//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Thera Bàhiya Dàrucãriya  (Read 1949 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline dilbert

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.935
  • Reputasi: 90
  • Gender: Male
  • "vayadhamma sankhara appamadena sampadetha"
Thera Bàhiya Dàrucãriya
« on: 22 August 2008, 12:55:36 AM »
(27) Thera Bàhiya Dàrucãriya
(Nama asli bhikkhu ini adalah Bàhiya yang adalah nama negeri di mana ia dilahirkan. Kemudian ia lebih dikenal sebagai Bàhiya Dàrucãriya, ‘Bàhiya-berpakaian-serat’, karena ia memakai serat kayu sebagai pakaiannya, peristiwa itu akan diceritakan di bawah ini.)

(a) Cita-cita masa lampau
Bakal Bàhiya Dàrucãriya terlahir dalam sebuah keluarga kaya di Kota Haÿsàvatã pada masa kehidupan Buddha Padumuttara, seperti kebiasaan para bakal Siswa Besar lainnya, ia mengunjungi vihàra dan sewaktu mendengarkan khotbah ia menyaksikan seorang bhikkhu yang oleh Buddha dinyatakan sebagai yang terbaik di antara mereka yang mencapai Pencerahan dalam waktu singkat. Ia bercita-cita untuk meniru bhikkhu tersebut dan karena itu setelah memberikan persembahan besar ia mengungkapkan cita-citanya di hadapan Buddha untuk mencapai posisi itu pada masa depan. Buddha melihat bahwa cita-citanya itu akan tercapai dan mengucapkan ramalan.
Bermeditasi di Puncak Gunung
Orang kaya itu melakukan banyak kebajikan seumur hidupnya dan saat meninggal dunia, ia terlahir di alam dewa dan alam manusia silih berganti. Pada masa memudarnya ajaran Buddha Kassapa, ia dan sekelompok bhikkhu yang berwatak sama pergi ke puncak sebuah gunung yang tinggi dan curam dan bermeditasi si puncak gunung tersebut (seperti pada kisah Yang Mulia Dabba di atas). Berkat moralitasnya yang suci, ia terlahir kembali di alam dewa saat meninggal dunia.

(b) Kehidupan pertapaan dalam kehidupan terakhir
Pada masa antara dua Buddha (yaitu antara Buddha Kassapa dan Buddha Gotama), ia berada di alam dewa. Menjelang kemunculan Buddha Gotama, ia terlahir kembali dalam sebuah keluarga kaya di Negeri Bàhiya. Setelah dewasa, ia menikah dan melakukan perjalanan laut menuju Suvaõõabhåmi untuk suatu urusan dagang. Kapal yang ia tumpangi hancur oleh badai di laut dan semua orang kecuali dia, tewas dan menjadi makanan ikan dan kura-kura.
Sedangkan dirinya, karena harus mengarungi saÿsàra dalam kehidupan terakhirnya, ia bertahan hidup dengan berpegangan pada selembar papan dari kapal yang hancur tersebut selama tujuh hari. Ia dihanyutkan oleh ombak hingga mencapai pantai di Kota pelabuhan Suppàraka. Sebelum berjumpa dengan orang-orang lain, ia menutupi tubuhnya yang telanjang. Ia mengambil tanaman-tanaman air dari sebuah waduk dan menyelimuti tubuhnya. Kemudian ia menggunakan sebuah kendi tua yang sudah usang sebagai mangkuk untuk menerima makanan.
Penampilannya yang mengenaskan menarik perhatian banyak orang. “Jika ada seorang Arahanta di dunia ini, maka dia adalah Arahanta itu!” Begitulah mereka berbicara mengenainya. Mereka menganggap orang itu (orang suci menurut penilaian mereka) sedang menjalani praktik yang keras, dan menolak mengenakan pakaian yang pantas. Untuk membuktikan penilaian mereka itu, mereka memberikan pakaian baik kepadanya. Tetapi Bàhiya berpikir, “Orang-orang ini menerimaku karena pakaianku ini. Lebih baik aku tetap berpakaian seperti ini sehingga mereka tetap menghormatiku.” Karena itu ia menolak pakaian baik yang mereka berikan. Para penduduk menjadi lebih menghormatinya dan memberikan persembahan berlimpah kepadanya.
Setelah memakan makanannya, yang diterimanya dari para penduduk, Bàhiya masuk ke dalam sebuah cetiya tradisional. Para penduduk mengikutinya ke sana. Mereka membersihkan tempat itu untuk dijadikan tempat tinggalnya. Bàhiya kemudian berpikir, “Karena penampilan luarku, orang-orang ini menunjukkan penghormatan tinggi kepadaku. Hal ini mengharuskanku untuk hidup sesuai penghormatan mereka. Aku harus tetap menjadi seorang petapa yang baik dan benar.” Ia mengumpulkan serat dari kayu dan, menjahitnya dengan benang ikat, kemudian memakainya sebagai pakaian buatan sendiri. (Sejak saat itu, ia mendapat julukan ‘Bàhiya-Dàrucãriya, Bàhiya-berpakaian-serat-kayu.’)

