//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Kisah Seorang Bhikkhu yang Menyokong Orang Tuanya  (Read 4386 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Kisah Seorang Bhikkhu yang Menyokong Orang Tuanya
« on: 22 December 2012, 01:29:54 PM »
Menyambut hari ibu yang jatuh pada hari ini tanggal 22 Desember 2012, saya pada kesempatan ini mem-post sebuah kisah Jataka tentang seorang bhikkhu yang merawat kedua orang tuanya yang jatuh miskin setelah anak mereka yang satu-satunya meninggalkan keduniawian.

Selamat hari ibu buat semua ibu di dunia ini....  :)
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Kisah Seorang Bhikkhu yang Menyokong Orang Tuanya
« Reply #1 on: 22 December 2012, 01:30:39 PM »
KISAH SEORANG BHIKKHU YANG MENYOKONG ORANG TUANYA

Terdapat seorang saudagar kaya di Savatthi yang memiliki seorang putra tunggal yang sangat ia sayangi. Suatu hari sang pemuda ketika berada di teras rumahnya dan membuka jendela melihat keramaian orang pergi ke vihara Jetavana dengan wewangian dan kalungan bunga untuk mendengarkan Dhamma. Ia bermaksud untuk mengikuti mereka juga. Maka dengan wewangian dan kalungan bunga, ia pergi ke vihara dan setelah berdana jubah, obat-obatan, minuman, dst kepada Sangha dan memberikan penghormatan kepada Sang Buddha, ia duduk pada satu sisi. Setelah mendengarkan Dhamma dan menyadari akibat buruk dari nafsu keinginan dan berkah dari menjalankan kehidupan suci, ketika perkumpulan itu sudah bubar ia meminta Sang Buddha untuk menahbiskannya menjadi seorang bhikkhu, tetapi ia diberitahukan bahwa para Buddha tidak menahbiskan seseorang tanpa izin dari orang tuanya. Maka ia pulang ke rumah, tidak makan selama seminggu untuk mendapatkan izin dari orang tuanya.

Setelah mendapatkan izin dari orang tuanya, ia kembali ke vihara dan memohon penahbisan. Sang Buddha menunjuk seorang bhikkhu untuk menahbiskan pemuda itu dan setelah ditahbiskan ia mendapatkan banyak penghormatan dan perolehan; ia disenangi oleh para guru dan penahbisnya, dan setelah menerima penahbisan penuh ia menguasai Dhamma dalam lima tahun. Kemudian ia berpikir, “Aku terganggu jika tinggal di sini, ini tidak sesuai bagiku,” dan ia menjadi sangat ingin mencapai tujuan akhir pandangan terang. Maka setelah mendapatkan pengajaran penuh tentang meditasi dari gurunya, ia berangkat ke sebuah desa di daerah perbatasan dan tinggal di dalam hutan, namun selama dua belas tahun ia berusaha dan berjuang keras untuk mencapai pandangan terang, ia gagal mencapai apa pun.

Sementara itu, orang tua sang pemuda tadi seraya berjalannya waktu jatuh miskin karena orang-orang yang bekerja untuk mereka, setelah mengetahui bahwa mereka tidak memiliki anak ataupun saudara, merebut lahan dagangan mereka. Akhirnya, karena kelaparan orang tuanya menjual rumah mereka dan menjadi gelandangan yang meminta-minta belas kasihan orang.

Pada saat itu seorang bhikkhu tertentu datang dari vihara Jetavana ke tempat kediaman sang anak. Setelah beramah tamah dan menanyakan asalnya, sang anak mengetahui bahwa sang bhikkhu tamu berasal dari kota tempat tinggal orang tuanya. Setelah menanyakan kabar tentang Sang Buddha dan para siswa utama-Nya, ia bertanya pada bhikkhu tamu tersebut tentang kabar orang tuanya, “Katakan padaku, Yang Mulia, tentang keadaan keluarga saudagar yang bernama anu di Savatthi.”

“O sahabat, janganlah engkau tanyakan tentang kabar keluarga tersebut.”

“Kenapa demikian, Yang Mulia?”

“Mereka mengatakan bahwa terdapat seorang putra dalam keluarga tersebut, tetapi ia menjadi seorang pertapa dalam Dhamma, dan sejak ia meninggalkan keduniawian keluarganya jatuh ke dalam kehancuran; dan pada saat ini kedua orang tua itu telah jatuh dalam keadaan yang paling menyedihkan dan harus meminta-minta sedekah.”

Sang bhikkhu menangis ketika mendengar kabar ini. Ketika ditanya mengapa ia menangis, ia menjawab, “O Yang Mulia, mereka adalah kedua orang tuaku sendiri, aku adalah putra mereka.”

