//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Samyukta Agama - Tentang Lima Kelompok Unsur Kehidupan (5)  (Read 2891 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Tentang Lima Kelompok Unsur Kehidupan (5)
Terjemahan Saṃyukta-āgama Kotbah 103 sampai 110

Bhikkhu Anālayo

Abstaksi

Artikel ini menerjemahkan jilid kelima dari Saṃyukta-āgama, yang mengandung kotbah 103 sampai 110.<1>

103. [Kotbah kepada Khemaka]<2>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika sekelompok banyak bhikkhu senior sedang berdiam di Kosambī di Taman Ghosita. Kemudian Bhikkhu Khemaka sedang berdiam di Kosambī di Taman Pohon Jujube. Tubuhnya menjadi sakit parah. Lalu Bhikkhu Dāsaka menjaga [bhikkhu] yang sakit itu. Kemudian Bhikkhu Dāsaka mendekati para bhikkhu senior, memberikan penghormatan pada kaki para bhikkhu senior, dan berdiri pada satu sisi.

Para bhikkhu senior berkata kepada Bhikkhu Dāsaka: “Dekatilah Bhikkhu Khemaka dan katakan: Para bhikkhu senior bertanya kepadamu: ‘Apakah tubuhmu sudah agak sembuh dan sudah berkurang [sakitnya], apakah parahnya penderitaan sakitmu tidak bertambah?’”<3>

Kemudian Bhikkhu Dāsaka, setelah menerima instruksi dari para bhikkhu senior, mendekati Bhikkhu Khemaka. Ia berkata kepada Bhikkhu Khemaka: “Para bhikkhu senior bertanya kepada anda: ‘Apakah perlahan-lahan sembuh dari penderitaan sakitmu? Apakah banyak kesakitan itu tidak bertambah?’”

Bhikkhu Khemaka berkata kepada Bhikkhu Dāsaka: “Aku tidak sembuh dari sakit dan tubuhku tidak berkurang [sakitnya], rasa sakit terus bertambah dan tidak ada keringanan. Seperti halnya banyak orang kuat yang memegang seorang yang lemah, menaruh tali di sekeliling kepalanya dan dengan kedua tangan menariknya dengan kuat, sehingga ia berada dalam kesakitan yang luar biasa. Rasa sakitku sekarang melebihi itu. Seperti halnya seorang tukang jagal sapi dengan sebilah pisau tajam membelah perut seekor [sapi] untuk mengambil organ dalamnya. Bagaimana mungkin sapi itu menahan kesakitan dalam perutnya? Perutku sekarang lebih sakit daripada perut sapi itu. Seperti halnya dua orang kuat memegang seorang yang lemah dan menggantungnya di atas api, yang memanggang kedua kakinya. Panas kedua kakiku sekarang melebihi itu.”<4>

Kemudian Bhikkhu Dāsaka mendekati para bhikkhu senior. Ia menceritakan semuanya kepada para bhikkhu senior apa yang telah dikatakan Bhikkhu Khemaka tentang kondisi penyakitnya.

Kemudian para bhikkhu senior mengirimkan Bhikkhu Dāsaka kembali mendekati Bhikkhu Khemaka, untuk mengatakan kepada Bhikkhu Khemaka: “Terdapat lima kelompok unsur kehidupan yang dilekati, yang diajarkan Sang Bhagava.<5> Apakah lima hal itu? Mereka adalah kelompok unsur bentuk jasmani yang dilekati, perasaan... persepsi... bentukan... kelompok unsur kesadaran yang dilekati. Khemaka, apakah engkau dapat menyelidiki lima kelompok unsur kehidupan yang dilekati ini sebagai bukan diri dan bukan milik diri?”

Kemudian Bhikkhu Dāsaka, setelah menerima instruksi dari para bhikkhu senior, mendekati Bhikkhu Khemaka dan berkata:<6> “Para bhikkhu senior berkata kepada anda: ‘Sang Bhagava telah mengajarkan lima kelompok unsur yang dilekati. [30a] Apakah anda dapat menyelidiki mereka sebagai bukan diri dan bukan milik diri?”

Bhikkhu Khemaka berkata kepada Dāsaka: “Aku dapat menyelidiki lima kelompok unsur kehidupan yang dilekati ini sebagai bukan diri dan bukan milik diri.”

Bhikkhu Dāsaka kembali dan berkata kepada para bhikkhu senior: “Bhikkhu Khemaka berkata: ‘Aku dapat menyelidiki lima kelompok unsur kehidupan yang dilekati ini sebagai bukan diri dan bukan milik diri.’”

Para bhikkhu senior kembali mengirimkan Bhikkhu Dāsaka untuk berkata kepada Bhikkhu Khemaka: “Dengan dapat menyelidiki lima kelompok unsur kehidupan yang dilekati ini sebagai bukan aku dan bukan milik diri, apakah dengan demikian engkau adalah seorang arahant, dengan arus-arus [kekotoran batin] yang dilenyapkan?”<7>

Kemudian Bhikkhu Dāsaka, setelah menerima instruksi dari para bhikkhu senior, mendekati Bhikkhu Khemaka. Ia berkata kepada Khemaka: “Seorang bhikkhu yang dapat merenungkan lima kelompok unsur kehidupan yang dilekati dengan cara ini, apakah ia seorang arahant, dengan arus-arus [kekotoran batin] yang dilenyapkan?”

Bhikkhu Khemaka berkata kepada Bhikkhu Dāsaka: “Aku merenungkan lima kelompok unsur kehidupan yang dilekati sebagai bukan diri dan bukan milik diri, [tetapi] aku bukan seorang arahant, dengan arus-arus [kekotoran batin] yang dilenyapkan.”

Kemudian Bhikkhu Dāsaka kembali kepada para bhikkhu senior.<8> Ia berkata kepada para bhikkhu senior: “Bhikkhu Khemaka berkata: ‘Aku merenungkan lima kelompok unsur kehidupan yang dilekati sebagai bukan diri dan bukan milik diri,<9> tetapi aku bukan seorang arahant, dengan arus-arus [kekotoran batin] yang dilenyapkan.”

Kemudian para bhikkhu senior berkata kepada Bhikkhu Dāsaka: “Kembalilah lagi untuk mengatakan kepada Bhikkhu Khemaka: Engkau mengatakan: ‘Aku merenungkan lima kelompok unsur kehidupan yang dilekati sebagai bukan diri dan bukan milik diri, tetapi aku bukan seorang arahant, dengan arus-arus [kekotoran batin] yang dilenyapkan.’ [Pernyataan] sebelumnya dan yang terakhir bertentangan satu sama lain.”

Kemudian Bhikkhu Dāsaka, setelah menerima instruksi dari para bhikkhu senior, mendekati Bhikkhu Khemaka dan berkata:<10> “Anda mengatakan: ‘Aku merenungkan lima kelompok unsur kehidupan yang dilekati sebagai bukan diri dan bukan milik diri, tetapi aku bukan seorang arahant, dengan arus-arus [kekotoran batin] yang dilenyapkan.’ [Pernyataan] sebelumnya dan yang terakhir bertentangan satu sama lain.”

Bhikkhu Khemaka berkata kepada Bhikkhu Dāsaka: “Aku menyelidiki lima kelompok unsur kehidupan yang dilekati ini sebagai bukan diri dan bukan milik diri, tetapi aku bukan seorang arahant, [dengan arus-arus yang dilenyapkan]. Aku belum meninggalkan kesombongan ‘aku’, keinginan [yang berhubungan dengan gagasan] ‘aku’, dan kecenderungan yang mendasari terhadap ‘aku’, belum [sepenuhnya] memahaminya, belum menjadi terpisahkan darinya, belum memuntahkannya keluar.”<11>

Bhikkhu Dāsaka kembali kepada para bhikkhu senior. Ia berkata kepada para bhikkhu senior: “Bhikkhu Khemaka berkata: Aku menyelidiki lima kelompok unsur kehidupan yang dilekati ini sebagai bukan diri dan bukan milik diri, tetapi aku bukan seorang arahant, dengan arus-arus [kekotoran batin] yang dilenyapkan. Aku belum meninggalkan kesombongan ‘aku’, keinginan [yang berhubungan dengan gagasan] ‘aku’, dan kecenderungan yang mendasari terhadap ‘aku’, belum [sepenuhnya] memahaminya, belum menjadi terpisahkan darinya, belum memuntahkannya keluar.’”

Para bhikkhu senior mengirimkan Bhikkhu Dāsaka lagi untuk berkata kepada Bhikkhu Khemaka: “Engkau [tampaknya] menyatakan bahwa terdapat suatu diri. Di manakah diri itu? Apakah bentuk jasmani adalah diri? Atau apakah diri berbeda dari bentuk jasmani? Apakah perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran adalah diri? Atau apakah diri berbeda dari kesadaran?”

Bhikkhu Khemaka berkata kepada Bhikkhu Dāsaka:<12>  “Aku tidak mengatakan bahwa bentuk jasmani adalah diri, atau bahwa diri berbeda dari bentuk jasmani; bahwa perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran adalah diri, [30b] atau bahwa diri berbeda dari kesadaran. Tetapi sehubungan dengan lima kelompok unsur kehidupan yang dilekati ini aku belum meninggalkan kesombongan ‘aku’, keinginan [yang berhubungan dengan gagasan] ‘aku’, dan kecenderungan yang mendasari terhadap ‘aku’, belum [sepenuhnya] memahaminya, belum menjadi terpisahkan darinya, belum memuntahkannya keluar.”

Bhikkhu Khemaka berkata kepada Bhikkhu Dāsaka: “Mengapa merepotkanmu sekarang, membuatmu berlari ke sana ke mari? Bawakanlah tongkat jalanku. Menyokong diriku dengan tongkat jalan, aku akan mendekati para bhikkhu senior. [Jadi] aku memintamu memberikanku tongkat jalan untuk kugunakan.”

Bhikkhu Khemaka, yang menyokong dirinya dengan tongkat jalan, mendekati para bhikkhu senior. Kemudian para bhikkhu senior melihat dari jauh bahwa Bhikkhu Khemaka datang, disokong oleh sebatang tongkat jalan. Mereka sendiri menyiapkan sebuah tempat duduk untuknya dan mengatur ganjalan kaki. Mereka datang sendiri untuk menyambutnya, mengambil jubah dan mangkuknya, dan memintanya untuk duduk di sana.<13> Mereka bertukar salam ramah tamah satu sama lain. Setelah bertukar salam ramah tamah, para bhikkhu senior berkata kepada Bhikkhu Khemaka:

“Engkau mengatakan tentang kesombongan ‘aku’. Di manakah engkau melihat suatu diri? Apakah bentuk jasmani adalah diri? Atau apakah diri berbeda dari bentuk jasmani? Apakah perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran adalah diri? Atau apakah diri berbeda dari kesadaran?”

Bhikkhu Khemaka berkata: “Bentuk jasmani adalah bukan diri dan tidak ada diri yang berbeda dari bentuk jasmani. Perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran adalah bukan diri, dan tidak ada diri yang berbeda dari kesadaran. Namun, sehubungan dengan lima kelompok unsur kehidupan yang dilekati ini aku belum meninggalkan kesombongan ‘aku’,<14> keinginan [yang berhubungan dengan gagasan] ‘aku’, dan kecenderungan yang mendasari terhadap ‘aku’, belum [sepenuhnya] memahaminya, belum menjadi terpisah darinya, belum memuntahkannya keluar.

“Ini seperti halnya keharuman teratai uppala, teratai paduma, teratai kumuda, teratai puṇḍarīka – apakah keharumannya berada dalam akarnya? Apakah keharumannya berbeda dari akarnya? Apakah keharumannya berada dalam tangkainya, daunnya, benang sarinya, bagian-bagian yang lebih halus dan kasarnya? Atau apakah ia berbeda dari... bagian-bagian yang lebih halus dan kasarnya? Apakah ini diucapkan dengan benar?”

Para bhikkhu senior menjawab: “Tidak, Bhikkhu Khemaka. Keharuman itu bukan berada dalam akar dari teratai uppala, teratai paduma, teratai kumuda, teratai puṇḍarīka, ataupun keharuman itu berbeda dari akarnya. Keharuman itu juga bukan berada dalam tangkainya, daunnya, benang sarinya, bagian-bagian yang halus dan kasarnya, dan keharuman itu juga bukan berbeda dari... bagian-bagian yang halus dan kasarnya.”

Bhikkhu Khemaka bertanya lagi: “Di manakah keharuman itu?”

Para bhikkhu senior menjawab: “Keharuman itu berada dalam bunganya.”

Bhikkhu Khemaka berkata lagi: “Dengan diriku ini adalah hal yang sama. Bentuk jasmani adalah bukan diri dan tidak ada diri yang berbeda dari bentuk jasmani. Perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran adalah bukan diri, dan tidak ada diri yang berbeda dari kesadaran. Walaupun sehubungan dengan lima kelompok unsur kehidupan yang dilekati ini aku melihat tidak ada diri dan tidak ada milik diri, aku masih belum meninggalkan kesombongan ‘aku’, keinginan [yang berhubungan dengan gagasan] ‘aku’, dan kecenderungan yang mendasari terhadap ‘aku’, belum [sepenuhnya] memahaminya, belum menjadi terpisah darinya, belum memuntahkannya keluar.

“Para bhikkhu senior, izinkan aku untuk mengatakan suatu perumpamaan. Orang-orang bijaksana memperoleh pemahaman karena suatu perbandingan melalui perumpamaan. Seperti halnya seorang inang yang memberikan sehelai kain [yang digunakan sebagai popok] kepada tukang cuci. Dengan berbagai jenis cairan dan sabun ia membersihkan kotorannya, tetapi masih terdapat sisa bau. Dengan mencampurkannya dengan berbagai jenis keharuman ia membuatnya hilang.<15>

“Dengan cara yang sama, siswa mulia yang terpelajar dengan benar merenungkan lima kelompok unsur kehidupan yang dilekati ini sebagai bukan diri dan bukan milik diri,<16> ia masih belum meninggalkan kesombongan ‘aku’ sehubungan dengan lima kelompok unsur kehidupan yang dilekati ini,<17> keinginan [yang berhubungan dengan gagasan] ‘aku’, dan kecenderungan yang mendasari terhadap ‘aku’, belum [sepenuhnya] memahaminya, belum menjadi terpisah darinya, belum memuntahkannya keluar.

“Tetapi pada waktu belakangan ia maju dalam memberikan perhatian pada lima kelompok unsur kehidupan yang dilekati ini dengan menyelidiki muncul dan lenyapnya: [30c] inilah bentuk jasmani, inilah munculnya bentuk jasmani, inilah lenyapnya bentuk jasmani, inilah perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran, inilah munculnya kesadaran, inilah lenyapnya kesadaran. Setelah merenungkan muncul dan lenyapnya lima kelompok unsur kehidupan yang dilekati ini dengan cara ini, ia sepenuhnya melepaskan semua kesombongan ‘aku’, keinginan [yang berhubungan dengan gagasan] ‘aku’, dan kecenderungan yang mendasari terhadap ‘aku’. Ini disebut merenungkan dengan benar dan tepat.

Ketika Bhikkhu Khemaka mengucapkan ajaran ini, para bhikkhu senior mencapai mata Dharma yang murni dengan sedikit noda [batin] dan bebas dari debu [batin], dan Bhikkhu Khemaka melalui ketidakmelekatan mencapai pembebasan dari arus-arus [kekotoran batin] dalam pikirannya.<18> Karena kebaikan dari kegembiraan Dharma, tubuhnya sepenuhnya bebas dari penyakit.

Kemudian para bhikkhu senior berkata kepada Bhikkhu Khemaka: “Ketika kami mendengar apa yang dikatakan teman [kami] untuk pertama kalinya, kami telah memahami dan bergembira di dalamnya, apa yang dikatakan dari mendengarkannya lagi dan lagi.<19> Ketika bertanya [lebih lanjut] kami berharap bahwa teman [kami] menunjukkan keahlian berkotbahnya yang murni. Tidak untuk mengganggu anda, [tetapi] agar anda bersedia dan mampu mengajarkan secara terperinci Dharma Sang Tathāgata, arahant, yang tercerahkan sempurna.”

Kemudian para bhikkhu senior, yang mendengarkan apa yang dikatakan Bhikkhu Khemaka, bergembira dan menerimanya dengan hormat.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Samyukta Agama - Tentang Lima Kelompok Unsur Kehidupan (5)
« Reply #1 on: 18 July 2015, 05:21:19 PM »
104. [Kotbah kepada Yamaka]<20>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

Pada waktu itu seorang bhikkhu bernama Yamaka memunculkan suatu pandangan salah yang jahat, dengan mengatakan seperti ini: “Sebagaimana aku memahami Dharma yang diajarkan oleh Sang Buddha, seorang arahant, dengan arus-arus [kekotoran batin] yang dilenyapkan, tidak akan ada di mana pun setelah hancurnya tubuh pada akhir kehidupan.”

Kemudian sekelompok banyak bhikkhu mendengar apa yang ia katakan. Mereka mendekati Bhikkhu Yamaka dan berkata kepadanya: “Apakah benar bahwa engkau mengatakan hal ini: ‘Sebagaimana aku memahami Dharma yang diajarkan oleh Sang Buddha, seorang arahant, dengan arus-arus [kekotoran batin] yang dilenyapkan, tidak akan ada di mana pun setelah hancurnya tubuh pada akhir kehidupan’?”

Ia menjawab: “Benar, Yang Mulia.”

Kemudian para bhikkhu berkata kepada Yamaka: “Janganlah salah menggambarkan Sang Bhagava! Adalah tidak baik untuk salah menggambarkan Sang Bhagava. Sang Bhagava tidak mengatakan hal ini. Engkau seharusnya sepenuhnya melepaskan pandangan salah yang jahat ini.”

Ketika para bhikkhu mengatakan hal ini, Bhikkhu Yamaka masih menganut pandangan salahnya yang jahat, dengan mengatakan seperti ini: “Yang Mulia, hanya ini yang benar, apa yang berbeda adalah salah.” Ia berkata dengan cara ini tiga kali.<21>

Ketika para bhikkhu tidak dapat memperbaiki Bhikkhu Yamaka, mereka dengan segera menyerah dan pergi. Mereka mendekati Yang Mulia Sāriputta dan berkata kepada Yang Mulia Sāriputta: “Yang Mulia, anda seharusnya mengetahui bahwa Bhikkhu Yamaka telah memunculkan suatu pandangan salah yang jahat seperti ini: ‘[Sebagaimana] aku memahami Dharma yang diajarkan oleh Sang Buddha, seorang arahant, dengan arus-arus [kekotoran batin] yang dilenyapkan, tidak akan ada di mana pun setelah hancurnya tubuh pada akhir kehidupan.’

“Setelah mendengar apa yang ia katakan, kami karenanya mendekati dan menanyai Bhikkhu Yamaka: ‘Apakah benar bahwa pemahaman dan pandanganmu adalah seperti ini?’ Ia menjawab kami: ‘Benar, Yang Mulia, apa yang berbeda [dari pemahamanku] adalah perkataan bodoh.’

“Kami mengatakan: [31a] ‘Janganlah salah menggambarkan Sang Bhagava. Sang Bhagava tidak mengatakan hal ini. Engkau harus melepaskan pandangan salah yang jahat ini.’ Kami menasehatinya tiga kali, tetapi ia tidak melepaskan pandangan salahnya yang jahat. Oleh sebab itu kami sekarang mendekati Yang Mulia. Semoga Yang Mulia meredakan pandangan salah yang jahat dari Bhikkhu Yamaka, demi belas kasih terhadapnya.”

Sāriputta berkata: “[Jika] demikian, aku akan meredakan pandangan salahnya yang jahat.”<22>

Kemudian kelompok banyak bhikkhu itu, yang mendengar apa yang dikatakan Sāriputta, bergembira dan senang. Mereka kembali ke tempat kediaman mereka semula.