Teguran Brahmà
Dari tujuh bhikkhu yang bermeditasi Pandangan Cerah di puncak gunung yang curam pada akhir masa pengajaran Buddha Kassapa, bhikkhu kedua mencapai Anàgàmã-Phala dan terlahir kembali di Alam Suddhàvàsa. Segera setelah terlahir di alam brahmà itu, ia mengingat kehidupan lampaunya dan mengetahui bahwa dia adalah satu di antara tujuh bhikkhu yang bermeditasi di puncak gunung yang curam dan yang pertama telah mencapai Kearahattaan dalam kehidupan itu, dari lima bhikkhu lainnya, ia melihat bahwa mereka semuanya terlahir di alam dewa.
Sekarang, salah satu di antara mereka telah menjadi Arahanta palsu di Suppàraka dan hidup mengandalkan kepercayaan para penduduk di sana, ia merasa adalah tugasnya untuk menegur temannya itu untuk berada di jalan yang benar. Ia merasa kecewa, karena Bàhiya Dàrucãriya dalam kehidupan lampaunya sebagai bhikkhu adalah seorang yang memegang teguh prinspi-prinsip moralitas, bahkan menolak makanan yang dikumpulkan oleh Arahanta temannya. Ia juga ingin menarik perhatian Bàhiya kepada kemunculan Buddha Gotama di dunia ini. Ia berpikir untuk membangkitkan semangat religius pada teman lamanya itu dan seketika ia turun dari alam brahmà dan muncul di depan Bàhiya Dàrucãriya dengan segala kemegahannya.
Bàhiya Dàrucãriya tiba-tiba melihat cahaya gilang-gemilang dan segera keluar dari kamarnya. Ia melihat brahmà itu dan setelah merangkapkan kedua tangannya, ia bertanya, “Siapakah engkau, Tuan?” “Aku adalah teman lamamu. Menjelang akhir masa Buddha Kassapa, aku adalah satu dari tujuh bhikkhu termasuk dirimu, yang pergi ke puncak gunung yang curam dan berlatih meditasi Pandangan Cerah. (Aku mencapai Anàgàmã-Phala, dan terlahir kembali di alam brahmà. Yang tertua di antara kita menjadi seorang Arahanta dan telah meninggal dunia dari kehidupannya itu. Lima orang lainnya, setelah meninggal dunia, terlahir kembali di alam dewa. Aku datang untuk menegurmu agar tidak hidup mengandalkan kepercayaan salah para penduduk.”

O Bàhiya: (1) Engkau bukan seorang Arahanta; (2) Engkau belum mencapai Arahatta-Magga; (3) Engkau bahkan belum memulai latihan menuju Kearahattaan. (Engkau belum melakukan sedikit pun praktik benar untuk mencapai Kearahattaan.) Buddha sekarang telah muncul di dunia ini, dan sedang berdiam di Vihàra Jetavana di Sàvatthã. Aku harap engkau pergi dan menjumpai Bhagavà.” Setelah menegurnya demikian, brahmà itu kembali ke alamnya.

