//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Mall  (Read 2790 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline morpheus

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.750
  • Reputasi: 110
  • Ragu pangkal cerah!
Mall
« on: 25 October 2007, 03:57:47 PM »
MALL

Goenawan Mohammad
Majalah Tempo Edisi. 10/XXXIIIIIII/ 07 - 13 Mei 2007

Jika anda berdiri di salah satu sudut Senayan City, anda akan tahu bagaimana malam berubah sebagaimana juga dunia berubah. Di ruangan yang luas dan disejukkan pengatur udara, cahaya listrik tak pernah putus. Iklan dalam gambar senantiasa bergerak, bunyi musik menyusup lewat ratusan iPod ke bagian diri yang paling privat, dan lorong-lorong longgar itu memajang bermeter-meter etalase dengan busana dan boga. Sepuluh, bukan, lima tahun yang lalu, malam tidak seperti ini. Juga dunia, juga kenikmatan dan kegawatannya.

Hari itu saya duduk minum kopi di salah satu kafe di salah satu mall di Jakarta, dan tiba-tiba saya merasa bodoh: saya tak tahu berapa mega-kilowatt listrik dikerahkan untuk membangun kenikmatan yang tersaji buat saya hari itu. Saya merasa bodoh, ketika saya ingat, pada suatu hari di Tokyo, di tepi jalan yang meriah di Ginza, teman saya, seorang arsitek Jepang, menunjukkan kepada saya mesin jajanan yang menawarkan Coca-Cola dan kripik kentang. "Tahukah Tuan," tanyanya, "Jumlah tenaga listrik yang dipakai oleh mesin jenis ini di seluruh Jepang?

Saya menggeleng, dan ia menjawab, Jumlahnya lebih besar ketimbang jumlah tenaga listrik yang tersedia buat seluruh Bangladesh.

Ia berbicara tentang ketimpangan, tentu. Ia ingin saya membayangkan rumah-rumah sakit yang harus menyelamatkan nyawa manusia di sebuah negeri miskin yang ternyata tak punya daya sebanyak 10 buah mesin jajanan di negeri kaya mesin yang menawarkan sesuatu yang sebetulnya tak perlu bagi hidup manusia.

Saya merasa bodoh, mungkin juga merasa salah. Seandainya bisa saya hitung berapa kilowatt energi yang ditelan oleh sebuah mall di Jakarta, dimana saya duduk minum kopi dengan tenang, mungkin saya akan tahu seberapa timpang jumlah itu dibandingkan dengan seluruh tenaga listrik buat sebuah kabupaten nun di pedalaman Flores.

Tapi tak hanya itu sebenarnya. Kini banyak orang tahu, ketimpangan seperti itu hanya satu fakta yang gawat dan menyakitkan. Ada fakta lain: kelak ada sesuatu yang justru tak timpang, sesuatu yang sama: sakit dan kematian.

Konsumsi energi berbeda jauh antara di kalangan yang kaya dan kalangan miskin, tapi bumi yang dikuras adalah bumi yang satu, dan ozon yang rusak karena polusi ada di atas bumi yang satu, dengan akibat yang juga mengenai tubuh siapa saja termasuk mereka yang tak pernah minum kopi dalam mall, di sudut miskin di Flores atau Bangladesh, orang-orang yang justru tak ikut mengotori cuaca dan mengubah iklim dunia.

Dengan kata lain, tak ada pemerataan kenikmatan dan keserakahan, tapi ada pemerataan dalam hal penyakit kanker kulit yang akan menyerang dan air laut yang menelan pulau ketika bumi memanas dan kutub mencair. Orang India , yang rata-rata hanya mengkonsumsi energi 0,5 kW, akan mengalami bencana yang sama dengan orang Amerika, yang rata-rata menghabisi 11,4 kW.

"Saya tak lagi berpikir tentang keadilan dunia," kata teman Jepang itu pula, "terlalu sulit, terlalu sulit."

Beberapa tahun kemudian ia meninggalkan negerinya. Saya dengar ia hidup di sebuah dusun di negeri di Amerika Latin, membuat sebuah usaha kecil dengan mengajak penduduk menghasilkan sabun yang bukan jenis detergen, mencoba menanam sayuran organik sehingga tak banyak bahan kimia yang ditelan dan dimuntahkan. Tapi kata-katanya masih terngiang-ngiang, "terlalu sulit, terlalu sulit."

Mungkin memang terlalu sulit untuk menyelamatkan dunia. Saya baca hitungan itu: dalam catatan tahun 2002, emisi karbon dioksida dari seluruh Amerika Serikat mencapai 24% lebih dari seluruh emisi di dunia, sedangkan dari Vanuatu hanya 0,1%, tapi naiknya permukaan laut di masa depan akibat cairnya es di kutub utara mungkin akan menenggelamkan negeri di Lautan Teduh itu dan tak menenggelamkan Amerika.

Ingin benar saya tak memikirkan ketidakadilan dunia, tapi manusia juga menghadapi ketidakadilan antargenerasi. Mereka yang kini berumur di atas 50 tahun pasti telah lama menikmati segala hal yang dibuat lancar oleh bensin, batu bara, dan tenaga nuklir. Tapi mungkin sekali mereka tak akan mengalami kesengsaraan masa depan yang akan dialami mereka yang kini berumur 5 tahun. Dalam 25 tahun mendatang, kata seorang pakar, emisi C02 yang akan datang dari Cina bakal dua kali lipat emisi dari seluruh wilayah Amerika, Kanada, Eropa, Jepang, Australia, Selandia Baru. Apa yang akan terjadi dengan bumi bagi anak cucu kita?

"Terlalu sulit, terlalu sulit," kata teman Jepang itu.

Ekonomi tumbuh karena dunia didorong keinginan hidup yang lebih layak. "Lebih layak" adalah sesuatu yang kini dikenyam dan sekaligus diperlihatkan mereka yang kaya. Kini satu miliar orang Cina dan satu miliar orang India memandang mobil, televisi, lemari es, mungkin juga baju Polo Ralph Lauren dan parfum Givenchy sebagai indikator kelayakan, tapi kelak, benda-benda seperti itu mungkin berubah artinya. Jika 30% dari orang Cina dan India berangsur-angsur mencapai tingkat itu seperempat abad lagi, ada ratusan juta manusia yang selama perjalanan seperempat abad nanti akan memuntahkan segala hal yang membuat langit kotor dan bumi retak. Seperempat abad lagi, suhu bumi akan begitu panas, jalan akan begitu sesak, dan mungkin mobil, lemari es, baju bermerek, dan perjalanan tamasya hanya akan jadi benda yang sia-sia.

Mungkin orang harus hidup seperti di surga. Konon, di surga segala sesuatu yang kita hasratkan akan langsung terpenuhi. Itu berarti, tak akan ada lagi hasrat. Atau hasrat jadi sesuatu yang tak relevan; ia tak membuat hidup mengejar sesuatu yang akhirnya sia-sia.

Tapi akankah saya mau, seperti teman Jepang itu, pergi ke sebuah dusun di mana tak ada mall, tak ada bujukan untuk membeli, dan hidup hampir seperti seorang rahib ? Di mall itu, saya melihat ke sekitar... "Terlalu sulit, terlalu sulit", pikir saya.
.
* I'm trying to free your mind, Neo. But I can only show you the door. You're the one that has to walk through it
* Neo, sooner or later you're going to realize just as I did that there's a difference between knowing the path and walking the path

Offline kosdi

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 102
  • Reputasi: 2
Re: Mall
« Reply #1 on: 27 October 2007, 01:47:07 PM »
sulit mana dengan perjuangan sang buddha yah....
kalo kita selalu terhambat dengan kata2 sungguh sulit dan tidak mau berjuang maju seperti guru agung kita maupun orang jepang tersebut, maka..... (sudah tau semua khan...)

