_ :lotus:

56
Kesempatan langka....

Kursus Pokok Dasar Buddha Dhamma dan Abhidhamma.
Pengajar Bpk. Pandit Jinaratana Kaharuddin
Di Vihara Dhammadipa, Surabaya
Pada Tanggal: 19-23 September 2009

Bagi yang berminat bisa hubungi Sdri. Linda di Surabaya No. HP. 085649048000

 _/\_ :lotus:

57
Keluarga & Teman / "BAHAGIA"
« on: 16 June 2009, 03:57:58 PM »
"BAHAGIA"

John C Maxwell suatu ketika pernah didapuk menjadi seorang pembicara di
sebuah seminar bersama istrinya.
Ia dan istrinya, Margaret, diminta menjadi pembicara pada beberapa sesi
secara terpisah. Ketika Maxwell sedang menjadi pembicara, istrinya
selalu duduk di barisan terdepan dan mendengarkan seminar suaminya.
Sebaliknya, ketika Margaret sedang menjadi pembicara di salah satu sesi,
suaminya selalu menemaninya dari bangku paling depan.

Ceritanya, suatu ketika sang istri, Margaret, sedang menjadi pembicara
di salah satu sesi seminar tentang kebahagiaan. Seperti biasa, Maxwell
duduk di bangku paling depan dan mendengarkan. Dan di akhir sesi, semua
pengunjung bertepuk tangan. Yang namanya seminar selalu ada interaksi
dua arah dari peserta seminar juga kan? (Kalau satu arah mah namanya
khotbah.)

Di sesi tanya jawab itu, setelah beberapa pertanyaan, seorang ibu
mengacungkan tangannya untuk bertanya. Ketika diberikan kesempatan,
pertanyaan ibu itu seperti ini, "Miss Margaret, apakah suami Anda
membuat Anda bahagia?"

Seluruh ruangan langsung terdiam. Satu pertanyaan yang bagus. Dan semua
peserta penasaran menunggu jawaban Margaret. Margaret tampak berpikir
beberapa saat dan kemudian menjawab, "Tidak."

Seluruh ruangan langsung terkejut. "Tidak," katanya sekali lagi, "John
Maxwell tidak bisa membuatku bahagia." Seisi ruangan langsung menoleh ke
arah Maxwell. (Kebayang ga malunya Maxwell saat itu.) Dan Maxwell juga
menoleh-noleh mencari pintu keluar. Rasanya ingin cepat-cepat keluar.
Malu ui!

Kemudian, lanjut Margaret, "John Maxwell adalah seorang suami yang
sangat baik. Ia tidak pernah berjudi, mabuk-mabukan, main serong. Ia
setia, selalu memenuhi kebutuhan saya, baik jasmani maupun rohani. Tapi,
tetap dia tidak bisa membuatku bahagia."

Tiba-tiba ada suara bertanya, "Mengapa?"

"Karena," jawabnya, "tidak ada seorang pun di dunia ini yang bertanggung
jawab atas kebahagiaanku selain diriku sendiri."

Dengan kata lain, maksud dari Margaret adalah, tidak ada orang lain yang
bisa membuatmu bahagia. Baik itu pasangan hidupmu, sahabatmu, uangmu,
hobimu. Semua itu tidak bisa membuatmu bahagia. Karena yang bisa membuat
dirimu bahagia adalah dirimu sendiri.

Kamu bertanggung jawab atas dirimu sendiri. Kalau kamu sering merasa
berkecukupan, tidak pernah punya perasaan minder, selalu percaya diri,
kamu tidak akan merasa sedih. Sesungguhnya pola pikir kita yang
menentukan apakah kita bahagia atau tidak, bukan faktor luar.

Contohnya rasul Paulus. Ketika itu rasul Paulus sedang dihimpit oleh
keadaan. Ia disiksa dan dipenjara, ditolak kanan kiri. Tapi coba lihat
surat-suratnya. Apakah berisi keluh kesah? Justru sebaliknya! Sebagian
besar surat-surat Paulus justru berisikan motivasi, berita gembira dan
inspirasi. Rasul Paulus bahagia.. Meskipun keadaan sekelilingnya mungkin
merupakan alasan ia tidak bahagia, namun ia bahagia.