Pada waktu itu, pada pagi hari, Yang Mulia Sāriputta mengenakan jubahnya dan membawa mangkuknya untuk memasuki kota Sāvatthī untuk mengumpulkan makanan. Setelah makan, ia keluar dari kota. Setelah kembali ke viharanya untuk menyimpan jubah dan mangkuknya, ia mendekati Bhikkhu Yamaka.<23>

Ketika Bhikkhu Yamaka melihat dari jauh bahwa Yang Mulia Sāriputta datang, ia menyiapkan sebuah tempat duduk untuknya, [air] untuk mencuci kaki, dan mengatur ganjalan kaki. Ia menyambut Sāriputta, dengan membawakan jubah dan mangkuknya,<24> dan mengundangnya untuk duduk di sana.

Setelah duduk di sana dan mencuci kakinya, Yang Mulia Sāriputta berkata kepada Bhikkhu Yamaka: “Apakah benar bahwa engkau berkata seperti ini: ‘‘[Sebagaimana] aku memahami Dharma yang diajarkan oleh Sang Bhagava, seorang arahant, dengan arus-arus [kekotoran batin] yang dilenyapkan, tidak akan ada di mana pun setelah hancurnya tubuh pada akhir kehidupan’?”

Bhikkhu Yamaka menjawab Sāriputta: “Benar, Yang Mulia Sāriputta.”

Sāriputta berkata: “Aku akan bertanya kepadamu, jawablah menurut pemahamanmu. Bagaimakah, Yamaka, apakah bentuk jasmani kekal atau tidak kekal?”

[Yamaka] menjawab: “Tidak kekal, Yang Mulia Sāriputta.”

[Sāriputta] bertanya lagi: “Apa yang tidak kekal, apakah ia dukkha?”

[Yamaka] menjawab: “Dukkha.”

[Sāriputta] bertanya lagi: “Apa yang tidak kekal, dukkha, bersifat berubah-ubah, akankah seorang siswa mulia di sini [menganggap]-nya sebagai diri, sebagai berbeda dari diri [dalam pengertian dimiliki olehnya], sebagai ada [dalam diri, atau diri] sebagai ada [di dalamnya]?”

[Yamaka] menjawab: “Tidak, Yang Mulia Sāriputta.”

Perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran juga seperti ini.<25>

[Sāriputta] bertanya lagi: “Bagaimanakah, Yamaka, apakah bentuk jasmani adalah Tathāgata?”

[Yamaka] menjawab: “Tidak, Yang Mulia Sāriputta.”

[Sāriputta bertanya lagi]: “Apakah perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran adalah Tathāgata?”

[Yamaka] menjawab: “Tidak, Yang Mulia Sāriputta.”

[Sāriputta] bertanya lagi: “Bagaimanakah, Yamaka, apakah Tathāgata berbeda dari bentuk jasmani? Apakah Tathāgata berbeda dari perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran?”

[Yamaka] menjawab: “Tidak, Yang Mulia Sāriputta.”

[Sāriputta] bertanya lagi: “Apakah Tathāgata berada dalam bentuk jasmani? Apakah Tathāgata berada dalam perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran?”

[Yamaka] menjawab: “Tidak, Yang Mulia Sāriputta.”<26>

[Sāriputta bertanya lagi]: “Apakah bentuk jasmani berada dalam Tathāgata? Apakah perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran berada dalam Tathāgata?”<27>

[Yamaka] menjawab: “Tidak, Yang Mulia Sāriputta.”

[Sāriputta] bertanya lagi: “Apakah Tathāgata adalah tanpa bentuk jasmani... perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran?”

[Yamaka] menjawab: “Tidak, Yang Mulia Sāriputta.” [31b]

[Sāriputta berkata]: “Dengan cara ini, Yamaka, Tathāgata sebagai ada sebenar-benarnya di sini dan saat ini tidak dapat diperoleh di mana pun, tidak dapat ditunjukkan di mana pun. Mengapa engkau mengatakan: ‘[Sebagaimana] aku memahami Dharma yang diajarkan Sang Buddha, seorang arahant, dengan arus-arus yang dilenyapkan, tidak akan ada di mana pun setelah hancurnya tubuh ketika akhir kehidupan’? Apakah ini dikatakan dengan benar?”<28>

[Yamaka] menjawab: “Tidak, Yang Mulia Sāriputta.”

[Sāriputta] bertanya lagi: “Yamaka, sebelumnya engkau berkata: ‘‘[Sebagaimana] aku memahami Dharma yang diajarkan Sang Buddha, seorang arahant, dengan arus-arus yang dilenyapkan, tidak akan ada di mana pun setelah hancurnya tubuh ketika akhir kehidupan’. Mengapa engkau sekarang menjawab dengan menyatakan bahwa ini bukan demikian?”

Bhikkhu Yamaka berkata: “Yang Mulia Sāriputta, sebelumnya aku tidak memahami. Karena ketidaktahuan aku memunculkan dan menyatakan suatu pandangan salah yang jahat seperti ini. Setelah mendengar apa yang dikatakan Yang Mulia Sāriputta, semua yang tidak dipahami dan tidak diketahui telah sepenuhnya ditinggalkan.”

[Sāriputta] bertanya lagi: “Yamaka, jika engkau lebih lanjut ditanya: ‘Bhikkhu, seperti yang engkau sebelumnya nyatakan suatu pandangan salah yang jahat, dengan mengetahui dan melihat apakah sekarang ini semuanya telah dilenyapkan?’<29> Apakah yang akan engkau jawab?”

Yamaka menjawab: “Yang Mulia Sāriputta, jika seseorang datang dan bertanya, aku akan menjawab seperti ini: ‘Bentuk jasmani seorang arahant, dengan arus-arus [kekotoran batin] yang dilenyapkan, adalah tidak kekal. Apa yang tidak kekal, adalah dukkha, Apa yang adalah dukkha telah menjadi tenang dan menjadi dingin, ia telah selamanya lenyap. Perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran juga seperti ini.’ [Jika] seseorang datang dan bertanya, aku akan menjawab dengan cara ini.”

Sāriputta berkata: “Bagus, bagus, Bhikkhu Yamaka. Engkau seharusnya menjawab dengan cara ini. Mengapa demikian? Bentuk jasmani seorang arahant, dengan arus-arus [kekotoran batin] yang dilenyapkan, adalah tidak kekal. Apa yang tidak kekal, adalah dukkha. Apa yang tidak kekal dan dukkha bersifat muncul dan lenyap.<30> Perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran juga seperti ini.”

Ketika Yang Mulia Sāriputta mengucapkan ajaran ini, Bhikkhu Yamaka mencapai mata Dharma yang murni dengan sedikit noda [batin] dan bebas dari debu [batin].

Yang Mulia Sāriputta berkata kepada bhikkhu Yamaka: “Aku sekarang akan mengatakan suatu perumpamaan. Orang-orang bijaksana memperoleh pemahaman melalui suatu perumpamaan. Seperti halnya putra seorang perumah tangga; seorang putra perumah tangga yang kaya raya dan memiliki banyak harta. Ia mencari ke mana-mana serombongan yang dengan baik menjaga hartanya.

“Kemudian seorang yang jahat yang merupakan musuhnya berpura-pura datang sebagai seorang teman dekat untuk menjadi pelayannya.<31> Ia sering menanti suatu kesempatan, pergi tidur lebih larut dan bangun lebih pagi, berjaga di dekatnya ketika ia beristirahat. Ia berhati-hati dan menghargai urusan tuannya, rendah hati dalam perkataannya, yang menyebabkan tuannya menyenanginya, menganggapnya sebagai sahabat, menganggapnya sebagai anak, dengan kepercayaan penuh dan tanpa keraguan, tanpa menjaga dirinya. Kemudian, dengan pisau di tangannya, ia menghancurkan kehidupan [tuannya].

“Bhikkhu Yamaka, apakah yang engkau pikirkan? Musuh jahat itu, yang berpura-pura sebagai sahabat perumah tangga itu, apakah ia tidak berpura-pura dari awalnya sebagai orang bijaksana dengan suatu pikiran yang bermaksud menyakiti, terus-menerus menanti suatu kesempatan sampai membawa akhir [perumah tangga itu]?<32> Tetapi perumah tangga itu tidak dapat menyadarinya, sampai ketika ia mengalami bahaya.”

[Yamaka] menjawab: “Benar, Yang Mulia [Sāriputta].” [31c]

Sāriputta berkata kepada Bhikkhu Yamaka: “Apakah yang engkau pikirkan? Jika perumah tanggal itu sebenarnya memahami bahwa orang itu berpura-pura menjadi teman berharap menyakitinya, akankah ia dengan baik menjaga dirinya dan tidak mengalami bahaya.”<33>

[Yamaka] menjawab: “Demikianlah, Yang Mulia Sāriputta.”

[Sāriputta berkata]: “Dengan cara ini, Bhikkhu Yamaka, seorang duniawi bodoh yang tidak terpelajar memandang lima kelompok unsur kehidupan yang dilekati ini sebagai kekal, memandangnya sebagai ketenangan, memandangnya sebagai kesehatan, memandangnya sebagai diri, memandangnya sebagai milik diri. Ia terus-menerus menjaga dan menginginkan lima kelompok unsur kehidupan yang dilekati ini, seperti halnya perumah tangga itu disakiti oleh musuh yang berpura-pura menjadi teman, tanpa menyadarinya.<34>

“Yamaka, seorang siswa mulia yang terpelajar yang menyelidiki lima kelompok unsur kehidupan yang dilekati ini sebagai penyakit, sebagai bisul, sebagai duri, sebagai pembunuh, sebagai tidak kekal, sebagai dukkha, sebaga kosong, sebagai bukan diri, dan sebagai bukan milik diri,<35> tidak melekat pada lima kelompok unsur kehidupan yang dilekati ini dan [oleh sebab itu] tidak terikat padanya.

“Karena ketidakmelekatan ia tidak terikat, karena tidak terikat ia secara pribadi merealisasi Nirvāṇa, [dengan mengetahui]: ‘Kelahiran bagiku telah dilenyapkan, kehidupan suci telah dikembangkan, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, aku sendiri mengetahui bahwa tidak akan ada kelangsung yang lebih jauh lagi.’”

Ketika Yang Mulia Sāriputta mengucapkan ajaran ini, Bhikkhu Yamaka melalui ketidakmelekatan mencapai pembebasan dari arus-arus [kekotoran batin] dalam pikirannya.<36>

Yang Mulia Sāriputta, setelah mengucapkan ajaran ini kepada Bhikkhu Yamaka, setelah menasehati, mengajarkan, menjelaskan, dan menggembirakannya, bangkit dari tempat duduknya dan pergi.<37>
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Samyukta Agama - Tentang Lima Kelompok Unsur Kehidupan (5)
« Reply #2 on: 18 July 2015, 05:27:29 PM »
105. [Kotbah kepada Seniya]<38>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Rājagaha di Hutan Bambu, Tempat Memberi Makan Tupai.

Pada waktu itu seorang pengembara dari ajaran menyimpang bernama Seniya mendekati Sang Buddha, memberikan penghormatan, bertukar salam, duduk pada satu sisi, dan berkata kepada Sang Buddha: “Sang Bhagava, pada suatu hari yang telah berlalu para pertapa, brahmana, pengelana (caraka), pengembara (paribbājaka) berkumpul di sebuah aula untuk berdiskusi tentang apa yang bermakna dan dipujikan dengan cara ini:

“‘Pūraṇa Kassapa adalah pemimpin dari sekumpulan besar [pengikut], yang dikeliling pada semua sisi oleh lima ratus orang murid. Terdapat di antara mereka beberapa yang sangat bijaksana dan beberapa yang memiliki kemampuan tumpul. Ketika mereka meninggal dunia, ia tidak menyatakan siapa pun dari mereka tempat di mana mereka telah terlahir kembali.

“Terdapat juga Makkhali Gosālaputta,<39> yang adalah pemimpin dari sekumpulan besar [pengikut], yang dikeliling pada semua sisi oleh lima ratus orang murid. Beberapa dari para muridnya adalah bijaksana dan beberapa memiliki kemampuan tumpul. Ketika mereka meninggal dunia, ia tidak menyatakan siapa pun dari mereka tempat di mana mereka telah terlahir kembali.’

Dengan cara yang sama way Sañjaya Belaṭṭhiputta, Ajita Kesakambalī, Pakudha Kaccāyana, and Nigaṇṭha Nātaputta, masing-masing dari mereka dikelilingi pada semua sisi oleh lima ratus orang murid... seperti di atas.

“Pertapa Gotama kemudian juga disebutkan dalam diskusi itu: ‘Pertapa Gotama adalah pemimpin dari sekumpulan besar [pengikut]... ketika para muridnya meninggal dunia, ia tidak menyatakan bahwa orang tertentu telah terlahir kembali di tempat itu, [32a] orang tertentu telah terlahir kembali di tempat ini.’ Sebelumnya keragu-raguan telah muncul dalam diriku: ‘Bagaimana mungkin Pertapa Gotama telah mencapai suatu kondisi seperti ini?’”

Sang Buddha kepada Seniya: “Janganlah memunculkan keragu-raguan! Karena ketidakpastian, seseorang memunculkan keragu-raguan. Seniya, engkau seharusnya mengetahui bahwa terdapat tiga jenis guru. Apakah tiga hal itu?

“Terdapat seorang guru yang memiliki pandangan bahwa [hanya] di dunia saat ini benar-benar terdapat suatu diri, dan ia berkata menurut pemahamannya, tetapi ia tidak mengetahui hal-hal setelah kematian. Ini disebut [jenis] guru pertama yang muncul di dunia.

“Selanjutnya, Seniya, terdapat seorang guru yang memiliki pandangan bahwa di dunia saat ini benar-benar terdapat suatu diri, dan ia juga memiliki pandangan bahwa setelah kematian [benar-benar] terdapat suatu diri, dan ia berkata menurut pemahamannya.

“Selanjutnya, Seniya,<40> terdapat seorang guru yang tidak memiliki pandangan bahwa di dunia saat ini benar-benar terdapat suatu diri, dan ia juga tidak memiliki pandangan bahwa setelah kematian benar-benar terdapat suatu diri.

“Seniya, guru pertama yang memiliki pandangan bahwa di dunia saat ini benar-benar terdapat suatu diri dan yang berkata menurut pemahamannya, ia disebut memiliki pandangan pemusnahan.

“Guru kedua yang memiliki pandangan bahwa di dunia saat ini dan di dunia yang akan datang benar-benar terdapat suatu diri, dan yang berkata menurut pemahamannya, ia memiliki pandangan eternalisme.

“Guru ketiga yang tidak memiliki pandangan bahwa di dunia saat ini benar-benar terdapat suatu diri, dan yang tidak memiliki pandangan bahwa setelah kematian [benar-benar] terdapat suatu diri – ini adalah Sang Tathāgata, arahant, yang tercerahkan sempurna, yang saat ini telah meninggalkan ketagihan, menjadi terpisahkan keinginan, telah melenyapkannya, dan telah mencapai Nirvāṇa.”<41>

Seniya berkata kepada Sang Buddha: “Sang Bhagava, setelah mendengar apa yang dikatakan Sang Bhagava telah mengakibatkan lebih jauh menambah keragu-raguanku.”

Sang Buddha berkata kepada Seniya: “Adalah tepat bahwa keragu-raguanmu seharusnya bertambah. Mengapa demikian? Ini adalah suatu hal yang sangat mendalam, yang sulit untuk dilihat dan sulit untuk dipahami. Yang sangat mendalam harus dijelaskan dalam aspek halusnya sehingga ia dipahami oleh orang bijaksana. Makhluk-makhluk hidup umumnya tidak dapat membedakan dan memahaminya. Mengapa demikian? Ini karena makhluk-makhluk telah selama waktu yang lama memiliki pandangan yang berbeda-beda, penerimaan yang berbeda-beda, pencarian yang berbeda-beda, dan aspirasi yang berbeda-beda.”

Seniya berkata kepada Sang Buddha: “Sang Bhagava, [dengan demikian] pikiranku memperoleh keyakinan murni dalam Sang Bhagava, semoga Sang Bhagava mengajarkanku Dharma sehingga di tempat duduk ini juga mata kebijaksanaan akan dimurnikan.”

Sang Buddha berkata kepada Seniya: “Aku akan mengajarkanmu sesuai dengan keinginanmu.”

Sang Buddha berkata kepada Seniya: “Apakah bentuk jasmani kekal atau tidak kekal?”

[Seniya] menjawab: “Tidak kekal.”

Sang Bhagava bertanya lagi: “Seniya, apa yang tidak kekal, apakah ia dukkha?”

[Seniya] menjawab: “Dukkha.”

Sang Bhagava bertanya kepada Seniya lagi: “Apa yang tidak kekal, dukkha, bersifat berubah-ubah, akankah seorang siswa mulia di sini [menganggap]-nya sebagai diri, sebagai berbeda dari diri [dalam pengertian dimiliki olehnya], sebagai ada [dalam diri, atau diri] sebagai ada [di dalamnya]?”

[Seniya] menjawab: “Tidak, Sang Bhagava.”

Perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran juga seperti ini.

[Sang Buddha] bertanya lagi: “Bagaimanakah, Seniya, apakah bentuk jasmani adalah Tathāgata?”

[Seniya] menjawab: “Tidak, Sang Bhagava.”

[Sang Buddha bertanya lagi]: “Apakah perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran adalah Tathāgata?”

[Seniya] menjawab: “Tidak, Sang Bhagava.”

[Sang Buddha] bertanya lagi: “Seniya, apakah Tathāgata berbeda dari bentuk jasmani? [32b] Apakah Tathāgata berbeda dari perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran?”

[Seniya] menjawab: “Tidak, Sang Bhagava.”

[Sang Buddha] bertanya lagi: “Seniya, apakah Tathāgata berada dalam bentuk jasmani? Apakah Tathāgata berada dalam perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran?”

[Seniya] menjawab: “Tidak, Sang Bhagava.”

[Sang Buddha] bertanya lagi: “Seniya, apakah bentuk jasmani berada dalam Tathāgata? Apakah perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran berada dalam Tathāgata?”

[Seniya] menjawab: “Tidak, Sang Bhagava.”

[Sang Buddha] bertanya lagi: “Seniya, apakah Tathāgata adalah tanpa bentuk jasmani... perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran?”

[Seniya] menjawab: “Tidak, Sang Bhagava.”

Sang Buddha berkata kepada Seniya: “[Walaupun] semua siswa-Ku mendengar apa yang Ku-ajarkan, [beberapa] tidak sepenuhnya memahami maknanya dan tidak memunculkan pemahaman benar atas kesombongan. Karena tidak dengan benar memahaminya, mereka tidak meninggalkan kesombongan, setelah melepaskan kelompok unsur kehidupan ini [saat kematian] mereka mengambil secara bergantian kelompok unsur kehidupan [lainnya] dan terlahir kembali. Untuk alasan ini, Seniya, Ku-nyatakan bahwa para siswa ini, ketika tubuh mereka hancur saat akhir kehidupan, telah terlahir kembali di tempat ini atau itu. Mengapa demikian? Ini karena mereka memiliki sisa kesombongan.

“Seniya, [beberapa] siswa-Ku dapat memahami makna dari apa yang Ku-ajarkan. Mereka memperoleh pemahaman benar atas semua kesombongan. Karena memperoleh pemahaman benar terhadapnya, mereka meninggalkan semua kesombongan. Karena mereka telah meninggalkan semua kesombongan, ketika tubuh hancur saat akhir kehidupan tidak ada pergantian [kelompok unsur kehidupan bagi mereka]. Seniya, Aku tidak menyatakan bahwa para siswa yang demikian, setelah melepaskan kelompok unsur kehidupan ini [saat kematian], terlahir kembali di tempat ini atau itu. Mengapa demikian? Ini karena tidak ada kondisi di mana ini dapat dinyatakan.

“Mengharapkan-Ku membuat beberapa pernyataan, Aku akan menyatakan: ‘Mereka telah meninggalkan semua ketagihan dan keinginan, selamanya terpisah dari belenggu kehidupan, dan pikiran mereka dengan benar terbebaskan dengan sepenuhnya mengakhiri dukkha.’

