//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Upanisa Sutta  (Read 2539 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Upanisa Sutta
« on: 13 October 2012, 05:13:40 PM »
Untuk memperingati post ke-1000 ;D saya mem-posting salah satu sutta favorit saya beserta penjelasan singkatnya yang pernah di-post di forum tetangga (www.w****a.com/forum/theravada/7174-paticcasamuppada-dalam-pengertian-positif.html)

Samyutta Nikaya 12.23
Upanisa Sutta
Penyebab Langsung

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, Aku mengatakan bahwa penghancuran noda-noda adalah bagi orang yang mengetahui dan melihat, bukan bagi orang yang tidak mengetahui dan tidak melihat. Bagi orang yang mengatahui apakah, orang yang melihat apakah, maka penghancuran noda-noda terjadi? ‘Demikianlah bentuk, demikianlah asal-mulanya, demikianlah lenyapnya; demikianlah perasaan ... demikianlah persepsi ... demikianlah bentukan-bentukan kehendak ... demikianlah kesadaran, demikianlah asal-mulanya, demikianlah lenyapnya’: adalah bagi orang yang mengetahui demikian, bagi orang yang melihat demikian, maka penghancuran noda-noda terjadi. [30]

“Aku mengatakan, para bhikkhu, bahwa pengetahuan penghancuran sehubungan dengan kehancuran memiliki penyebab langsung; bukan tanpa penyebab langsung. Dan apakah penyebab langsung dari pengetahuan penghancuran? Harus dijawab: kebebasan.

“Aku mengatakan, para bhikkhu, bahwa kebebasan juga memiliki penyebab langsung; bukan tanpa penyebab langsung. Dan apakah penyebab langsung bagi kebebasan? Harus dijawab: kebosanan.

“Aku mengatakan, para bhikkhu, bahwa kebosanan juga memiliki penyebab langsung; bukan tanpa penyebab langsung. Dan apakah penyebab langsung bagi kebosanan? Harus dijawab: kejijikan.

“Aku mengatakan, para bhikkhu, bahwa kejijikan juga memiliki penyebab langsung; bukan tanpa penyebab langsung. Dan apakah penyebab langsung bagi kejijikan? Harus dijawab: pengetahuan dan penglihatan atas segala sesuatu sebagaimana adanya.

“Aku mengatakan, para bhikkhu, bahwa pengetahuan dan penglihatan atas segala sesuatu sebagaimana adanya juga memiliki penyebab langsung; bukan tanpa penyebab langsung. Dan apakah penyebab langsung bagi pengetahuan dan penglihatan atas segala sesuatu sebagaimana adanya? Harus dijawab: konsentrasi.

“Aku mengatakan, para bhikkhu, bahwa konsentrasi juga memiliki penyebab langsung; bukan tanpa penyebab langsung. Dan apakah penyebab langsung bagi konsentrasi? Harus dijawab: kebahagiaan.

“Aku mengatakan, para bhikkhu, bahwa kebahagiaan juga memiliki penyebab langsung; bukan tanpa penyebab langsung. Dan apakah penyebab langsung bagi kebahagiaan? Harus dijawab: ketenangan.

“Aku mengatakan, para bhikkhu, bahwa ketenangan juga memiliki penyebab langsung; bukan tanpa penyebab langsung. Dan apakah penyebab langsung bagi ketenangan? Harus dijawab: kegairahan.

“Aku mengatakan, para bhikkhu, bahwa kegairahan juga memiliki penyebab langsung; bukan tanpa penyebab langsung. Dan apakah penyebab langsung bagi kegairahan? Harus dijawab: kegembiraan.

“Aku mengatakan, para bhikkhu, bahwa kegembiraan juga memiliki penyebab langsung; bukan tanpa penyebab langsung. Dan apakah penyebab langsung bagi kegembiraan? Harus dijawab: keyakinan.

“Aku mengatakan, para bhikkhu, bahwa keyakinan juga memiliki penyebab langsung; bukan tanpa penyebab langsung. Dan apakah penyebab langsung bagi keyakinan? Harus dijawab: penderitaan.

“Aku mengatakan, para bhikkhu, bahwa penderitaan juga memiliki penyebab langsung; bukan tanpa penyebab langsung. Dan apakah penyebab langsung bagi penderitaan? Harus dijawab: kelahiran.

“Aku mengatakan, para bhikkhu, bahwa kelahiran juga memiliki penyebab langsung; bukan tanpa penyebab langsung. Dan apakah penyebab langsung bagi kelahiran? Harus dijawab: penjelmaan.