VAYADHAMMA SANKHARA APPAMADENA SAMPADETHA
Semua yang berkondisi tdak kekal adanya, berjuanglah dengan penuh kewaspadaan

Offline dilbert

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.935
  • Reputasi: 90
  • Gender: Male
  • "vayadhamma sankhara appamadena sampadetha"
Re: Thera Bàhiya Dàrucãriya
« Reply #1 on: 22 August 2008, 12:56:02 AM »
Pencapaian Kearahattaan
Bàhiya Dàrucãriya tertegun mendengar kata-kata brahmà itu dan memutuskan untuk mencari Jalan menuju Nibbàna. Ia langsung pergi ke Sàvatthã. Menempuh jarak seratus dua puluh yojanà dalam satu malam. Keesokan paginya ia tiba di Sàvatthã.
Buddha mengetahui bahwa Bàhiya Dàrucãriya akan menjumpai-Nya tetapi melihat bahwa indria orang itu seperti keyakinan, belum cukup matang untuk menerima (memahami) Kebenaran; dan untuk mematangkannya, Buddha menunggu dan pergi ke kota untuk menerima dàna makanan, disertai oleh banyak bhikkhu.
Setelah Buddha meninggalkan Vihàra Jetavana, Bàhiya Dàrucãriya memasuki vihàra dan melihat banyak bhikkhu sedang berjalan-jalan di ruang terbuka setelah sarapan pagi, untuk mencegah kantuk. Ia bertanya kepada para bhikkhu di mana Buddha berada, dan diberitahu bahwa Bhagavà sedang menerima dàna makanan di kota. Para bhikkhu bertanya dari mana ia datang. “Aku datang dari pelabuhan Suppàraka, Yang Mulia.” “Engkau datang dari jauh. Cucilah kakimu, gosokkan minyak untuk melemaskan kakimu dan beristirahatlah sejenak. Bhagavà akan kembali tidak lama lagi dan engkau dapat menjumpai-Nya.”
Walaupun para bhikkhu dengan ramah menyambut kedatangannya tetapi Bàhiya Dàrucãriya tidak sabar menunggu. Ia berkata, “Yang Mulia, aku tidak tahu apakah aku akan bertemu bahaya yang dapat mengancam kehidupanku. Aku datang tergesa-gesa, menempuh seratus dua puluh yojanà dalam satu malam, tanpa beristirahat. Aku harus bertemu dengan Bhagavà sebelum memikirkan soal istirahat.” Setelah berkata demikian, ia berjalan ke kota dan melihat sosok Buddha yang tiada bandingnya. Saat ia melihat Buddha berjalan, ia merenungkan, “Ah, betapa lamanya waktu berlalu sebelum aku berkesempatan melihat Bhagavà!” Ia berdiri terpesona di tempat itu menatap Buddha, batinnya dipenuhi oleh kegembiraan dan kepuasan, matanya tidak berkedip dan terpaku pada sosok Buddha.

Dengan membungkukkan badannya ia memberi hormat kepada Buddha, dan dirinya tenggelam dalam kemegahan aura Buddha, ia mendekati Bhagavà, bersujud dengan lima titik sentuhan ke tanah, menyembah dan mengusap kaki Bhagavà dengan penuh hormat, menciumnya dengan bersemangat. Ia berkata:
“Yang Mulia, sudilah Bhagavà membabarkan khotbah kepadaku. Khotbah yang dibabarkan oleh Yang Selalu Berkata Benar akan bermanfaat bagiku untuk waktu yang lama.”
Buddha berkata, “Bàhiya, sekarang bukan waktunya membabarkan khotbah. Kami sedang mengumpulkan dàna makanan di kota.”
(“Apakah Buddha mempunyai waktu yang tidak tepat untuk menyejahterakan makhluk-makhluk hidup?” Jawabannya: ‘Waktu yang tidak tepat’ di sini merujuk bukan pada Buddha tetapi kepada si penerima pesan Buddha. Adalah di luar batas kemampuan orang biasa (bahkan bagi seorang Arahanta) untuk dapat mengetahui matangnya indria seseorang sehingga mampu menerima pesan Buddha. Indria Bàhiya belum cukup matang untuk menerimanya. Tetapi adalah sia-sia untuk menjelaskan kepadanya, karena ia tidak akan memahaminya: itulah sebabnya Buddha hanya memberikan alasan, “Kami sedang mengumpulkan dàna makanan” untuk tidak membabarkan khotbah dan tidak menyebutkan tentang indria yang belum matang. Intinya adalah walaupun Buddha telah siap untuk membabarkan khotbah kepada orang yang mampu memahaminya, Buddha tahu kapan orang itu siap dan kapan orang itu belum siap. Beliau tidak akan membabarkan khotbah hingga indria si pendengar cukup matang karena hanya dengan cara itu khotbah itu akan dapat memberikan Pencerahan kepada si pendengar.)
Ketika Buddha mengatakan hal itu, Bàhiya Dàrucãriya berkata untuk kedua kalinya, “Yang Mulia, tidak mungkin aku mengetahui apakah Bhagavà akan menjumpai bahaya yang mengancam kehidupan-Nya, atau aku akan menjumpai bahaya yang mengancam kehidupanku. Karena itu sudilah Bhagavà membabarkan khotbah kepadaku. Khotbah yang dibabarkan oleh Yang Selalu Berkata Benar akan bermanfaat bagiku untuk waktu yang lama.”