“Dari dulu sampai saat ini, Aku terus-menerus mengajarkan bahaya dalam kesombongan,<42> dalam akumulasi kesombongan, dalam munculnya kesombongan, dan dalam memunculkan kesombongan. Jika kesombongan direnungkan dengan pemahaman benar, berbagai jenis dukkha tidak muncul.”

Ketika Sang Buddha mengucapkan ajaran ini, pengembara Seniya mencapai mata Dharma yang murni dengan sedikit noda [batin] dan bebas dari debu [batin].

Pada waktu itu pengembara Seniya melihat Dharma dan mencapai Dharma, meninggalkan semua keragu-raguan dan ketidakpastian, tidak perlu bergantung pada orang lain untuk memahami, tidak perlu bergantung pada orang lain untuk menyeberang, dan pikirannya telah mencapai ketidakgentaran dalam Dharma sejati.

Ia bangkit dari tempat duduknya dan dengan tangan disatukan [dalam menghormati] terhadap Sang Buddha  ia berkata: “Sang Bhagava, dapatkah aku meninggalkan keduniawian dalam Dharma sejati ini untuk berlatih kehidupan suci?”

Sang Buddha berkata kepada Seniya: “Engkau dapat meninggalkan keduniawian dalam Dharma sejati ini, menerima penahbisan penuh, dan menjadi anggota [komunitas] monastik.”

Pada waktu itu Seniya, setelah meninggalkan keduniawian, dengan menyendiri di tempat yang tenang berlatih dengan berdiam tanpa kelalaian, merenungkan dengan cara ini untuk kepentingan di mana putra anggota keluarga mencukur janggut dan rambutnya untuk meninggalkan keduniawian demi keyakinan yang benar menuju keadaan tanpa rumah untuk berlatih dalam sang jalan dan mengembangkan praktek kehidupan suci, secara pribadi mengetahui di sini dan saat ini dan merealisasi secara langsung bahwa ‘kelahiran bagiku telah dilenyapkan, kehidupan suci telah dikembangkan, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, aku sendiri mengetahui bahwa tidak akan ada kelangsung yang lebih jauh lagi.’ Ia menjadi seorang arahant.

Dengan mendengarkan apa yang dikatakan Sang Budha, [32c] ia bergembira dan menerimanya dengan hormat.<43>

106. [Kotbah kepada Anurādha]<44>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Rājagaha di Hutan Bambu, Tempat Memberi Makan Tupai. Pada waktu itu seorang bhikkhu bernama Anurādha sedang berdiam di Gunung Puncak Burung Pemakan Bangkai.<45>

Kemudian sekelompok banyak pengembara dari ajaran menyimpang mendekati Anurādha dan bertukar salam. Setelah bertukar salam dan berdiri pada satu sisi, mereka berkata kepada Anurādha: “Kami ingin bertanya suatu pertanyaan. Apakah anda memiliki waktu luang untuk menjelaskannya?”

Anurādha berkata kepada [para pengembara] dari ajaran menyimpang itu: “Tanyakanlah menurut keinginan kalian, dengan mengetahuinya aku akan menjawab.”

[Para pengembara] dari ajaran menyimpang itu bertanya lagi: “Bagaimanakah, Yang Mulia, apakah Tathāgata ada setelah kematian?”<46>

Anurādha berkata: “Menurut ajaran Sang Bhagava, ini [tetap] tidak dinyatakan.”

Mereka bertanya lagi: “Apakah Tathāgata tidak ada setelah kematian?”

Anurādha berkata: “Menurut ajaran Sang Bhagava, ini juga [tetap] tidak dinyatakan.”

Mereka bertanya lagi: “Apakah Tathāgata ada dan tidak ada setelah kematian? Apakah ia bukan ada ataupun bukan tidak ada [setelah kematian]?”

Anurādha berkata: “Menurut ajaran Sang Bhagava, ini juga [tetap] tidak dinyatakan.”<47>

Mereka bertanya lagi kepada Anurādha: “Bagaimanakah ini, Yang Mulia? [Ketika ditanyakan]: ‘Apakah Tathāgata ada setelah kematian?’, anda menjawab bahwa ini [tetap] tidak dinyatakan. [Ketika ditanyakan]: ‘Apakah ia tidak ada setelah kematian?’, anda menjawab bahwa ini [tetap] tidak dinyatakan. [Ketika ditanyakan]: ‘Apakah ia ada dan tidak ada setelah kematian? Apakah ia bukan ada ataupun bukan tidak ada?’, anda menjawab bahwa ini [tetap] tidak dinyatakan.<48> Bagaimanakah ini, Yang Mulia, apakah Pertapa Gotama tanpa pengetahuan dan tanpa penglihatan?”

Anurādha berkata: “Sang Bhagava bukan tanpa pengetahuan, Beliau bukan tanpa penglihatan.”

Kemudian pikiran [para pengembara] dari ajaran menyimpang tidak bergembira dalam apa yang dikatakan Anurādha. Setelah menyalahkannya,<49> mereka bangkit dari tempat duduk mereka dan pergi.

Ketika Anurādha mengetahui bahwa [para pengembara] dari ajaran yang menyimpang telah pergi, ia mendekati Sang Buddha,<50> memberikan penghormatan dengan kepala pada kaki Sang Buddha dan, dengan berdiri pada satu sisi, menceritakan kepada Sang Buddha apa yang telah ditanyakan kepadanya oleh [para pengembara] dari ajaran menyimpang.<51> Ia berkata kepada Sang Buddha:<52>

“Sang Bhagava, setelah ditanyakan dengan cara ini, dengan menjawab dengan cara ini, setelah aku berkata sesuai dengan ajaran? Apakah aku tidak salah menggambarkan Sang Bhagava? Apakah ini sesuai dengan Dharma atau apakah ini bertentangan dengan Dharma? Ketika ditanyakan dengan ketat oleh orang lain yang datang, apakah ini tidak akan menyebabkanku jatuh pada suatu kesempatan untuk dikritik?”

Sang Buddha berkata kepada Anurādha: “Aku sekarang akan bertanya kepadamu, jawablah menurut pertanyaanku. Anurādha, apakah bentuk jasmani kekal atau tidak kekal?”

[Anurādha] menjawab: “Tidak kekal.”

[Sang Buddha bertanya lagi]: “Apakah perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran kekal atau tidak kekal?”

[Anurādha] menjawab: “Tidak kekal, Sang Bhagava.”

Seperti yang dikatakan sepenuhnya dalam Kotbah kepada Yamaka sampai dengan: “Apakah kesadaran adalah Tathāgata?”<53>

[Anurādha] menjawab: “Tidak.”

Sang Buddha berkata kepada Anurādha: “Seseorang yang mengatakan dengan cara ini adalah sesuai dengan semua yang telah dinyatakan [oleh-Ku], ia tidak salah menggambarkan Sang Tathāgata dan tidak menjadi [berkata] di luar urutan. Ia berkata seperti yang dikatakan Sang Tathāgata dan sesuai dengan urutan dengan semua ajaran. [33a] Ketika ditanyakan dengan ketat oleh orang lain yang datang, tidak akan dapat dikritik. Mengapa demikian?

“Aku memahami bentuk jasmani sebagaimana adanya, aku memahami munculnya bentuk jasmani... lenyapnya bentuk jasmani... jalan menuju lenyapnya bentuk jasmani sebagaimana adanya. [Perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran juga seperti ini].<54>

“Anurādha, jika seseorang meninggalkan di belakang apa yang telah dilakukan Sang Tathāgata dan menyatakan Beliau adalah tanpa pengetahuan dan tanpa penglihatan, maka ini tidak dikatakan dengan benar.”<55>

Ketika Sang Buddha telah mengucapkan kotbah ini, Anurādha, yang mendengarkan apa yang dikatakan Sang Buddha, bergembira dan menerimanya dengan hormat.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Samyukta Agama - Tentang Lima Kelompok Unsur Kehidupan (5)
« Reply #3 on: 18 July 2015, 05:34:18 PM »
107. [Kotbah kepada Seorang Perumah Tangga]<56>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di antara orang-orang Bhagga di Suṃsumāragira di Taman Rusa, Hutan Bhesakaḷā.

Pada waktu itu perumah tangga Nakula berusia seratus dua puluh tahun, indera-inderanya telah menua. [Walaupun] lemah dan menderita sakit, ia masih berharap untuk datang dan menemui Sang Bhagava dan para bhikkhu senior dan yang dihormati yang adalah para sahabat baiknya (kalyāṇamitta). Ia mendekati Sang Buddha, memberikan penghormatan dengan kepalanya pada kaki Sang Buddha, mengundurkan diri untuk duduk pada satu sisi, dan berkata kepada Sang Buddha:

“Sang Bhagava, aku melemah karena usia tua, aku lemah dan menderita sakit, [tetapi] dengan kekuatanku sendiri aku berusaha datang untuk menemui Sang Bhagava dan para bhikkhu senior dan yang dihormati yang adalah para sahabat baikku. Semoga Sang Bhagava memberikanku suatu ajaran sehingga akan menjadi kedamaianku untuk waktu yang lama.”

Pada waktu itu Sang Bhagava berkata kepada perumah tangga Nakula: “Bagus, perumah tangga. Engkau benar-benar telah menua, lemah dan menderita sakit, tetapi engkau dapat dengan kekuatanmu sendiri datang untuk menemui Sang Tathāgata dan para bhikkhu senior dan yang dihormati lainnya yang adalah sahabat baikmu.

“Perumah tangga, engkau seharusnya mengetahui,<57> [ketika] tubuh menderita sakit, engkau seharusnya terus-menerus berlatih bahwa <pikiran> tidak akan menderita sakit.”<58>

Pada waktu itu Sang Bhagava, setelah menasehati,<59> mengajarkan, menjelaskan, dan menggembirakan perumah tangga Nakula, tetap berdiam diri.

Perumah tangga Nakula, yang mendengarkan apa yang dikatakan Sang Buddha, bergembira di dalamnya dan berbahagia. Ia memberikan penghormatan kepada Sang Buddha dan pergi. Yang Mulia Sāriputta saat itu duduk di bawah sebatang pohon tidak jauh dari Sang Buddha. Perumah tangga Nakula mendekati Yang Mulia Sāriputta, memberikan penghormatan dengan kepalanya pada kaki [Sāriputta], dan mengundurkan diri untuk duduk pada satu sisi.

Kemudian Yang Mulia Sāriputta bertanya kepada perumah tangga itu: “Indera-inderamu sekarang sangat tenang, warna kulitmu cerah. Apakah engkau telah mendengar ajaran yang mendalam dari Sang Bhagava?”

Perumah tangga Nakula berkata kepada Sāriputta: “Hari ini Sang Bhagava telah memberikanku suatu ajaran, dengan menasehati, mengajarkan, menjelaskan, dan menggembirakan diriku, [seakan-akan] meminyaki tubuh dan pikiranku dengan makanan surgawi Dharma. Karena alasan ini indera-inderaku sekarang sangat tenang dan kulitku cerah.”

Yang Mulia Sāriputta bertanya kepada perumah tangga itu: “Bagaimanakah Sang Bhagava mengajarkanmu Dharma, dengan menasehati, mengajarkan, menjelaskan, dan menggembirakan dirimu, [seakan-akan] meminyakimu dengan makanan surgawi?”

Perumah tangga Nakula berkata kepada Sāriputta: “Aku mendekati Sang Bhagava. Aku berkata kepada Sang Bhagava: ‘Aku  melemah karena usia tua, lemah, dan menderita sakit, tetapi dengan kekuatanku sendiri aku datang untuk menemui Sang Bhagava dan para bhikkhu senior dan yang dihormati yang adalah sahabat baikku.’

“Sang Buddha berkata kepadaku: ‘Bagus, perumah tangga. Engkau benar-benar telah menua, [33b] lemah dan menderita sakit, tetapi engkau dapat dengan kekuatanmu sendiri datang untuk menemui-Ku dan para bhikkhu senior dan yang dihormati. Sekarang karena tubuhmu menderita sakit, engkau seharusnya terus-menerus berlatih bahwa <pikiran>-mu tidak menderita sakit.’ Dengan memberikanku suatu ajaran dengan cara ini, [seakan-akan] meminyakiku dengan makanan surgawi.”

Yang Mulia Sāriputta bertanya kepada perumah tangga itu: “Apakah engkau tidak berlanjut menanyakan Sang Bhagava lagi: ‘Bagaimanakah tubuh menderita sakit dan pikiran [juga] menderita sakit? Bagaimanakah tubuh menderita sakit dan pikiran tidak menderita sakit?’”

Perumah tangga itu menjawab: “Aku mendekati Yang Mulia karena makna [dari hal ini]. Semoga beliau menjelaskan kepadaku secara ringkas makna dari ajaran itu.”<60>

Yang Mulia Sāriputta berkata kepada perumah tangga itu: “Bagus, perumah tangga. Sekarang dengarkanlah apa yang akan kukatakan kepadamu. Seorang duniawi bodoh yang tidak terpelajar tidak memahami sebagaimana adanya munculnya bentuk jasmani, lenyapnya bentuk jasmani, bahaya dalam bentuk jasmani, kepuasan dalam bentuk jasmani,<61> dan jalan keluar dari bentuk jasmani.<62> Karena tidak memahaminya sebagaimana adanya, ia menginginkan dengan kesenangan terhadap bentuk jasmani, menyatakan bentuk jasmani sebagai diri atau milik diri, dan ia melekat dan menggenggamnya.

“Jika bentuk jasmani rusak, jika ia menjadi sebaliknya, pikiran dan kesadarannya mengikutinya pada gilirannya, memunculkan kekesalan dan kesakitan. Kekesalan dan kesakitan yang telah muncul, ia ketakutan, terhalangi, khawatir, tertekan, dan terikat dengan nafsu. Dengan perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran juga seperti ini. Ini disebut tubuh dan pikiran menderita sakit.

“Bagaimanakah tubuh menderit sakit dan pikiran tidak menderita sakit? Seorang siswa mulia yang terpelajar memahami sebagaimana adanya munculnya bentuk jasmani, lenyapnya bentuk jasmani, kepuasan dalam bentuk jasmani, bahaya dalam bentuk jasmani, dan jalan keluar dari bentuk jasmani. Setelah memahaminya sebagaimana adanya, ia tidak memunculkan ketagihan dengan kesenangan, dengan melihat bentuk jasmani sebagai diri dan sebagai milik diri.

“Jika bentuk jasmani berubah, jika ia menjadi sebaliknya, pikirannya tidak mengikutinya pada gilirannya, yang memunculkan kekesalan dan kesakitan. Pikirannya yang tidak mengikutinya pada gilirannya dan memunculkan kekesalan dan kesakitan, ia tidak menjadi takut, terhalangi, khawatir, [tertekan], dan terikat dengan nafsu. Dengan perasan... persepsi... bentukan... kesadaran juga seperti ini. Ini disebut tubuh menderita sakit dan pikiran tidak menderita sakit.”

Ketika Yang Mulia Sāriputta mengucapkan ajaran ini, perumah tangga Nakula mencapai mata Dharma yang murni.<63> Pada waktu itu perumah tangga melihat Dharma, mencapai Dharma, memahami Dharma, memasuki Dharma, melampaui semua keragu-raguan, tidak perlu bergantung pada orang lain, pikiran telah mencapai ketidakgentaran dalam Dharma sejati.

Ia bangkit dari tempat duduknya, merapikan pakaiannya, memberikan penghormatan dan dengan telapak tangannya disatukan [untuk menghormat] terhadap Yang Mulia Sāriputta, ia berkata:

“Aku telah melampaui, aku telah menyeberang. Aku sekarang mengambil perlindungan dalam permata Buddha, Dharma, dan Saṅgha sebagai seorang umat awam, jadilah saksiku bahwa sejak hari ini sampai akhir hidupku aku mengambil perlindungan dalam tiga permata.”

Pada waktu itu perumah tangga Nakula, yang mendengarkan apa yang dikatakan Sāriputta, bergembira di dalamnya dan berbahagia. Ia memberikan penghormatan dan pergi.

108. [Kotbah tentang (Para Bhikkhu dari) Barat]<64>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di antara orang-orang Sakya di Devadaha. Pada waktu itu terdapat sekelompok banyak bhikkhu dari barat yang ingin kembali ke barat untuk masa pengasingan musim hujan.<65> Mereka mendekati Sang Bhagava, [33c] memberikan penghormatan dengan kepala mereka pada kaki Sang Buddha, dan mengundurkan diri untuk duduk pada satu sisi.

Pada waktu itu Sang Bhagava mengajarkan mereka Dharma, dengan menasehati, mengajarkan, menjelaskan, dan menggembirakan mereka. Kemudian, setelah dengan berbagai cara dinasehati, diajarkan, dijelaskan, dan digembirakan, kelompok banyak bhikkhu dari barat itu bangkit dari tempat duduk mereka dan dengan telapak tangan disatukan [untuk menghormat] terhadap Sang Buddha, mereka berkata: “Sang Bhagava, kelompok banyak bhikkhu kami dari barat ingin kembali ke barat untuk masa pengasingan musim hujan. Kami sekarang memohon dengan hormat untuk berangkat.”
Sang Buddha berkata kepada para bhikkhu dari barat itu: “Apakah kalian sudah memohon diri dari Sāriputta?”

Mereka menjawab: “Kami belum memohon diri dari beliau.”

Sang Buddha berkata kepada para bhikkhu dari barat itu: “Sāriputta sesungguhnya mengembangkan kehidupan suci. Kalian seharusnya dengan hormat memohon diri darinya. Ini akan bermanfaat bagi kalian dan menjadi kedamaian untuk waktu yang lama.”

Kemudian para bhikkhu dari barat itu, yang telah diperbolehkan pergi, berharap untuk pergi. Yang Mulia Sāriputta saat itu sedang duduk di bawah sebatang pohon tidak jauh dari Sang Buddha. Para bhikkhu dari barat itu mendekati Yang Mulia Sāriputta, memberikan penghormatan dengan kepala mereka pada kakinya, mengundurkan diri untuk duduk pada satu sisi, dan berkata kepada Yang Mulia Sāriputta:

“Kami ingin kembali ke barat untuk masa pengasingan musim hujan.  Oleh sebab itu kami datang untuk memohon diri dengan hormat.”

Sāriputta berkata: “Apakah kalian sudah memohon diri dari Sang Buddha?”

Mereka menjawab: “Kami telah memohon diri dari Beliau.”<66>

Sāriputta berkata: “Dengan kembali ke barat dan berada di berbagai tempat di negeri-negeri yang berbeda, dengan berbagai jenis komunitas yang berbeda, kalian pasti akan ditanya banyak pertanyaan. Setelah sekarang mendengarkan Dharma yang telah diucapkan dengan baik dari Sang Bhagava, kalian seharusnya menerimanya dengan baik, mengingatnya dengan baik, merenungkannya dengan baik, dan masuk ke dalamnya dengan baik.

“Apakah cukup memungkinkan kalian untuk mengajarkan dan menyatakannya kepada orang lain sepenuhnya tanpa salah menggambarkan Sang Buddha? Ketika ditanyakan dengan ketat oleh komunitas-komunitas itu, akankah ini tidak membuat kalian dicemooh dan jatuh ke dalam suatu kesempatan untuk dikalahkan?”

Para bhikkhu itu berkata kepada Sāriputta: “Kami telah mendekati Yang Mulia untuk mendengarkan Dharma. Semoga Yang Mulia menjelaskannya kepada kami sepenuhnya, demi belas kasih.”

Yang Mulia Sāriputta berkata kepada para bhikkhu itu: “Orang-orang Jambudīpa adalah pandai dan berkemampuan tajam. Apakah mereka para ksatria, atau para brahmana, atau para perumah tangga, atau para pertapa, mereka pasti akan bertanya kepada kalian: ‘Apakah ajaran yang diberikan oleh guru agung kalian? Dengan pengajaran apakah ia menasehati kalian?’

“Kalian seharusnya menjawab: ‘Sang guru agung hanya mengajarkan pendisiplinan keinginan dan nafsu, dengan pengajaran ini Beliau menasehati kami.’