“Aku mengatakan, para bhikkhu, bahwa penjelmaan juga memiliki penyebab langsung; bukan tanpa penyebab langsung. Dan apakah penyebab langsung bagi penjelmaan? Harus dijawab: kemelekatan.

“Aku mengatakan, para bhikkhu, bahwa kemelekatan juga memiliki penyebab langsung; bukan tanpa penyebab langsung. Dan apakah penyebab langsung bagi kemelekatan? Harus dijawab: keinginan.

“Aku mengatakan, para bhikkhu, bahwa keinginan juga memiliki penyebab langsung; bukan tanpa penyebab langsung. Dan apakah penyebab langsung bagi keinginan? Harus dijawab: perasaan.

“Bagi perasaan, harus dijawab: kontak. Bagi kontak: enam landasan indria. Bagi enam landasan indria: nama-dan-bentuk. Bagi nama-dan-bentuk: kesadaran. Bagi kesadaran: bentukan-bentukan kehendak.

“Aku mengatakan, para bhikkhu, bahwa bentukan-bentukan kehendak juga memiliki penyebab langsung; bukan tanpa penyebab langsung. Dan apakah penyebab langsung bagi bentukan-bentukan kehendak? Harus dijawab: kebodohan.

“Demikianlah, para bhikkhu, dengan kebodohan sebagai penyebab langsung, maka bentukan-bentukan kehendak [muncul]; dengan bentukan-bentukan kehendak sebagai penyebab langsung, maka kesadaran; dengan kesadaran sebagai penyebab langsung, maka nama-dan-bentuk; dengan nama-dan-bentuk sebagai penyebab langsung, maka enam landasan indria; dengan enam landasan indria sebagai penyebab langsung, maka kontak; dengan kontak sebagai penyebab langsung, maka perasaan; dengan perasaan sebagai penyebab langsung, maka keinginan; dengan keinginan sebagai penyebab langsung, maka kemelekatan; dengan kemelekatan sebagai penyebab langsung, maka penjelmaan; dengan penjelmaan sebagai penyebab langsung, maka kelahiran; dengan kelahiran sebagai penyebab langsung, maka penderitaan; dengan penderitaan sebagai penyebab langsung, maka keyakinan; dengan keyakinan sebagai penyebab langsung, maka kegembiraan; dengan kegembiraan sebagai penyebab langsung, maka kegairahan; dengan kegairahan sebagai penyebab langsung, maka ketenangan; dengan ketenangan sebagai penyebab langsung, maka kebahagiaan; dengan kebahagiaan sebagai penyebab langsung, maka konsentrasi; dengan konsentrasi sebagai penyebab langsung, maka pengetahuan dan penglihatan atas segala sesuatu sebagaimana adanya; dengan pengetahuan dan penglihatan atas segala sesuatu sebagaimana adanya sebagai penyebab langsung, maka kejijikan; dengan kejijikan sebagai penyebab langsung, maka kebosanan; dengan kebosanan sebagai penyebab langsung, maka kebebasan; dengan kebebasan sebagai penyebab langsung, maka pengetahuan kehancuran.

“Bagaikan, para bhikkhu, ketika hujan lebat turun di puncak gunung, airnya mengalir turun sepanjang lereng dan memenuhi celah, selokan, dan sungai; memenuhi kolam-kolam; memenuhi danau-danau; memenuhi sungai-sungai kecil; memenuhi sungai-sungai besar; dan memenuhi samudera;[4] demikian pula, dengan kebodohan sebagai penyebab langsung, maka bentukan-bentukan kehendak [muncul]; dengan bentukan-bentukan kehendak sebagai penyebab langsung, maka kesadaran ... dengan kebebasan sebagai penyebab langsung, maka pengetahuan penghancuran.”

Sumber: http://dhammacitta.org/dcpedia/SN_12.23:_Upanisa_Sutta

Penjelasan singkat:

Selama ini kita mengetahui tentang hukum sebab musabab yang saling bergantungan (Paticcasamuppada) dalam rumusan sbb:

Ketidaktahuan (avijja) --> Bentuk-bentuk pikiran (sankhara) --> Kesadaran (viññana) --> Jasmani dan batin (namarupa) --> Enam landasan indera (salayatana) --> Kontak (phassa) --> Perasaan (vedana) --> Nafsu keinginan (tanha) --> Kemelekatan (upadana) --> Kemenjadian (bhava) --> Kelahiran (jati) --> Usia tua dan kelapukan (jaramarana)