Dan untuk kedua kalinya Buddha berkata, “Bàhiya, sekarang bukan waktunya membabarkan khotbah. Kami sedang mengumpulkan dàna makanan di kota.” (Jawaban ini diberikan karena indria Bàhiya masih belum matang.)
(Kekhawatiran Bàhiya akan keselamatannya adalah karena telah ditakdirkan bahwa kehidupannya saat itu adalah kehidupannya yang terakhir dan jasa masa lampaunya mendesaknya untuk mengkhawatirkan keselamatannya. Alasannya adalah bahwa seseorang yang ditakdirkan untuk menjalani kehidupan terakhirnya dalam saÿsàra tidak mungkin meninggal dunia sebelum menjadi seorang Arahanta. Buddha ingin membabarkan khotbah kepada Bàhiya dan terpaksa menolak untuk kedua kalinya karena alasan: Buddha mengetahui bahwa Bàhiya diliputi oleh kegembiraan dan kepuasan karena melihat Tathàgata di mana hal ini tidak mendukung pencapaian Pandangan Cerah; batinnya harus ditenangkan hingga pada tahap seimbang. Di samping itu, perjalanan yang dilakukan oleh Bàhiya sejauh seratus dua puluh yojanà dalam satu malam pasti membuatnya lelah secara fisik. Ia memerlukan istirahat sebelum mampu mendengarkan khotbah itu dengan baik.)
Untuk ketiga kalinya Bàhiya Dàrucãriya mengajukan permohonan kepada Buddha. Dan Buddha mengetahui:
(1) bahwa batin Bàhiya telah tenang hingga pada tahap seimbang;
(2) bahwa ia telah beristirahat dan telah mengatasi keletihannya;
(3) bahwa indrianya sudah cukup matang; dan
(4) bahaya kehidupannya sudah sangat dekat, memutuskan bahwa waktunya telah tiba untuk membabarkan khotbah. Demikianlah, Buddha membabarkan khotbah secara singkat sebagai berikut:

VAYADHAMMA SANKHARA APPAMADENA SAMPADETHA
Semua yang berkondisi tdak kekal adanya, berjuanglah dengan penuh kewaspadaan

Offline dilbert

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.935
  • Reputasi: 90
  • Gender: Male
  • "vayadhamma sankhara appamadena sampadetha"
Re: Thera Bàhiya Dàrucãriya
« Reply #2 on: 22 August 2008, 12:56:17 AM »
“(1) Demikianlah, Bàhiya, engkau harus melatih dirimu: dalam melihat objek-objek terlihat (semua objek terlihat), menyadari bahwa melihat adalah hanya melihat; dalam mendengarkan suara, menyadari bahwa mendengar adalah hanya mendengar; demikian pula dalam mencium bau-bauan, mengecap dan menyentuh objek-objek sentuhan, menyadari bahwa mencium, mengecap, menyentuh adalah hanya mencium, mengecap dan menyentuh; dan dalam menyadari objek-objek pikiran, yaitu pikiran dan gagasan, menyadari bahwa itu hanyalah menyadari.”

“(2) Bàhiya, jika engkau mampu tetap menyadari dalam melihat, mendengar, mengalami, dan mengenali (empat kelompok) objek-indria, engkau akan menjadi seorang yang tidak berhubungan dengan keserakahan, kebencian, dan kebodohan sehubungan dengan objek-objek terlihat, suara yang terdengar, objek-objek yang dialami, atau objek pikiran yang dikenali. Dengan kata lain, engkau akan menjadi seorang yang tidak serakah, tidak membenci, dan tidak bodoh.”