Bahagia atau tidaknya hidupmu bukan ditentukan oleh seberapa kaya
dirimu, seberapa cantik istrimu, atau sesukses apa hidupmu. Ini masalah
pilihan: apakah kamu memilih untuk bahagia atau tidak .

_/\_ :lotus:

58
Lingkungan / A Monk from Thailand Living in California
« on: 09 June 2009, 02:43:31 PM »
Dari Milis sebelah... ;D

Hello:
I found this article quite interesting. I hope it all works out for Venerable Phra Bunphithak Jomthong. He is certainly the very embodiment
of a man that can make a auspicious contribution to our country.

Best Regards,
Keith

Monk Phra Bunphithak Jomthong entered the U.S. four years ago on a religious visa and has since devoted himself to serving a burgeoning Buddhist community in Southern California. Barefoot and clad in a saffron robe, Mr. Jomthong recently gave what amounts to the most accurate job description he has: "to share Buddhist practices and to promote peace and harmony among people."
But the U.S. government wants to deport the 47-year-old monk, after denying him permanent U.S. residency, or a green card, on the grounds that he was employed without authorization after his temporary religious visa lapsed. Now, Mr. Jomthong, a citizen of Thailand, is fighting in federal district court and immigration court for the right to remain in the country.
A Monk's Immigration Saga
View SlideshowMichal Czerwonka for The Wall Street Journal
Monk Phra Bunphithak Jomthong, third from right in this photo taken in Los Angeles last month, entered the U.S. four years ago on a religious visa.
At issue is the meaning of "employment. " Mr. Jomthong's fate may depend on whether his attorney can convince a judge that the monk's unpaid religious services don't constitute employment. "The monk may work at his religious labors but he is not employed by the temple. He took an oath of poverty and doesn't receive wages," says Angelo Paparelli an immigration attorney with Seyfarth Shaw LLP who is representing Mr. Jomthong free of charge.
The monk's saga illustrates how an increasingly backlogged and cautious immigration system can trip up some applicants striving to obey the law. In a post-9/11 world, immigration agencies, which have discovered rampant fraud with religious visas, try to strike a balance between screening out security threats and permitting legitimate religious workers.
Some say immigration officials have been far too zealous. They behave "like there are legions of terrorist monks out there," says Rodney Barker, a Boston attorney who is an authority on religious visas.
Others say the measures are necessary to prevent security breaches. "Fraud had become blatant and overt," says Don Crocetti, chief of the fraud detection and national security division at U.S. Citizenship and Immigration Services.
Regulations were changed to improve scrutiny of the religious-worker program, including mandatory site visits by inspectors to religious institutions. The new measures "have been very effective," says Mr. Crocetti. They "are not only detecting fraud but deterring fraud." He says his agency is considering performing site inspections of other employment-based classifications.
The monk entered the U.S. in early 2005 on an R-1 visa, a non-immigrant visa category accorded to individuals who perform religious duties for up to five years. The program was created in 1990 to enable churches, mosques and other religious institutions to fill vacant positions; the foreigners are allowed to be in the U.S. solely to perform religious work and can apply for a green card.
The State Department issued 13,002 R-1 visas in the fiscal year that ended Sept. 30, 2008. However, the U.S. government has tightened oversight of the program in recent years. After the Sept. 11, 2001, attacks, concern grew that the visas could be misused by terrorists or radical groups. Then in late 2005, a fraud-detection unit of the Department of Homeland Security found that a third of all immigrant religious visas had been granted on the basis of fraudulent information.
Agents uncovered churches that existed only on paper and individuals who ended up working at gas station and laundromats.
In Mr. Jomthong's case, the government isn't alleging fraud -- just illegal employment. Mr. Jomthong's attorney asserts that the monk can't be considered an "employee" of Wat Buddhapanya Temple and therefore can't be deported on the grounds of working illegally. Mr. Jomthong "doesn't receive any wages or other remuneration, " says Mr. Paparelli, adding that his work is of a voluntary nature.
Immigration authorities hold that a religious occupation or vocation constitutes "employment" under immigration law.
At the Wat Buddhapanya Temple, a nonprofit organization, Mr. Jomthong has "been volunteering his religious services and physical energy to make this community flourish," says senior monk Choe Amarayano Bhante.
Mr. Jomthong leads daily religious group chants, runs an around-the-clock emergency hotline for families and teaches Thai language to the children of immigrants. The monk sleeps in a small room on the floor on a blanket, which he rolls up and stores when he rises at 4 a.m. each morning. Community members bring Mr. Jomthong and the other two monks food. Their donations ensure the upkeep of the complex, which includes a lilly pond and small bridge built by Mr. Jomthong.
Mr. Jomthong's immigration woes began when the temple petitioned U.S. Citizenship and Immigration Services to extend Mr. Jomthong's R-1 visa in May 2006. The agency didn't approve Mr. Jomthong's petition until 15 months later, with a retroactive expiration date that had already passed -- July 12, 2007.
In the interim, the temple began the process of applying for a green card for Mr. Jomthong so that he could reside in the U.S. permanently. However, because of the government delay in issuing the R-1 status and approving the temple's green-card petition, his legal status and employment permission lapsed, according to his attorney.
The monk continued his activities at the temple. Thus Immigration Services denied Mr. Jomthong's application for lawful permanent resident late last year, stating that for a period exceeding 180 days he had "engaged in unauthorized employment." "We thought we were following the rules," says senior monk Bhante, conceding that the temple wasn't schooled in immigration procedure.
That is when the temple for the first time sought an attorney, who formally requested that the agency reconsider the case. In a sworn statement attached to the request, Mr. Jomthong asks that Immigration Services "exercise discretion compassionately and favorably" in his case.
"I live by the tenets of Buddhism and its 227 precepts.... I do not have a salary," he said. In another sworn statement, the temple said Mr. Jomthong doesn't own property or have a bank account anywhere. A May statement of temple expenditures, for $9,330.36, itemizes electricity, postage and phone charges but no monk expenses such as room and board.
In late March, the government denied Mr. Jomthong a green card again, maintaining in the decision that he had been "remunerated since your admission, albeit on a modest, non-salaried basis...."
A month later, Mr. Jomthong's attorney filed a lawsuit against the government asking that the judge reverse the green-card denial and send the case back to the government with a legal finding that volunteer and unpaid religious services aren't disqualifying forms of employment.
Last week Immigration Services notified Mr. Jomthong to appear for a deportation hearing.
"There has to be scrutiny. It is the responsibility of the government to make sure it gives visas properly," says Doris Meissner, a former Clinton administration immigration official and a senior fellow at Migration Policy Institute, a nonpartisan think tank. "That said, we are dealing with a system through which it can be extremely difficult to play by the rules."

