Apa Yang Buddha benar-benar Ajarkan
(What the Buddha Really Taught)
oleh Bhikkhu Sujato.
However, with the exception of the Mahāyānist interpolations in the Ekottara, which are easily discernible, the variations in question [between the Nikāyas and Āgamas] affect hardly anything save the method of expression or the arrangement of the subjects. The doctrinal basis common to the Nikāyas and Āgamas is remarkably uniform.
–Étienne Lamotte
Ketika aku pergi ke toko buku buddhis atau perpustakaan, sering aku terpana oleh betapa banyaknya buku disana. Rak terisi penuh oleh opini-opini orang mengenai "Apa yang diajarkan Buddha". Tapi cobalah temukan sesuatu yang benar-benar berisi ajaran Buddha dan anda akan kesulitan. Sepertinya baik-baik saja untuk menjadi buddhis, menghadiri ceramah, membaca buku, meditasi, melafalkan (paritta/ mantra), dan pergi ke retreat, tanpa pernah bertanya : Apakah yang benar-benar diajarkan Buddha?
Untuk pencari yang pemberani dan langka yang niat menyelidiki di luar apa yang diucapkan guru mereka, tak akan lama sebelum mereka mendengar Nikaya Pali. Disini, kita diberitahu, adalah Ajaran asli yang tidak diubah. Kata-kata Buddha dalam kemurnian jernih. Kita berada dalam posisi yang berbahagia mempunyai banyak terjemahan bagus dari kitab-kitab ini tersedia dalam bahasa inggris, baik di buku maupun internet. Siapapun dengan waktu dan minat yang cukup dapat, dengan sedikit usaha, mendapatkan pemahaman yang memuaskan dalam ajaran-ajaran ini. Nikaya Pali telah menjadi salah satu pengaruh pembentuk bagiku, tepat dari hari pertama sebagai buddhis. Dhamma yang mereka punya jelas, rasional, seimbang, lembut, dan dalam - semua yang dapat diharapkan
Tetapi sangat mudah untuk jatuh pada sebuah 'Fundamentalisme Pali'. Kitab dan bahasanya sangat murni dan tepat sehingga banyak dari kita yang jatuh cinta pada Nikaya dan akhirnya menganggap mereka adalah SEMUANYA dari buddhisme. Kita mengikuti secara religius pada pembedaan paling keci, tafsiran paling halus, didasarkan pada satu kata atau kalimat. Kita memandang tanpa pertanyaan bahwa kita mempunyai ajaran asli, tanpa mempertimbangkan proses bagaimana ajaran ini diwariskan pada kita. Dalam semangat kita, kita mengabaikan kemungkinan bahwa mungkin ada perspektif lain dari Dhamma ini
Mungkin hal paling penting adalah, kita lupa - jika kita pernah tahu - alasan mengapa kita dibenarkan untuk menganggap Nikaya ini otentik pada mulanya. Walaupun memang cukup baik bagi sebagian besar buddhis berkeyakinan untuk percaya bahwa kitab suci mereka adalah yang asli, ini tidak akan cukup untuk pencari yang tak berminant. Semua tradisi agama mencoba mengklaim pembenaran demikian, dan tidak mungkin semua benar. Klaim - klaim yang bertentangan ini membuat para peneliti di zaman modern untuk memeriksa bukti-bukti secara lebih obyektif
Ketika studi sejarah modern mengenai Buddhisme dimulai di pertengahan abad ke-19 ada kebingungan. Dalam antusiasme rasionalis, sarjana mempersiapkan pertanyaan mengenai apakah mitos tentang Buddha mempunyai dasar fakta atau tidak. Apakah ada koneksi sejarah diantara agama-agama berbeda yang dipraktekkan di tempat-tempat berjauhan seperti Srilanka, Tibet, dan Jepang? Apakah Buddha benar-benar ada? Apakah ia hanyalah dewa matahari? Apakah ia nabi Mesir? Apa yang ia ajarkan? Dapatkah kita mengetahuinya? Tradisi manakah yang paling dapat diandalkan (atau paling tidak dapat diandalkan)? Karena tradisi-tradisi telah dipisahkan karena faktor sejarah - terutama kehancuran Buddhisme di India - Mereka punya sedikit informasi tentang satu sama lain, dan masing-masing menyatakan keunggulan tradisi sendiri. Masing-masing sekte melestarikan tradisi mereka dalam koleksi besar jilid-jilid kitab yang sulit dibaca dalam bahasa yang sangat berbeda-beda (Mandarin, Tibetan, Pali, dan bahasa India lain seperti sanskerta)
Tetapi secara bertahap bukti-bukti dikumpulkan, tradisi-tradisi dibandingkan; temuan arkeologis mengkonfirmasi fakta kunci. Kronik Srilanka berusia 1500 tahun menyebut nama-nama bhiksu Kassapa, Majjhima, dan Durabhisara yang dikirim pada masa Asoka sebagai misionari dari Vidisa ke daerah Himalaya; sebuah stupa digali di Vidisa dan nama-nama bhiksu tersebut ditemukan disana, terukir dalam aksara yang berjangka waktu periode Asoka. Pada awal abad ke-20, dalam karya sarjana seperti misalnya T.W, Rhys Davies, yang tulisannya masih berharga sampai sekarang, garis besar yang akurat telah tergambar. Walau Masih ada kontroversi di paruh pertama abad ke-20, seiring masih dikumpulkannya bukti-bukti, kitab-kitab baru masih diedit, dan studi-studi baru masih dikerjakan.