“(3) Bàhiya, terhadap objek-objek terlihat, suara yang terdengar, objek-objek yang dialami, objek-objek pikiran yang dikenali, engkau tidak boleh berhubungan dengannya melalui keserakahan, kebencian atau kebodohan, yaitu, jika engkau ingin menjadi seorang yang tidak memliki keserakahan, kebencian dan kebodohan, maka, Bàhiya, engkau harus menjadi seorang yang tidak memiliki keserakahan, keangkuhan atau pandangan salah sehubungan dengan objek yang dilihat, didengar, dialami atau dikenali. Engkau tidak boleh menganggap ‘Ini milikku’ (karena keserakahan), tidak memiliki konsep ‘aku’ (karena keangkuhan), tidak mempertahankan gagasan atau konsep ‘diriku’ (karena pandangan salah).”

“(4) Bàhiya, jika engkau sungguh ingin menjadi seorang yang tidak memiliki keserakahan, keangkuhan atau pandangan salah sehubungan dengan objek yang dilihat, suara yang didengar, objek-objek nyata yang dialami, objek-pikiran yang dikenali, maka Bàhiya, (dengan tidak adanya keserakahan, keangkuhan dan pandangan salah dalam dirimu) engkau tidak akan terlahir kembali di alam manusia, juga tidak akan terlahir kembali di empat alam lainnya (yaitu, alam dewa, Niraya, binatang, dan hantu kelaparan atau peta). Selain kehidupan yang sekarang (di alam manusia) dan empat alam kelahiran kembali lainnya, tidak ada alam lainnya bagimu. Tidak-munculnya batin-dan-jasmani baru adalah akhir dari kotoran yang merupakan dukkha dan akhir dari kelahiran kembali yang merupakan dukkha.”
Demikianlah Buddha membabarkan Dhamma yang memuncak pada Pelenyapan tertinggi atau Nibbàna di mana tidak ada lagi unsur-unsur kehidupan (khandha) tersisa.

(Bàhiya Dàrucãriya adalah seseorang yang lebih tepat diberikan penjelasan singkat (saÿkhittaruci-puggala). Karena itu Buddha menjelaskan enam objek indria tanpa menyebutkan seluruh enam itu secara terperinci, tetapi menggabungkan bau, rasa dan objek sentuhan sebagai ‘objek-objek nyata.’ Demikianlah objek-objek indria itu dikelompokkan dalam empat kelompok: apa yang dilihat (diññha), apa yang didengar (suta), apa yang dialami (mutta), dan apa yang disadari (vi¤¤àta).