_/\_ :lotus:

59
Lingkungan / "ANJING KECIL"
« on: 09 June 2009, 02:17:21 PM »
Forward dari teman.... ;D

"ANJING KECIL"

Seekor anak anjing yang kecil mungil sedang  berjalan-jalan di ladang pemiliknya. Ketika dia mendekati kandang kuda, dia mendengar  binatang besar itu memanggilnya. Kata kuda itu : "Kamu pasti masih baru di sini,  cepat atau lambat kamu  akan mengetahui kalau pemilik ladang ini mencintai  saya lebih dari binatang lainnya, sebab saya bisa mengangkut banyak  barang untuknya, saya kira binatang sekecil kamu tidak akan bernilai sama  sekali baginya", ujarnya dengan sinis.

Anjing kecil itu menundukkan kepalanya dan  pergi, lalu dia mendengar  seekor sapi di kandang sebelah berkata : "Saya adalah  binatang yang paling terhormat di sini sebab nyonya di sini membuat  keju dan mentega dari  susu saya. Kamu tentu tidak berguna bagi keluarga di  sini", dengan nada mencemooh.

Teriak seekor domba : "Hai sapi, kedudukanmu  tidak lebih tinggi dari  saya, saya memberi mantel bulu kepada pemilik ladang  ini. Saya memberi  kehangatan kepada seluruh keluarga. Tapi omonganmu soal  anjing kecil itu, kayanya  kamu memang benar. Dia sama sekali tidak ada  manfaatnya di sini."