Tetapi, pada tahun 1882, seorang sarjana bernama Samuel Beal menerbitkan seri kuliah berjudul Buddhist Literature in China (Literatur Buddhis di China). Di dalamnya mengandung informasi mengenai proses penerjemahan ke dalam bahasa mandarin, dan juga contoh terjemahan dari beberapa strata literatur Buddhis - Sutta awal, Jataka, dan kitab Mahayana. Ia mengatakan demikian:
"Parinibbana, Brahmajala, Sigalovada, Dhammacakka, KhasiBharadvaja, Mahamangala; semua ini saya temukan dan bandingkan dengan terjemahan dari Pali, dan saya temukan bahwa mereka identik secara umum. Saya tidak mengatakan secara harfiah bahwa mereka sama persis; mereka berbeda dalam poin-poin kecil, tetapi identik dalam plot dan semua detil-detil penting. Dan ketika koleksi Vinaya dan Agama diperiksa secara menyeluruh, saya yakin bahwa kita akan menemukan sebagian besar jika bukan semuanya, adalah sutta pali dalam bentuk mandarin."
Seratus tahun lebih kemudian, studi perbandingan menyeluruh yang dicetuskan oleh Beal masih belum ada. Tetapi sudah ada perkembangan. Di tahun 1908 seorang sarjana Jepang M. Anesaki menerbitkan bukunya 'The Four Buddhist Agamas in Chinese: A concordance of their parts and of the corresponding counterparts in the Pali Nikayas'. Ini kemudian diikuti oleh buku oleh Chizen Akanuma pada tahun 1929 berjudul: 'The Comparative Catalogue of Chinese Agamas and Pali Nikayas', sebuah katalog komprehensif dari semua khotbah awal yang ada dan diketahui dalam bahasa Pali dan Mandarin, dan juga beberapa kitab awal yang tersedia dalam bahasa tibet dan sanskerta. Penemuan-penemuan ini dimasukkan dalam studi sejarah seperti Etienne Lamotte 'History of Indian Buddhism' dan A.K. Warder 'Indian Buddhism'.
Studi-studi ini telah mengkonfirmasi hipotesis awal Beal - kitab Agama Tiongkok dan Nikaya Pali kurang lebih identik dalam isi doktrin. Mereka adalah dua edisi berbeda dari koleksi kitab yang sama. Kitab-kitab ini - yang populer dirujuk sebagai "Sutta" - dikumpulkan oleh generasi pertama pengikut Buddha, sebelum periode perpecahan sektarian. Mereka ada Buddhisme pre-sektarian.
Walaupun dalam pikiran populer kitab-kitab ini disebut sebagai ajaran 'Theravada', tapi tidaklah demikian. Sarjana ahli David Kalupahana malah menyatakan bahwa tidak ada satu katapun di Nikaya Pali yang mewakili pemikiran khusus sekte Theravada (walaupun saya berpikir ini berlebihan).