(1) Sehubungan dengan empat langkah penjelasan di atas (1) dalam nasihat Buddha agar menyadari melihat sebagai hanya melihat, mendengar sebagai hanya mendengar, mengalami sebagai hanya mengalami, mengenali sebagai hanya mengenali saat berhubungan dengan empat kelompok objek-objek indria masing-masing yang merupakan fenomena berkondisi, mengandung arti bahwa kesadaran-mata muncul dalam melihat objek-objek terlihat, kesadaran-telinga muncul dalam mendengar suara, kesadaran-hidung muncul dalam mencium bau, kesadaran-lidah muncul dalam mengecap rasa, dan kesadaran-pikiran muncul dalam mengenali objek-pikiran, hanya ada kesadaran dan tidak ada keserakahan, kebencian, dan kebodohan di sana. (Pembaca harus memelajari sifat dari proses lima pintu-indria dan proses pintu-pikiran.)
(Kesadaran-mata, kesadaran-telinga, kesadaran-hidung, kesadaran-lidah dan kesadaran-badan, lima jenis kesadaran ini disebut lima jenis kesadaran-indria.) Buddha menasihati Bàhiya agar ia berusaha dengan tekun untuk tidak membiarkan keserakahan, kebencian, dan kebodohan merasuki impuls momen-pikiran yang mengikuti lima-pintu indria dan proses-pintu-pikiran yang muncul seketika saat munculnya lima jenis kesadaran-indria itu, dalam setiap tahapnya tidak ada keserakahan, kebencian atau kebodohan, namun hanya kesadaran-indria saja. Karena menilai objek-objek indria tersebut secara alami akan menimbulkan keserakahan, kebencian, dan kebodohan.
(Buddha menasihati Bàhiya agar ia berusaha dengan tekun untuk tidak membiarkan keserakahan, kebencian, dan kebodohan merasuki impuls momen-pikiran karena Beliau ingin Bàhiya memahami konsep keliru seperti, “Ini kekal,” “Ini bahagia,” atau “Ini memiliki inti,” yang cenderung merasuki (pikiran yang tidak terjaga) sehubungan dengan empat kelompok objek-indria tersebut. Hanya jika seseorang menganggapnya sebagai tidak kekal, menyedihkan, buruk dan tanpa-diri, maka tidak akan muncul anggapan keliru sebagai kekal, bahagia, indah dan memiliki inti; hanya akan muncul Pandangan Cerah di mana impuls baik mengikuti (proses-pikiran netral pada tahap kesadaran-indria). Buddha memperingati Bàhiya agar menjaga dari pikiran salah akan fenomena berkondisi yang mewakili empat kelompok objek-indria sebagai kekal, bahagia, indah dan memiliki inti dan memandangnya sebagaimana adanya, yaitu, tidak kekal, menyedihkan, buruk, dan tanpa-diri, dan dengan demikian melatih Pandangan Cerah agar impuls baik mengikuti (kesadaran indria).
(Dengan menunjukkan pandangan benar dalam memandang empat jenis objek indria yang merupakan fenomena berkondisi, sebagai tidak kekal, menyedihkan, buruk dan tanpa-diri, Buddha (dalam 1 di atas) mengajarkan enam tingkat rendah dari Kesucian dan sepuluh tingkat Pandangan Cerah kepada Bàhiya Dàrucãriya.)

Dalam (2), “Bàhiya, jika engkau dapat tetap waspada dalam melihat, mendengar, mengalami dan menyadari empat kelompok objek-indria yang merupakan fenomena berkondisi melalui sepuluh tahap Pandangan Cerah dan mencapai Pengetahuan Jalan, maka engkau telah melenyapkan keserakahan, kebencian, dan kebodohan; engkau bukanlah seorang yang serakah, yang membenci, atau yang bodoh; dengan kata lain, engkau akan bebas dari keserakahan, kebencian, dan kebodohan. Ini menunjukkan Empat Magga.) (Dalam (3): para Ariya saat mencapai Ariya-Phala bebas total dari pengaruh keserakahan, keangkuhan, dan pandangan salah, sehingga mereka tidak pernah menganggap segala fenomena berkondisi yang disajikan oleh empat kelompok objek-indria sebagai ‘aku’, ‘milikku’ atau ‘diriku’. Ini menunjukkan Ariya-Phala.)

(Dalam (4): Seorang Arahanta setelah saat kesadaran-kematian lenyap tidak terlahir kembali apakah di alam manusia ini atau di empat alam lainnya. Ini adalah pelenyapan total dari kelompok-kelompok batin dan jasmani, dan disebut Nibbàna tanpa meninggalkan sisa dari kelompok-kelompok kehidupan. Langkah ini menunjukkan Nibbàna tertinggi, Pelenyapan tanpa sisa.)
Bàhiya Dàrucãriya bahkan selagi mendengarkan khotbah Buddha, menyucikan empat jenis moralitas kebhikkhuan, dan menyucikan batinnya melalui konsentrasi, dan mengembangkan Pandangan Cerah yang dilakukan dalam waktu yang singkat itu hingga ia mencapai Arahatta-Phala lengkap dengan empat Pengetahuan Analitis (Pañisambhidà ¥àõa). Ia mampu menghancurkan semua àsava, kotoran moral, karena ia adalah individu yang berjenis sangat langka (karena jasa masa lampaunya) yang ditakdirkan untuk mencapai Pencerahan dalam waktu singkat, karena telah memiliki pengetahuan yang dibawa sejak lahir.
Setelah mencapai Arahatta-Phala, Yang Mulia Bàhiya Dàrucãriya, melihat dirinya sendiri dengan Pengetahuan Peninjauan (Paccavekkhaõà ¥àõa) yang terdiri dari sembilan belas faktor, merasa perlu, seperti biasanya seorang Arahanta, untuk menjadi bhikkhu dan memohon Buddha untuk menahbiskannya. Buddha bertanya, “Apakah engkau memiliki mangkuk dan jubah bhikkhu?” “Belum, Yang Mulia,” ia menjawab. “Kalau begitu,” Buddha berkata, “Pergilah cari dulu.” Setelah berkata demikian, Buddha melanjutkan menerima dàna makanan di Kota Sàvatthã.

