Bhante,
Namo Buddhaya,
Saya seorang pembelajar Buddhism, terutama dari aliran Theravada. Meskipun demikian saya tidak menutup diri terhadap aliran Buddhism yang lain, bahkan terhadap agama lain.
Sikap saya yang pluralis demikian justru muncul karena semakin lama belajar Buddhism. Dulu saya dari agama lain dan sangat fanatik. Setelah belajar ajaran Sang Buddha, salah satu kekotoran batin yg disebut fanatik itu kok makin lama makin hilang ya?
Nah, sekarang soal 'asli'.
Kebetulan saya baru saja meditasi, dan pikiran saya belum kembali berjalan seperti biasa. Jadi maaf apabila pendapat saya kurang pantas.
Menurut saya, jawaban saya apabila ditanya apakah Theravada paling asli, jawaban saya adalah : Tidak Tahu.
Memang menurut sebagian buku dan sebagian scholar, ada yang mengatakan Theravada adalah ajaran yang paling asli. Tapi tak kurang lagi ada sebagian buku dan sebagian scholar lain yang mengatakan bahwa Tripitaka Pali pun sudah tidak murni lagi, tapi mengandung sisipan2 di jaman kemudian hari.
Saya sekedar berusaha jujur kepada diri sendiri untuk menampung kedua macam pendapat ini.
Bagi saya, 'asli' adalah sebuah kata bentukan dengan suatu persyaratan2 tertentu. Makna 'asli' di batin bhante bisa saja berbeda dengan pemahaman saya tentang 'asli'. Apakah 'asli' yang dimaksud disini adalah 'murni'? ataukah tidak mengalami perubahan2? ataukah berarti paling tua?....
Saya melihat bahwa label kata 'asli' untuk suatu ajaran itu tidak ada artinya sama sekali untuk memajukan batin kita. Paling-paling kata itu hanya bermanfaat buat anak-anak baru yang sedang suka pamer dan merasa apa yang dipeluknya adalah paling baik, paling 'asli', paling....dst.
Di dalam batin kita sudah terbentuk bahwa yang 'asli' lebih baik daripada yang 'bukan asli'. Tapi apakah 'yang bukan asli' itu lantas harus selalu berarti 'palsu'? Inilah jebakan pikiran kita sendiri yang berfungsi dalam mode2 dualistis bahasa. Pada senyatanya, belum tentu juga yang asli lebih baik daripada yang kurang asli. Lalu apakah maknanya kita memeluk erat-erat label 'asli' tersebut?
Saya Bhante, justru merasa malu, kalau ada rekan Theravadin yang membusungkan dada untuk mengatakan ajaran Theravada adalah yang paling 'asli'. Ada 'mana' (kesombongan) yang terselip didalamnya.
Tetapi bagi kita-kita ini, (setidaknya saya sendiri), yang terpenting bahwa dalam ajaran ini bisa diselami, dihayati dan dipraktekkan yang selanjutnya , efektifitasnya bisa dibuktikan sendiri.
Pada selanjutnya, dengan mempelajari aliran Buddhism yang lain (ie:Mahayana, Zen, Tantrayana), setidaknya saya bisa belajar bagaimana pikiran manusia itu berkembang (berproliferasi) menjadi cabang2, variasi2, dsb padahal berasal dari 1 Guru yang sama: Sang Buddha.
Dari batin manusia yang bermacam-macam itulah kita mencoba melihat sosok Sang Buddha yang sebenarnya. Dibutuhkan kesabaran yang besar untuk meneliti dan menganalisa, disamping ketekunan untuk melakukan riset dari pengalaman hidup. Dari pola pemikiran yang seperti ini, maka label 'asli' itu tidak menjadi penting lagi. Saya rasa kita semua sepakat bahwa yang ingin kita praktekkan adalah ajaran yang kita pahami dengan baik dan yang mampu kita praktekkan untuk mencapai pembebasan; bukan ajaran yg 'asli', yg 'baru', yg 'istimewa', yg 'khusus', dll.
Salam,
Suchamda