Bahaya iklim
Laporan para ahli antar-negara untuk perubahan iklim (The International Panel on Climate Change/IPCC), seperti dikutip Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change/UNFCCC) menyebutkan, gas karbon dioksida (CO2) merupakan penyebab paling dominan terbentuknya GRK. Dan, salah satunya disumbang oleh sektor transportasi yang menggunakan bahan bakar fosil.
Kabar buruknya, konsentrasi CO2 di atmosfer naik dari masa pra-industri, dari sekitar 278 parts permillion (ppm) menjadi 379 ppm pada tahun 2005. Akumulasi GRK hingga saat ini menyebabkan temperatur rata-rata global naik 0,74 derajat Celsius selama abad ke-20. Pemanasan lebih dirasakan di daratan daripada di lautan.
Sekalipun begitu, bongkahan-bongkahan es di Greenland dan Antartika terus meleleh dan berkontribusi atas kenaikan permukaan laut 0,44 milimeter (mm) per tahun antara tahun 1993-2003. Tanpa upaya keras komunitas global menekan laju pemanasan global, permukaan laut akan naik sekitar 1 meter pada tahun 2100.
Dengan asumsi kenaikan suhu rata-rata global melebihi 1,5 derajat Celcius hingga 2,5 derajat Celcius, maka sekitar 20-30 persen spesies flora dan fauna akan punah. Lebih jauh, kenaikan suhu akan berdampak buruk bagi ketersediaan makanan dan air yang berujung konflik sosial hingga perang dunia.
IPCC yang terdiri dari ribuan peneliti dari berbagai negara menyebutkan, tak ada solusi tunggal untuk masalah global itu. Satu-satunya jalan, komunitas global membangun kerjasama mengurangi pemanasan global dengan menerapkan hidup dan pembangunan ramah lingkungan.
Negara maju yang didukung pesatnya industri dan teknologi diminta serius menerapkan teknologi ramah lingkungan. Mereka juga diharapkan mentransfer teknologi ramah lingkungan ke negara-negara berkembang dan miskin dengan harga lebih murah.
Beberapa poin di atas, di antaranya akan menjadi fokus pembahasan para delegasi Konferensi Para Pihak (COP ke-13) UNFCCC di Bali, 3-14 Desember 2007. Puluhan ribu anggota delegasi dari setidaknya 191 negara akan hadir di sana.
Menyambut acara sebesar itu, pemerintah menyambut dengan berbagai kegiatan seperti gerakan penanaman jutaan pohon. Departemen Kehutanan mengadakan kegiatan penanaman serentak 79 juta pohon. Sebelumnya, juga sudah diadakan kegiatan penanaman 10 juta pohon.
Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar beberapa kali menyatakan, kesadaran baru global mengenai pentingnya menjaga hutan patut disambut serius pemerintah daerah untuk menjaga keutuhan hutan di wilayahnya. Di antaranya, aktif menanami lahan-lahan kosong untuk dihutankan. Alasannya, bukan hanya karena faktor ”teknis biologis” hutan sebagai penyerap CO2, tetapi juga terkait rencana pemerintah mengajukan usulan adanya insentif pendanaan global dari upaya mencegah deforestasi dan degradasi lahan hutan (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation/REDD). Ujung-ujungnya, adanya skema pendanaan global bagi hutan-hutan yang dijaga kelestariannya.
Untuk meloloskan usulan itu, Indonesia menggalang kerjasama dengan sepuluh negara pemilik hutan tropis untuk berjuang pada pertemuan di Bali. Adapun harga per ton CO2 yang akan ditawarkan berkisar 5-20 dollar AS. Angka itu masih disambut gugatan beberapa LSM.
Begitu pentingnya mencegah deforestasi, hingga Badan Pembangunan PBB (UNDP) memberi catatan khusus pada Synthesis Report Laporan Pembangunan Manusia (Human Development Report/HDR) 2007/2008 berjudul “Melawan Perubahan Iklim: Solidaritas Manusia dalam Dunia yang Terpecah”, yang pekan ini dipublikasikan di Brasil. Benang merahnya, pendorong peningkatan emisi adalah deforestasi.
Dituliskan, budidaya kelapa sawit dengan hasil sekitar 114 dollar AS per hektar hanya setara dua persen dari nilai jual karbon dengan harga ideal (20-30 dollar AS per ton), sebagaimana diungkapkan Skema
Perdagangan Emisi Uni Eropa (EU ETS). Potensi serapan karbon per hektar hutan tropis yang belum terjamah
diperkirakan 500 ton.
Pendapat yang lebih moderat, perlu diberikan apresiasi terhadap perusahaan berbahan baku kayu alam, seperti pengolah bubur kertas yang menerapkan model tebang-tanam dan panen bergilir di lahan konsesinya. Bahkan, ada rencana memasukkan pengelolaan hutan produksi ke dalam skema REDD.
Seperti diungkapkan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Departemen Kehutanan (Dephut) Wahjudi Wardojo, salah satu pihak penyusun REDD, potensi hutan produksi layak diikutkan dalam skema pemberian insentif untuk merangsang keterlibatan pengusaha dalam menjaga kelestarian lingkungan.