Lamotte berkomentar:
"Tetapi, dengan perkecualian beberapa sisipan yang condong ke mahayanis di dalam Ekottara, yang mudah dikenali, perbedaan [antara Nikaya dan Agama] tidaklah banyak mempengaruhi apapun kecuali cara ekspresi atau penyusunan subyek. Dasar doktrin yang sama dari Nikaya dan Agama secara mengejutkan sama. Dilestarikan dan diwariskan oleh sekte-sekte, sutra-sutra bukanlah merupakan dokumen khusus masing-masing sekte, tetapi adalah warisan bersama semua sekte"
Kontribusi dari sekte-sekte biasanya terbatas ke penyusunan akhir dari kitab atau menyamaratakan dialek. Sisipan pemikiran sektarian sedikit dan biasanya mudah dikenali. Untuk mengambil satu contoh acak dari pernyataan sektarian tersebut, mari kita melihat apa yang dikatakan oleh Samyutta dari Theravadin dan Samyukta dari Sarvastivadin mengenai bagaimana empat kebenaran mulia direalisasikan dalam dimensi waktu. Theravada menyatakan bahwa siapapun yang melihat salah satu dari empat kebenaran mulia juga melihat [kebenaran] yang lain (SN 56.30). Sutta ini, yang tidak mempunyai padanan dalam Sarvastivada, mengimpilasikan bahwa empat kebenaran mulia direalisasikan semuanya sekaligus. Kebalikannya, beberapa sutta Sarvastivada, yang tidak mempunyai padanan dalam Theravada, menyatakan bahwa seseorang akan mengetahui masing-masing empat kebenaran mulia secara berurutan, satu setelah yang lain (SA 435-437). Hal ini berhubungan dengan topik perdebatan mengenai apakah pencapaian pencerahan itu langsung (eka-abhisamaya) atau bertahap (anupubbha-abhisamaya). Theravada adalah sekte yang menganut eka-abhisamaya, dan dalam abhidhamma versi mereka mengembangkan teori bahwa semua empat kebenaran mulia direalisasikan dalam pikiran dalam satu momen. Abhidharma Sarvastivadin mengajukan argumen berlawanan, bahwa kebenaran direalisasi secara bertahap. Perdebatan ini menjadi salah satu medan perang sektarian di Buddhisme Tiongkok nantinya, tetapi akarnya sudah muncul dalam Samyutta. Perhatikan bahwa, ketika dua sekte menganut pandangan berbeda dalam poin ini, fakta bahwa mereka mempunyai doktrin yang sama tentang empat kebenaran mulia adalah apa yang membuat dialog ini memiliki makna. Jika mereka tidak mempunyai ajaran dasar yang sama, mereka tidak dapat berdebat mengenai detil tafsirannya.
Tetapi Kita harus tetap berhati-hati ketika mengambil kesimpulan dari apa yang terlihat berbeda. Bahkan sarjana terbaik dapat membuat kesalahan, apalagi ketika materi baru terus menerus terkuak. Sebagai contoh, Thich Minh Chau, salah satu dari pelopor studi Agama/Nikaya, menemukan bahwa Jivaka Sutta dari Majjhima Nikaya (MN 55) tidak ada padanannya di Sarvastivadin Madhyama Agama, dan tidak ditemukan dimanapun di kitab koleksi Agama Tiongkok. Sutta ini menceritakan mengenai pertanyaan tentang makan daging. Seperti diketahui baik, monastik Theravada biasanya memperbolehkan makan daging, sementara Mahayanis umumnya tidak. Sutta Theravada, konsisten dengan praktek di kebudayaan Theravada, memperbolehkan makan daging. Thich Minh Chau mengajukan opini bahwa hilangnya [sutta Jivaka] dari Sarvastivada mengindikasikan bahwa, bahkan sejak waktu awal sekali, praktek vegetarianisme disukai oleh Sarvastivada. Kesimpulan ini masuk akal pada waktu itu. Tetapi kemudian Sarvastivada Dirgha Agama ditemukan dan diselidiki sebagian. Koleksi itu mempunyai sebuah versi Jivaka Sutta (dan beberapa sutta Majjhima yang penting yang menghilang dari Sarvastivada Madhyama Agama). Jadi hilangnya [Jivaka Sutta] dari Madhyama bukan karena perbedaan sektarian, tapi hanya karena Theravada menempatkannya di Majjhima, sementara Sarvastivada memilih untuk menempatkannya di Dirgha.
Mudah untuk melupakan, di masa kita sekarang, bahwa alasan kenapa Nikaya membawa prestise yang tinggi adalah karena penemuan bahwa mereka sangat mirip dengan koleksi sutra-sutra padanannya yang ada di terjemahan mandarin. Logika ini sangat kuat: Aliran Selatan (Theravada) dan Aliran Utara (Tiongkok) telah dipisahkan oleh jarak yang sangat jauh, dengan hanya kontak sesekali selama 2000 tahun. Bahkan sebelum itu, di India sendiri, sekte-sekte sudah terpisah dan mewariskan versi berbeda dari kitab suci kanon mereka. Tetapi bahkan setelah perpisahan ini, kanon kitab suci akar mereka hampir identik dalam doktrin.