(Bàhiya telah menjadi seorang bhikkhu pada masa ajaran Buddha Kassapa. Ia tetap menjadi bhikkhu dan berusaha mencapai Pencerahan selama dua puluh ribu tahun. Pada masa itu, jika ia menerima kebutuhan bhikkhu, ia berpikir bahwa perolehan itu ia dapatkan berkat jasa masa lampaunya sendiri dan tidak membaginya dengan bhikkhu lainnya. Karena kurangnya kedermawanan dalam memberikan jubah atau mangkuk kepada bhikkhu lainnya, ia kekurangan jasa yang dapat mendukungnya agar dapat dipanggil oleh Buddha, “Datanglah, Bhikkhu.” Ada guru-guru lain yang dengan berbeda menjelaskan tentang mengapa Buddha tidak memanggil Bàhiya dengan kata-kata “Datanglah, Bhikkhu.” Menurut mereka Bàhiya terlahir sebagai seorang perampok pada masa tidak ada Buddha yang muncul di dunia. Ia merampok seorang Pacceka Buddha, mengambil jubah dan mangkuknya dan membunuhnya dengan busur dan panahnya. Buddha mengetahui bahwa karena perbuatan jahat itu, Bàhiya Dàrucãriya tidak akan dapat memperoleh jubah dan mangkuk yang diciptakan melalui pikiran (Bahkan jika Buddha memanggilnya, “Datanglah, Bhikkhu”) (Komentar Udàna). Namun, akibat yang ditimbulkan dari perbuatan jahat ini lebih sesuai jika dihubungkan dengan kenyataan nasib Bàhiya yang tidak memiliki pakaian yang pantas selain serat-serat kayu.)


Kematian Tragis Bàhiya
Bàhiya meninggalkan Buddha dan berkeliling kota mencari mangkuk makan dan potongan kain untuk dijadikan jubah, sewaktu melakukan hal itu, ia ditanduk oleh seekor sapi yang baru melahirkan anak.
(Dalam salah satu kehidupan masa lampaunya, empat putra orang kaya menyewa seorang pelacur dan menikmatinya di suatu taman. Setelah selesai salah satu dari mereka mengusulkan untuk merampok perhiasan dan seribu keping perak milik pelacur itu. Ketiga temannya setuju. Mereka menyerang gadis itu dengan brutal. Gadis itu marah dengan pikiran, “Orang-orang jahat dan tidak tahu malu ini memanfaatkan diriku dengan penuh nafsu dan sekarang berusaha membunuhku karena serakah. Aku tidak melakukan kesalahan apa pun terhadap mereka. Aku putus asa. Biarkan mereka membunuhku kali ini. Semoga aku terlahir menjadi raksasa pada masa depan dan mampu membunuh orang-orang ini berkali-kali!” Ia meninggal dunia dengan menyimpan dendam itu.


« Last Edit: 22 August 2008, 12:59:14 AM by dilbert »
VAYADHAMMA SANKHARA APPAMADENA SAMPADETHA
Semua yang berkondisi tdak kekal adanya, berjuanglah dengan penuh kewaspadaan

Offline dilbert

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.935
  • Reputasi: 90
  • Gender: Male
  • "vayadhamma sankhara appamadena sampadetha"
Re: Thera Bàhiya Dàrucãriya
« Reply #3 on: 22 August 2008, 12:57:18 AM »
(Dalam kehidupan berikutnya pada masa depan salah satu dari empat orang jahat terlahir kembali sebagai Pukkusàti; seorang lainnya terlahir sebagai Bàhiya Dàrucãriya; seorang terlahir sebagai Tambadàñhika, si perampok; dan yang terakhir terlahir sebagai seorang penderita kusta bernama Suppabuddha; si pelacur terlahir kembali sebagai raksasa dalam berbagai kehidupan dan menjadi empat pembunuh dalam wujud seekor sapi yang menanduk mati empat korbannya. Orang-orang itu mati seketika; Bàhiya tewas di tempat itu juga; Komentar Udàna.)
Ketika Buddha selesai mengumpulkan dàna makanan dan meninggalkan kota disertai oleh banyak bhikkhu, Beliau menemukan jasad Bàhiya di atas tumpukan sampah, dan berkata kepada para bhikkhu, “Pergilah, para bhikkhu, cari selembar selimut, dan bawa jenazah Bàhiya, lakukan pemakaman yang layak, dan semayamkan relik-reliknya.” Para bhikkhu memperlakukan sesuai instruksi Buddha.
Kembali ke vihàra, para bhikkhu melaporkan kepada Buddha bahwa tugas mereka telah diselesaikan dan bertanya kepada Buddha, “Yang Mulia, di manakah Bàhiya terlahir kembali?” Dengan pertanyaan ini mereka menanyakan apakah Bàhiya meninggal dunia sebagai seorang awam, atau seorang Ariya yang belum melenyapkan kelahiran kembali atau seorang Arahanta yang telah mengakhiri kelahiran kembali. Buddha menjelaskan, “Para bhikkhu, Bàhiya adalah seorang bijaksana. Ia melatih dirinya dengan benar dan mencapai Lokuttara. Ia tidak menyulitkan Aku sehubungan dengan Dhamma, Bàhiya telah mengakhiri dukkha.”
(Instruksi Buddha kepada para bhikkhu untuk menyemayamkan relik-relik Bàhiya adalah petunjuk jelas bahwa Bàhiya meninggal dunia sebagai sorang Arahanta. Tetapi beberapa bhikkhu gagal memahami maksud dari instruksi tersebut atau mungkin mereka bertanya kepada Buddha untuk memastikan kenyataan itu.)
Mendengar bahwa (Yang Mulia) Bàhiya Dàrucãriya meninggal dunia sebagai seorang Arahanta, para bhikkhu penasaran. Mereka bertanya kepada Buddha, “Kapankah Bàhiya Dàrucãriya mencapai Kearahattaan, Yang Mulia?” “Pada saat ia mendengarkan khotbah-Ku,” Buddha menjawab. “Kapankah Bhagavà membabarkan khotbah kepadanya?” “Hari ini, saat menerima dàna makanan.” “Tetapi, Yang Mulia, khotbah tersebut pasti sangat penting. Bagaimana mungkin khotbah singkat itu dapat mencerahkannya?”
“Para bhikkhu, bagaimana mungkin kalian menilai akibat dari khotbah-Ku yang panjang atau pendek? Seribu bait syair yang tidak bermanfaat tidak sebanding dengan satu bait syair yang memberikan manfaat kepada pendengarnya.” Dan pada kesempatan itu Buddha mengucapkan syair berikut:
”Sahassamapi ce gàthà, anatthapadasa¤hità; ekaÿ gàthtà padaÿ seyyo, yaÿ sutvà upasammati.” “(Para bhikkhu) daripada seribu bait syair yang tidak mendukung pengetahuan lebih baik satu baris syair (seperti ‘perhatian adalah jalan menuju keabadian’) yang dengan mendengarnya, si pendengar menjadi tenteram.”
Pada akhir khotbah tersebut, banyak makhluk yang mencapai berbagai tingkat Pengetahuan Jalan seperti Sotàpatti-Phala.

(c) Gelar Etadagga
Pada kemudian hari, ketika Buddha berada di tengah-tengah suatu pertemuan, Beliau menyatakan:
“Etadaggaÿ bhikkhave mama sàvakànaÿ bhikkhå-naÿ khippàbhi¤¤anaÿ yadidaÿ Bàhiyo Dàrucãriyo,” “Para bhikkhu, di antara para bhikkhu siswa-Ku yang mencapai Pengetahuan Jalan dalam waktu singkat, Bàhiya Dàrucãriya (yang telah meninggal dunia) adalah yang terbaik.”

Demikianlah kisah Thera Bàhiya Dàrucãriya
« Last Edit: 22 August 2008, 01:06:11 AM by dilbert »
VAYADHAMMA SANKHARA APPAMADENA SAMPADETHA
Semua yang berkondisi tdak kekal adanya, berjuanglah dengan penuh kewaspadaan