Offline Hendra Susanto

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.197
  • Reputasi: 205
  • Gender: Male
  • haa...
Re: Mall
« Reply #2 on: 27 October 2007, 04:33:17 PM »
wah mesti tinggal di gunung nech atau bikin rumah ditengah laut.. :)) :))

Offline morpheus

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.750
  • Reputasi: 110
  • Ragu pangkal cerah!
Re: Mall
« Reply #3 on: 29 October 2007, 09:17:27 PM »
tulisan yg sangat buddhistik...

artikel ini menarik sebab kalo kita mau memperhatikan dengan seksama, tanpa sadar kita sudah dikontrol dan dikondisikan oleh kekuatan2 korporat dan konsumerisme...

zaman saya kecil dulu, es krim benar2 merupakan barang mewah. saat saya berhasil merayu untuk dibelikan es krim, es krimnya saya nikmati pelan2, gigit sedikit2 biar habisnya lama...

sekarang es krim sudah menjadi "kebutuhan pokok". kapanpun anak2 mau, mereka bisa beli es krim. es krim murah tidak lagi bisa memberikan kepuasan yg tinggi, maka mereka mulai mencari es krim yg "bermerk", yg coklatnya lebih "berasa", dst.

beberapa tahun lalu, mungkin telepon genggam merupakan barang mewah. sekali beli, cukuplah buat dipakai bertahun2 sampai rusak. dengan kecerdikan taktik marketing, konsumen sekarang "terpaksa" mengupgrade hpnya setahun sekali, kalo tidak mau dikatakan ketinggalan jaman. memori lebih besar, operating system yg lebih baru, warna yg lebih banyak, protokol komunikasi yg lebih cepat, suara lebih ngecring... begitu kata2 marketing perusahaan telepon...

terjadi pergeseran persepsi antara "kebutuhan" dengan "kemewahan". keserakahan telah mengangkat garis batas kepuasan lebih tinggi lagi. manusia menjadi makin sulit dipuaskan....

sehingga saat kita dihadapkan untuk menurunkan kembali garis batas kepuasan tersebut, kita cenderung berpikir: "terlalu sulit... terlalu sulit...".

"kebutuhan" kita sudah menjadi terlalu banyak...
kita sudah susah membedakan antara "kebutuhan" dengan "keinginan"...
« Last Edit: 29 October 2007, 09:24:18 PM by morpheus »
* I'm trying to free your mind, Neo. But I can only show you the door. You're the one that has to walk through it
* Neo, sooner or later you're going to realize just as I did that there's a difference between knowing the path and walking the path

Offline Sumedho

  • Kebetulan
  • Administrator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 12.406
  • Reputasi: 423
  • Gender: Male
  • not self
Re: Mall
« Reply #4 on: 29 October 2007, 10:47:28 PM »
dan kita membuat alasan2x untuk .... membeli barang baru yang sebenarnya 'nga penting' gituh....

that's what sales & marketing all about. Funny isn't it ?

i have similar themed experience. Semua dimulai dari jaman dahulu kala ketika mendigitalkan audio ke komputer ketika belum ada namanya MP3. Dari sana mendengar lagu selalu di improve. Getting better encoder, better speaker, better media player and so on..

Speaker kompie itu sudah berganti2x, semakin besar dan semakin bagus dan berkualitas. sampai pada satu titik dimana kantong tidak mampu dan menurunkan garis batas kepuasan itu kembali... nga bisa kek audiophile2x yang money is not a problem.

tidak berhenti disana, i was making excuse, "if you can't get bigger and better speaker, let's get the speaker into your ears. It should have better value in term of sound quality. barang kecil harganya harusnya lebih murah. Dengan uang yang sama bisa dapet barang yang lebih berkualitas dan bagus.

After several attempt in pursuing my nafsu, It's finally stop at my first and last sens.. sennheiser

I was tired... very tired....

then... i let all go....

never been happier since.....
There is no place like 127.0.0.1

Offline Fei Lun Hai

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 686
  • Reputasi: 24
  • Gender: Female
Re: Mall
« Reply #5 on: 27 November 2007, 01:25:16 PM »
Bukan kebutuhan kita yg bertambah banyak tapi keinginan kita yg bertambah banyak. Kebanyakan orang membeli sesuatu karena ia "ingin", bukan karena ia "butuh". Jika barang dibeli karena kita "butuh", maka barang itu pasti bermanfaat buat kita. Tapi jika barang dibeli karena "ingin", maka barang itu belum tentu bermanfaat buat kita (mis: belasan pasang sepatu yg cuma diletakkan di lemari tanpa dipergunakan).
your life simple or complex is depend on yourself

 

anything