Generasi awal sarjana buddhis dari barat maupun timur, yang berbeda kebudayaan, sampai pada kesimpulan-kesimpulan tersebut. Penemuan mereka memberi otoritas kuat bagi Nikaya Pali dan Agama Tiongkok dan pentingnya mempelajari koleksi-koleksi ini dan membandingkannya. Penemuan ini telah diteruskan oleh studi buddhis modern terutama di Taiwan dan Jepang. Tetapi di negara berbahasa inggris, Agama Tiongkok cenderung diabaikan. Faktornya ada banyak, terdepan adalah sukarnya belajar bahasa mandarin.
Juga ada asumsi bahwa terjemahan mandarin akan lebih 'membingungkan' dan kurang dapat diandalkan daripada teks India. Dalam banyak konteks psikologi dan filosofi, ketepatan bahasa pali menjadi samar dalam terjemahan mandarin; dan kadang ketidaktegasan tata-bahasa mandarin membuat masalah semakin buruk. Tetapi walaupun ini benar dalam beberapa kasus, hal ini sebenarnya tergantung pada apa yang dicari. Seringkali kita dapat dengan yakin mengetahui kata India yang diterjemahkan oleh penerjemah mandarin. Dan kerancuan terjemahan biasanya hanya relevan pada fokus dekat, ketika memikirkan apa makna dari satu kata tertentu. Pada jarak lebih jauh, misalnya memikirkan makna dari keseluruhan kalimat, seringkali hanya ada sedikit perbedaan. Dan ketika kita melihat blok tekstual yang lebih besar, misalnya keseluruhan paragraf, perbedaan itu menghilang.
Sebagai contohnya, mari kita lihat istilah 覺 (jue2). Ini bisa memiliki beberapa makna, biasanya terkait dengan bodhi, pencerahan atau penggugahan. Tetapi bagaimana kita harus memaknainya ketika istilah ini muncul dalam formula jhana pertama: 有覺有觀 'dengan 覺, dengan penyelidikan’? Disini 覺 tidak dapat bermakna bodhi atau apapun yang mirip.
Sekarang, formula jhana adalah sangat umum dan standar di dalam Nikaya/ Agama. Kita dapat memastikan bahwa 覺 haruslah bermakna dengan istilah padanan pali vitakka ('pemikiran', atau 'aplikasi awal pikiran'). Ini dikonfirmasi ketika kita melihat teks sanskerta yang sangat dekat dengan versi asli yang diterjemahkan ke mandarin, istilah yang dipakai memang vitarka. Setelah memastikan ini, kapanpun kita melihat istilah ini muncul dalam formula jhana, kita tahu bahwa ini artinya vitakka, dan kita tahu ini dengan pasti seperti kita telah membaca teks India aslinya. Jadi dalam kasus seperti demikian, terjemahan mandarin adalah sama akurat dan otoritatif sebanding dengan pali, dan malah kadang lebih dapat diandalkan.
Salah satu alasan lain yang mungkin tentang mengapa Agama relatif lebih diabaikan di negara berbahasa Inggris adalah anggapan bahwa mereka lebih belakangan daripada Nikaya. Anggapan ini telah diperkuat oleh Etienne Lamotte, yang opininya sering dikutip. Tetapi alasan beliau atas kesimpulan ini adalah karena Samyukta Agama Tiongkok memasukkan sebuah kitab panjang dari "Kisah Hidup Raja Asoka" yang asalnya belakangan. Tetapi, sarjana Jepang dan Taiwan telah lama mengenali ini sebagai sisipan asing ke dalam Samyukta, mungkin tidak lebih dari kesalahan pengarsipan oleh seorang pustakawan ceroboh pada suatu waktu di tiongkok. Pemeriksaan lebih dekat pada isi dari Agama menunjukkan bahwa mereka secara umum tidaklah lebih awal maupun lebih belakangan daripada Nikaya, tetapi keduanya adalah materi yang dikoleksi kira-kira pada periode waktu yang sama
Adalah di luar lingkup essay kecil ini untuk memeriksa berbagai koleksi dengan detil, tetapi kita dapat meninjau dasarnya. Ini adalah tabel dari koleksi utama yang ada. Nomor T merujuk pada nomor sutra di edisi standar Taisho di kanon Mandarin.