“Mereka mungkin bertanya lagi kepada kalian: ‘Sehubungan dengan fenomena apakah seseorang mendisiplinkan keinginan dan nafsu?’

“Kalian seharusnya menjawab lagi: ‘Sang guru agung hanya mengajarkan pendisiplinan keinginan dan nafsu terhadap bentuk jasmani, pendisiplinan keinginan dan nafsu terhadap perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran. Demikianlah ajaran yang diberikan oleh guru agung kami.’

“Mereka mungkin bertanya kepada kalian lagi: ‘Apakah kecacatan dalam keinginan dan nafsu, sehingga sang guru agung mengajarkan pendisiplinan keinginan dan nafsu terhadap bentuk jasmani, pendisiplinan keinginan dan nafsu terhadap perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran?’

“Kalian seharusnya menjawab lagi: ‘Jika keinginan terhadap bentuk jasmani belum ditinggalkan, nafsu terhadapnya belum ditinggalkan, ketagihan terhadapnya belum ditinggalkan, pemikiran [penuh gairah] terhadapnya belum ditinggalkan, kehausan terhadapnya belum ditinggalkan, ketika bentuk jasmani itu berubah, ketika ia menjadi sebaliknya, kekhawatiran, dukacita, [34a] kekesalan, dan kesakitan muncul. Perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran juga seperti ini.

“Karena melihat kecacatan demikian dalam keinginan dan nafsu, oleh sebab itu keinginan dan nafsu terhadap bentuk jasmani harus didisiplinkan, keinginan dan nafsu terhadap perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran harus didisiplinkan.’

“Mereka mungkin bertanya lagi: ‘Apakah manfaat melihat keinginan dan nafsu ditinggalkan, sehingga sang guru agung mengajarkan pendisiplinan keinginan dan nafsu terhadap bentuk jasmani, pendisiplinan keinginan dan nafsu terhadap perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran?’

“Kalian seharusnya menjawab lagi: ‘Jika keinginan terhadap bentuk jasmani telah ditinggalkan, nafsu terhadapnya telah ditinggalkan, pemikiran [penuh gairah] terhadapnya telah ditinggalkan, ketagihan terhadapnya telah ditinggalkan, kehausan terhadapnya telah ditinggalkan, ketika bentuk jasmani itu berubah, ketika ia menjadi sebaliknya, kekhawatiran, dukacita, kekesalan, dan kesakitan tidak muncul.’ Perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran juga seperti ini.

“Para Yang Mulia, jika karena mengalami keadaan-keadaan yang tidak bermanfaat seseorang akan berdiam dengan menyenangkan pada saat ini, tanpa kesakitan, tanpa terhalangi, tanpa kekesalan, tanpa demam, dan ketika hancurnya tubuh, dengan berakhirnya kehidupan, seseorang akan terlahir kembali di alam yang baik, Sang Bhagava pastinya tidak akan mengatakan: ‘Kalian seharusnya meninggalkan keadaan-keadaan yang tidak bermanfaat’, dan Beliau tidak akan mengajarkan orang-orang pengembangan kehidupan suci dalam Dharma Sang Buddha untuk mencapai pelenyapan dan membuat akhir dukkha.<67>

Karena dengan mengalami keadaan-keadaan yang tidak bermanfaat seseorang berdiam dengan menyakitkan pada saat ini, menjadi terhalangi, menderita demam, dan menjadi kesal, dan ketika hancurnya tubuh, dengan berakhirnya kehidupan, seseorang akan jatuh ke alam yang buruk, oleh sebab itu Sang Bhagava mengatakan: ‘Kalian seharusnya meninggalkan keadaan-keadaan yang tidak bermanfaat’, dan [Beliau mengajarkan] pengembangan kehidupan suci dalam Dharma Sang Buddha dengan sama untuk melenyapkan dukkha, untuk membuat akhir dukkha sepenuhnya.

“Jika karena dengan mengalami keadaan-keadaan yang bermanfaat seseorang akan berdiam dengan menyakitkan pada saat ini, menjadi terhalangi, menderita demam, dan menjadi kesal, dan ketika hancurnya tubuh, dengan berakhirnya kehidupan, seseorang akan jatuh ke alam yang buruk, Sang Buddha pastinya tidak akan mengatakan: ‘Kalian seharusnya mengalami dan mempertahankan keadaan-keadaan yang bermanfaat’, dan [Beliau tidak akan mengajarkan] pengembangan kehidupan suci dalam Dharma Sang Buddha dengan sama untuk melenyapkan dukkha, untuk membuat akhir dukkha sepenuhnya.

“[Karena]<68> dengan mengalami keadaan-keadaan yang bermanfaat seseorang berdiam dengan menyenangkan pada saat ini, tanpa terhalangi, tanpa kekesalan, tanpa demam, dan ketika hancurnya tubuh, dengan berakhirnya kehidupan, seseorang akan terlahir kembali di alam yang baik, oleh sebab itu Sang Bhagava memuji dan menasehati orang-orang untuk mengalami keadaan-keadaan yang bermanfaat dan [mengajarkan] pengembangan kehidupan suci dalam Dharma Sang Buddha dengan sama untuk melenyapkan dukkha, untuk membuat akhir dukkha sepenuhnya.”

Ketika Yang Mulia Sāriputta mengucapkan ajaran ini, para bhikkhu dari barat itu melalui ketidakmelekatan mencapai pembebasan dari arus-arus [kekotoran batin] dalam pikiran mereka.<69> Ketika Yang Mulia Sāriputta telah mengucapkan ajaran ini, para bhikkhu itu bergembira, memberikan penghormatan dan pergi.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Samyukta Agama - Tentang Lima Kelompok Unsur Kehidupan (5)
« Reply #4 on: 18 July 2015, 05:41:43 PM »
109. [Kotbah tentang Ujung Sehelai Rambut]<70>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

Pada waktu itu Sang Bhagava berkata kepada para bhikkhu: “Seperti halnya jika terdapat sebuah kolam air yang berukuran satu liga (yojana) pada masing-masing arahnya dan dengan kedalaman yang sama, dan ia penuh dengan air. Selanjutnya, seorang dengan sehelai rambut atau dengan sehelai rumput atau dengan sejentik kuku jari mengambil setetes dari air itu.<71> Para bhikkhu, manakah yang kalian pikirkan lebih banyak, tetesan air orang itu atau air di kolam?”

Para bhikkhu berkata kepada Sang Buddha: “Tetesan air yang diambil orang itu dengan sehelai rambut atau dengan sehelai rumput atau dengan sejentik kuku jari adalah sedikit, [34b] sangat sedikit sehingga tidak cukup untuk dikatakan. Air dalam kolam itu sangat banyak, seratus, seribu, sepuluh ribu kali lebih banyak, ia tidak dapat dibandingkan.

“Dengan cara yang sama,<72> para bhikkhu, bagaikan kolam air adalah berbagai jenis dukkha yang telah ditinggalkan oleh seseorang yang telah melihat kebenaran, ia tidak akan muncul lagi di masa yang akan datang.”<73>

Pada waktu itu Sang Bhagava, setelah memberikan ajarannya, memasuki gubuknya untuk duduk bermeditasi. Kemudian Yang Mulia Sāriputta duduk dalam perkumpulan itu. Setelah Sang Buddha telah pergi dan memasuki gubuknya, [Sāriputta] berkata kepada para bhikkhu:

“Aku belum pernah mendengar sebelumnya perumpamaan kolam yang telah dikatakan Sang Bhagava dengan sangat baik hari ini. Mengapa demikian? Seorang siswa mulia yang diberkahi dengan penglihatan kebenaran memperoleh buah pemahaman benar (abhisamaya). Jika orang biasa memiliki pandangan salah, yang memiliki landasannya dalam pandangan identitas (sakkāyadiṭṭhi), mengakumulasi melalui pandangan identitas, muncul melalui pandangan identitas, dan bangkit melalui pandangan identitas. Yaitu, dengan diliputi oleh dan mengalami kekhawatiran dan dukacita, mereka [masih] memuji dan menginginkannya, menyebutnya suatu diri, menyebutnya suatu makhluk hidup, menyebutnya [sebagai] yang terkemuka, khusus, dan menganggapnya sebagai yang lebih baik.

“Dengan cara ini berbagai jenis kesalahan semuanya telah sepenuhnya dilepaskan dan dilenyapkan, dicabut sampai ke akarnya; bagaikan sebatang pohon pisang raja ia tidak akan muncul kembali di masa depan.

“Para bhikkhu, apakah berbagai jenis kesalahan [yang disebutkan] di atas di mana seorang siswa mulia, yang telah melihat kebenaran, telah meninggalkan, dan yang tidak akan pernah muncul lagi di masa depan? Seorang duniawi bodoh yang tidak terpelajar melihat bentuk jasmani sebagai diri, sebagai berbeda dari diri [dalam pengertian dimiliki olehnya], diri sebagai berada dalam bentuk jasmani, atau bentuk jasmani sebagai berada dalam diri. Ia melihat perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran sebagai diri, sebagai berbeda dari diri [dalam pengertian dimiliki olehnya], diri sebagai berada dalam kesadaran, atau kesadaran sebagai berada dalam diri.

“Bagaimanakah ia melihat bentuk jasmani sebagai diri?<74> Setelah mencapai kasiṇa tanah dan merenungkannya, ia berpikir: ‘Tanah adalah diri, diri adalah tanah, diri dan tanah adalah hanya satu, bukan dua, mereka tidak berbeda, mereka tidak terpisah.’

“Dengan cara yang sama setelah mencapai kasiṇa air... api... angin... biru... kuning... merah... putih dan merenungkannya, ia berpikir: ‘[Sifat] putih adalah diri, diri adalah [sifat] putih,<75> mereka adalah hanya satu, bukan dua, mereka tidak berbeda, mereka tidak terpisah.’ Dengan cara ini ia membayangkan suatu diri sehubungan dengan masing-masing kasiṇa. Ini disebut [melihat] bentuk jasmani sebagai diri.

“Bagaimanakah ia melihat bentuk jasmani sebagai berbeda dari diri? Seumpamanya ia melihat perasaan sebagai diri. Setelah melihat perasaan sebagai diri, ia melihat bentuk jasmani sebagai milik diri ini. Atau ia melihat persepsi... bentukan... kesadaran sebagai diri dan melihat bentuk jasmani sebagai milik diri ini. [Ini disebut melihat bentuk jasmani sebagai berbeda dari diri.]

“Bagaimanakah ia melihat bentuk jasmani sebagai berada dalam diri? Yaitu, ia melihat perasaan sebagai diri dan bentuk jasmani sebagai berada dalam diri ini. Atau ia melihat persepsi... bentukan... kesadaran sebagai diri dan bentuk jasmani sebagai berada dalam diri ini. [Ini disebut melihat bentuk jasmani sebagai berada dalam diri.]

“Bagaimanakah ia melihat diri sebagai berada dalam bentuk jasmani? Yaitu, ia melihat perasaan sebagai diri, yang berdiam dalam bentuk jasmani, memasuki bentuk jasmani, dikelilingi oleh [kelompok unsur kehidupan lainnya] sebagai empat anggota tubuhnya.<76> Atau ia melihat persepsi... bentukan... kesadaran sebagai diri, yang berdiam dalam bentuk jasmani, memasuki bentuk jasmani, dikelilingi oleh [kelompok unsur kehidupan lainnya] sebagai empat anggota tubuhnya. Ini disebut [melihat] diri sebagai berada dalam bentuk jasmani.

“Bagaimanakah ia melihat perasaan sebagai diri? Yaitu, terdapat enam kelompok perasaan: perasaan yang muncul dari kontak-mata, perasaan yang muncul dari kontak-telinga... -hidung... -lidah... -badan... kontak-pikiran. Ia melihat masing-masing dari enam kelompok perasaan ini sebagai diri.<77> Ini disebut [melihat] perasaan sebagai diri. [34c]

“Bagaimanakah ia melihat perasaan sebagai berbeda dari diri? Yaitu, ia melihat bentuk jasmani sebagai diri dan perasaan sebagai milik diri ini. Yaitu, [ia melihat] persepsi... bentukan... kesadaran sebagai diri dan perasaan sebagai milik diri ini. Ini disebut [melihat] perasaan sebagai berbeda dari diri.

“Bagaimanakah ia melihat perasaan sebagai berada dalam diri? Yaitu, [ia melihat] bentuk jasmani sebagai diri dan perasaan sebagai berada di dalamnya. [Ia melihat] persepsi... bentukan... kesadaran sebagai diri dan perasaan sebagai berada di dalamnya. [Ini disebut melihat perasaan sebagai berada dalam diri].

“Bagaimanakah ia melihat diri sebagai berada dalam perasaan? Yaitu, [ia melihat] bentuk jasmani sebagai diri yang berdiam di antara perasaan-perasaan, dikelilingi oleh [kelompok unsur kehidupan lainnya] sebagai empat anggota tubuhnya. [Ia melihat] persepsi... bentukan... kesadaran sebagai diri yang berdiam di antara perasaan-perasaan, dikelilingi oleh [kelompok unsur kehidupan lainnya] sebagai empat anggota tubuhnya. Ini disebut [melihat] diri sebagai berada dalam perasaan.

“Bagaimanakah ia melihat persepsi sebagai diri? Yaitu, terdapat enam kelompok persepsi: persepsi yang muncul dari kontak-mata, persepsi yang muncul dari kontak-telinga... -hidung... -lidah... -badan... kontak-pikiran. Ia melihat masing-masing dari enam kelompok persepsi ini sebagai diri. Ini disebut [melihat] persepsi sebagai diri.

“Bagaimanakah ia melihat persepsi sebagai berbeda dari diri? Yaitu, ia melihat bentuk jasmani sebagai diri dan persepsi sebagai milik diri ini. [Ia melihat perasaan... bentukan]<78>... kesadaran sebagai diri dan persepsi sebagai milik diri ini. Ini disebut [melihat] persepsi sebagai berbeda dari diri.

“Bagaimanakah ia melihat persepsi sebagai berada dalam diri? Yaitu, [ia melihat] bentuk jasmani sebagai diri dan persepsi sebagai berdiam di dalamnya. [Ia melihat] perasaan... bentukan... kesadaran sebagai diri dan persepsi sebagai berdiam di dalamnya. Ini disebut [melihat] persepsi sebagai berada dalam diri.<79>

“Bagaimanakah ia melihat diri sebagai berada dalam persepsi? Yaitu, [ia melihat] bentuk jasmani sebagai diri yang berdiam di antara persepsi-persepsi, dikelilingi oleh [kelompok unsur kehidupan lainnya] sebagai empat anggota tubuhnya. [Ia melihat] perasaan... bentukan... kesadaran sebagai diri yang berdiam di antara persepsi-persepsi, dikelilingi oleh [kelompok unsur kehidupan lainnya] sebagai empat anggota tubuhnya.<80> Ini disebut [melihat] diri sebagai berada dalam persepsi.

“Bagaimanakah ia melihat bentukan sebagai diri? Yaitu, terdapat enam kelompok kehendak: kehendak yang muncul dari kontak-mata, kehendak yang muncul dari kontak-telinga... -hidung... -lidah... -badan... kontak-pikiran. Ia melihat masing-masing dari enam kelompok kehendak ini sebagai diri. Ini disebut [melihat] bentukan sebagai diri.

“Bagaimanakah ia melihat bentukan sebagai berbeda dari diri? Yaitu, ia melihat bentuk jasmani sebagai diri dan bentukan sebagai milik diri ini.<81> [Ia melihat] perasaan... persepsi... kesadaran sebagai diri dan bentukan sebagai milik diri ini. Ini disebut [melihat] bentukan sebagai berbeda dari diri.

“Bagaimanakah ia melihat bentukan sebagai berada dalam diri? Yaitu, [ia melihat] bentuk jasmani sebagai diri dan bentukan sebagai berdiam di dalamnya. [Ia melihat] perasaan... persepsi... kesadaran sebagai diri dan bentukan sebagai berdiam di dalamnya.<82> Ini disebut [melihat] bentukan sebagai berada dalam diri.

“Bagaimanakah ia melihat diri sebagai berada dalam bentukan? Yaitu, [ia melihat] bentuk jasmani sebagai diri yang berdiam di antara bentukan-bentukan, dikelilingi oleh [kelompok unsur kehidupan lainnya] sebagai empat anggota tubuhnya. [Ia melihat] perasaan... persepsi... kesadaran sebagai diri yang berdiam di antara bentukan-bentukan, dikelilingi oleh [kelompok unsur kehidupan lainnya] sebagai empat anggota tubuhnya. Ini disebut [melihat] diri sebagai berada dalam bentukan.

“Bagaimanakah ia melihat kesadaran sebagai diri? Yaitu, terdapat enam kelompok kesadaran: kesadaran-mata, kesadaran-telinga... hidung... -lidah... -badan... kesadaran-pikiran. Ia melihat masing-masing dari enam kelompok kesadaran sebagai diri. Ini disebut [melihat] kesadaran sebagai diri.

“Bagaimanakah ia melihat kesadaran sebagai berbeda dari diri? Yaitu,<83> ia melihat bentuk jasmani sebagai diri dan kesadaran sebagai milik diri ini. Ia melihat perasaan... persepsi... bentukan sebagai diri dan kesadaran sebagai milik diri ini. Ini disebut [melihat] kesadaran sebagai berbeda dari diri.

“Bagaimanakah ia melihat kesadaran sebagai berada dalam diri? Yaitu, [ia melihat] bentuk jasmani sebagai diri dan kesadaran sebagai berdiam di dalamnya. [Ia melihat] perasaan... persepsi... bentukan sebagai diri dan kesadaran sebagai berdiam di dalamnya. Ini disebut [melihat] kesadaran sebagai berada dalam diri.

“Bagaimanakah ia melihat diri sebagai berada dalam kesadaran? Yaitu, [ia melihat] bentuk jasmani sebagai diri yang berdiam di antara kesadaran, dikelilingi oleh [kelompok unsur kehidupan lainnya] sebagai empat anggota tubuhnya. [Ia melihat] perasaan... persepsi... bentukan sebagai diri yang berdiam di antara kesadaran, [35a] dikelilingi oleh [kelompok unsur kehidupan lainnya] sebagai empat anggota tubuhnya. Ini disebut [melihat] diri sebagai berada dalam kesadaran.

“Dengan cara ini seorang siswa mulia yang telah melihat empat kebenaran memperoleh buah dari pemahaman benar dan meninggalkan semua pandangan salah, yang tidak akan pernah muncul lagi di masa depan.

“Apa pun bentuk jasmani, apakah masa lampau, masa depan atau masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, indah atau menjijikkan, jauh atau dekat, ia merenungkannya bersama-sama sepenuhnya dengan cara ini:

“‘Semuanya adalah tidak kekal, semuanya adalah dukkha, semuanya adalah kosong, semuanya adalah bukan diri, ia tidak seharusnya diinginkan dengan kesenangan, digenggam atau dipertahankan. Perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran juga seperti ini, ia tidak seharusnya diinginkan dengan kesenangan, digenggam atau dipertahankan.’

“Dengan merenungkan dengan cara ini ia dengan baik menghimpun pikiran dan mengembangkannya tanpa terdelusi oleh fenomena. Ia lebih lanjut merenungkan dengan semangat, terpisah dari kelambanan, dan pikirannya memperoleh kegembiraan dan kebahagiaan, tubuh dan pikirannya tenang, dengan damai berkembang dalam keseimbangan. Ia diberkahi dengan faktor-faktor pencerahan dan membawa mereka pada pemenuhan melalui pengembangan.

“Ia selamanya terpisah dari semua kejahatan, ini bukan hal bahwa ia tidak melenyapkannya, ini bukan hal bahwa ia tidak membawanya pada lenyapnya, ia melenyapkannya dan tidak memunculkannya, ia menguranginya dan tidak menambahnya, ia meninggalkannya dan tidak memunculkannya. Dengan tidak melekat dan tidak terikat, ia secara pribadi merealisasi Nirvāṇa,<84> [dengan mengetahui]: ‘Kelahiran bagiku telah dilenyapkan, kehidupan suci telah dikembangkan, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, aku sendiri mengetahui bahwa tidak akan ada kelangsung yang lebih jauh lagi.’”

Ketika Sāriputta mengucapkan ajaran ini, enam puluh orang bhikkhu melalui ketidakmelekatan mencapai pembebasan dari arus-arus [kekotoran batin] dalam pikiran mereka. Ketika Sang Buddha telah mengucapkan kotbah ini, para bhikkhu, yang mendengarkan apa yang dikatakan Sang Buddha, bergembira dan menerimanya dengan hormat.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Samyukta Agama - Tentang Lima Kelompok Unsur Kehidupan (5)
« Reply #5 on: 18 July 2015, 05:50:49 PM »
110. [Kotbah kepada Saccaka]<85>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Vesālī di tepi Kolam Kera. Di negeri Vesālī terdapat seorang putra dari para Nigaṇṭha yang cerdas dan pandai, terampil dalam memahami ajaran apa pun. Ia membangggakan diri atas kepandaiannya dan pengetahuannya yang mendalam atas banyak kumpulan ajaran dan rinciannya yang mendalam. Ketika memberikan ajaran kepada perkumpulan-perkumpulan, ia mengungguli semua pendebat dan ia terus berpikir:

“Di antara para pertapa dan brahmana, aku tidak tertandingi, dapat berdebat bahkan dengan seorang Tathāgata. [Hanya] dengan mendengar namaku, berbagai jenis pendebat akan mengeluarkan keringat dari dahi, ketiak, dan pori-pori rambutnya. Berdebat suatu hal, aku [bagaikan] angin [kencang] yang dapat meratakan rerumputan dan pepohonan, menghancurkan logam dan batuan, dan menaklukkan ular dan gajah, apa yang dikatakan tentang berbagai jenis pendebat di antara manusia yang dapat menyamaiku?”<86>

Kemudian seorang bhikkhu bernama Assaji, setelah mengenakan jubah [luar] dan membawa mangkuknya pada pagi hari, memasuki kota untuk mengumpulkan makanan dengan perilaku yang sepatutnya dan membangkitkan rasa kagum, dengan berjalan dengan tenang dan dengan mata direndahkan. Pada waktu itu Saccaka, putra para Nigaṇṭha, yang disebabkan beberapa hal kecil pergi ke desa-desa, datang keluar dari gerbang kota dan melihat dari jauh Bhikkhu Assaji.<87> Ia mendekatinya dan bertanya: “Apakah ajaran yang diberikan Pertapa Gotama kepada para siswa-Nya, apakah ajaran di mana Beliau menasehati para siswa-Nya untuk praktek mereka?” [35b]

Assaji menjawab: “Aggivessana, Sang Bhagava menasehati para siswa-Nya dengan ajaran untuk mereka agar berlatih sesuai dengan cara ini, dengan mengatakan: “Para bhikkhu, bentuk jasmani seharusnya direnungkan sebagai bukan diri, perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran seharusnya direnungkan sebagai bukan diri. Berusahalah untuk merenungkan lima kelompok unsur yang dilekati sebagai penyakit, sebagai duri, sebagai pembunuh, sebagai tidak kekal, sebagai dukkha, sebagai kosong, sebagai bukan diri’.”<88>

Ketika mendengar kata-kata ini, pikiran Saccaka, putra para Nigaṇṭha, tidak bergembira dan ia berkata:<89> “Assaji, engkau pastinya mendengar dengan salah, Pertapa Gotama tidak akan mengatakan seperti ini sama sekali.<90> Jika Pertapa Gotama mengatakan seperti ini, maka ini adalah suatu pandangan salah dan aku akan mendekati Beliau, berdebat dengan-Nya, dan dengan ketat menanyai-Nya, sedemikian sehingga untuk menghentikan-Nya [dari mengatakan seperti ini].”

Pada waktu itu Saccaka, putra para Nigaṇṭha, mendekati desa-desa. Ia berkata kepada orang-orang Licchavi, yang berkumpul di aula pertemuan para Licchavi:

“Hari ini aku bertemu dengan seorang siswa terkemuka Pertapa Gotama bernama Assaji dan kami mengadakan debat kecil tentang suatu hal. Menurut apa yang ia katakan kepadaku, aku akan mendekati Pertapa Gotama dan, dengan berdebat suatu hal dengan Beliau, aku pasti akan membuat-Nya kehilangan muka, mengundurkan diri, dan berputar-putar sesuai dengan keinginanku.

“Seperti halnya seorang pria yang menyiangi rumput mencabut keluar rumput sampai akarnya dan, dengan menggenggam tangkainya dengan tangannya, mengguncangnya di udara untuk membersihkan semua kotoran. Dengan cara yang sama aku akan berdebat hal itu dengan Pertapa Gotama, membantah-Nya, dan dengan ketat menanyai-Nya, dengan menggenggam apa yang penting dan membuat-Nya kehilangan muka, mengundurkan diri, dan berputar-putar sesuai dengan keinginanku, dengan melepaskan pernyataan salah-Nya.

“[Atau] seperti halnya, dalam sebuah warung minuman keras, seseorang mungkin mengambil saringan minuman keras dan menekannya, untuk mendapatkan anggur murni dan membuang sisa-sisa butirannya. Dengan cara yang sama aku akan mendekati Pertapa Gotama, berdebat dan membantahnya,<91> dengan ketat menanyainya, mengambil intisari murni dan membuat-Nya kehilangan muka, mengundurkan diri, dan berputar-putar, dengan melepaskan pernyataan salah apa pun.

“[Atau] seperti halnya seorang ahli dalam menenun kesetan, yang ingin menjual suatu kesetan yang kotor di pasar, akan mencucinya dengan air untuk membuang berbagai bau atau kotoran. Dengan cara yang sama aku akan mendekati Pertapa Gotama dan berdebat tentang hal itu dengan Beliau, menggenggam apa yang penting, membuat-Nya kehilangan muka, mengundurkan diri, dan berputar-putar, dengan melepaskan pernyataan ternoda apa pun.

“[Atau] seperti halnya seorang pelatih gajah yang ahli di istana raja akan memimpin seekor gajah besar yang mabuk ke dalam air yang dalam untuk membersihkan tubuh, empat anggota tubuh, telinga, belalai, dengan mencuci semuanya di sekeliling untuk membersihkan berbagai debu atau kotoran.<92> Dengan cara yang sama aku akan mendekati Pertapa Gotama, berdebat dan membantah hal itu dengan Beliau, dengan ketat menanyai-Nya, membuat-Nya kehilangan muka, mengundurkan diri, dan berputar-putar menurut kehendak bebasku, dengan menggenggam poin yang utama dan melepaskan pernyataan kotor apa pun.<93> Para Licchavi, kalian dapat datang bersamaku untuk melihat bagaimana Beliau akan dikalahkan.”

Di antara para Licchavi terdapat beberapa orang yang berkata seperti ini: “Bahwa Saccaka, putra para Nigaṇṭha, akan dapat [mempertahankan argumentasinya] dalam berdebat tentang hal itu dengan Pertapa Gotama, itu tidak mungkin.” Yang lainnya berkata: “Saccaka, putra para Nigaṇṭha, adalah pandai dan berkemampuan tajam, ia akan dapat [mempertahankan argumentasinya] dalam berdebat tentang hal itu.” [35c]

Pada waktu itu Sang Bhagava duduk di bawah sebatang pohon di Hutan Besar untuk berdiam selama siang hari, sedangkan banyak bhikkhu berada di luar tempat kediaman [monastik], berlatih meditasi berjalan di hutan itu. Mereka melihat dari jauh bahwa Saccka, putra para Nigaṇṭha, datang.

Ia perlahan-lahan mendekati para bhikkhu dan bertanya kepada mereka: “Di manakah Pertapa Gotama berdiam?”

Para bhikkhu menjawab: “Beliau [duduk] di bawah sebatang pohon di Hutan Besar untuk berdiam selama siang hari.”

Saccaka, putra para Nigaṇṭha, mendekati Sang Buddha, memberikan penghormatan dan, setelah bertukar salam, duduk di satu sisi. Para perumah tangga Licchavi juga mendekati Sang Buddha, beberapa dari mereka memberikan penghormatan, yang lainnya mengangkat tangan mereka dengan telapak tangan disatukan [untuk menghormati], bertukar salam dan, setelah bertukar salam, berdiri di satu sisi.<94>

Kemudian Saccaka, putra para Nigaṇṭha, berkata kepada Sang Buddha: “Aku telah mendengar bahwa Gotama memberikan ajaran yang demikian dan pengajaran yang demikian kepada para siswa-Nya, dengan menasehati para siswa-Nya untuk merenungkan bentuk jasmani sebagai bukan diri, untuk merenungkan perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran sebagai bukan diri; berusaha untuk merenungkan lima kelompok unsur kehidupan yang dilekati sebagai penyakit, sebagai bisul, sebagai duri, sebagai pembunuh, sebagai tidak kekal, sebagai dukkha, sebagai kosong, sebagai bukan diri.<95>

“Apakah Gotama mengajarkan dengan cara ini atau apakah berita ini salah menggambarkan Gotama? Apakah ini dikatakan seperti yang telah dikatakan atau apakah ini tidak dikatakan seperti yang telah dikatakan? Apakah ini dikatakan berdasarkan Dharma, apakah ini dikatakan sesuai dengan Dharma, sehingga tidak menyebabkan seseorang jatuh ke dalam suatu kesempatan untuk dikalahkan dalam situasi dibantah dan ditanyai dengan ketat oleh orang lain yang datang?”<96>

Sang Buddha berkata kepada Saccaka, putra para Nigaṇṭha: “Apa yang telah engkau dengar dikatakan seperti yang telah dikatakan, ia dikatakan berdasarkan Dharma, ia dikatakan sesuai dengan Dharma, ia bukanlah penggambaran salah dan tidak menyebabkan seseorang jatuh ke dalam suatu kesempatan untuk dikalahkan ketika dibantah dan ditanyai dengan ketat. Mengapa demikian?

“Aku sesungguhnya memberikan ajaran demikian kepada para siswa-Ku, Aku sesungguhnya terus-menerus menasehati para siswa-Ku, sehingga sesuai dengan ajaran dan pengajaran-Ku mereka merenungkan bentuk jasmani sebagai bukan diri... perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran sebagai bukan diri, dan merenungkan lima kelompok unsur kehidupan yang dilekati ini sebagai penyakit, sebagai bisul, sebagai duri, sebagai pembunuh, sebagai tidak kekal, sebagai dukkha, sebagai kosong, sebagai bukan diri.”

Saccaka, putra para Nigaṇṭha, berkata kepada Sang Buddha: “Gotama, aku sekarang akan mengatakan suatu perumpamaan.”

Sang Buddha berkata kepada Saccaka, putra para Nigaṇṭha: “Ketahuilah bahwa ini adalah waktu yang sesuai untuk itu.”

[Saccaka berkata]: “Seperti halnya apa pun yang dilakukan di dunia semuanya bergantung pada bumi, dengan cara yang sama bentuk jasmani adalah diri seseorang, di mana baik dan buruk muncul, perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran adalah diri seseorang, di mana baik dan buruk muncul.<97>

“Selanjutnya, seperti halnya di alam manusia, [atau] di alam dewa [yang berhubungan dengan bumi], tumbuhan, rerumputan, pepohonan, dan hutan semuanya bergantung pada bumi untuk kemunculan dan pertumbuhan mereka, dengan cara yang sama bentuk jasmani adalah diri seseorang, perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran adalah diri seseorang.”

Sang Buddha berkata [36a]: “Aggivessana, apakah engkau mengatakan bahwa bentuk jasmani adalah diri seseorang, bahwa perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran adalah diri seseorang?”

Ia menjawab: “Demikianlah, Gotama, bentuk jasmani adalah diri seseorang, perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran adalah diri seseorang – dan seluruh perkumpulan ini mengatakan hal yang sama.”

Sang Buddha berkata: “Aggivessana, cukup bertahan pada ajaranmu sendiri. [Apa] gunanya membawa orang-orang dalam perkumpulan?”

Saccaka, putra para Nigaṇṭha, berkata kepada Sang Buddha: “Bentuk jasmani sesungguhnya adalah diri seseorang.”

Sang Buddha berkata: “Aggivessana, Aku sekarang akan bertanya kepadamu, jawablah Aku berdasarkan pemahamanmu. Seperti halnya raja suatu negeri yang dalam negerinya sendiri dapat menghukum mati seseorang yang melakukan kejahatan, atau menangkapnya, atau mengasingkannya, atau memerintahkannya dicambuk serta tangan dan kakinya dipotong; dan jika seseorang melakukan perbuatan berjasa, [raja dapat] memberinya hadiah seekor gajah, seekor kuda, sebuah kereta, sebuah kota, atau harta kekayaan – dapatkah ia tidak melakukan semua itu?”<98>

Ia menjawab: “Ia dapat melakukannya, Gotama.”

Sang Buddha berkata: “Aggivessana, siapa pun pemiliknya, akankah ia tidak secara penuh bebas melakukan apa pun yang ia inginkan?”<99>

Ia menjawab: “Demikianlah, Sang Bhagava.”

Sang Buddha berkata: “Aggivessana, engkau mengatakan bahwa bentuk jasmani adalah diri seseorang, bahwa perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran adalah diri seseorang, [tetapi] apakah engkau dapat, menurut keinginanmu, dengan bebas memerintahkan mereka seperti ini, [atau] tidak seperti ini?”

Kemudian Saccaka, putra para Nigaṇṭha, tetap berdiam diri.

Sang Buddha berkata: “Aggivessana, marilah sekarang dan katakanlah, marilah sekarang dan katakanlah. Mengapa engkau tetap berdiam diri?”

Dengan cara yang sama untuk tiga kali Saccaka, putra para Nigaṇṭha, tetap berdiam diri seperti sebelumnya.

Kemudian sesosok dewa halilintar, dengan memegang halilintar, menyeramkan dan menyala dengan api, berdiam di ruang kosong dekat di atas kepala Saccaka, putra para Nigaṇṭha, mengatakan hal ini: “Sang Bhagava telah bertanya kepadamu tiga kali. Mengapa engkau tidak menjawab? Dengan halilintar ini aku akan memecah kepalamu menjadi tujuh bagian!”<100>

Disebabkan kekuatan batin Sang Buddha, hanya Saccaka, putra para Nigaṇṭha, melihat dewa halilintar itu; sisa dari perkumpulan itu tidak melihatnya.<101> Saccaka, putra para Nigaṇṭha, menjadi sangat ketakutan dan berkata kepada Sang Buddha:<102> “Tidak, Gotama.”

Sang Buddha berkata: “Aggivessana, perhatikan dengan baik dan jawablah setelah memahaminya. Sebelumnya dalam perkumpulan ini engkau menyatakan bahwa bentuk jasmani adalah diri, bahwa perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran adalah diri, tetapi sekarang engkau mengatakan bahwa itu tidak demikian. [Pernyataan] yang sebelumnya dan yang terakhir bertentangan satu sama lainnya. Engkau sebelumnya terus-menerus mengatakan: ‘Bentuk jasmani adalah diri, perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran adalah diri.’<103> Aggivessana, sekarang aku akan bertanya kepadamu: Apakah bentuk jasmani kekal atau tidak kekal?”

Ia menjawab: “Tidak kekal, Gotama.”<104>

[Sang Buddha] bertanya lagi: “Apa yang tidak kekal, apakah ia dukkha?”

Ia menjawab: “Dukkha, Gotama.”

[Sang Buddha] bertanya lagi: “Apa yang tidak kekal, dukkha, dan bersifat berubah-ubah, akankah seorang siswa mulia yang terpelajar di sini melihatnya sebagai diri, sebagai berbeda dari diri [dalam pengertian dimiliki olehnya], sebagai ada [dalam diri, atau diri] sebagai ada [di dalamnya]?”

Ia menjawab: “Tidak, Gotama.”

Perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran seharusnya juga diucapkan seperti ini.

Sang Buddha berkata: “Aggivessana, engkau [seharusnya] memperhatikan dengan baik dan kemudian berkata.” [36b]

[Sang Buddha] bertanya lagi: “Aggivessana, jika seseorang tidak bebas dari nafsu sehubungan dengan bentuk jasmani, tidak bebas dari keinginan terhadapnya, tidak bebas dari pemikiran [penuh gairah] tentangnya, tidak bebas dari ketagihan terhadapnya, tidak bebas dari kehausan sehubungan dengannya, jika bentuk jasmani itu berubah, jika ia menjadi sebaliknya, akankah kesedihan, dukacita, kekesalan, dan kesakitan muncul?”<105>

Ia menjawab: “Demikianlah, Gotama.”

Perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran seharusnya juga diucapkan seperti ini.

[Sang Buddha] bertanya lagi: “Aggivessana, jika seseorang bebas dari nafsu sehubungan dengan bentuk jasmani, bebas dari nafsu terhadapnya, bebas dari pemikiran [penuh gairah] tentangnya, bebas dari ketagihan terhadapnya, bebas dari kehausan sehubungan dengannya, jika bentuk jasmani itu berubah, jika ia menjadi sebaliknya, akankah kesedihan, dukacita, kekesalan, dan kesakitan tidak muncul?”

Ia menjawab: “Demikianlah, Gotama; ini benar dan bukan sebaliknya.”

Perasaan, persepsi, bentukan, dan kesadaran seharusnya juga diucapkan seperti ini.

[Sang Buddha berkata]: “Aggivessana, seperti halnya seseorang yang tubuhnya dirudung oleh berbagai jenis kesakitan, yang terus-menerus disertai oleh rasa sakit, rasa sakit yang tidak berhenti, tidak lenyap. Akankah [orang ini] dapat memperoleh kebahagiaan dari hal itu?”<106>

Ia menjawab: “Tidak, Gotama.”

[Sang Buddha berkata]: “Demikianlah, Aggivessana. [Seseorang yang] tubuhnya dirudung berbagai kesakitan, yang terus-menerus disertai oleh rasa sakit, rasa sakit yang tidak berhenti, tidak lenyap, tidak akan dapat memperoleh kebahagiaan dari hal itu.

“Aggivessana, seperti halnya jika seseorang yang mencari inti kayu yang keras naik ke atas gunung, dengan membawa sebuah kapak. Ketika melihat sebatang pohon pisang raja yang sangat besar dan sangat tegak, ia memotongnya pada akarnya dan membuang pelepahnya, melepaskan kulitnya, sampai tidak ada yang tersisa. [Ia akan menemukan bahwa ia] sepenuhnya tanpa inti yang keras.<107> Aggivessana, engkau juga seperti itu. Argumentasi diri yang engkau kembangkan telah berakhir, Aku sekarang telah menemukan intisari yang sejati dan benar. Mereka sepenuhnya tanpa inti yang padat, seperti sebatang pohon pisang raja.

“Tetapi, di antara perkumpulan ini engkau berani membuat pernyataan: ‘Aku tidak melihat, di antara para pertapa, atau para brahmana yang memiliki pengetahuan dan memiliki penglihatan, [bahkan] seorang Tathāgata, seorang arahant, seorang yang tercerahkan sempurna yang memilik pengetahuan dan memiliki penglihatan, yang dapat mengambil bagian dalam berdebat suatu hal tanpa terserakkan dan dikalahkan [olehku].’

“Engkau juga berkata tentang dirimu sendiri: ‘[Ketika] berdebat suatu hal, aku [bagaikan] angin [kencang] yang meratakan rumput dan pepohonan, menghancurkan logam dan batuan, dan menundukkan ular atau gajah, aku pasti dapat menyebabkan orang lain mengeluarkan keringat dari dahi, ketiak, dan pori-pori rambut mereka.’ Sekarang engkau tidak menegakkan ajaranmu sendiri dan masalahmu sendiri, [walaupun] pertama kali engkau membual dapat menaklukkan cara-cara [berpikir] orang lain. Sekarang engkau telah sampai pada akhir [kecerdasan]-mu sendiri dan engkau tidak dapat menggerakkan sehelai rambut pun dari Sang Tathāgata.”

Pada waktu itu Sang Bhagava, dalam perkumpulan besar itu, melepas jubah luarnya dan memperlihatkan dada-Nya, [dengan berkata]: “Cobalah lihat apakah engkau dapat menggerakkan sehelai rambut Sang Tathāgata!”<108>

Pada waktu itu Saccaka, putra para Nigaṇṭha, menundukkan kepalanya dengan berdiam diri, pucat dan malu.

Pada waktu itu dalam perkumpulan itu terdapat seorang Licchavi bernama Dummukha, yang bangkit dari tempat duduknya, mengatur pakaiannya dan, dengan mengangkat tangannya dengan telapak tangan disatukan [untuk menghormat] terhadap Sang Buddha, berkata: “Sang Bhagava, izinkanlah aku untuk mengatakan suatu perumpamaan.”

Sang Buddha berkata: “Dummukha, ketahuilah bahwa ini adalah waktu yang tepat untuk itu.”

Dummukha berkata kepada Sang Buddha: “Sang Bhagava, bagaikan seseorang yang hanya mengambil [wadah] berukuran satu takaran atau sepuluh takaran untuk mengumpulkan dua puluh atau tiga puluh takaran dari setumpukan besar padi-padian. Sekarang Saccaka, putra para Nigaṇṭha ini, adalah seperti itu. [36c]

“Sang Bhagava, bagaikan seorang perumah tangga yang memiliki banyak kekayaan dan banyak harta karun melakukan pelanggaran disebabkan kelalaian, disebabkan semua kekayaannya [disita] dan dibawa ke istana raja. Saccaka, putra para Nigaṇṭha, adalah seperti itu, kemampuannya berargumentasi telah sepenuhnya dibawa pergi oleh Sang Tathāgata.<109>

“Bagaikan terdapat sebuah kolam besar di samping sebuah kota atau desa. Laki-laki dan perempuan, muda dan tua, semuanya bermain dalam air dan, setelah menangkap seekor kepiting di dalam air, memotong kakinya dan kemudian menaruhnya pada tanah kering. Karena tidak memiliki kaki, ia tidak dapat kembali ke kolam besar itu. Saccaka, putra Nigaṇṭha, juga seperti itu. Semua kemampuan berargumentasinya telah sepenuhnya dipotong oleh Sang Tathāgata, ia tidak akan pernah lagi berani mendekati Sang Tathāgata dan menantang Beliau berdebat suatu hal.

Pada waktu itu Saccaka, putra para Nigaṇṭha, marah dan terganggu. Ia memarahi Dummukha orang Licchavi,<110> dengan berkata: “Engkau kasar dan tidak sopan! Belum menyelidiki kebenaran, mengapa engkau berkata omong kosong? Aku sedang berdiskusi dengan Pertapa Gotama sendiri. Akankah engkau memperhatikan urusanmu sendiri?”
Setelah memarahi Dummukha, Saccaka, putra para Nigaṇṭha, kemudian berkata kepada Sang Buddha: “Biarkanlah perkataan yang rendah itu. Sekarang aku memiliki pertanyaan lain.”<111>

Sang Buddha berkata kepada Saccaka, putra para Nigaṇṭha: “Silahkan bertanya, Aku akan menjawab sesuai dengan pertanyaanmu.”

[Saccaka bertanya]: “Gotama, bagaimanakah Engkau memberikan ajaran kepada para siswa-Mu sehingga mereka bebas dari keragu-raguan?”

"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Samyukta Agama - Tentang Lima Kelompok Unsur Kehidupan (5)
« Reply #6 on: 18 July 2015, 05:51:33 PM »
Sang Buddha berkata: “Aggivessana, Aku mengatakan kepada para siswa-Ku: ‘Apa pun bentuk jasmani, apakah masa lampau, masa depan atau masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, indah atau menjijikkan, jauh atau dekat, ia semua seharusnya direnungkan sebagaimana adanya sebagai bukan diri, sebagai tidak berbeda dari diri [dalam pengertian dimiliki olehnya], sebagai tidak ada [dalam diri, atau suatu diri] sebagai ada [di dalamnya].’ Perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran juga seperti ini.

“Dengan berlatih [seperti ini] mereka pasti akan melihat sang jalan dan tidak akan meninggalkannya atau membiarkannya hancur, dapat mencapai lenyapnya nafsu, pengetahuan, dan penglihatan, [oleh sebabnya] memegang pintu menuju keabadian. Bahkan jika mereka tidak semuanya mencapai yang tertinggi, tetapi mereka [semua] berjalan menuju Nirvāṇa.<112> Seorang siswa yang diajarkan Dharma oleh-Ku dengan cara ini mencapai pembebasan dari keragu-raguan.”

[Saccaka] bertanya lagi: “Gotama, bagaimanakah Engkau lebih lanjut menasehati para siswa-Mu sehingga dalam ajaran Sang Buddha mereka mencapai penghancuran arus-arus [kekotoran batin], pembebasan pikiran yang bebas-arus dan pembebasan melalui kebijaksanaan, di sini dan saat ini secara pribadi mengetahui dan menyadari: ‘Kelahiran bagiku telah dilenyapkan, kehidupan suci telah dikembangkan, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, aku sendiri mengetahui bahwa tidak akan ada kelangsung yang lebih jauh lagi’?”

Sang Buddha berkata: “Aggivessana, dengan benar melakukan ajaran [yang sama] ini: ‘Apa pun bentuk jasmani, apakah masa lampau, masa depan atau masa sekarang, internal atau eksternal, kasar atau halus, indah atau menjijikkan, jauh atau dekat, ia semua seharusnya direnungkan sebagaimana adanya sebagai bukan diri, sebagai tidak berbeda dari diri [dalam pengertian dimiliki olehnya], sebagai tidak ada [dalam diri, atau suatu diri] sebagai ada [di dalamnya].’ Perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran juga seperti ini.

“Pada waktu [merenungkan seperti ini], mereka menyempurnakan tiga kualitas yang tidak tertandingi [37a]: pengetahuan yang tidak tertandingi, pencerahan yang tidak tertandingi, dan pembebasan yang tidak tertandingi.<113> Setelah menyempurnakan tiga kualitas yang tidak tertandingi ini, mereka menghormati sang guru agung, menjunjung tinggi, dan memuja Beliau sebagai Buddha: ‘Sang Bhagava telah merealisasi semua ajaran, dan dengan ajaran-ajaran ini ia menjinakkan para siswa-Nya sehingga mereka mencapai kedamaian, sehingga mereka mencapai ketidakgentaran, dijinakkan, tenang, dan [mencapai] yang tertinggi, Nirvāṇa. Demi tujuan Nirvāṇa Sang Bhagava memberikan ajaran kepada para siswa-Nya.’

“Aggivessana, dalam ajaran ini para siswa-Ku mencapai penghancuran arus-arus [kekotoran batin], mencapai pembebasan pikiran, mencapai pembebasan melalui kebijaksanaan, di sini dan saat ini secara pribadi mengetahui dan menyadari: ‘Kelahiran bagiku telah dilenyapkan, kehidupan suci telah dikembangkan, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, aku sendiri mengetahui bahwa tidak akan ada kelangsung yang lebih jauh lagi’.”

Saccaka, putra para Nigaṇṭha, berkata kepada Sang Buddha: “Gotama, bagaikan seseorang dapat melepaskan diri dari seorang yang kuat yang serampangan memegang sebilah pedang tajam, [tetapi] dari kemampuan berdebat Gotama adalah sulit untuk melepaskan diri. Bagaikan seseorang dapat menghindari seekor ular beracun, atau menghindari sebuah rawa yang luas atau api yang menakutkan, atau seseorang dapat meloloskan diri dari seekor gajah mabuk yang menakutkan, atau dari seekor singa lapar yang gila; dari semua ini seseorang dapat meloloskan diri.<114> Ini bukan untukku, seorang biasa, tidak sabar, dan seorang yang rendah, tidak diberkahi dengan kemampuan berdebat, yang datang dan menemui Gotama untuk tujuan berdebat suatu hal.

“Pertapa Gotama, negeri Vesālī ini menyenangkan dan makmur. Terdapat tempat pemujaan Cāpāla, Sattambaka, Bahuputta, *Gotama-nigrodha, *Sāradhāra, *Dhurānikkhepana, dan *Balaratana.<115>

“Semoga Sang Bhagava merasa nyaman di negeri Vesālī ini, semoga Sang Bhagava selalu mendapatkan pemujaan, penghormatan, dan persembahan dari para deva, Māra, Brahmā, para pertapa, brahmana, dan siapa pun di dunia, sehingga para deva, Māra, Brahmā, para pertapa, dan brahmana untuk waktu yang lama berada dalam kedamaian. Semoga Beliau berdiam di sini, dan dengan kumpulan besar [para bhikkhu] semoga Beliau menerima persembahan makanan besok pagi.”<116>

Pada waktu itu, Sang Bhagava menerima dengan [tetap] berdiam diri. Kemudian Saccaka, putra para Nigaṇṭha, dengan mengetahui bahwa Sang Buddha, Sang Bhagava, telah menerima undangannya dengan [tetap] berdiam diri, bergembira, dan berbahagia dan senang. Ia bangkit dari tempat duduknya dan pergi.

Pada waktu itu, ketika Saccaka, putra para Nigaṇṭha, sedang dalam perjalanan [pulang], ia berkata kepada orang-orang Licchavi: “Aku telah mengundang Pertapa Gotama dan sekumpulan besar [para bhikkhu]. [Marilah kita] menyediakan makanan bersama-sama. Masing-masing dari kalian mempersiapkan satu hidangan makanan dan mengirimkannya ke tempatku.”<117>

Orang-orang Licchavi masing-masing kembali ke rumah mereka, membuat persiapan selama malam hari dan di pagi hari mengirimkan [makanan itu] ke tempat Saccaka, putra para Nigaṇṭha. Pada pagi hari Saccaka, putra para Nigaṇṭha, menyapu [tempatnya], memercikkan air [pada lantai], mengatur tempat-tempat duduk, dan mempersiapkan air bersih [untuk mencuci]. Ia mengirimkan utusan kepada Sang Buddha untuk memberitahukan bahwa waktunya [untuk makan] telah tiba. [37b]

Pada waktu itu Sang Bhagava, bersama-sama dengan serombongan besar [para bhikkhu], mengenakan jubah-Nya, membawa mangkuk-Nya, dan mendekati tempat Saccaka, putra para Nigaṇṭha. Beliau duduk di hadapan kumpulan besar itu. Saccaka, putra para Nigaṇṭha, dengan kedua tangannya sendiri dengan hormat menyajikan minuman dan makanan murni, yang cukup untuk kumpulan besar itu. [Ketika] mereka telah makan dan selesai mencuci mangkuk mereka, Saccaka, putra para Nigaṇṭha, yang mengetahui bahwa Sang Buddha telah selesai makan dan telah mencuci mangkuknya, mengambil sebuah tempat duduk yang rendah dan duduk di hadapan Sang Buddha.

Pada waktu itu, Sang Bhagava mengucapkan syair-syair berikut sebagai suatu ucapan terima kasih kepada Saccaka, putra para Nigaṇṭha:<118>

“[Mengadakan] pengorbanan api
Adalah yang terbaik di antara semua perkumpulan.

Sāvitthī adalah yang terbaik
Di antara risalah-risalah dan kitab suci yang lebih tinggi.<119>

Raja adalah yang terbaik di antara orang-orang,
Samudera adalah yang terbaik di antara semua sungai.

Bulan adalah yang terbaik di antara semua bintang,
Matahari adalah yang terbaik dalam kecemerlangan.

Di antara para dewa dan manusia di sepuluh arah
Yang tercerahkan sempurna adalah yang terbaik.”

Pada waktu itu Sang Bhagava mengajarkan Dharma dengan berbagai cara kepada Saccaka, putra para Nigaṇṭha. Setelah menasehati, mengajarkan, menjelaskan, dan menggembirakannya, Beliau kembali ke tempat kediaman-Nya yang semula.
Kemudian para bhikkhu, yang bersama-sama sebagai satu kelompok pada jalan [pulang], mendiskusikan hal ini: “Lima ratus orang Licchavi masing-masing mempersiapkan makanan dan minuman untuk Saccaka, putra para Nigaṇṭha. Apakah jasa kebajikan yang diperoleh orang-orang Licchavi, apakah jasa kebajikan yang diperoleh Saccaka, putra para Nigaṇṭha?”

Pada waktu itu, [ketika] para bhikkhu telah kembali ke tempat kediaman mereka sendiri, meletakkan jubah dan mangkuk mereka, dan mencuci kaki mereka, mereka mendekati Sang Bhagava, memberikan penghormatan dengan kepala mereka pada kaki Beliau, mengundurkan diri untuk duduk pada satu sisi, dan berkata kepada Sang Buddha:

“Sang Bhagava, dalam perjalanan pulang kami mendiskusikan hal ini bersama-sama: ‘Lima ratus orang Licchavi mempersiapkan makanan dan minuman untuk Saccka, putra para Nigaṇṭha, yang ia persembahkan kepada Sang Bhagava dan perkumpulan besar [para bhikkhu]. Apakah jasa kebajikan yang diperoleh oleh orang-orang Licchavi, apakah jasa kebajikan yang diperoleh Saccka, putra para Nigaṇṭha?”

Sang Buddha berkata kepada para bhikkhu: “Orang-orang Licchavi mempersiapkan makanan dan minuman untuk Saccaka, putra para Nigaṇṭha, maka mereka memperoleh jasa kebajikan bergantung pada Saccaka, putra para Nigaṇṭha. Saccaka, putra para Nigaṇṭha, memperoleh jasa kebajikan [bergantung] pada kebajikan dari Sang Buddha. Para Licchavi memperoleh buah bergantung pada pemberian kepada seseorang yang memiliki keinginan, kebencian, dan delusi. Saccaka, putra para Nigaṇṭha, memperoleh buah bergantung pada pemberian kepada seseorang yang bebas dari keinginan, kebencian, dan delusi.”
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Samyukta Agama - Tentang Lima Kelompok Unsur Kehidupan (5)
« Reply #7 on: 18 July 2015, 06:13:02 PM »
Catatan Kaki:

<1> Bagian yang diterjemahkan mengandung jilid kelima dari Saṃyukta-āgama edisi Taishō, T II 29c6 to 37b25, yang berhubungan dengan bagian kelima dari bagian tentang kelompok unsur kehidupan menurut urutan yang direkonstruksi dari bagian ini. Identifikasi saya atas paralel Pāli didasarkan pada Akanuma 1929/1990 dan Yìnshùn 1983, dalam hal penggalan Sanskrit saya berhutang pada Chung 2008. Di sini dan di tempat lain, saya mengadopsi istilah Pāli untuk nama-nama diri dan istilah-istilah doktrinal untuk memfasilitasi perbandingan dengan paralel Pāli, kecuali untuk istilah-istilah seperti Dharma dan Nirvāṇa, tanpa oleh sebabnya bermaksud mengambil posisi terhadap bahasa asli dari naskah Saṃyukta-āgama yang digunakan untuk terjemahan. Dalam hal mereproduksi teks Sanskrit dari edisi yang diromanisasi, saya mengikuti kebiasaan dari para penyunting masing-masing (kecuali untuk kapitalisasi). Saya hanya mereproduksi bagian dari masing-masing penggalan yang cukup terpelihara agar masuk akal. Rekonstruksi saya atas judul masing-masing didasarkan pada uddāna yang ditemukan setelah kotbah 110.

<2> Paralel: SN 22.89 dalam SN III 126,29, SHT IV 30c, Sander dan Waldschmidt 1980: 81f, dan sebuah kutipan kotbah dalam Abhidharmasamuccayabhāṣya, Tatia 1976: 62,5. Tentang sebuah kutipan kotbah dalam Abhidharmakośabhāṣya, Pradhan 1967: 464,5 (cf. juga Pāsādika 1989: 123 §499), cf. Anālayo 2012: 14f catatan no.38 dan 43.

<3> SHT IV 30c1 A1, Sander dan Waldschmidt 1980: 81: āyuṣmaṃtaṃ; SHT IV 30c1 A2: bāḍhā duḥkhā. SHT IV 30c1 A3: yāpanīyaṃ.

<4> Bagian yang berhubungan dalam SN 22.89 diringkas. Di tempat lain dalam Saṃyukta-āgama tiga perumpamaan itu juga diberikan secara ringkas, cf. Anālayo 2010c: 6 catatan no.10.

<5> SHT IV 30c1 A4, Sander dan Waldschmidt 1980: 81: [bha]gavatā, katame paṃ(ca)? SHT IV 30c2 V9: paṃc-eme [up]ādānaska(ndh)ā pūrvvavat kaccid.

<6> SHT IV 30c1 A5, Sander dan Waldschmidt 1980: 81: evaṃ [ s](tha)virā. SHT IV 30c1 B6, (u)pety-āyuṣma(ṃ)ta(ṃ) kṣ[e]ma(kaṃ).

<7> SHT IV 30c1 B7, Sander dan Waldschmidt 1980: 81: kṣīṇāsravaḥ i(ti). SHT IV 30c2 V10, Sander dan Waldschmidt 1980: 82: paṃcopādānas[ka]ndhāṃ n-aiv-ātmato (sa)[ma]nupaśyā[m]i ath-āyuṣ[m]āṃ. SHT IV 30c2 R1: kṣemakaṃ stha[v](i)[r](ā) [ṇ](āṃ) vacanena sa … [ha]ṃ paṃco(pād)ānaskandhān. SHT IV 30c2 R2: (u)pety-āyuṣmaṃtaṃ kṣemakam-evaṃ va(da āyu)ṣmaṃ kṣemaka bhikṣava evam. SHT IV 30c2 R3: (ā)yuṣmāṃ kṣemakaḥ arhāṃ bhaviṣya[t]i (e)vaṃ sthavirā iti āyuṣmāṃ.

<8> SHT IV 30c1 B8, Sander dan Waldschmidt 1980: 81: bhikṣavas-ten-opa[jagāma].

<9> SHT IV 30c1 B9, Sander dan Waldschmidt 1980: 81: ātmīyataḥ.

<10> SHT IV 30c1 B10, Sander dan Waldschmidt 1980: 81: kṣemakasya.

<11> Dalam SN 22.89 pada SN III 129,33 Khemaka telah menyebutkan kesombongan ‘aku’ selama tanya-jawab sebelumnya, dengan demikian tanya-jawab adalah tanpa paralel dalam SN 22.89. Namun, sebuah bacaan yang mirip dapat ditemukan dalam Abhidharmasamuccayabhāṣya, Tatia 1976: 62,5: nāham āyuṣman dāsake mān pañcopādānaskandhān ātmata [ā]tmīyato va samanupaśyāmyapi tvasti me eṣu pañcasūpādānaskandheṣvasmīti māno 'smīti chando 'smītyanuśayo 'prahīṇo 'parijñāto 'nirodhito 'vāntīkṛta iti.

<12> Dalam SN 22.89 pada SN III 129,27 menjawab secara langsung bahwa ia akan mendekati para bhikkhu senior sendiri.

<13> SN 22.89 tidak melaporkan bahwa para bhikkhu senior mempersiapkan sebuah tempat duduk, dst.

<14> Terjemahan saya mengikuti saran oleh Yìnshùn 1983: 183 catatan no.5 untuk memperbaiki 能 untuk membaca 然.

<15> Menurut perumpamaan dalam SN 22.89 pada SN III 131,8, di mana tidak jelas bagaimana kain itu menjadi kotor, kain ini masih berbau bahan cucian, di mana untuk membuang bau itu pemiliknya meletakkan ke dalam peti yang harum.

<16> Terjamahan saya mengikuti saran Yìnshùn 1983: 183 catatan no.6 untuk memperbaiki 離 untuk membaca 雖.

<17> Terjemahan saya mengikuti saran oleh Yìnshùn 1983: 184 catatan no.7 untuk memperbaiki 能 untuk membaca 然.

<18> Menurut SN 22.89 dalam SN III 132,10, tidak hanya Khemaka, tetapi juga enam puluh orang bhikkhu senior mencapai pencerahan sempurna.

<19> Pernyataan demikian tidak dibuat dalam SN 22.89 pada SN III 132,1, di mana para bhikkhu senior hanya menyatakan bahwa mereka ingin ia menjelaskan ajaran.

<20> Paralel: SN 22.85 dalam SN III 109,15 dan naskah Schøyen yang belum diterbitkan 2380/47 dan 2380/54a, yang telah mempertahankan bagian-bagian perumpamaan tentang pembunuh.

<21> SN 22.85 tidak menyebutkan tiga kali.

<22> Dalam SN 22.85 pada SN III 110,26 Sāriputta menyatakan persetujuannya atas tugas itu dengan tetap berdiam diri.

<23> Dalam SN 22.85 pada SN III 110,27 Sāriputta mendekati Yamaka setelah bangkit dari pengasingan diri pada sore hari, dengan demikian SN 22.85 tidak melaporkan ia pergi mengumpulkan makanan di kota, dst.

<24> Referensi yang saat ini pada mengambil jubah dan mangkuk dari bhikkhu yang tiba tampaknya hasil dari penerapan suatu penjelasan perikop [kutipan teks], karena menurut narasi sebelumnya Sāriputta telah menyimpan barang-barang ini di tempat kediamannya dan dengan demikian akan tiba tanpanya. Mungkin bagian ini berasal dari kotbah sebelumnya SĀ 103, di mana menyediakan ganjalan kaki masuk akal karena Khemaka sedang sakit parah dan dengan demikian kiranya tidak dalam kondisi untuk duduk dengan nyaman tanpa bantuan yang demikian. Keadaan bahwa di kedua kotbah penggambarannya mulai dengan menyatakan bahwa (para) bhikkhu melihat dari jauh bahwa seorang bhikkhu yang berkunjung datang dapat dengan mudah membawa pada penerapan penggambaran yang diberikan dalam SĀ 103 ke SĀ 104. SN 22.85 dalam SN III 110,29 meringkas penggambaran apa yang terjadi saat Sāriputta tiba. Menilai dari kotbah-kotbah lain dalam kumpulan yang sama, tampaknya bahwa bagian yang ditambahkan di sini hanya penggambaran standar suatu pertukaran salam ramah tamah, yang diikuti dengan duduk.

<25> SN 22.85 dalam SN III 111,13 pada titik ini mengambil pengajaran sampai pada realisasi kearahantaan (yang diberikan dalam ringkasan). Ini memberikan suatu transisi yang lebih baik pada apa yang mengikuti, karena dengan cara ini pencapaian kearahantaan membentuk landasan untuk pembahasan berikutnya tentang sifat Tathāgata. Dalam konteks saat ini, istilah Tathāgata akan menunjuk pada seorang arahant secara umum, bukan khusus untuk Sang Buddha (cf. juga Bodhi 2000: 1079 catatan no.152) dan bukan juga untuk suatu makhluk secara umum (bertentangan dengan penjelasan komentar dalam Spk II 311,1: tathāgato ti satto); cf. dalam lebih terperinci Anālayo 2008: 278f.

<26> SN 22.85 dalam SN III 111,20 menyajikan pertanyaan yang sama dengan cara yang berbeda, karena di sini Sāriputta pertama-tama bertanya apakah Yamaka menganggap Tathāgata berada dalam bentuk jasmani, dan kemudian apakah ia menganggapnya berbeda dari bentuk jasmani. Setelah itu Sāriputta beralih pada kelompok unsur kehidupan lainnya.

<27> Pertanyaan ini tidak ditemukan dalam SN 22.85, yang alih-alih dalam SN III 111,32 melaporkan pertanyaan apakah Tathāgata sama dengan lima kelompok unsur kehidupan bersama-sama. Uraian dalam SĀ 104 dengan demikian lebih dekat dengan pola dua puluh cara pandangan identitas, sakkāyadiṭṭhi.

<28> Terjemahan saya didasarkan pada asumsi bahwa kualifikasi 時 yang ditemukan pada titik ini adalah hasil dari mencampurkan kalya dengan kālya. Secara harfiah menerjemahkan Mandarin sebagaimana adanya akan menghasilkan Sāriputta bertanya apakah yang telah dikatakan Yamaka adalah diucapkan “pada waktunya”, yang tidak cocok dengan konteks secara baik. Pertanyaan yang berhubungan dalam SN 22.85 dalam SN III 112,6 sesungguhnya membaca kallaṃ nu te, “apakah pantas bagimu?”

<29> Pertanyaan dalam SN 22.35 pada SN III 112,14 berbeda sebanyak Sāriputta bertanya kepada Yamaka bagaimana ia akan menjawab ketika ditanya tentang apakah yang terjadi pada seorang arahant saat kematian.

<30> Mengadopsi varian 若 alih-alih 苦. Dalam SN 22.85 pada SN III 112,25 Sāriputta tidak mengulang poin yang dibuat oleh Yamaka, tetapi alih-alih melanjutkan secara langsung dengan perumpamaan orang kaya.

<31> SN 22.85 dalam SN III 113,1 melaporkan pembunuh itu merenungkan bagaimana ia dapat dengan terbaik memenuhi tujuannya.

<32> Pertanyaan Sāriputta dalam SN 22.85 pada SN III 113,14 lebih panjang, dengan mengambil berbagai aspek perilaku sang pembunuh.

<33> Pertanyaan ini tidak memiliki padanan dalam SN 22.85.

<34> SN 22.85 dalam SN III 113,26 mengambil kasus orang duniawi yang tidak terpelajar dengan lebih terperinci, dengan menggambarkan ia menganggap lima kelompok unsur kehidupan yang dilekati sebagai suatu diri dalam dua puluh cara yang membentuk penyajian standar pandangan identitas, yang diikuti dengan menggambarkan ia tidak memahami mereka, sebagaimana adanya, sebagai tidak kekal, tidak memuaskan, bukan diri, terkondisi, dan “bersifat membunuh”.

<35> SN 22.85 dalam SN III 114,30 bekerja melalui topik yang sama yang digunakan dalam uraiannya tentang orang duniawi ketika mengambil kasus siswa mulia, tentu dengan perbedaan bahwa siswa mulia melakukan yang sebaliknya dari orang duniawi. SN 22.85 tidak memiliki padanan pada pernyataan dalam SĀ 104 bahwa dengan cara ini siswa mulia merealisasi Nirvāṇa.

<36> Dalam SN 22.85 pada SN III 115,28 Yamaka sendiri menyatakan bahwa ia telah mencapai pencerhaan sempurna.

<37> SN 22.85 dalam SN III 115,31 alih-alih menutup dengan penggambaran standar kegembiraan para pendengarnya, dalam kasus Yamaka ini.

<38> Paralel: sebuah kutipan kotbah dalam T 1509 pada T XXV 368b20, yang diterjemahkan oleh Lamotte 1976: 2141f catatan no.1. Akanuma 1929/1990: 32 menyebut SN 44.9, yang sangat berbeda untuk dianggap suatu paralel.

<39> Basham 1951: 78 menjelaskan bahwa sementara teks-teks Pāli memberikan namanya hanya sebagai Gosāla, dalam literatur Sanskrit ia disebut sebagai Gośālīputra atau Gośalikāputra (dan teks-teks Jain mengatakan tentang Gosāla Maṅkhaliputta).

<40> Mengadopsi varian 仙 alih-alih 先.

<41> Mengadopsi varian yang menambahkan 得.

<42> Yìnshùn 1983: 191 catatan no.3 menyarankan untuk memperbaiki bacaan saat ini untuk membaca alih-alih ajaran tentang “akar” kesombongan.

<43> Penutup ini tampaknya sedikit tidak pada tempatnya dan akan lebih baik ditempatkan sebelum laporan tentang pencapaian kearahantaannya.

<44> Paralel: SN 22.86 dalam SN III 116,1 (= SN 44.2 dalam SN IV 380,3) dan penggalan Kha ii 3 recto, La Vallée Poussin 1913: 579.

<45> Menurut SN 22.86 dalam SN III 116,1, Sang Buddha sedang berdiam di Hutan Besar di Vesalī dan Anurādha sedang berada di sebuah gubuk hutan di dekat sana.

<46> Dalam SN 22.86 pada SN III 116,11 para pengembara dari ajaran menyimpang tidak meminta izin dan kemudian menyajikan semua empat alternatif bersama-sama, alih-alih mengajukan mereka sebagai satu pertanyaan. Mereka juga mengkualifikasi Tathāgata sebagai pribadi yang tertinggi, yang telah mencapai yang tertinggi. Kualifikasi yang sama juga dapat ditemukan dalam penggalan Sanskrit, Kha ii 3 R1, La Vallée Poussin 1913: 579: uttamapuruṣaparamapuruṣaḥ paramaprāptiprāptaḥ ta[ṃ] v[ayaṃ].

<47> Alih-alih mengkualifikasi posisi-posisi ini sebagai tidak dinyatakan, menurut SN 22.86 dalam SN III 116,19 Anurādha menyatakan bahwa Sang Buddha menyatakan sifat Tathāgata berbeda dari empat alternatif ini; cf. juga Kha ii 3 R2, La Vallée Poussin 1913: 579: ramapuruṣaḥ paramaprāptiprāptaḥ taṃ vayam anyatraiva.

<48> Kha ii 3 R3, La Vallée Poussin 1913: 579: na ca bhavati tathāgataḥ paraṃ maraṇān naiva bhavati na na. Kha ii 3 R4: prajñapayamānāḥ prajñapayāmaḥ atha te anyatīrthi.

<49> Dalam SN 22.86 pada SN III 116,26 para pengembaran dari ajaran lain menyimpulkan bahwa Anurādha pasti baru saja ditahbiskan atau jika tidak ia pasti seorang yang bodoh.

<50> Kha ii 3 R5, La Vallée Poussin 1913: 579: raprakrāṃtānāṃ teṣām anyathīrtikaparivrājakānāṃ āyuṣmat.

<51> Kha ii 3 R6, La Vallée Poussin 1913: 579: mya bhagavata etad artham.

<52> SN 22.86 dalam SN III 117,2 mencatat perenungan yang memotivasi Anurādha untuk mendekati Sang Buddha dan juga memberikan laporannya kepada Sang Buddha secara lebih terperinci.

<53> Menilai dari konteksnya dan dari SN 22.86, teks yang seharusnya ditambahkan dari Kotbah kepada Yamaka akan sampai pada pernyataan bahwa “Tathāgata sebagai ada sebenarnya di sini dan saat ini tidak dapat diperoleh di mana pun, tidak dapat ditunjukkan di mana pun.”

<54> Seperti yang ditunjukkan Vetter 2000: 232 catatan no.97, bacaan ini menyebut hanya bentuk jasmani. Karena semua lima kelompok unsur kehidupan disebutkan pada bagian sebelumnya, saya menambahkan empat kelompok unsur kehidupan lainnya di sini.

<55> Dalam SN 22.86 pada SN III 118,35 Sang Buddha bertanya kepada Anurādha apakah dalil sebelumnya (bahwa seorang Tathāgata dapat digambarkan selain dari empat alternatif) adalah benar. Anurādha menerima bahwa ini tidak benar. Sang Buddha kemudian memuji Anurādha atas jawaban ini dan menunjukkan bahwa sebelumnya dan juga sekarang Ia hanya mengajarkan dukkha dan pelenyapannya.

<56> Paralel: SN 22.1 dalam SN III 1,1 dan EĀ 13.4 dalam T II 573a1.

<57> SN 22.1 dalam SN III 1,14 dan EĀ 13.4 dalam T II 573a8 mendahului titik ini dengan suatu referensi pada orang-orang bodoh yang menyatakan sebagai sehat untuk sementara (SN 22.1) atau yang bergantung pada tubuh agar berbahagia untuk sementara (EĀ 13.4).

<58> Terjemahan saya di sini dan pada bacaan berikutnya didasarkan pada perbaikan 身 untuk membaca 心, sebuah perbaikan yang saya tandai dengan < > dalam terjemahan. Perbaikan saya didasarkan pada rumusan yang digunakan Sāriputta dalam penjelasannya dan pada konteksnya. Paralel menyatakan bahwa adalah pikiran yang tidak seharusnya sakit; cf. SN 22.1 dalam SN III 1,16: cittaṃ anāturaṃ bhavissati (Ee: cittam anāturam) dan EĀ 13.4 dalam T II 573a9: 令心無病; cf. juga Vastusaṃgrahaṇī, T 1579 dalam T XXX 799a7. Kemunculan kesalahan yang sama dapat dilihat dalam EĀ 13.4, yang mendahului titik ini dengan menunjuk pada pikiran yang sakit, T II 573a9: 心有病,  dengan hanya sebuah varian pembacaan yang mempertahankan referensi yang benar dan jelas pada tubuh yang sakit, 身有病 (juga ditemukan kemudian pada T II 573a28 dalam bentuk 身雖有患). Dengan demikan dalam kasus ini suatu kesalahan tampaknya telah terjadi sehubungan dengan pernyataan yang mendahului, yang menghasilkan pergantian referensi yang benar pada 身 dengan referensi yang salah pada 心.

<59> Terjemahan saya mengikuti saran oleh Yìnshùn 1983: 195 catatan no.2 untuk memperbaiki 宗 untuk membaca 示.

<60> Sementara dalam SĀ 107 Nakula tampaknya datang kepada Sāriputta untuk menerima suatu penjelasan yang lebih terperinci, SN 22.1 dalam SN III 3,1 memberikan kesan bahwa ia pada awalnya tidak berpikir tentang kemungkinan menerima penjelasan lebih lanjut, tetapi ketika Sāriputta menyebutkan kemungkinan ini, ia dengan gembira mengambil kesempatan itu, yang menyatakan bahwa ia datang sejauh itu untuk mendapatkan penjelasan demikian. Namun, EĀ 13.4 dalam T II 573a12 secara eksplisit mencatat sang perumah tangga merenungkan bahwa ia sekarang akan mendekati Sāriputta untuk menanyakan tentang hal ini.

<61> Dalam rumusan standar yang ditemukan juga di bawah, kepuasan muncul sebelum bahaya.

<62> Dalam SN 22,1 pada SN III 3,15 dan EĀ 13.4 pada T II 573b10 ketiadaan pengetahuan orang duniawi berwujud dalam menganggap suatu diri berdasarkan cara yang berbeda-beda dari pandangan diri (sakkāyadiṭṭhi).

<63> SN 22.1 dalam SN III 5,17 dan EĀ 13.4 dalam T II 573b29 tidak melaporkan pencapaian apa pun.

<64> Paralel: SN 22.2 dalam SN III 5,19 dan sebuah paralel sebagian dalam EĀ 41.4 dalam T II 745b26 (bagian belakang dari EĀ 41.4 bukan lagi paralel SĀ 108 dan SN 22.2).

<65> Walaupun pernyataan bahwa mereka ingin menghabiskan masa pengasingan musim hujan di Barat tidak dibuat dalam SN 22.2 (atau EĀ 41.4), informasi demikian diberikan dalam komentar Spk II 256,10.

<66> Dalam SN 22.2 pada SN III 6,14 dan EĀ 41.4 dalam T II 745c11 para bhikkhu memberitahukan Sāriputta tentang hal ini tanpa ditanya.

<67> Di sini dan di bawah SN 22.2 dalam SN III 8,22 tidak mengikuti topik tentang keadaan yang tidak bermanfaat dan bermanfaat dengan referensi pada Sang Buddha mengajarkan kehidupan suci untuk mengakhiri dukkha.

<68> Penambahan saya mengikuti Yìnshùn 1983: 197.

<69> SN 22.2 dalam SN III 9,9 berakhir tanpa melaporkan pencapaian apa pun.

<70> Paralel: SN 13.2 dalam SN II 134,7, yang hanya paralel bagian pertama dari kotbah itu.

<71> Perumpamaan dalam SN 13.2 pada SN II 134,11 hanya mengatakan tentang sehelai rumput.

<72> Mengadopsi suatu koreksi dalam edisi CBETA dari 加 untuk membaca 如.

<73> SN 13.2 dalam SN II 134,28 berakhir setelah penyampaian Sang Buddha tentang perumpamaan dan dengan demikian tidak memiliki padanan pada uraian yang diberikan dalam SĀ 109 oleh Sāriputta.

<74> Uraian terperinci tentang dua puluh cara pandangan identitas (sakkāyadiṭṭhi) yang disajikan di sini dalam SĀ 109 tidak memiliki padanan dalam kotbah-kotbah Pāli, tetapi hanya dalam Paṭisambhidāmagga; cf. Paṭis I 143,26. Bacaan saat ini tampaknya suatu contoh sesuai dengan kecenderungan yang dicatat oleh Baba 2004, di mana kotbah-kotbah Āgama telah memasukkan penyajian yang dalam tradisi Pāli hanya ditemukan dalam teks-teks belakangan dan literatur komentar; cf. juga Anālayo 2010a.

<75> Terjemahana saya mengikuti saran oleh Yìnshùn 1983: 202 catatan no.1 untuk memperbaiki 行 untuk membaca 白.

<76> SĀ 109 dalam T II 34c5: 周遍其四體; saya berhutang pada Rod Bucknell atas bantuan dalam berusaha membuat ungkapan ini masuk akal.

<77> Mengadopsi varian tanpa 我是受.

<78> Penambahan saya mengikuti Yìnshùn 1983: 202 catatan no.6.

<79> Mengadopsi varian yang menambahkan pernyataan penutup ini.

<80> Mengadopsi varian yang menambahkan uraian untuk kelompok unsur perasaan, bentukan, dan kesadaran.

<81> Mengadopsi varian yang menambahkan 見.

<82> Mengadopsi varian tanpa kemunculan 行 antara persepsi dan kesadaran.

<83> Mengadopsi varian yang menambahkan 謂.

<84> Mengadopsi varian tanpa 不生.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Samyukta Agama - Tentang Lima Kelompok Unsur Kehidupan (5)
« Reply #8 on: 18 July 2015, 06:21:58 PM »
<85> Paralel: MN 35 dalam MN I 227,15 dan EĀ 37.10 dalam T II 715a28. SĀ 110 telah diterjemahkan dalam Anālayo 2010b (walaupun sayangnya dalam proses penyuntingan sebagian terjemahan hilang); untuk suatu studi perbandingan cf. Anālayo 2011: 223–232.

<86> MN 35 dalam MN I 227,18 mendahului sekumpulan anggapan yang sama sebagai pernyataan publik yang dibuat Saccaka. Narasi pendahuluan dari EĀ 37.10 dalam T II 715a29 tidak memberikan penggambaran tentang Saccaka, oleh sebab itu ia tidak memiliki anggapan ini sebagai perenungan maupun sebagai pernyataan publik yang dibuat oleh Saccaka. Khususnya, belakangan dalam SĀ 110 juga menganggap ini sebagai pernyataan publik; cf. di bawah ini halaman 50.

<87> MN 35 dan EĀ 37.10 tidak menggambarkan perilaku yang menginspirasi dan tenang di mana Assaji pergi mengumpulkan makanan, maupun mereka tidak menyatakan bahwa Saccaka memiliki beberapa urusan yang harus dikerjakan.

<88> Jawaban Assaji dalam MN 35 pada MN I 228,10 tidak membawakan karakteristik dukkha, hanya menyebutkan ketidakkekalan dan bukan-diri. Tetapi dalam EĀ 37.10 pada T II 715b4 jawabannya mencakup semua tiga karakteristik, yang menyatakan bahwa masing-masing kelompok unsur kehidupan adalah tidak kekal, apa yang tidak kekal adalah tidak memuaskan, dan apa yang tidak memuaskan adalah bukan-diri.

<89> Menurut EĀ 37.10 dalam T II 715b10, Saccaka sangat tidak senang sehingga ia menutup telinganya dengan tangan dan berkata kepada Assaji: “Hentikan, hentikan!”.

<90> MN 35 dan EĀ 37.10 tidak melaporkan bahwa Saccaka menganggap Assaji mungkin telah salah mendengar apa yang diajarkan Sang Buddha.

<91> Mengadopsi koreksi dari 義 menjadi 議 dalam edisi CBETA; cf. juga Yìnshùn 1983: 204.

<92> Mengadopsi varian 塵 alih-alih 麁; cf. juga Yìnshùn 1983: 212 catatan no.3.

<93> MN 35 dalam MN I 228,29 juga memiliki empat perumpamaan, yang menggambarkan menarik seekor domba dengan rambutnya, menarik saringan pembuat minuman keras, mengguncangkan saringan pembuat minuman keras, dan seekor gajah yang bermain di air. Gambaran menarik seekor domba dengan rambutnya dan seekor gajah yang bermain di air muncul kembali dalam EĀ 37.10 dalam T II 715b20, yang selain dua perumpamaan ini memiliki satu perumpamaan lagi tentang dua orang kuat yang memegang seorang ketiga yang lemah dan memanggangnya di atas api.

<94> Sementara EĀ 37.10 tidak mencatat perilaku para Licchavi sama sekali, MN 35 dalam MN I 229,27 menggambarkan bahkan suatu perilaku yang lebih banyak, dengan beberapa orang Licchavi menyebutkan nama mereka dan yang lain hanya tetap berdiam diri, walaupun mereka semua duduk.

<95> Alih-alih melaporkan apa yang ia dengar dari Assaji, dalam MN 35 pada MN I 230,1 dan EĀ 37.10 pada T II 715c10 Saccaka menanyakan Sang Buddha pertanyaan yang ia tanyakan sebelumnya kepada Assaji (dengan beberapa perbedaan kecil dalam susunan kata dalam EĀ 37.10).

<96> Mengadopsi varian 人 alih-alih 忍.

<97> EĀ 37.10 dalam T II 715c18 berbeda dari dua versi lainnya sejauh di sini hal yang dipertanyakan adalah apakah bentuk jasmani, dst., adalah kekal atau tidak kekal, sehingga Saccaka menyatakan bahwa kelompok unsur bentuk jasmani adalah kekal. Kelanjutan bagian ini dalam EĀ 37.10 pada intinya berbeda dari versi-versi lainnya.

<98> MN 35 dalam MN I 231,4 menggambarkan kekuatan raja dengan membawa contoh Raja Pasenadi dan Raja Ajātasattu, yang berbeda dari SĀ 110 juga dalam tidak mengambil kasus positif memberikan hadiah kepada mereka yang telah melakukan sesuatu yang positif.

<99> Pertanyaan tambahan ini, yang mengembalikan implikasi dari perumpamaan tentang raja, adalah tanpa padanan dalam MN 35.

<100> Intervensi dewa dengan sama dilaporkan dalam MN 35 pada MN I 231,30 dan EĀ 37.10 pada T II 716a7, perbedaan kecilnya adalah bahwa dalam versi Pāli ia muncul sebelum Sang Buddha mengulangi pertanyaan ketiga kalinya, sedangkan dalam dua versi Mandarin ia mengambil tindakan ketika pengulangan ketiga dari pertanyaan yang belum dijawab. Tentang perlakuan bahwa kepala seorang lawan debat akan pecah menjadi kepingan dalam literatur India kuno cf., misalnya La Vallée Poussin 1932, Hopkins 1932: 316, Insler 1989/1990, dan Witzel 1987.

<101> MN 35 dalam MN I 231,35 bersesuaian dengan SĀ 110 bahwa hanya Saccaka dan Sang Buddha dapat melihat dewa itu, tetapi tanpa menyatakan bahwa ini disebabkan oleh kekuatan batin Sang Buddha. Dalam EĀ 37.10 pada T II 716a10 Saccaka tampaknya pada awalnya tidak memperhatikan dewa itu dan hanya menyadari apa yang terjadi ketika Sang Buddha mengatakan kepadanya untuk melihat ke langit.

<102> Ketika menggambarkan ketakutan Saccaka, MN 35 dalam MN I 232,1 menyatakan bahwa ia mencari perlindungan Sang Buddha; cf. juga EĀ 37.10 dalam T II 716a13.

<103> Alih-alih mengingatkannya atas posisi yang awalnya ia ambil, dalam MN 35 pada MN I 232,4 Sang Buddha mengambil masing-masing kelompok kehidupan secara individual dan bertanya tentang kemungkinan untuk mengendalikannya, di mana masing-masing kasus berakhir dengan jawaban yang diberikan Saccaka tidak sesuai dengan apa yang ia katakan sebelumnya.

<104> MN 35 dalam MN I 232,37 melanjutkan dengan sama, yang berbeda dari SĀ 110 dalam hal bahwa ia tidak menunjuk pada siswa mulia yang terpelajar. Tetapi dalam EĀ 37.10 pada titik ini Sang Buddha menunjukkan bahwa bahkan seorang raja pemutar-roda akan menjadi tua. Suatu padanan pada ajaran yang diberikan saat ini dalam SĀ 110 dan MN 35 tentang sifat sejati lima kelompok unsur kehidupan muncul hanya belakangan dalam EĀ 37.10 pada T II 716b25.

<105> Argumentasi ini tidak ditemukan dalam MN 35, walaupun ia muncul dalam kotbah-kotbah Pāli lainnya, cf., misalnya SN 22.84 dalam SN III 107,5.

<106> Dalam MN 35 pada MN I 233,9 Sang Buddha alih-alih menunjukkan bahwa seseorang yang menganggap sebagai diri apa yang sebenarnya adalah dukkha tidak akan melampaui dukkha.

<107> Perumpamaan ini memiliki padanan dalam MN 35 pada MN I 233,15, walaupun ia tidak ada dalam EĀ 37.10. Tetapi peringatan Sang Buddha berikutnya terhadap Saccaka tentang bualannya sebelumnya dilaporkan dalam semua tiga versi.

<108> Dalam MN 35 pada MN I 233,35 dan EĀ 37.10 pada T II 716b5 Sang Buddha memperlihatkan tubuh bagian atas-Nya untuk menunjukkan bahwa Ia tidak berkeringat, tidak seperti Saccaka. Dalam suatu catatan tentang kejadian ini dalam T 1509 pada T XXV 251c16, (terjemahan Lamotte 1970: 1666) tujuan Sang Buddha memperlihatkan dada-Nya juga untuk menunjukkan ketiadaan keringat.

<109> Perumpamaan ini dan sebelumnya tidak ditemukan dalam MN 35 atau EĀ 37.10, yang hanya memiliki padanan pada perumpamaan berikutnya tentang kepiting.

<110> Mengadopsi varian 呵 alih-alih 唾.

<111> Bagian yang dimulai dengan pertanyaan saat ini, sampai pengakuan kekalahan Saccaka, adalah tanpa padanan dalam EĀ 37.10, yang alih-alih melaporkan bagaimana Sang Buddha mengajarkan Saccaka sifat sejati lima kelompok unsur kehidupan.

<112> Kalimat ini adalah tanpa padanan dalam MN 35.

<113> Mengadopsi pembacaan varian 道無上 dan 解脫無上 untuk item kedua dan ketiga; cf. juga Yìnshùn 1983: 212 catatan no.5.

<114> MN 35 dalam MN I 236,3 memiliki tiga perumpamaan, yang menggambarkan tibanya dengan selamat setelah menyerang seekor gajah, api, atau seekor ular. EĀ 37.10 dalam T II 716c7 hanya menggambarkan seekor singa yang menakutkan yang tidak takut ketika melihat seseorang datang.

<115> Upaya saya untuk merekonstruksi nama-nama dari tempat pemujaan adalah bersifat terkaan.

<116> Daftar tempat-tempat pemujaan dan harapan Saccaka agar Sang Buddha merasa nyaman dan dihormati tidak dilaporkan dalam versi-versi paralel. Sementara MN 35 pada MN I 236,12 alih-alih secara langsung melanjutkan pada undangan makan, menurut EĀ 37.10 dalam T II 716c12 Saccaka pada titik ini mengambil perlindungan. Beberapa tingkat percakapan tampaknya juga tersirat dalam SĀ 110, karena dalam bacaan saat ini Saccaka tidak lagi menyebut Sang Buddha sebagai “Pertapa Gotama”, 沙門瞿曇, seperti yang ia lakukan sebelumnya, di mana ini adalah suatu cara penyebutan yang digunakan dalam kotbah-kotbah awal oleh orang luar. Alih-alih, dalam bacaan saat ini Saccaka menggunakan sebutan kehormatan 世尊, yang berhubungan dengan bhagavant dan menunjukkan sikap yang menghormati seorang siswa terhadap Sang Buddha.

<117> MN 35 dalam MN I 236,16 dan EĀ 37.10 dalam T II 716c18 melanjutkan dengan sama, walaupun tanpa Saccaka memberikan pernyataan spesifik sehubungan dengan berapa banyak masing-masing orang Licchavi harus menyiapkannya.

<118> Alih-alih mendengarkan sekumpulan syair oleh Sang Buddha, dalam MN 35 pada MN I 236,33 Saccaka berharap membagikan jasa kebajikan dari persembahannya dengan para Licchavi dan kemudian diberitahukan oleh Sang Buddha bahwa para Licchavi akan menerima jasa kebajikan yang diperoleh dengan memberi kepada seseorang yang tidak bebas dari kekotoran, seperti Saccaka, sedangkan Saccaka sendiri akan menerima jasa kebajikan yang diperoleh dengan memberi kepada seseorang yang bebas dari kekotoran, seperti Sang Buddha, di mana setelah itu MN 35 berakhir. Dalam EĀ 37.10 pada T II 716c29, Sang Buddha memberikan ajaran bertahap di mana pada akhirnya Saccaka mencapai kesucian pemasuk-arus, di mana pada titik ini Sang Buddha menyampaikan sekumpulan syair yang sama dengan yang ditemukan dalam SĀ 110.

<119> Mengadopsi varian 闡 alih-alih 闈. Tentang kumpulan syair ini cf. studi oleh Skilling 2003.

Singkatan

ANAṅguttara-nikāya
DDJBSDharma Drum Journal of Buddhist Studies
Ekottarika-āgama
EePTS edition
MNMajjhima-nikāya
PaṭisPaṭisambhidāmagga
Saṃyukta-āgama
SHTSanskrithandschriften aus den Turfanfunden
SNSaṃyutta-nikāya
SpkSāratthappakāsinī
TTaishō edition, CBETA
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Samyukta Agama - Tentang Lima Kelompok Unsur Kehidupan (5)
« Reply #9 on: 18 July 2015, 06:59:52 PM »
Catatan Tambahan: Tinjauan Kotbah-Kotbah Saṃyukta-āgama tentang Lima Kelompok Unsur Kehidupan dan Paralel Pāli-nya

Tabel di bawah ini menyediakan suatu tinjauan dari terjemahan lima jilid dari Bagian tentang Lima Kelompok Unsur Kehidupan dalam Saṃyukta-āgama. Tabel 1 meninjau kotbah-kotbah Saṃyukta-āgama dari bagian tentang lima kelompok unsur kehidupan berdasarkan nomor jilid dari urutan yang direkonstruksi dari kumpulan itu dan volume Dharma Drum Journal of Buddhist Studies (DDJBS) di mana masing-masing terjemahan muncul. Kolom 1 memberikan jilid, kolom 2 kotbah-kotbah, dan kolom 3 volume jurnal.

Tabel 1. Terjemahan Saṃyukta-āgama, Bagian tentang Lima Kelompok Unsur Kehidupan

Jilid ke-1 SĀ 1 sampai SĀ 32DDJBS vol. 11 (2012)
Jilid ke-2 SĀ 256 sampai SĀ 272DDJBS vol. 12 (2013)
Jilid ke-3 SĀ 59 sampai SĀ 87DDJBS vol. 13 (2013)
Jilid ke-4 SĀ 33 sampai SĀ 58DDJBS vol. 14 (2014)
Jilid ke-5 SĀ 103 sampai SĀ 110DDJBS vol. 15 (2014)

Dalam tabel 2, kolom 1 mendaftarkan kotbah Pāli, kolom 2 memberikan lokasinya dalam edisi PTS, kolom 3 mendaftarkan paralel kotbah Saṃyukta-āgama dengan nomor, dan kolom 4 memberikan nomor dan halaman Dharma Drum Journal of Buddhist Studies di mana terjemahan kotbah Saṃyukta-āgama ini dan informasi lebih lanjut tentang paralel lainnya dapat ditemukan.

Tabel 2 Kotbah-Kotbah Pāli dan Paralel Saṃyukta-āgama-nya

MN 35 MN I 227 SĀ 110 DDJBS 15: 41
MN 109 MN III 15 SĀ 58 DDJBS 14: 60
SN 13.2 SN II 134 SĀ 109 DDJBS 15: 35
SN 18.21 SN II 252 SĀ 23 DDJBS 11: 40
SN 18.22 SN II 253 SĀ 24 DDJBS 11: 41
SN 22.1 SN III 1 SĀ 107 DDJBS 15: 27
SN 22.2 SN III 5 SĀ 108 DDJBS 15: 31
SN 22.5 SN III 13 SĀ 65 DDJBS 13: 18
SN 22.5 SN III 13 SĀ 66 DDJBS 13: 20
SN 22.7 SN III 15 SĀ 43 DDJBS 14: 30
SN 22.8 SN III 18 SĀ 44 DDJBS 14: 33
SN 22.9 SN III 19 SĀ 8 DDJBS 11: 14
SN 22.9 SN III 19 SĀ 79 DDJBS 13: 43
SN 22.12 SN III 21 SĀ 1 DDJBS 11: 6
SN 22.15 SN III 22 SĀ 9 DDJBS 11: 16
SN 22.15 SN III 22 SĀ 10 DDJBS 11: 18
SN 22.18 SN III 23 SĀ 11 DDJBS 11: 18
SN 22.18 SN III 23 SĀ 12 DDJBS 11: 20
SN 22.21 SN III 24 SĀ 260 DDJBS 12: 13
SN 22.22 SN III 25 SĀ 73 DDJBS 13: 33
SN 22.24 SN III 26 SĀ 3 DDJBS 11: 9
SN 22.25 SN III 27 SĀ 77 DDJBS 13: 41
SN 22.27 SN III 29 SĀ 14 DDJBS 11: 23
SN 22.28 SN III 29 SĀ 13 DDJBS 11: 21
SN 22.29 SN III 31 SĀ 5 DDJBS 11: 11
SN 22.29 SN III 31 SĀ 7 DDJBS 11: 13
SN 22.30 SN III 31 SĀ 78 DDJBS 13: 42
SN 22.32 SN III 32 SĀ 51 DDJBS 14: 45
SN 22.33 SN III 33 SĀ 269 DDJBS 12: 49
SN 22.34 SN III 34 SĀ 269 DDJBS 12: 49
SN 22.35 SN III 34 SĀ 16 DDJBS 11: 28
SN 22.36 SN III 36 SĀ 15 DDJBS 11: 25
SN 22.37 SN III 37 SĀ 49 DDJBS 14: 42
SN 22.39 SN III 40 SĀ 47 DDJBS 14: 41
SN 22.39 SN III 40 SĀ 27 DDJBS 11: 45
SN 22.43 SN III 42 SĀ 36 DDJBS 14: 9
SN 22.44 SN III 43 SĀ 69 DDJBS 13: 26
SN 22.45 SN III 44 SĀ 84 DDJBS 13: 55
SN 22.47 SN III 46 SĀ 45 DDJBS 14: 34
SN 22.47 SN III 46 SĀ 63 DDJBS 13: 11
SN 22.48 SN III 47 SĀ 55 DDJBS 14: 51
SN 22.49 SN III 48 SĀ 30 DDJBS 11: 48
SN 22.50 SN III 50 SĀ 31 DDJBS 11: 52
SN 22.51 SN III 51 SĀ 1 DDJBS 11: 6
SN 22.52 SN III 51 SĀ 2 DDJBS 11: 8
SN 22.53 SN III 53 SĀ 40 DDJBS 14: 18
SN 22.54 SN III 54 SĀ 39 DDJBS 14: 15
SN 22.55 SN III 55 SĀ 64 DDJBS 13: 13
SN 22.56 SN III 58 SĀ 41 DDJBS 14: 18
SN 22.57 SN III 61 SĀ 42 DDJBS 14: 23
SN 22.58 SN III 65 SĀ 75 DDJBS 13: 38
SN 22.59 SN III 66 SĀ 34 DDJBS 14: 5
SN 22.60 SN III 68 SĀ 81 DDJBS 13: 48
SN 22.63 SN III 73 SĀ 21 DDJBS 11: 37
SN 22.64 SN III 73 SĀ 21 DDJBS 11: 37
SN 22.65 SN III 73 SĀ 21 DDJBS 11: 37
SN 22.68 SN III 77 SĀ 17 DDJBS 11: 31
SN 22.69 SN III 78 SĀ 18 DDJBS 11: 33
SN 22.70 SN III 79 SĀ 19 DDJBS 11: 34
SN 22.70 SN III 79 SĀ 20 DDJBS 11: 36
SN 22.79 SN III 86 SĀ 46 DDJBS 14: 36
SN 22.80 SN III 91 SĀ 272 DDJBS 12: 60
SN 22.81 SN III 94 SĀ 57 DDJBS 14: 53
SN 22.82 SN III 100 SĀ 58 DDJBS 14: 60
SN 22.83 SN III 105 SĀ 261 DDJBS 12: 15
SN 22.84 SN III 106 SĀ 271 DDJBS 12: 55
SN 22.85 SN III 109 SĀ 104 DDJBS 15: 11
SN 22.86 SN III 116 SĀ 106 DDJBS 15: 23
SN 22.89 SN III 126 SĀ 103 DDJBS 15: 4
SN 22.90 SN III 132 SĀ 262 DDJBS 12: 18
SN 22.91 SN III 135 SĀ 23 DDJBS 11: 40
SN 22.92 SN III 136 SĀ 24 DDJBS 11: 41
SN 22.93 SN III 137 SĀ 268 DDJBS 12: 47
SN 22.94 SN III 138 SĀ 37 DDJBS 14: 11
SN 22.95 SN III 140 SĀ 265 DDJBS 12: 34
SN 22.96 SN III 143 SĀ 264 DDJBS 12: 27
SN 22.99 SN III 149 SĀ 266 DDJBS 12: 40
SN 22.100 SN III 151 SĀ 267 DDJBS 12: 43
SN 22.101 SN III 152 SĀ 263 DDJBS 12: 24
SN 22.102 SN III 155 SĀ 270 DDJBS 12: 52
SN 22.103 SN III 157 SĀ 70 DDJBS 13: 27
SN 22.105 SN III 159 SĀ 71 DDJBS 13: 29
SN 22.106 SN III 159 SĀ 72 DDJBS 13: 32
SN 22.115 SN III 163 SĀ 26 DDJBS 11: 44
SN 22.115 SN III 163 SĀ 29 DDJBS 11: 47
SN 22.116 SN III 164 SĀ 28 DDJBS 11: 46
SN 22.117 SN III 164 SĀ 74 DDJBS 13: 36
SN 22.118 SN III 165 SĀ 76 DDJBS 13: 40
SN 22.122 SN III 167 SĀ 259 DDJBS 12: 10
SN 22.125 SN III 170 SĀ 22 DDJBS 11: 38
SN 22.127 SN III 172 SĀ 256 DDJBS 12: 4
SN 22.128 SN III 172 SĀ 256 DDJBS 12: 4
SN 22.129 SN III 172 SĀ 256 DDJBS 12: 4
SN 22.130 SN III 172 SĀ 256 DDJBS 12: 4
SN 22.133 SN III 175 SĀ 256 DDJBS 12: 4
SN 22.134 SN III 175 SĀ 258 DDJBS 12: 8
SN 22.135 SN III 176 SĀ 257 DDJBS 12: 6
SN 22.146 SN III 179 SĀ 48 DDJBS 14: 42
SN 26.10 SN III 231 SĀ 78 DDJBS 13: 42
SN 44.2 SN IV 380 SĀ 106 DDJBS 15: 23
AN 7.67 AN IV 125 SĀ 263 DDJBS 12: 2
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Samyukta Agama - Tentang Lima Kelompok Unsur Kehidupan (5)
« Reply #10 on: 18 July 2015, 07:02:25 PM »
Samyukta Agama - Bagian Kelompok Unsur Kehidupan (jilid 1-5) selesai

:lotus::lotus::lotus:
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa