Tanya dunk om,
Ada beberapa pedagang yg tidak menetapkan harga dagangnya secara multak,*lihat costumer dulu..kalo costumernya tampilannya berduit di jual sekian,kalo costumernya tampang melarat di jual harga sekian..
Nah,contoh pedagang begini termasuk mata pencarian salah ga om?
Thank
Itu bisa saja termasuk mata pencaharian salah, yakni "ketidak-jujuran" atau "penipuan". Dalam skala yang lebih dasar, sikap berbisnis seperti itu sudah menunjukkan sikap "licik" yang didominasi oleh dorongan lobha.
Sebagai penjual, sebaiknya kita mempunya standar harga tetap terhadap suatu produk. Standar harga ini harus berlaku untuk semua kalangan. Namun kita perlu fleksibel dalam berbisnis. Salah satu cara bersikap fleksibel adalah dengan cara menetapkan
range discount pada suatu produk. Dengan adanya range discount ini, kita bisa menetukan harga jual kita yang bisa dicocokkan dengan kondisi tiap customer (pembeli).
Misalnya, kita menetapkan standar harga untuk produk A senilai Rp 100.000,-. Kita memiliki range discount sebesar 5%. Jadi seumpamanya jika kita bertemu dengan "orang kaya", kita masih bisa menawarkan harga produk A senilai Rp 100.000,-. Atau kita pun bisa memakai discount seadanya saja. Namun bila kita bertemu dengan "orang sederhana", kita bisa "membantu" mereka dengan memberikan discount lebih besar - namun batasnya hanya sampai 5%.
Menentukan harga standar sendiri memiliki nilai positif dalam sisi intern berbisnis. Selain itu, dengan menetapkan range discount, kita bisa membatasi diri dari dorongan untuk meraup keuntungan banyak lewat cara "menipu". Dalam konteks ini, range discount berfungsi sebagai batasan yang mengendalikan keserakahan kita. Sistem ini bisa diterapkan di awal terlebih dahulu. Jika sudah mapan dan teguh dalam prinsip etika bisnis yang baik, sistem seperti ini tidak perlu dijadikan pedoman tetap. Sebab kelak kesadaran untuk meredam keserakahan akan timbul dengan sendirinya.
bagaimana pandangan buddhism mengenai "berhutang budi kepada orang lain"??
Begini,sy kadang merasa takut berhutang budi kepada orang lain..*takut ga sanggup balasnya..
Apa sebaiknya menghindari berhutang budi kepada orang lain?
*cukup jelas pertanyaannya om?
Thank
Saya mungkin kurang pantas untuk mengemukakan pandangan dari sisi Buddhisme... Tapi saya akan coba memberikan pendapat dari pandangan saya...
Terima atau tidak terima, tidak ada orang di dunia ini yang bisa sukses tanpa mendapat bantuan dari orang lain. Bahkan seorang otodidak sejati pun pasti mendapat "bantuan" dari orang lain, entah sadar atau tidak. Oleh karena itu, sebenarnya dalam setiap keberhasilan dan kebaikan yang kita dapatkan, kita memiliki "hutang budi" kepada orang lain. Maka dari itu, keberhasilan kita akan jauh lebih bermanfaat jika dapat kita bagikan untuk kebaikan banyak orang. Untuk menjadi orang yang baik dan sukses, yang perlu kita lakukan adalah menjadi orang yang berarti dan memberi manfaat bagi orang lain. Semakin banyak orang yang mendapat manfaat dari kebaikan kita, maka kita akan semakin sukses. Namun kenyataannya, bila kita mampu memberikan manfaat yang besar bagi banyak orang, kita pun sebenarnya sudah menerima manfaat dari orang-orang lain.
Hutang budi sebenarnya adalah salah satu produk pikiran yang menganggap bahwa suatu kebaikan harus ada balasannya. Produk pikiran ini menciptakan perasaan semangat karena mendapat motivasi darinya. Namun bisa juga menciptakan perasaan bersalah bila kenyataan berbicara sebaliknya. Oleh sebab itu, hutang budi bukanlah suatu keharusan dalam wujud harga mati. Menumbuhkan perasaan berhutang budi adalah menciptakan satu tuntutan baru di dalam batin. Padahal tidak semua orang menuntut balas jasa, namun diri kita sendiri yang cenderung manuntut untuk bisa membalas jasa pada orang lain.
Namun bukan berarti kita menjadi "kacang lupa kulitnya". Kita tetap harus mengingat jasa dari orang lain. Ketika kita duduk di pohon yang rindang di sebuah taman, renungkanlah hal ini berkat jasa dari orang yang merawatnya. Ingatlah segala kebaikan dan jasa orang lain, namun jangan jadikan hal itu sebagai beban yang harus kita lunasi.
Di paragraf sebelumnya saya sudah menyatakan bahwa alangkah baiknya jika kita bisa berbagi kebaikan dengan orang lain. Oleh karena itu, jika kita meraih satu keberhasilan, "rayakanlah" dengan berbagi bersama orang-orang yang telah berjasa atas keberhasilan ini. Setiap kita mendapat kebaikan, bagikanlah kebaikan ini bersama dengan orang lain. Tidak ada "neraca rugi-laba" yang menghitung seberapa banyak hutang-piutang kita. Yang perlu kita lakukan adalah menjadi orang yang bermanfaat, karena kita memberikan kebaikan kepada orang lain dari kebaikan yang sudah kita dapat dari orang lain.