Rumusan di atas merupakan rumusan sebab akibat yang menjelaskan terjadinya dukkha dan roda kelahiran kembali (samsara). Namun demikian, ternyata terdapat rumusan Paticcasumappada yang "positif" yang menggambarkan sebab-akibat untuk tercapainya kebahagiaan sejati (Nibbana) seperti dalam Upanisa Sutta, Nidanasamyutta, Samyutta Nikaya sbb:

"Ketidaktahuan (avijja) merupakan kondisi yang mendukung bagi Bentuk-bentuk pikiran (sankhara), Bentuk-bentuk pikiran (sankhara) merupakan kondisi yang mendukung bagi Kesadaran (viññana), Kesadaran (viññana) merupakan kondisi yang mendukung bagi Jasmani dan batin (namarupa), Jasmani dan batin (namarupa) merupakan kondisi yang mendukung bagi Enam landasan indera (salayatana), Enam landasan indera (salayatana) merupakan kondisi yang mendukung bagi Kontak (phassa), Kontak (phassa) merupakan Perasaan (vedana), Perasaan (vedana) merupakan kondisi yang mendukung bagi Nafsu keinginan (tanha), Nafsu keinginan (tanha) merupakan kondisi yang mendukung bagi Kemelekatan (upadana),Kemelekatan (upadana) merupakan kondisi yang mendukung bagi Kemenjadian (bhava), Kemenjadian (bhava) kemenjadian merupakan kondisi yang mendukung bagi Kelahiran (jati), Kelahiran (jati) merupakan kondisi yang mendukung bagi Penderitaan (dukkha).

Penderitaan (dukkha) merupakan kondisi yang mendukung bagi Keyakinan (saddha), Keyakinan (saddha) merupakan kondisi yang mendukung bagi kegembiraan (pamojja), kegembiraan (pamojja) merupakan kondisi yang mendukung bagi kegiuran (piti), kegiuran (piti) merupakan kondisi yang mendukung bagi ketenangan (passaddhi), ketenangan (passaddhi) merupakan kondisi yang mendukung bagi kebahagiaan (sukha), kebahagiaan (sukha) merupakan kondisi yang mendukung bagi pemusatan pikiran (samadhi), pemusatan pikiran (samadhi) merupakan kondisi yang mendukung bagi pengetahuan dan pandangan akan hal-hal sebagaimana adanya (yathabhutananadassana), pengetahuan dan pandangan akan hal-hal sebagaimana adanya (yathabhutananadassana) merupakan kondisi yang mendukung bagi kekecewaan (nibidda), kekecewaan (nibidda) merupakan kondisi yang mendukung bagi pelenyapan nafsu (viraga), pelenyapan nafsu (viraga) merupakan kondisi yang mendukung bagi pembebasan (vimutthi), pembebasan (vimutthi) merupakan kondisi yang mendukung bagi pengetahuan akan lenyapnya kekotoran batin (asavakkhaya-nana)."

Di sini rumusan Paticcasamupada menjadi 24 nidana dengan 12 nidana pertama sama dengan rumusan Paticcasamuppada yang umum kita kenal (kecuali dalam nidana terakhir Jaramarana diganti menjadi Dukkha yang menjadi "link" bagi 12 nidana berikutnya) dan menambahkan 12 nidana berikutnya yang berakhir pada Asavakkhaya-nana. 12 nidana terakhir ini menunjukkan sebab akibat yang menuju pada lenyapnya kekotoran batin, yaitu tercapainya buah Kearahatan:

Keyakinan (saddha) --> kegembiraan (pamojja) --> kegiuran (piti) --> ketenangan (passaddhi) --> kebahagiaan (sukha) --> pemusatan pikiran (samadhi) --> pengetahuan dan pandangan akan hal-hal sebagaimana adanya (yathabhutananadassana) --> kekecewaan (nibidda) --> pelenyapan nafsu (viraga) --> pembebasan (vimutthi) --> pengetahuan akan lenyapnya kekotoran batin (asavakkhaya-nana).

