110. [Kotbah kepada Saccaka]<85>
Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Vesālī di tepi Kolam Kera. Di negeri Vesālī terdapat seorang putra dari para Nigaṇṭha yang cerdas dan pandai, terampil dalam memahami ajaran apa pun. Ia membangggakan diri atas kepandaiannya dan pengetahuannya yang mendalam atas banyak kumpulan ajaran dan rinciannya yang mendalam. Ketika memberikan ajaran kepada perkumpulan-perkumpulan, ia mengungguli semua pendebat dan ia terus berpikir:
“Di antara para pertapa dan brahmana, aku tidak tertandingi, dapat berdebat bahkan dengan seorang Tathāgata. [Hanya] dengan mendengar namaku, berbagai jenis pendebat akan mengeluarkan keringat dari dahi, ketiak, dan pori-pori rambutnya. Berdebat suatu hal, aku [bagaikan] angin [kencang] yang dapat meratakan rerumputan dan pepohonan, menghancurkan logam dan batuan, dan menaklukkan ular dan gajah, apa yang dikatakan tentang berbagai jenis pendebat di antara manusia yang dapat menyamaiku?”<86>
Kemudian seorang bhikkhu bernama Assaji, setelah mengenakan jubah [luar] dan membawa mangkuknya pada pagi hari, memasuki kota untuk mengumpulkan makanan dengan perilaku yang sepatutnya dan membangkitkan rasa kagum, dengan berjalan dengan tenang dan dengan mata direndahkan. Pada waktu itu Saccaka, putra para Nigaṇṭha, yang disebabkan beberapa hal kecil pergi ke desa-desa, datang keluar dari gerbang kota dan melihat dari jauh Bhikkhu Assaji.<87> Ia mendekatinya dan bertanya: “Apakah ajaran yang diberikan Pertapa Gotama kepada para siswa-Nya, apakah ajaran di mana Beliau menasehati para siswa-Nya untuk praktek mereka?” [35b]
Assaji menjawab: “Aggivessana, Sang Bhagava menasehati para siswa-Nya dengan ajaran untuk mereka agar berlatih sesuai dengan cara ini, dengan mengatakan: “Para bhikkhu, bentuk jasmani seharusnya direnungkan sebagai bukan diri, perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran seharusnya direnungkan sebagai bukan diri. Berusahalah untuk merenungkan lima kelompok unsur yang dilekati sebagai penyakit, sebagai duri, sebagai pembunuh, sebagai tidak kekal, sebagai dukkha, sebagai kosong, sebagai bukan diri’.”<88>
Ketika mendengar kata-kata ini, pikiran Saccaka, putra para Nigaṇṭha, tidak bergembira dan ia berkata:<89> “Assaji, engkau pastinya mendengar dengan salah, Pertapa Gotama tidak akan mengatakan seperti ini sama sekali.<90> Jika Pertapa Gotama mengatakan seperti ini, maka ini adalah suatu pandangan salah dan aku akan mendekati Beliau, berdebat dengan-Nya, dan dengan ketat menanyai-Nya, sedemikian sehingga untuk menghentikan-Nya [dari mengatakan seperti ini].”
Pada waktu itu Saccaka, putra para Nigaṇṭha, mendekati desa-desa. Ia berkata kepada orang-orang Licchavi, yang berkumpul di aula pertemuan para Licchavi:
“Hari ini aku bertemu dengan seorang siswa terkemuka Pertapa Gotama bernama Assaji dan kami mengadakan debat kecil tentang suatu hal. Menurut apa yang ia katakan kepadaku, aku akan mendekati Pertapa Gotama dan, dengan berdebat suatu hal dengan Beliau, aku pasti akan membuat-Nya kehilangan muka, mengundurkan diri, dan berputar-putar sesuai dengan keinginanku.
“Seperti halnya seorang pria yang menyiangi rumput mencabut keluar rumput sampai akarnya dan, dengan menggenggam tangkainya dengan tangannya, mengguncangnya di udara untuk membersihkan semua kotoran. Dengan cara yang sama aku akan berdebat hal itu dengan Pertapa Gotama, membantah-Nya, dan dengan ketat menanyai-Nya, dengan menggenggam apa yang penting dan membuat-Nya kehilangan muka, mengundurkan diri, dan berputar-putar sesuai dengan keinginanku, dengan melepaskan pernyataan salah-Nya.
“[Atau] seperti halnya, dalam sebuah warung minuman keras, seseorang mungkin mengambil saringan minuman keras dan menekannya, untuk mendapatkan anggur murni dan membuang sisa-sisa butirannya. Dengan cara yang sama aku akan mendekati Pertapa Gotama, berdebat dan membantahnya,<91> dengan ketat menanyainya, mengambil intisari murni dan membuat-Nya kehilangan muka, mengundurkan diri, dan berputar-putar, dengan melepaskan pernyataan salah apa pun.
“[Atau] seperti halnya seorang ahli dalam menenun kesetan, yang ingin menjual suatu kesetan yang kotor di pasar, akan mencucinya dengan air untuk membuang berbagai bau atau kotoran. Dengan cara yang sama aku akan mendekati Pertapa Gotama dan berdebat tentang hal itu dengan Beliau, menggenggam apa yang penting, membuat-Nya kehilangan muka, mengundurkan diri, dan berputar-putar, dengan melepaskan pernyataan ternoda apa pun.
“[Atau] seperti halnya seorang pelatih gajah yang ahli di istana raja akan memimpin seekor gajah besar yang mabuk ke dalam air yang dalam untuk membersihkan tubuh, empat anggota tubuh, telinga, belalai, dengan mencuci semuanya di sekeliling untuk membersihkan berbagai debu atau kotoran.<92> Dengan cara yang sama aku akan mendekati Pertapa Gotama, berdebat dan membantah hal itu dengan Beliau, dengan ketat menanyai-Nya, membuat-Nya kehilangan muka, mengundurkan diri, dan berputar-putar menurut kehendak bebasku, dengan menggenggam poin yang utama dan melepaskan pernyataan kotor apa pun.<93> Para Licchavi, kalian dapat datang bersamaku untuk melihat bagaimana Beliau akan dikalahkan.”
Di antara para Licchavi terdapat beberapa orang yang berkata seperti ini: “Bahwa Saccaka, putra para Nigaṇṭha, akan dapat [mempertahankan argumentasinya] dalam berdebat tentang hal itu dengan Pertapa Gotama, itu tidak mungkin.” Yang lainnya berkata: “Saccaka, putra para Nigaṇṭha, adalah pandai dan berkemampuan tajam, ia akan dapat [mempertahankan argumentasinya] dalam berdebat tentang hal itu.” [35c]
Pada waktu itu Sang Bhagava duduk di bawah sebatang pohon di Hutan Besar untuk berdiam selama siang hari, sedangkan banyak bhikkhu berada di luar tempat kediaman [monastik], berlatih meditasi berjalan di hutan itu. Mereka melihat dari jauh bahwa Saccka, putra para Nigaṇṭha, datang.
Ia perlahan-lahan mendekati para bhikkhu dan bertanya kepada mereka: “Di manakah Pertapa Gotama berdiam?”
Para bhikkhu menjawab: “Beliau [duduk] di bawah sebatang pohon di Hutan Besar untuk berdiam selama siang hari.”
Saccaka, putra para Nigaṇṭha, mendekati Sang Buddha, memberikan penghormatan dan, setelah bertukar salam, duduk di satu sisi. Para perumah tangga Licchavi juga mendekati Sang Buddha, beberapa dari mereka memberikan penghormatan, yang lainnya mengangkat tangan mereka dengan telapak tangan disatukan [untuk menghormati], bertukar salam dan, setelah bertukar salam, berdiri di satu sisi.<94>
Kemudian Saccaka, putra para Nigaṇṭha, berkata kepada Sang Buddha: “Aku telah mendengar bahwa Gotama memberikan ajaran yang demikian dan pengajaran yang demikian kepada para siswa-Nya, dengan menasehati para siswa-Nya untuk merenungkan bentuk jasmani sebagai bukan diri, untuk merenungkan perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran sebagai bukan diri; berusaha untuk merenungkan lima kelompok unsur kehidupan yang dilekati sebagai penyakit, sebagai bisul, sebagai duri, sebagai pembunuh, sebagai tidak kekal, sebagai dukkha, sebagai kosong, sebagai bukan diri.<95>
“Apakah Gotama mengajarkan dengan cara ini atau apakah berita ini salah menggambarkan Gotama? Apakah ini dikatakan seperti yang telah dikatakan atau apakah ini tidak dikatakan seperti yang telah dikatakan? Apakah ini dikatakan berdasarkan Dharma, apakah ini dikatakan sesuai dengan Dharma, sehingga tidak menyebabkan seseorang jatuh ke dalam suatu kesempatan untuk dikalahkan dalam situasi dibantah dan ditanyai dengan ketat oleh orang lain yang datang?”<96>
Sang Buddha berkata kepada Saccaka, putra para Nigaṇṭha: “Apa yang telah engkau dengar dikatakan seperti yang telah dikatakan, ia dikatakan berdasarkan Dharma, ia dikatakan sesuai dengan Dharma, ia bukanlah penggambaran salah dan tidak menyebabkan seseorang jatuh ke dalam suatu kesempatan untuk dikalahkan ketika dibantah dan ditanyai dengan ketat. Mengapa demikian?
“Aku sesungguhnya memberikan ajaran demikian kepada para siswa-Ku, Aku sesungguhnya terus-menerus menasehati para siswa-Ku, sehingga sesuai dengan ajaran dan pengajaran-Ku mereka merenungkan bentuk jasmani sebagai bukan diri... perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran sebagai bukan diri, dan merenungkan lima kelompok unsur kehidupan yang dilekati ini sebagai penyakit, sebagai bisul, sebagai duri, sebagai pembunuh, sebagai tidak kekal, sebagai dukkha, sebagai kosong, sebagai bukan diri.”
Saccaka, putra para Nigaṇṭha, berkata kepada Sang Buddha: “Gotama, aku sekarang akan mengatakan suatu perumpamaan.”
Sang Buddha berkata kepada Saccaka, putra para Nigaṇṭha: “Ketahuilah bahwa ini adalah waktu yang sesuai untuk itu.”
[Saccaka berkata]: “Seperti halnya apa pun yang dilakukan di dunia semuanya bergantung pada bumi, dengan cara yang sama bentuk jasmani adalah diri seseorang, di mana baik dan buruk muncul, perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran adalah diri seseorang, di mana baik dan buruk muncul.<97>
“Selanjutnya, seperti halnya di alam manusia, [atau] di alam dewa [yang berhubungan dengan bumi], tumbuhan, rerumputan, pepohonan, dan hutan semuanya bergantung pada bumi untuk kemunculan dan pertumbuhan mereka, dengan cara yang sama bentuk jasmani adalah diri seseorang, perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran adalah diri seseorang.”
Sang Buddha berkata [36a]: “Aggivessana, apakah engkau mengatakan bahwa bentuk jasmani adalah diri seseorang, bahwa perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran adalah diri seseorang?”
Ia menjawab: “Demikianlah, Gotama, bentuk jasmani adalah diri seseorang, perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran adalah diri seseorang – dan seluruh perkumpulan ini mengatakan hal yang sama.”
Sang Buddha berkata: “Aggivessana, cukup bertahan pada ajaranmu sendiri. [Apa] gunanya membawa orang-orang dalam perkumpulan?”
Saccaka, putra para Nigaṇṭha, berkata kepada Sang Buddha: “Bentuk jasmani sesungguhnya adalah diri seseorang.”
Sang Buddha berkata: “Aggivessana, Aku sekarang akan bertanya kepadamu, jawablah Aku berdasarkan pemahamanmu. Seperti halnya raja suatu negeri yang dalam negerinya sendiri dapat menghukum mati seseorang yang melakukan kejahatan, atau menangkapnya, atau mengasingkannya, atau memerintahkannya dicambuk serta tangan dan kakinya dipotong; dan jika seseorang melakukan perbuatan berjasa, [raja dapat] memberinya hadiah seekor gajah, seekor kuda, sebuah kereta, sebuah kota, atau harta kekayaan – dapatkah ia tidak melakukan semua itu?”<98>
Ia menjawab: “Ia dapat melakukannya, Gotama.”
Sang Buddha berkata: “Aggivessana, siapa pun pemiliknya, akankah ia tidak secara penuh bebas melakukan apa pun yang ia inginkan?”<99>
Ia menjawab: “Demikianlah, Sang Bhagava.”
Sang Buddha berkata: “Aggivessana, engkau mengatakan bahwa bentuk jasmani adalah diri seseorang, bahwa perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran adalah diri seseorang, [tetapi] apakah engkau dapat, menurut keinginanmu, dengan bebas memerintahkan mereka seperti ini, [atau] tidak seperti ini?”
Kemudian Saccaka, putra para Nigaṇṭha, tetap berdiam diri.
Sang Buddha berkata: “Aggivessana, marilah sekarang dan katakanlah, marilah sekarang dan katakanlah. Mengapa engkau tetap berdiam diri?”
Dengan cara yang sama untuk tiga kali Saccaka, putra para Nigaṇṭha, tetap berdiam diri seperti sebelumnya.
Kemudian sesosok dewa halilintar, dengan memegang halilintar, menyeramkan dan menyala dengan api, berdiam di ruang kosong dekat di atas kepala Saccaka, putra para Nigaṇṭha, mengatakan hal ini: “Sang Bhagava telah bertanya kepadamu tiga kali. Mengapa engkau tidak menjawab? Dengan halilintar ini aku akan memecah kepalamu menjadi tujuh bagian!”<100>
Disebabkan kekuatan batin Sang Buddha, hanya Saccaka, putra para Nigaṇṭha, melihat dewa halilintar itu; sisa dari perkumpulan itu tidak melihatnya.<101> Saccaka, putra para Nigaṇṭha, menjadi sangat ketakutan dan berkata kepada Sang Buddha:<102> “Tidak, Gotama.”
Sang Buddha berkata: “Aggivessana, perhatikan dengan baik dan jawablah setelah memahaminya. Sebelumnya dalam perkumpulan ini engkau menyatakan bahwa bentuk jasmani adalah diri, bahwa perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran adalah diri, tetapi sekarang engkau mengatakan bahwa itu tidak demikian. [Pernyataan] yang sebelumnya dan yang terakhir bertentangan satu sama lainnya. Engkau sebelumnya terus-menerus mengatakan: ‘Bentuk jasmani adalah diri, perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran adalah diri.’<103> Aggivessana, sekarang aku akan bertanya kepadamu: Apakah bentuk jasmani kekal atau tidak kekal?”
Ia menjawab: “Tidak kekal, Gotama.”<104>
[Sang Buddha] bertanya lagi: “Apa yang tidak kekal, apakah ia dukkha?”
Ia menjawab: “Dukkha, Gotama.”
[Sang Buddha] bertanya lagi: “Apa yang tidak kekal, dukkha, dan bersifat berubah-ubah, akankah seorang siswa mulia yang terpelajar di sini melihatnya sebagai diri, sebagai berbeda dari diri [dalam pengertian dimiliki olehnya], sebagai ada [dalam diri, atau diri] sebagai ada [di dalamnya]?”
Ia menjawab: “Tidak, Gotama.”
Perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran seharusnya juga diucapkan seperti ini.
Sang Buddha berkata: “Aggivessana, engkau [seharusnya] memperhatikan dengan baik dan kemudian berkata.” [36b]
[Sang Buddha] bertanya lagi: “Aggivessana, jika seseorang tidak bebas dari nafsu sehubungan dengan bentuk jasmani, tidak bebas dari keinginan terhadapnya, tidak bebas dari pemikiran [penuh gairah] tentangnya, tidak bebas dari ketagihan terhadapnya, tidak bebas dari kehausan sehubungan dengannya, jika bentuk jasmani itu berubah, jika ia menjadi sebaliknya, akankah kesedihan, dukacita, kekesalan, dan kesakitan muncul?”<105>
Ia menjawab: “Demikianlah, Gotama.”
Perasaan... persepsi... bentukan... kesadaran seharusnya juga diucapkan seperti ini.
[Sang Buddha] bertanya lagi: “Aggivessana, jika seseorang bebas dari nafsu sehubungan dengan bentuk jasmani, bebas dari nafsu terhadapnya, bebas dari pemikiran [penuh gairah] tentangnya, bebas dari ketagihan terhadapnya, bebas dari kehausan sehubungan dengannya, jika bentuk jasmani itu berubah, jika ia menjadi sebaliknya, akankah kesedihan, dukacita, kekesalan, dan kesakitan tidak muncul?”
Ia menjawab: “Demikianlah, Gotama; ini benar dan bukan sebaliknya.”
Perasaan, persepsi, bentukan, dan kesadaran seharusnya juga diucapkan seperti ini.
[Sang Buddha berkata]: “Aggivessana, seperti halnya seseorang yang tubuhnya dirudung oleh berbagai jenis kesakitan, yang terus-menerus disertai oleh rasa sakit, rasa sakit yang tidak berhenti, tidak lenyap. Akankah [orang ini] dapat memperoleh kebahagiaan dari hal itu?”<106>
Ia menjawab: “Tidak, Gotama.”
[Sang Buddha berkata]: “Demikianlah, Aggivessana. [Seseorang yang] tubuhnya dirudung berbagai kesakitan, yang terus-menerus disertai oleh rasa sakit, rasa sakit yang tidak berhenti, tidak lenyap, tidak akan dapat memperoleh kebahagiaan dari hal itu.
“Aggivessana, seperti halnya jika seseorang yang mencari inti kayu yang keras naik ke atas gunung, dengan membawa sebuah kapak. Ketika melihat sebatang pohon pisang raja yang sangat besar dan sangat tegak, ia memotongnya pada akarnya dan membuang pelepahnya, melepaskan kulitnya, sampai tidak ada yang tersisa. [Ia akan menemukan bahwa ia] sepenuhnya tanpa inti yang keras.<107> Aggivessana, engkau juga seperti itu. Argumentasi diri yang engkau kembangkan telah berakhir, Aku sekarang telah menemukan intisari yang sejati dan benar. Mereka sepenuhnya tanpa inti yang padat, seperti sebatang pohon pisang raja.
“Tetapi, di antara perkumpulan ini engkau berani membuat pernyataan: ‘Aku tidak melihat, di antara para pertapa, atau para brahmana yang memiliki pengetahuan dan memiliki penglihatan, [bahkan] seorang Tathāgata, seorang arahant, seorang yang tercerahkan sempurna yang memilik pengetahuan dan memiliki penglihatan, yang dapat mengambil bagian dalam berdebat suatu hal tanpa terserakkan dan dikalahkan [olehku].’
“Engkau juga berkata tentang dirimu sendiri: ‘[Ketika] berdebat suatu hal, aku [bagaikan] angin [kencang] yang meratakan rumput dan pepohonan, menghancurkan logam dan batuan, dan menundukkan ular atau gajah, aku pasti dapat menyebabkan orang lain mengeluarkan keringat dari dahi, ketiak, dan pori-pori rambut mereka.’ Sekarang engkau tidak menegakkan ajaranmu sendiri dan masalahmu sendiri, [walaupun] pertama kali engkau membual dapat menaklukkan cara-cara [berpikir] orang lain. Sekarang engkau telah sampai pada akhir [kecerdasan]-mu sendiri dan engkau tidak dapat menggerakkan sehelai rambut pun dari Sang Tathāgata.”
Pada waktu itu Sang Bhagava, dalam perkumpulan besar itu, melepas jubah luarnya dan memperlihatkan dada-Nya, [dengan berkata]: “Cobalah lihat apakah engkau dapat menggerakkan sehelai rambut Sang Tathāgata!”<108>
Pada waktu itu Saccaka, putra para Nigaṇṭha, menundukkan kepalanya dengan berdiam diri, pucat dan malu.
Pada waktu itu dalam perkumpulan itu terdapat seorang Licchavi bernama Dummukha, yang bangkit dari tempat duduknya, mengatur pakaiannya dan, dengan mengangkat tangannya dengan telapak tangan disatukan [untuk menghormat] terhadap Sang Buddha, berkata: “Sang Bhagava, izinkanlah aku untuk mengatakan suatu perumpamaan.”
Sang Buddha berkata: “Dummukha, ketahuilah bahwa ini adalah waktu yang tepat untuk itu.”
Dummukha berkata kepada Sang Buddha: “Sang Bhagava, bagaikan seseorang yang hanya mengambil [wadah] berukuran satu takaran atau sepuluh takaran untuk mengumpulkan dua puluh atau tiga puluh takaran dari setumpukan besar padi-padian. Sekarang Saccaka, putra para Nigaṇṭha ini, adalah seperti itu. [36c]
“Sang Bhagava, bagaikan seorang perumah tangga yang memiliki banyak kekayaan dan banyak harta karun melakukan pelanggaran disebabkan kelalaian, disebabkan semua kekayaannya [disita] dan dibawa ke istana raja. Saccaka, putra para Nigaṇṭha, adalah seperti itu, kemampuannya berargumentasi telah sepenuhnya dibawa pergi oleh Sang Tathāgata.<109>
“Bagaikan terdapat sebuah kolam besar di samping sebuah kota atau desa. Laki-laki dan perempuan, muda dan tua, semuanya bermain dalam air dan, setelah menangkap seekor kepiting di dalam air, memotong kakinya dan kemudian menaruhnya pada tanah kering. Karena tidak memiliki kaki, ia tidak dapat kembali ke kolam besar itu. Saccaka, putra Nigaṇṭha, juga seperti itu. Semua kemampuan berargumentasinya telah sepenuhnya dipotong oleh Sang Tathāgata, ia tidak akan pernah lagi berani mendekati Sang Tathāgata dan menantang Beliau berdebat suatu hal.
Pada waktu itu Saccaka, putra para Nigaṇṭha, marah dan terganggu. Ia memarahi Dummukha orang Licchavi,<110> dengan berkata: “Engkau kasar dan tidak sopan! Belum menyelidiki kebenaran, mengapa engkau berkata omong kosong? Aku sedang berdiskusi dengan Pertapa Gotama sendiri. Akankah engkau memperhatikan urusanmu sendiri?”
Setelah memarahi Dummukha, Saccaka, putra para Nigaṇṭha, kemudian berkata kepada Sang Buddha: “Biarkanlah perkataan yang rendah itu. Sekarang aku memiliki pertanyaan lain.”<111>
Sang Buddha berkata kepada Saccaka, putra para Nigaṇṭha: “Silahkan bertanya, Aku akan menjawab sesuai dengan pertanyaanmu.”
[Saccaka bertanya]: “Gotama, bagaimanakah Engkau memberikan ajaran kepada para siswa-Mu sehingga mereka bebas dari keragu-raguan?”