Satu demi satu binatang di situ ikut serta dalam  percakapan itu, sambil menceritakan betapa tingginya kedudukan mereka  di ladang itu. Ayam pun berkata bagaimana dia telah memberikan telur,  kucing bangga bagaimana  dia telah mengenyahkan tikus-tikus pengerat dari  ladang itu. Semua binatang sepakat kalau si anjing kecil itu adalah mahluk  tak berguna dan tidak sanggup memberikan kontribusi apapun kepada  keluarga itu.

Terpukul oleh kecaman binatang-binatang lain,  anjing kecil itu pergi ke tempat sepi dan mulai menangis menyesali nasibnya, sedih rasanya sudah  yatim piatu, dianggap tak berguna, disingkirkan  dari pergaulan lagi.....

Ada seekor anjing tua di situ mendengar tangisan  tersebut, lalu menyimak keluh kesah si anjing kecil itu. "Saya tidak dapat memberikan pelayanan kepada keluarga disini, sayalah hewan yang  paling tidak berguna  disini." Kata anjing tua itu : "Memang benar bahwa kamu  terlalu kecil untuk  menarik pedati, kamu tidak bisa memberikan telur, susu  ataupun bulu, tetapi  bodoh sekali jika kamu menangisi sesuatu yang tidak  bisa kamu lakukan. Kamu  harus menggunakan kemampuan yang dimiliki untuk membawa kegembiraan."

Malam itu ketika pemilik ladang baru pulang dan  tampak amat lelah  karena perjalanan jauh di panas terik matahari, anjing kecil itu lari menghampirinya, menjilat kakinya dan melompat ke pelukannya. Sambil menjatuhkan diri ke tanah, pemilik ladang dan  anjing kecil itu berguling-guling di rumput disertai tawa ria.  Akhirnya pemilik ladang  itu memeluk dia erat-erat dan mengelus-elus kepalanya, serta berkata :  "Meskipun saya pulang dalam keadaan letih, tapi rasanya  semua jadi sirna, bila  kau menyambutku semesra ini, kamu sungguh yang  paling berharga di antara  semua binatang di ladang ini, kecil kecil kamu telah  mengerti artinya kasih........."

Jangan sedih karena kamu tidak dapat melakukan  sesuatu seperti orang  lain karena memang tidak memiliki kemampuan untuk  itu, tetapi apa yang kamu  dapat lakukan, lakukanlah itu dengan sebaik- baiknya..... Dan jangan sombong  jika kamu merasa banyak melakukan beberapa hal pada  orang lain, karena orang  yang tinggi hati akan direndahkan dan orang yang  rendah hati akan  ditinggikan.

_/\_ :lotus:

60
Meditasi / Living Dharma~LUANGPOR JUMNEAN CHONSAKHORN
« on: 02 June 2009, 05:35:26 AM »
LUANGPOR  JUMNEAN CHONSAKHORN

Biodata ini diterjemahkan dari kutipan buku
Living Dharma:
Teachings of 12 Buddhist Masters
karya Jack Kornfield
terbitan Shambala, tahun 1996
ACHAAN JUMNIEN, Bab 15, hl. 272 - 285


Lahir di pedesaan, saat berusia muda beliau sempat berguru kepada seorang umat tunanetra yang berprofesi sebagai tabib tradisional dan juru ramal. ACHAAN JUMNIEN telah mulai berlatih meditasi semenjak ia berusia 6 tahun. Arahan meditasi pertama yang diberikan kepadanya adalah teknik meditasi samatha (samatha-bhavana) dan meditasi cinta kasih (metta-bhavana). Ia juga berlatih sebagai tabib tradisional dan selalu diingatkan untuk tetap berlatih meditasi dan hidup selibat / tidak berumah tangga. Beranjak dewasa, banyak penduduk desa sekitar yang meminta pertolongannya dan pada usia 20 tahun beliau ditahbiskan menjadi seorang Bhikkhu Theravada. Beliau melanjutkan latihan bermacam-macam teknik meditasi samatha dengan guru-guru terkemuka di Thailand, mengembara sebagai bhikkhu dhutanga, dan kemudian mempelajari secara intensif meditasi vipasana dengan arahan dari Achaan (Lee) Dhammadaro di Wat Tow Kote.

Ketika beliau diminta untuk mengajar, beliau baru berusia 30-an tahun dan dikenal oleh masyarakat setempat karena kebijaksanaannya dalam menjelaskan Dhamma dan kekuatan cinta kasih (metta)-nya. Penduduk di Wat Sukontawas secara khusus meminta beliau untuk datang dan mengajar. Daerah ini pada saat itu sedang mengalami masalah yang serius dimana daerah yang berupa hutan lebat dan perkebunan karet di sebelah selatan Thailand adalah pusat pertikaian sengit yang kerap terjadi antara pihak pemerintah Thailand dengan para kaum pemberontak komunis. Saat beliau tiba dan mulai mengajar, beliau diancam harus segera meninggalkan daerah itu atau akan ditembak, tetapi beliau tetap saja tinggal dan mengajar. Dengan kekuatan Dhamma-nya, beliau akhirnya bisa mengajar prajurit-prajurit pemerintah di kota dan kemudian beliau juga diundang oleh pemberontak komunis yang bermarkas di hutan untuk mengajar. Kedua pihak bahkan menawarkan untuk melindungi vihara beliau. Beliau menjawab: “Hidup harmonis sejalan dengan Dhamma sejati adalah satu-satunya perlindungan yang beliau butuhkan.”

ACHAAN JUMNIEN adalah guru yang sangat terbuka untuk menggunakan berbagai macam teknik latihan meditasi. Beliau telah banyak belajar dan tidak hanya fokus kepada satu teknik meditasi saja tetapi beliau akan mengajarkan teknik yang berbeda-beda disesuaikan dengan kebutuhan, kepribadian dan karakter kemelekatan murid-murid beliau. Meskipun teknik-teknik awalnya berbeda, beliau pada akhirnya selalu mengarahkan kembali ke latihan meditasi vipasana, melihat sifat alamiah proses batin dan jasmani sebagai sesuatu yang selalu berubah, tidak memuaskan dan tanpa aku. Adalah bagian dari pengajaran Beliau di mana tidak hanya satu jalan saja yang benar. Beliau mengajarkan pengembangan pada Dhamma sebagai eksperimen dan penyelidikan pada nafsu keinginan dan ketidak-puasan kita, mengamati kemajuan meditasi kita sebagai salah satu aspek dari pengembangan pandangan terang. Beliau membimbing murid-muridnya secara seksama, terlebih ketika mereka sedang berada dalam tingkat konsentrasi yang tinggi atau sedang mengatasi rasa sakit di saat praktek meditasi yang intensif (dua di antara cara khususnya dalam berlatih). Beliau selalu mengingatkan jalan kita di dalam Dhamma adalah pengamatan dan penyelidikan tiada henti. Seperti yang beliau katakan: Sangat penting untuk diketahui bahwa kita harus bertanggung jawab atas perkembangan Dhamma di dalam diri kita masing-masing. Berlatih hanya untuk diri sendiri dan ini merupakan suatu proses selama sepanjang hidup kita, meskipun kita boleh menggunakan satu teknik meditasi tertentu untuk suatu waktu, penghentian selamanya dari semua keinginan, kedamaian akhir, adalah merupakan kesimpulan akhir yang hakiki dari latihan spiritual kita.

Wat Sukontawas adalah daerah lereng pegunungan dimana kuti-kuti para yogi dibangun di antara barisan pepohonan karet. Selama musim hujan, sebanyak seratus hingga dua ratus orang bikkhu dan anagarini belajar dibawah bimbingan ACHAAN JAMNIEN. Sebanyak setengah lusin Bikkhu dari negara barat juga pernah belajar di sana; meskipun beliau tidak bisa berbahasa inggris, biasanya penterjemah selalu saja ada. ACHAAN JUMNIEN adalah sosok pribadi yang menyegarkan, penuh canda dan bersahaja.

Pada saat penerbitan buku ini, penulis mendapat kabar bahwa beliau telah memindahkan biaranya ke sejumlah gua di kawasan pegunungan Krabi, Thailand Selatan.

KUMPULAN WAWANCARA DENGAN ACHAAN JUMNIEN
di Wat Sukontawas, Surrathanis, Thailand.


Pertanyaan    : Jenis meditasi apakah yang anda ajarkan di sini?
Jawaban    : Disini anda bisa melihat para yogi berlatih berbagai macam teknik meditasi. Buddha sendiri menerangkan lebih dari 40 teknik meditasi kepada para pengikut-Nya. Tidak semua orang mempunyai latar belakang yang sama, kemampuan yang sama. Saya tidak hanya mengajarkan satu teknik saja melainkan berbagai macam teknik meditasi, memilih mana yang terbaik untuk masing-masing siswa. Beberapa di antaranya ada yang berlatih pernapasan, sementara ada juga yang berlatih untuk mengamati sensasi di tubuh. Sebagian lagi berlatih cinta kasih/metta. Untuk beberapa yang datang saya memberi petunjuk untuk berlatih meditasi pandangan terang awal, dan untuk yang lain saya mengajarkan metode samatha yang bertujuan membimbing mereka pada latihan pandangan terang lebih tinggi dan kebijaksanaan.

Pertanyaan   : Anda mengatakan ada banyak cara bagus untuk berlatih. Bagaimana dengan klaim guru-guru yang lain bahwa cara merekalah yang sesuai dengan ajaran Buddha dan teknik lain tidak akan menuju ke pencerahan?
Jawaban   : Inti semua latihan yang diajarkan oleh Buddha dapat diringkas dalam satu kalimat: Jangan melekat terhadap apapun. Sering bahkan orang yang bijaksana pun masih melekat kepada satu cara/metode yang cocok untuk mereka. Mereka masih tidak dapat melepaskan secara penuh kemelekatan pada metodenya, guru mereka. Mereka tidak sejalan dengan secara umumnya dari semua latihan kita. Ini tidak berarti bahwa mereka adalah guru yang kurang baik. Anda harus berhati-hati dalam menilai mereka, atau melekat kepada ide anda bagaimana seharusnya seorang guru itu. Kebijaksanaan bukanlah sesuatu yang bisa kita jadikan kemelekatan. Membiarkan terbebas dari kemelekatan akan membuat kebijaksanaan mengalir. Saya sangat beruntung bisa menguasai beragai latihan dari para guru sebelum saya mulai mengajar. Sangat banyak cara yang baik, yang paling penting adalah anda bertekad untuk berlatih secara sungguh-sungguh dengan keyakinan dan semangat. Dan anda akan tahu hasilnya sendiri.

Pertanyaan   : Apakah Anda menginstruksikan pengikut untuk mulai dengan meditasi vipasana atau dengan samatha?
Jawaban   : Lebih sering mereka memulai dengan latihan pandangan terang, kadang saya juga memulai dengan latihan meditasi samatha (jhana), apalagi jika mereka sudah mempunyai pengalaman meditasi atau mereka mudah untuk berkonsentrasi. Tetapi pada akhirnya, semua harus kembali ke latihan meditasi pandangan terang.
Ada kotbah dalam kitab suci Tipitaka dimana saat Sang Buddha menerima kunjungan beberapa umat awam dan berbicara mengenai poin ini. Buddha menjabarkan macam-macam sifat para Bhikkhu yang duduk berkelompok di pekarangan di hadapan sang  Buddha :

Lihatlah bagaimana para bhikkhu yang memiliki kecenderungan dengan sifat kebijaksanaan yang tinggi, berkumpul bersama Sariputra, siswa-Ku yang paling bijaksana. Juga lihatlah, bagaimana mereka yang memiliki kecenderungan terhadap kekuatan supranatural berkumpul dengan siswa-Ku yang utama Maha Moggalana. Dan yang memiliki kecenderungan terhadap peraturan kebhikkhuan, bersama dengan Upali, ahli Vinaya, sementara mereka yang berkecenderungan dalam Jhana lebih menonjol……….

Jadi bisa kita lihat sejak jaman sang Buddha, guru-guru selalu memberikan kelonggaran memilih jenis meditasi yang cocok untuk sang yogi.

Pertanyaan    : Faktor-faktor apa saja yang menjadi penentu tektik meditasi yang cocok bagi seseorang?
Jawaban   : Dalam membimbing siswa, saya melihat pengalaman latihan dia di masa lalu dan kecenderungan. Saya juga mempertimbangkan berapa banyak waktu dan tenaga yang murid ini bisa luangkan untuk berlatih meditasi: Apakah dia ini belum berpengalaman, apakah dia berlatih satu jam sehari ataukah dia ini seorang Bikkhu yang berkeinginan untuk berlatih sepanjang hari? Juga mengenai temperamen, apakah temperamen murid ini mempengaruhi latihan meditasinya? Meditasi cinta kasih/metta adalah awal yang baik untuk yang suka marah-marah. Meditasi pengendalian diri adalah baik untuk murid yang lebih memperhatikan orang-orang di sekitar ketimbang latihannya sendiri. Banyak faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam memilih meditasi yang cocok. Meditasi adalah jalan hidup. Yang kita bicarakan di sini adalah meditasi sebagai teknik untuk mengembangkan diri lebih jauh, tetapi kita harus ingat setiap hal dalam kehidupan merupakan meditasi. Berbicara soal teknik, jika anda memilih salah satu dari teknik dasar Buddhist yang mengarah pada pandangan terang, dan berlatih dengan sungguh-sungguh, anda tak akan salah.

Pertanyaan   : Apakah Anda bisa memberi tips mengenai seperti apakah caranya untuk mengarahkan latihan kita?
Jawaban   : Latihan harus diarahkan berlawanan dengan kemelekatan atau rintangan batin yang menonjol dari anda. Jika anda jujur terhadap diri anda, anda bisa mengenali hal ini dengan mudah. Sebagai contoh, jika temperamen kita adalah temperamen yang membawa anda pada ketidak-pedulian, anda harus lebih berupaya keras untuk melatih kasih sayang. Jika nafsu adalah masalahnya, gunakan  perenungan terhadap bagian tubuh yang menjijikan, sampai anda dapat melihat sifat alamiah secara lebih jelas, bebas dari nafsu kita dengan sendirinya. Kalau anda merasa penuh keraguan dan penuh khayalan, kembangkanlah pengamatan dan rasa kepekaan terhadap latihan anda, belajar dan amati secara jelas bagaimana cara mengatasi kekurangan tersebut. Tetapi anda harus berlatih dengan penuh pengabdian dan kejujuran, anda harus memiliki pengabdian pada jalan yang anda pilih sendiri dengan keinginan yang tidak pernah padam untuk mengetahui kebenaran. Kalau tidak, maka latihan anda tidak berkembang dan malah nantinya hanya akan menjadi seperti ritual/kebiasaan belaka! Pengakhiran lobha, dosa dan moha di dalam hati kita adalah tujuannya. Perlahan-lahan, dari waktu ke waktu, anda tetap di jalan anda dengan kokoh. Berlatihlah tanpa rasa takut sampai ke arah kemelekatan anda, lakukan terus sampai anda terbebaskan. Hanya itu.

Pertanyaan   : Lebih baik latihan sendiri atau di dalam kelompok meditasi?
Jawaban   : Berbeda-beda, Dalam hal yogi yang baru, jika mereka serius dan bersemangat tinggi, akan lebih baik jika mereka berlatih sendiri dan diawasi secara seksama pada saat awal-awal meditasi. Bagi yang kurang serius, atau kurang disiplin, atau yang kurang stabil dan perlu dekat dengan guru, mereka ini harus berlatih di dalam group yang lebih terstruktur dan lebih mendukung. Dengan cara ini mereka bisa dibantu dan diinspirasi dan dapat menggunakan semangat/tenaga dari kelompok untuk menguatkan latihan mereka. Sedangkan bagi murid yang berpengalaman, jika mereka disiplin dan tulus, menyendiri dalam kesunyian adalah yang terbaik. Siswa-siswi seperti ini akan dapat menolong diri mereka sendiri dan jalan mereka akan lebih dalam tanpa harus didorong oleh guru atau group-nya. Bagi yang kurang disiplin, walaupun berpengalaman, lebih baik bagi mereka untuk berlatih di dalam kelompok. Disiplin dan latihan yang sungguh-sungguh akan membantu mereka menembus penolakan dari dalam diri sendiri hingga mereka bisa melihat kebenaran Dhamma. Setelah itu latihan mereka akan berkembang, baik sendiri atau di dalam kelompok, sama saja.

Pertanyaan   : Apakah Anda juga menganjurkan latihan yang keras dan di tempat yang terisolir?
Jawaban   : Tentu saja. Bagi yang siap, latihan intensif yang ketat sangatlah berguna. Jika terisolasi akan lebih cepat meraih konsentrasi yang kuat dan pandangan terang yang jernih. Bahkan saat ini pun, saya sendiri selama sebulan dalam setahun, pergi hanya berbekalkan jubah dan mangkuk, tinggal sendiri di dalam hutan dan berlatih dengan intensif. Murid-murid disini dianjurkan untuk melakukan hal yang sama. Dengan pengalaman yang bertambah, mereka dapat menemukan keseimbangan sendiri antara pergi untuk retret intensif secara berkala dan di luar waktu itu hidup dalam kehidupan meditasi sehari-hari.
Sedangkan latihan dalam retret intensif, dalam retret yang lebih lama siswa saya biasanya berlatih vipassana sederhana, mengamati perubahan pada batin dan jasmani. Untuk jangka waktu yang lebih pendek seringkali efektif pada latihan konsentrasi tertentu atau mencoba mencoba menerobos sikap tubuh tertentu. Pada akhirnya, latihan harus kembali ke pandangan terang dan melepas. Ini tujuan dari semua ajaran Sang Buddha.

Pertanyaan   : Dapatkah anda menerangkan proses menerobos melalui sikap tubuh
Jawaban   : Ketakutan kita pada rasa sakit dan kemelekatan kita kepada tubuh kita akan mengintervensi kejernihan dan kebijaksanaan batin kita. Bagi para siswa yang memiliki semangat dan kecenderungan, saya menganjurkan latihan pandangan terang, memusatkan perhatian pada gerakan atau perasaan / sensasi (vedana) yang muncul pada tubuh kita. Ini dilakukan pada waktu bertahan hanya pada satu sikap tubuh – entah berdiri berjalan atau duduk untuk waktu yang lama. Ketika sang yogi bertahan pada satu sikap tubuh, rasa sakit bertambah kuat dan ia harus berkonsentrasi langsung pada perasaan-perasaan ini. Perasaan sakit pada tubuh ini adalah objek yang tepat untuk konsentrasi. Pada akhirnya batin akan melihat rasa sakit bukan sebagai rasa sakit tetapi merupakan sensasi jernih yang baik yang disukai maupun yang tidak disukai muncul dan tenggelam dalam tubuh. Seringkali para yogi duduk atau berdiri selama dua puluh empat jam dalam satu posisi. Ketika kita telah berhenti bergerak, penderitaan (rasa sakit) yang memang ada dalam tubuh kita mulai memperlihatkan diri. Kadang-kadang baru setelah delapan jam atau lebih baru sang yogi dapat memecahkan kemelekatannya terhadap rasa sakit pada tubuhnya. Setelah itu tak perlu bergerak. Batin menjadi sangat jernih, terkonsentrasi, dan lentur. Kebahagiaan dan kegairahan batin mengikuti pecahnya rasa sakit ini. Meditator dapat melihat dengan jernih dengan batin yang seimbang, timbul dan tenggelamnya fenomena batin dan jasmani. Bersamaan dengan terhentinya keinginan dan berkembangnya konsentrasi maka kebijaksanaan juga berkembang.
Mengeliminasi sensasi posisi tubuh adalah satu dari banyak latihan-latihan yang kita gunakan di sini. Ini hanya digunakan bagi yogi yang serius dan dibawah pengawasan seksama.

bersambung....

::lotus:

Pages: 1 2 3 [4] 5 6 7 8 9 10 11 ... 15