Dari sisi dhamma sudah. Sekarang yang saya ingin tahu dari sisi umum, dari sisi psikologi, dari sisi si pelaku, dari sisi kesehatan. Pokoknya dari berbagai sisi yang bro lihat dan yang bro bisa.
Kalau dari sisi umum, tentu kembali lagi pada budaya tempat kita tinggal. Kalau di masyarakat sini, pola pikirnya masih sangat terpengaruh dengan agama mayoritas (yang berdasarkan budaya lain, bukan budaya Indonesia) yang menganggap pelacur adalah kotor/hina.
Kalau kita lihat di berbagai sudut pandang budaya, pandangan masyarakat terhadap pelacur itu bervariasi. Di Jepang kuno, misalnya,
oiran (花魁) adalah pelacur yang memiliki kemampuan seni layaknya
geisha (芸者). Di antara mereka, ada yang memiliki kekayaan dan kedudukan tinggi bahkan berpengaruh dalam politik. Secara teknis, mereka pelacur (memberikan kesenangan dengan harga tertentu), tapi secara 'kasta', jauh lebih tinggi bahkan dari Samurai biasa. Jadi objek yang sama, namun dampak yang ditimbulkan dalam budaya adalah berbeda. Karena itu saya mengatakan prostitusi netral, bukan mulia, bukan hina.
Dari sisi kesehatan juga seperti saya bilang sebelumnya, jika memang mengikuti ketentuan yang berlaku, risiko bisa dikurangi. Saya ambil contoh industri film porno di mana bintangnya bisa berhubungan dengan banyak sekali pasangan. Tetapi mereka menjalani berbagai tes kesehatan dengan lumayan ketat, maka penularan STD boleh dibilang terkontrol. Memang perbedaannya adalah dalam kasus prostitusi, konsumen cenderung tidak mau diperiksa karena data medisnya akan tercatat. Ini yang menjadi masalah utama.
Selain tes kesehatan, praktik berhubungan seks-nya juga biasanya mengikuti aturan tertentu, misalnya tidak berciuman, tidak melakukan oral/anal, dan harus mengenakan kondom.