“O sahabat, kedua orang tuamu jatuh dalam kehancuran karena dirimu. Kamu harus pergi dan merawat mereka.”

“Selama dua belas tahun”, sang bhikkhu itu berpikir, “aku telah berusaha keras tetapi tidak dapat mencapai jalan ataupun buahnya, aku pasti tidak berkemampuan; apakah yang dapat kulakukan dengan kehidupan pertapa ini? Aku akan menjadi seorang perumah tangga dan akan menyokong orang tuaku serta memberikan kekayaaanku, dan dengan demikian aku akan terlahir kembali di alam surga.”

Maka setelah memutuskan demikian ia meninggalkan kediamannya di hutan dan pada hari berikutnya berangkat dan akhirnya tiba di sebuah vihara di belakang Jetavana yang tidak jauh dari Savatthi. Di sana ia menemukan dua jalan, satu menuju ke Jetavana, yang lain menuju ke Savatthi. Seraya berdiri di sana, ia berpikir, “Manakah yang harus kutemui terlebih dahulu, orang tuaku atau Sang Buddha?” Kemudian ia berkata pada dirinya sendiri, “Pada hari-hari sebelumnya, aku melihat orang tuaku selama waktu yang lama, saat ini aku sangat jarang menemui kesempatan untuk menemui Sang Buddha; aku akan menemui Sang Buddha hari ini dan mendengarkan Dhamma hari ini dan besok pagi aku akan menemui orang tuaku.”

Maka ia meninggalkan jalan ke Savatthi dan pada malam harinya tiba di Jetavana. Pada fajar pagi itu Sang Buddha ketika mengamati dunia melihat kemampuan tersembunyi sang pemuda dan ketika pemuda itu datang menemui-Nya Beliau memuji kebajikan orang tua dalam kotbah yang berjudul Matuposaka Sutta (Samyutta Nikaya 7.19):

“Ketika seseorang dengan benar menyokong orang tuanya,
Karena pelayanan ini terhadap mereka
Para bijaksana memujinya di sini di dunia ini,
Dan setelah kematian, ia bergembira di alam surga.”


Berada dalam perkumpulan para bhikkhu dan sambil mendengarkan Dhamma, sang bhikkhu berpikir, “Jika aku menjadi perumah tangga, aku dapat menyokong orang tuaku, tetapi Sang Buddha juga berkata, ‘Seorang putra yang menjadi seorang pertapa juga dapat membantu orang tuanya’; aku pergi dulu tanpa menemui Sang Buddha, dan aku gagal dalam penahbisan yang tidak sempurna ini; aku sekarang akan menyokong orang tuaku sementara masih sebagai seorang pertapa tanpa menjadi seorang perumah tangga.”

Keesokan paginya ia pergi ke Savatthi dan setelah berpindapatta meminta dana makanan, ia mendapatkan bubur. Ia pun pergi ke pintu rumahnya yang lama. Ia melihat kedua orang tuanya duduk di dinding luar rumah setelah mengemis makanan. Ia berdiri tak jauh dari orang tuanya dan menangis dengan kedua mata yang berlinang air mata. Orang tuanya melihat sang bhikkhu dan sang ibu menyangka ia hanya seorang bhikkhu yang meminta dana makanan berkata padanya, “Kami tidak memiliki apa pun yang dapat diberikan kepada anda, Bhante, mohon anda bisa ke tempat lain saja.” Namun ia tetap berdiri di sana sambil menangis. Tiga kali sang ibu mengatakan demikian, tetapi ia tetap tidak beranjak dari tempatnya. Sang ayah kemudian berkata, “Pergilah temui dia, mungkin ia anak kita.” Sang ibu mendekati sang bhikkhu dan mengenalinya sebagai putranya sendiri, meratap dan menangis di kaki putranya tersebut. Sang ayah juga melakukan hal yang sama. Sang anak tidak dapat mengendalikan emosinya dan juga menangis bersama. Kemudian ia berkata, “Jangan bersedih lagi, aku akan menyokong kalian.”

Setelah menenangkan orang tuanya, ia memberikan bubur hasil pindapatta-nya kepada mereka. Ia kemudian pergi berpindapatta lagi untuk diberikan kepada orang tuanya, baru setelah itu ia memakannya untuk dirinya sendiri dan tinggal di suatu tempat tak jauh dari sana. Sejak hari itu ia menjaga orang tuanya dengan cara ini. Apa pun dana makanan yang ia peroleh ia berikan kepada orang tuanya. Demikian juga semua perlengkapan yang ia terima selama masa vassa. Ia mengambil kain bekas pakaian orang tuanya dan mencelupkannya untuk dipakai sebagai jubahnya. Namun seringkali ia mendapatkan sedikit sekali dana makanan dan jubah dalam dan luarnya menjadi sangat kasar. Lama-kelamaan ia menjadi sangat pucat dan kurus.

Para sahabatnya melihatnya bertambah kurus dan pucat bertanya kepada sang pemuda, “Kulitmu biasanya cerah, tetapi sekarang kamu menjadi sangat pucat, apakah kamu sakit?”

“Tidak, aku tidak sakit, tetapi suatu masalah terjadi padaku,” dan ia mengisahkan tentang kejadian orang tuanya tersebut.

“Yang Mulia, Sang Buddha tidak mengizinkan kita untuk menghabiskan dana dari umat yang berbakti, anda telah melakukan pelanggaran dengan memberikan umat awam dana yang anda peroleh.”

Ketika mendengar hal ini, ia menjadi malu. Namun karena tidak puas dengan hal ini, para bhikkhu menemui Sang Buddha dan memberitahukan kejadian ini kepada Beliau dengan mengatakan, “Demikianlah bhikkhu ini, Yang Mulia, telah menghabiskan dana dari umat yang berbakti dan menggunakannya untuk memberi makan umat lain.”

Sang Buddha memanggil sang bhikkhu dan bertanya kepadanya, “Benarkah bahwa kamu, seorang pertapa, mengambil dana dari umat yang berbakti dan menyokong umat lain dengan dana tersebut?”

Sang bhikkhu mengakuinya. Sang Buddha dengan maksud untuk memuji kebajikan sang bhikkhu bertanya kembali, “Siapakah umat awam yang kamu sokong?”

“Orang tuaku, Yang Mulia.”

Sang Buddha kemudian mengatakan, “Sangat bagus, sangat bagus”, tiga kali. “Kamu berada di jalan yang telah Ku-lalui sebelum kamu. Aku pada masa lampau, sambil mengumpulkan makanan, menyokong orang tuaku.” Para bhikkhu sangat ingin mengetahui kejadian masa lampau tersebut sehingga Sang Buddha mengisahkan kisah kehidupan lampau-Nya yang dikenal sebagai Sama Jataka (Jataka no.540) sebagai berikut.

Pada masa lampau hiduplah dua orang pemburu yang keduanya adalah kepala desa pemburu masing-masing. Keduanya membuat janji jika anak mereka berjenis kelamin berbeda, mereka akan menikahkan keduanya. Pemburu pertama memiliki anak laki-laki bernama Dukulaka karena ia lahir dalam balutan kain yang indah; pemburu yang lain memiliki anak perempuan bernama Parika karena ia lahir di seberang sungai. Ketika keduanya tumbuh dewasa, orang tua mereka ingin menikahkan mereka, tetapi karena berasal dari alam Brahma, keduanya tidak ingin menikah. Akhirnya, dengan persetujuan orang tua mereka, keduanya menjadi pertapa dan tinggal di sebuah pertapaan yang disediakan oleh Sakka, raja para dewa di tepi sungai Migasammata.

Suatu ketika Sakka melihat bahwa keduanya akan menjadi buta sehingga menyarankan pasangan tersebut memiliki anak agar dapat merawat mereka. Tentu saja hal ini ditolak oleh keduanya yang hanya ingin hidup selibat. Akhirnya, Sakka menyuruh Dukulaka menyentuh pusar Parika pada waktu yang tepat. Demikianlah Parika mengandung Bodhisatta. Setelah anak tersebut lahir, ia diberi nama Sama dan karena ia berkulit keemasan, ia juga disebut Suvannasama.

Suatu hari, setelah Sama dewasa, orang tuanya, yang kembali dari mengumpulkan akar-akaran dan buah-buahan di hutan, beristirahat di bawah pohon yang terdapat sarang semut di sana. Air keringat yang jatuh dari tubuh keduanya membuat seekor ular yang tinggal di dalam sarang semut tersebut marah dan gigitan ular tersebut membuat keduanya buta. Karena sudah malam dan orang tuanya tidak pulang-pulang, Sama mencarinya ke dalam hutan dan membawa mereka pulang. Sejak saat itu Sama merawat orang tuanya yang buta dengan mengumpulkan akar-akaran dan buah-buahan dari hutan, mengambil air dari sungai Migasammata dan memberikannya kepada orang tuanya yang tinggal di dalam pertapaan. Ia setiap hari melakukan ini dengan diiringi oleh sekumpulan rusa di hutan tersebut.

Suatu hari seorang raja dari Benares bernama Piliyakkha ketika sedang berburu di hutan tersebut melihat Sama mengambil air. Raja menyangka Sama adalah makhluk gaib karena melihat para rusa tanpa rasa takut meminum air sementara Sama mengisi guci airnya. Raja ingin menanyai Sama, tetapi ia takut Sama akan kabur, maka ia memanah Sama dengan panah beracunnya. Setelah berhasil melumpuhkannya, raja akhirnya mengetahui bahwa Sama hanyalah pertapa biasa yang merawat kedua orang tuanya yang buta. Raja sangat sedih dengan perbuatannya dan Sama jatuh pingsan karena keracunan. Raja pun menyangka Sama telah meninggal dunia.

Sosok dewi tertentu bernama Bahusodari, yang telah menjadi ibu Sama selama tujuh kehidupan sebelumnya, tinggal di Gandhamadana dan terus-menerus menjaga Sama. Pada hari itu ia pergi ke pertemuan para dewa dan melupakan anaknya sejenak, tetapi ia tiba-tiba merasakan bahaya yang menimpa anaknya tersebut. Sang dewi berdiri di angkasa tak jauh dari raja, membuat dirinya tidak terlihat, dan menyuruh raja untuk pergi menemui orang tua Sama. Raja menemui orang tua Sama dan setelah memberitahukan siapa dia sebenarnya, mengatakan kepada mereka bahwa Sama telah meninggal dunia.

Walaupun bersedih, Dukukala dan Parika tidak sedikit pun menunjukkan kemarahan kepada raja. Mereka meminta dibawa ke tempat di mana tubuh Sama berada. Setibanya di sana, Parika membuat pernyataan kebenaran (saccakiriya): “Jika benar Sama telah berbuat kebajikan di masa lampau dan merawat kedua orang tuanya serta jika kami memiliki kebajikan di masa lampau, semoga semua racun di tubuh Sama lenyap dan putra kami tidak meninggal dunia.” Secara ajaib, racun lenyap dari tubuh Sama dan ia pun kembali sadar.

Sementara itu Bahusodari juga membuat pernyataan kebenaran yang sama dan orang tua Sama secara ajaib mendapatkan kembali penglihatan mereka berkat kekuatan sang dewi. Raja sangat takjub atas keajaiban yang terjadi ini. Sama pun menjelaskan:

“Para manusia yang mematuhi Dhamma dan merawat orang tua mereka yang berada dalam kesulitan, para dewa akan mengamati rasa bakti mereka kepada orang tua dan datang untuk menyembuhkan penyakit mereka.

Para manusia yang mematuhi Dhamma dan merawat orang tua mereka yang berada dalam kesulitan, para dewa di dunia ini akan memuji perbuatan mereka dan pada kehidupan berikutnya akan bergembira di alam surga.”


Kemudian Sama mengajarkan agar raja melakukan sepuluh kewajiban, yaitu kewajiban kepada orang tua, anak dan istri, para sahabat dan menteri, para prajurit, para pertapa dan brahmana, serta para hewan dan burung-burung, agar dapat terlahir kembali di alam para dewa. Selain itu, ia juga mengajarkan agar menjalankan lima pelatihan moral (Pancasila Buddhis). Demikianlah kisah kehidupan lampau Bodhisatta yang merawat kedua orang tuanya yang buta.

Dalam kehidupan lampau tersebut Dukulaka adalah Maha Kassapa, Parika adalah Bhadda Kapilani, Piliyakkha adalah Ananda, Sakka adalah Anuruddha, dan Bahusodari adalah Uppalavanna.

Sumber: The Jataka, Vol. VI: No. 540.: Sma-Jtaka.
« Last Edit: 22 December 2012, 01:33:22 PM by ariyakumara »
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline sanjiva

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 4.091
  • Reputasi: 101
  • Gender: Male
Re: Kisah Seorang Bhikkhu yang Menyokong Orang Tuanya
« Reply #2 on: 22 December 2012, 03:38:09 PM »
KISAH SEORANG BHIKKHU YANG MENYOKONG ORANG TUANYA

..........
Dalam kehidupan lampau tersebut Dukulaka adalah Maha Kassapa, Parika adalah Bhadda Kapilani, Piliyakkha adalah Ananda, Sakka adalah Anuruddha, dan Bahusodari adalah Uppalavanna.

Sumber: The Jataka, Vol. VI: No. 540.: Sma-Jtaka.

Dengan kutipan dari Sang BUddha di atas, dan kondisi sekarang di mana banyak umat yang berdana uang ke rekening yang dimiliki seorang bhikkhu di Indonesia :

Berarti apakah dapat dibenarkan jika sekarang ini seorang bhikkhu yang banyak menerima dana dari umat, menggunakan dana itu untuk membantu orang tuanya (yg ekonomi pas2an), membangunkan rumah bagus untuk orang tuanya di kampung dari dana itu, dan menyokong kehidupan orang tuanya dari dana2 yang diterimanya dari para umat si bhikkhu?


#kayaknyabakalramelagineeh   ;D
«   Ignorance is bliss, but the truth will set you free   »

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Kisah Seorang Bhikkhu yang Menyokong Orang Tuanya
« Reply #3 on: 22 December 2012, 03:45:31 PM »
Dengan kutipan dari Sang BUddha di atas, dan kondisi sekarang di mana banyak umat yang berdana uang ke rekening yang dimiliki seorang bhikkhu di Indonesia :

Berarti apakah dapat dibenarkan jika sekarang ini seorang bhikkhu yang banyak menerima dana dari umat, menggunakan dana itu untuk membantu orang tuanya (yg ekonomi pas2an), membangunkan rumah bagus untuk orang tuanya di kampung dari dana itu, dan menyokong kehidupan orang tuanya dari dana2 yang diterimanya dari para umat si bhikkhu?

Kayaknya yang seperti itu lebih ke pembenaran saja, toh kita tidak tahu apakah rekening tersebut benar2 digunakan sebagaimana mestinya. Trus apakah dibenarkan dlm Vinaya seorang bhikkhu boleh memiliki rekening pribadi? Biar yang berkompeten saja yang menjawab :)

Tetapi pembahasan ini menurut saya sudah OOT, karena dlm thread ini yang saya maksud bukan perbuatan bhikkhu itu yang menyokong orang tuanya yang ditekankan, melainkan makna bakti kepada orang tua sehubungan dengan perayaan hari ibu sekarang ;D
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline stephen chow

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.055
  • Reputasi: 37
  • Gender: Male
Re: Kisah Seorang Bhikkhu yang Menyokong Orang Tuanya
« Reply #4 on: 22 December 2012, 03:49:14 PM »
Dengan kutipan dari Sang BUddha di atas, dan kondisi sekarang di mana banyak umat yang berdana uang ke rekening yang dimiliki seorang bhikkhu di Indonesia :

Berarti apakah dapat dibenarkan jika sekarang ini seorang bhikkhu yang banyak menerima dana dari umat, menggunakan dana itu untuk membantu orang tuanya (yg ekonomi pas2an), membangunkan rumah bagus untuk orang tuanya di kampung dari dana itu, dan menyokong kehidupan orang tuanya dari dana2 yang diterimanya dari para umat si bhikkhu?


#kayaknyabakalramelagineeh   ;D
salah sekali, memiliki rekening saja sudah salah, apalagi di danakan uang...

ekonomi pas2an buat apa lagi di sokong, jauh sekali dengan kisah di atas

Menjadi Baik adalah moralitas sejati..
Berbuat Baik adalah mungkin sekadar jalan menuju tujuan..
Y.M. Dr. H. Saddhatissa..

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Kisah Seorang Bhikkhu yang Menyokong Orang Tuanya
« Reply #5 on: 22 December 2012, 03:54:44 PM »
Sebenarnya kalo merujuk hanya pada kisah itu saja, sudah jelas dikatakan:

“Yang Mulia, Sang Buddha tidak mengizinkan kita untuk menghabiskan dana dari umat yang berbakti, anda telah melakukan pelanggaran dengan memberikan umat awam dana yang anda peroleh.”

Jadi, tindakan bhikkhu tsb walaupun benar adalah bakti kepada orang tua namun tetap melanggar (Vinaya?)

Sekali lagi sebaiknya pembahasan ini dibuat dalam thread terpisah saja krn OOT
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline andry

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 4.117
  • Reputasi: 128
Re: Kisah Seorang Bhikkhu yang Menyokong Orang Tuanya
« Reply #6 on: 22 December 2012, 04:04:32 PM »
Pada kasus tersebut, niat untuk menjadi bikhhu bukan untuk menyokong orangtuanya. Beda lagi dgn kasus biku punya no rek, trus didanakan untuk ortunya.
Samma Vayama

Offline andry

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 4.117
  • Reputasi: 128
Re: Kisah Seorang Bhikkhu yang Menyokong Orang Tuanya
« Reply #7 on: 22 December 2012, 04:04:32 PM »
Pada kasus tersebut, niat untuk menjadi bikhhu bukan untuk menyokong orangtuanya. Beda lagi dgn kasus biku punya no rek, trus didanakan untuk ortunya.
Samma Vayama

 

anything