Dikatakan bahwa dukkha (penderitaan) merupakan penyebab munculnya keyakinan (saddha). Ini bisa diartikan bahwa ketika seseorang mengalami penderitaan karena hidup dalam alam Samsara dan mendengarkan ajaran Sang Buddha, ia akan memperoleh keyakinan bahwa ajaran Buddha adalah benar adanya. Ia memperoleh keyakinan terhadap hukum sebab-akibat, Buddha, Dhamma dan Sangha. Semakin ia mendengarkan ajaran Buddha dan melihat pengalaman penderitaan dirinya sendiri, semakin keyakinannya bertambah. Kitab komentar mengatakan bahwa saddha di sini adalah aparāparaṃ saddha. Artinya keyakinan yang muncul secara berkesinambungan. Keyakinan semacam ini muncul dengan semakinnya ia melihat penderitaan pada dirinya dan melihat kebenaran Dhamma. Keyakinan yang berkesinambungan ini mampu menciptakan kegembiraan (pamojja) yang juga disebut sebagai tuṭṭha (kepuasan) dalam kitab komentar. Ingat bahwa keyakinan adlaah emosi, dan seseorang bisa merasakan bagaimana ketika ia memperoleh emosi keyakinan terhadap Sang Buddha, Dhamma dan Sangha, ia pun memperoleh kegembiraan / kepuasan.

Kegembiraan selanjutnya menjadi penyebab kegiuran (piti). Dikatakan bahwa seseorang yang gembira seluruh badannya akan diselubungi kegiuran. Kitab komentar dalam hal ini menambahkan bahwa pamojja sesungguhnya adalah kegiuran yang masih lemah (dubbalapiti), sedangkan piti adalah kegiuran yang kuat (balavapīti).

Seseorang yang diselimuti kegiuran, secara alami, badannya akan menjadi tenang (passadhi). Ini juga telah disebutkan Sang BUddha dalam Samaññaphalasutta (Pītimanassa kāyo passambhatī - seseorang yang memiliki kegiuran badanya akan menjadi tenang).

Ketika badan menjadi tenang, secara alami juga, badan dan pikiran merasakan kebahagiaan (sukha). Kitab komentar Samaññaphalasutta menjelaskan " Sukhaṃ vedetīti kāyikampi cetasikampi sukhaṃ vedayati" - sukham vedeti artinya seseorang merasakan kebahagiaan baik secara jasmaniah maupun mental.

Ia yang bahagia baik jasmani dan mental, batinnya akan menjadi terkonsentrasi (cittaṃ samādhiyati). Oleh karena itu, sukha menjadi penyebab munculnya samādhi. Dalam Bojjhangasaṇyutta, Samyuttanikāya, ketika menjelaskan 7 faktor penerangan sempurna, Sang Buddha juga menjelaskan bahwa ia yang telah menyempurnakan sukha akan memiliki batin yang terkonsentrasi (samādhi). Ini sangat jelas karena samādhi (kondisi terpusatnya pikiran pada satu obyek namun rileks) akan muncul hanya ketika jasmani dan batin berada pada kondisi tenang, rileks, tanpa tekanan dan bahagia. Kitab komentar Samaññāphalasutta menjelaskan bahwa sukha yang menjadi penyebab munculnya samādhi adalah nekkhamasukha (the happiness of renunciation). Kebahagiaan ini muncul karena pikiran telah terbebas untuk sementara dari lima rintangan batin. Oleh karena itu, sangat jelas bahwa kebahagiaan ini mampu membawa pikiran pada konsentrasi. Sementara itu, kitab komentar upanisasutta mengidentikasikan samādhi sebagai tingkat2 jhana.

Mengapa seseorang yang terkonsentrasi mampu melihat dan mengetahui segala sesuatu sebagai mana adanya (Yathabhūtañānadassanaṃ)? Konsentrasi bisa diibaratkan sebagai pisau tajam ketika seorang dokter mau mengoperasi penyakit seorang pasien. Tanpa pisau tajam, seorang dokter tidak akan berhasil. Demikian pula, konsentrasi adalah senjata bagi seseorang untuk melihat fenomena dunia sebagai anicca, dukkha dan anatta. Jika pikiran kita masih diselubungi oleh banyak rintangan (lima rintangan batin), seseorang akan sulit dan bahkan tidak akan mampu melihat secara dalam melalui pengalamannya sendiri bahwa semua fenomena batin dan jasmani hanya sebagai fenomena yang tidak kekal, beban dan bukan aku. Oleh karena itu, samādhi merupakan sebab munculnya pengetahuan dan penglihatan segala sesuatu sebagai mana adanya. Dalam kitab komentar untuk Upanisasutta, yathabhūtañanadassanaṃ dikatakan sebagai vipassana yang masih muda (taruṇavipassana). Ini hanya meliputi empat macam pengetahuan yakni saṇkhāraparicchede ñāṇa (pengetahuan mengenai pembagian bentuk2 mental), kankhāvitaraṇe ñāṇa (pengetahuan untuk mengatasi keragu-raguan), sammasane ñāṇa (pengetahuan awal tentang anicca, dukkha dan anatta) dan maggāmagga ñāṇa (pengetahuan mana yang bukan jalan dan mana yang jalan).

Ketika seseorang melihat melalui pengalaman langsung bahwa segala fenomena batin dan jasmani sebagai anicca, dukkha dan anatta, secara natural, seseorang akan menjadi muak (nibbida) terhadap dunia. Muak di sini tidak harus diartikan sebagai negatif karena muak di sini muncul karena kebijaksanaan. Nibbida di sini merupakan faktor yang sangat penting bagi seseorang yang bertujuan untuk lepas dari lingkaran samsara, karena jika seseorang masih melihat dunia sebagai tempat aman, tempat yang menimbulkan kebahagiaan, ia tidak akan pernah bebas dari lingkaran samsara. Kemelekatan terhadap dunia muncul ketika seseorang masih melihat dunia sebagai nicca, sukha dan atta. Ini sangat berbeda dari nibbida yang muncul karena seseorang melihat dunia sebagai anicca, dukkha dan anatta. Selanjutnya kitab komentar untuk Upanisasutta menjelaskan bahwa nibbidañāna termasuk vipassana yang kuat (balavavipassana). Kita tahu bahwa nibbidañāna juga merupakan salah satu dari 16 pengetahuan yang didapat dari pengembangan vipassana. Kitab ini juga menyebutkan empat hal lain yang disebut sebagai pengetahuan vipassana yang kuat yakni bhayatūpaṭṭhāne ñāṇa (pengetahuan mengenai bahaya), ādīnavānupassane ñāṇa (pengetahuan untuk merenungkan bahaya) muñcitukamyatāñāṇa (pengetahuan untuk terbebas) saṇkhārupekkhāñāṇa (pengetahuan tentang keseimbangan semua bentuk2 sankhara).

Seseorang yang muak (nibbida) terhadap fenomena batin dan jasmani setelah melihatnya sebagai anicca, dukkha dan anatta, secara alami, tidak akan mendapatkan kesenangan di dalamnya (viraga -tanpa nafsu). Ia tidak tertarik lagi untuk melekati fenomena2 batin dan jasmani ini.

Ketika seseorang tidak tertarik atau bebas dari nafsu (viraga), ia pun akan terbebas (vimutti). Ia akan terbebas dari segala bentuk kemelekatan. Kitab komentar menyebutkan bahwa vimutti di sini mengacu kepada pembebasan melalui pencapaian buah kearahatan (arahattaphalavimutti). Ketika seseorang mencapai arahattaphala, pengetahuan tentang lenyapnya kekotoran batin (āsavakkhayañāṇa), tanpa dielakkan, akan muncul. Kitab komentar menyebutkan bahwa āsavakkhañāna adalah paccavekhaṇañāna (pengetahuan untuk melihat kembali). Dalam hal ini, paccavekhaṇañāṇa adalah pengetahuan untuk melihat kembali pengalaman arahattaphala. Dalam urutan ñāna dalam vipassana, memang paccavekhaṇañāna muncul setelah phala.

Dengan kata lain: Keyakinan dalam Buddha,Dhamma,Sangha menyebabkan seseorang menjalankan praktek Dhamma,salah satunya melatih sila. Dg sila yg sempurna,ia menjadi gembira dalam praktek Dhamma. Dg kesempurnaan sila tsb ia menjalankan meditasi. Dalam meditasi ia mencapai tingkat pemusatan pikiran tertentu (jhana) di mana kegiuran muncul dan dapat dirasakan. Karena timbulnya kegiuran maka timbul ketenangan dalam meditasi. Ketenangan ini memberikan rasa kebahagiaan tertentu walaupun kebahagiaan ini bukan kebahagiaan sejati karena bisa lenyap dg lenyapnya kekuatan jhana. Dg berusaha menemukan kebahagiaan yg lebih tinggi, ia terus mengembangkan samadhi hingga mencapai tingkatan jhana yg lebih tinggi. Dengan bermodalkan pencapaian jhana ini, seseorang bisa mengembangkan vipassana dg melatih pandangan atas segala sesuatu sebagaimana adanya,dst sampai dg tercapainya asavakkhaya-nana sesuai dg penjelasan berdasarkan komentar di atas.

Ulasan/penjelasan sutta ini secara lengkap bisa dibaca di http://www.accesstoinsight.org/lib/authors/bodhi/wheel277.html

Semoga bermanfaat dan bisa menginspirasi kita semua
_/\_
« Last Edit: 13 October 2012, 05:16:49 PM by ariyakumara »
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa