//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Buddha adalah Citta  (Read 2715 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline sobat-dharma

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.286
  • Reputasi: 45
  • Gender: Male
  • sharing, caring, offering
Buddha adalah Citta
« on: 27 May 2011, 12:57:41 PM »


Uploaded with ImageShack.us



Uploaded with ImageShack.us
Mereka yang melihat-Ku dari wujud dan mengikuti-Ku dari suara terlibat dalam upaya salah. Mereka takkan melihat Aku. Dari Dharma-lah mestinya ia melihat Para Buddha. Dari Dharmakaya datang tuntunan baginya. Namun hakikat sejati Dharma tak terlihat dan tiada seorangpun bisa menyadarinya sebagai obyek

Offline sobat-dharma

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.286
  • Reputasi: 45
  • Gender: Male
  • sharing, caring, offering
Re: Buddha adalah Citta
« Reply #1 on: 27 May 2011, 01:00:30 PM »
CITTA ADALAH BUDDHA

Semua Buddha dan semua makhluk hidup tidak lain adalah Citta yang tunggal itu.1 Di luar Citta tunggal ini, tiada apapun.
   Citta tunggal yang tidak berawal, tidak dilahirkan pun tidak dapat hancur. Ia bukan sesuatu yang hijau ataupun kuning. Ia tidak berwujud maupun berpenampilan. Ia tidak termasuk dalam benda-benda yang ada ataupun tiada. Ia tidak dapat dilihat sebagai baru ataupun lama, panjang ataupun pendek, besar ataupun kecil, karena ia melampaui segala batasan, ukuran, jumlah, jejak ataupun perbandingan.
   Citta tunggal ini adalah sesuatu yang kita lihat dengan gamblang. Namun bila kita mencoba untuk menjelaskannya, misalkan, [bertanya] “apakah ini?”  segera kita akan terjerumus dalam kekeliruan. Ia layaknya kekosongan tanpa batas yang tak seorang pun dapat mengetahui kedalamannya ataupun mengukurnya.
   Hanya Citta tunggal inilah Buddha.2 Tiada perbedaan antara Buddha dan semua makhluk hidup, kecuali bahwa makhluk hidup melekat pada wujud material sehingga mereka mencari Buddhabhāva3 di luar. Pencarian ini menyebabkan mereka kehilangan Buddhabhāva itu. Ini adalah jalan menggunakan Buddha untuk mencari Buddha dan menggunakan Citta untuk meraih Citta.
   Meskipun mereka menggunakan usaha terbaiknya selama berkalpa-kalpa lamanya, mereka takkan sanggup mencapai  Buddhabhāva. Mereka tak menyadari bahwa hanya dengan melepaskan formasi-mentalnya serta lepas dari kecemasan akibat mencari-cari, Buddha akan tampil di hadapannya. Hal ini dikarenakan Citta ini adalah Buddha dan Buddha adalah semua makhluk hidup. Ketika Buddha ini muncul dalam makhluk hidup biasa, ia tidaklah remeh; dan ketika ia muncul dalam semua Buddha, ia juga tidak agung.
   Begitu juga bagi mereka yang telah mempraktikkan enam Pāramitā,4 dan bagi mereka yang menjalankan kewajiban lain yang serupa, atau yang telah mengumpulkan banyak pahala yang jumlahnya sebanyak pasir di Sungai Gangga,5 sadarilah bahwa kita adalah, pada segala aspeknya, sempurna sebagaimana yang disingkap oleh kebenaran mendasar ini, yaitu bahwa kita adalah Citta tunggal, atau kita bersatu padu dengan Para Buddha, karenanya kita tidak perlu menambahkan apapun lagi pada hal yang telah sempurna itu dengan melaksanakan kewajiban-kewajiban yang tidak berarti itu, bukankah demikian? Tatkala kita berkesempatan untuk melaksanakan kewajiban tersebut, laksanakanlah; dan tatkala kesempatan telah berlalu, tetaplah tenang.
     Bila kita tidak sepenuhnya menyadari bahwa Citta ini adalah Buddha atau kita masih melekat pada wujud material, perbuatan, pengumpulan pahala itu, kita masih akan memiliki cara pikir yang salah dan sama sekali belum sejalan dengan jalan tersebut.
   Hanya Citta tunggal inilah Buddha. Tiada Buddha lain ataupun Citta lainnya lagi. Ia terang dan tanpa-cacat layaknya kehampaan, yaitu sama sekali tak berwujud maupun berpenampilan. Menggunakan Citta kita untuk membentuk imajinasi sama saja dengan kita mengabaikan esensi dan kemudian mengikatkan diri kita pada wujud material yang palsu. Buddha yang eternal bukanlah Buddha kemelekatan.
   Praktik enam Pāramitā dan begitu juga banyak kewajiban lain yang serupa, dengan tujuan untuk menjadi seorang Buddha, adalah praktik langkah-demi-langkah (bertahap). Hanyalah pembangkitan dan pembukaan mata seseorang pada Citta tunggal, dengan kosong untuk mencapai kosong; inilah Buddha sejati. Buddha dan semua makhluk hidup semata-mata adalah Citta ini; bukan yang lain kecuali ini.
   Citta layaknya kehampaan yang tiada kekeruhan atau kejahatan apapun di dalamnya. Seperti yang kita amati, ketika matahari terbit mengatasi ruang hampa, ia menerangi empat sudut dunia. Secara alamiah tatkala matahari terbit, ia menerangi seluruh dunia; namun kehampaan sejati tidak bertambah terang. Dan tatkala matahari terbenam, kehampaan sejati tidak bertambah gelap. Fenomena terang dan gelap saling datang silih berganti. Namun hakikat kehampaan tetap tidak terusik. Demikian pula dengan Citta semua Buddha dan semua makhluk hidup.
   Bila kita menganggap Buddha sebagai representasi dari kemurnian, terang dan pencerahan, atau bila kita menganggap semua makhluk hidup sebagai representasi dari kegelapan-batin, kegelapan, dan ketidak-sadaran, pemikiran demikian ini, berasal dari kemelekatan pada materialitas, yang akan menghalangi kita dari pengetahuan tertinggi kendatipun kita berpraktik hingga berkalpa-kalpa yang tak terhitung lamanya laksana butiran pasir di Sungai Gangga. Hanya pada Citta tunggal inilah kita dapat bergantung, bukan yang lainnya, bahkan tidak pada sebutir atom pun, karena Citta adalah Buddha.
   Bila kita, para pencari jalan, tidak menyadari esensi ini, bahwa inilah Citta, kita akan merancukan Citta dengan formasi mental. Kita akan mencari Buddha di luar diri kita. Kita akan tetap melekat pada materialitas, pada praktik pengumpulan pahala dan yang sejenisnya, yang semuanya adalah berbahaya serta bukan jalan yang menuntun pada pengetahuan tertinggi.
   Esensi yang tertinggi ini, pada sifat hakikinya, layaknya papan kayu atau batu, adalah tiada gerakan di dalamnya, dan dari luar ia layaknya kehampaan yang tanpa batasan atau rintangan. Ia tidak abstrak pun tidak kongkrit. Ia tidak memiliki lokasi yang jelas ataupun wujud; dan ia juga tidak dapat lenyap.
   Citta ini tidak melekat pada formasi mental. Ia sama sekali tidak terkait dengan materialitas. Demikian juga semua Buddha dan semua makhluk hidup. Hanya bila dapat membebaskan diri dari formasi mental, barulah kita akan berhasil secara sempurna.
Mereka yang melihat-Ku dari wujud dan mengikuti-Ku dari suara terlibat dalam upaya salah. Mereka takkan melihat Aku. Dari Dharma-lah mestinya ia melihat Para Buddha. Dari Dharmakaya datang tuntunan baginya. Namun hakikat sejati Dharma tak terlihat dan tiada seorangpun bisa menyadarinya sebagai obyek

Offline sobat-dharma

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.286
  • Reputasi: 45
  • Gender: Male
  • sharing, caring, offering
Re: Buddha adalah Citta
« Reply #2 on: 27 May 2011, 01:00:46 PM »
Dhamma6 yang sejati adalah Citta; di luar itu, tiada Dhamma. Citta itu sendiri adalah Dhamma; terpisah darinya, bukan Citta. Namun Citta bukan Citta itu sendiri; pun ia bukan bukan-Citta. Berkata bahwa Citta adalah bukan-Citta adalah merujuk pada sesuatu yang sungguh-sungguh ada. Hal ini melampaui kata-kata. Cukup padamkan semua pikiran dan penjelasan, maka kita dapat mengatakan bahwa arus kata-kata telah ditekan dan gerakan Citta telah dihentikan sepenuhnya.
   Citta ini adalah Buddhayoni7 murni yang melekat dalam setiap makhluk hidup. Semua makhluk hidup memiliki kemampuan mental dan dapat gerak, semua Buddha bersama-sama dengan semua Bodhisatta, 8 mereka semua menjadi bagian dari hakikat tunggal ini, tanpa perbedaan apapun. Perbedaan muncul dari pikiran salah yang menyebabkan kita terlibat dalam semua Kamma9 yang tiada kenal henti.
   Berdasarkan pada kebenaran tertinggi, hakikat-Kebuddhaan fundamental kita tidak memiliki makna diri bahkan dalam sebiji atom pun. Adalah kehampaan, yang berada di mana-mana, hening nan murni. Adalah kebahagiaan tentram yang agung nan misterius, dan hanya inilah.
   Menembus masuk ke hal ini secara mendalam dengan tersadarkan akannya oleh dirimu sendiri. Hal di hadapan kita semata-mata hal itu sendiri yang sepenuhnya lengkap dan sempurna. Tiada hal yang lain selain ini.
   Citta adalah Buddha, hal yang tertinggi. Ia mengumpulkan segala hal di dalamnya; mulai dari Para Buddha mulia yang telah mencapai penerangan sempurna,  turun hingga pada makhluk rendah: reptil dan serangga di posisi terendah. Mereka semua secara setara memiliki Kebuddhaan10 dan mereka semua memiliki satu hakikat yaitu Citta yang tunggal. Dengan demikian, semua makhluk hidup bertautan dan memiliki hakikat yang sama sebagai Buddha di segala masa.
   Hanya bila kita berhasil memahami Citta kita sendiri dan menemukan hakikat sejati kita sendiri dengan pemahaman tersebut, maka kita pasti tidak perlu mencari apapun lagi.
   Bila kita benar-benar menjaga Citta kita agar tetap damai, berhenti dari secuil pikiran apapun yang merupakan gerak Citta, maka Citta sejati akan muncul sebagai kehampaan. Kita akan menemukan sesungguhnya bahwa ia tak berwujud, tak menempati ruang manapun, bahkan setitik pun. Ia tidak dapat lagi disebut sebagai ada atau tiada karena ia tidak dapat ditangkap melalui indera kita, dikarenakan Citta yang mana merupakan hakikat dasar manusia adalah Garbha11 atau kelahiran yang yang tidak dapat diciptakan siapapun ataupun dihancurkan.
   Dalam menanggapi lingkungan yang beranekaragam,  Citta mengubah dirinya dalam fenomena yang dipermudah dengan penggunaan kata-kata. Kita menamakan Citta sebagai Sati-Paññā12 (kesadaran-penuh dan kebijaksanaan); namun ketika ia tidak menanggapi lingkungan, yaitu ketika ia bukan Sati-Paññā yang memikirkan atau menciptakan pelbagai hal,  ia tidak dapat dijelaskan dengan penertian ada atau tiada.
   Selanjutnya, bahkan ketika Citta menjalankan tugasnya dalam menghasilkan sesuatu untuk menanggapi Hukum sebab dan musabab, ia tetap tak dapat ditangkap oleh alat indera: mata, telinga, hidung, lidah, rasa-tubuh, dan pikiran. 
   Bila kta mempelajari kebenaran ini, kita harus mengembangkan Citta kita hingga kedamaian absolut sambil berdiam dalam keadaan kekosongan itu.  Kita sungguh-sungguh melangkah di Jalan Sang Buddha. Dengan demikian, kita seharusnya mengembangkan Citta untuk berdiam dalam kekosongan absolut.
    Kelima elemen utama yang membentuk Viññāṇa13 adalah sesuatu yang kosong; dan empat elemen tubuh bukan sesuatu yang terbentuk menjadi diri kita. Citta sejati tidak memiliki wujud maupun gerak. Hakikat kita yang sejati adalah sesuatu yang tidak bermula ketika lahir ataupun berakhir ketika mati. Namun ia merupakah hal tunggal yang menyeluruh dan tidak memiliki gerak pada bagiannya yang terdalam.
   Citta kita dan hal-hal yang mengitari diri kita adalah tunggal. Bla kita dapat memahami hal ini, kita akan mencapai pencerahan dalam sekejab. Kita takkan terhubung lagi dengan tiga alam. Kita akan melampaui alam kehidupan, dan takkan, setidaknya, mengarah pada tumimbal lahir. Kita akan semata-mata hanya menjadi diri kita, tanpa formasi-mental lagi, dan akan manunggal dengan yang  tertinggi. Kita akan mencapai tingkatan di mana tiada sesuatupun yang dapat menimbulkan formasi mental kita lagi. Dengan demikian, inilah Dhamma di mana prinsip dasar berada.
   Sammāsambodhi14 adalah sebutan pencerahan yang menungkap bahwa tiada Dhamma yang bukan hampa. Bila kita memahami kebenaran ini, bagaimana mungkin semua hal yang menipu masih berguna lagi untuk kita?
   Filsafat adalah pencerahan. Pencerahan adalah Citta sejati yang tidak berwujud. Jika kita memahami bahwa subyek dan obyeknya, yaitu Citta dan sebuah substansi, semuanya adalah tunggal, maka kebenaran ini akan membawa kita pada pemahaman mistik dan mendalam yang melampaui semua kata-kata. Terkait dengan pemahaman ini, kita akan tersadarkan pada kebenaran tertinggi oleh diri kita sendiri.
   Kebenaran tertinggi kita tidak sirna bahkan ketika kita disesatkan kegelapan batin; tidak juga kembali kepada kita pada saat kita mencapai pencerahan. Adalah hakikat dasar dari Bhūtatathatā15 yang tidak memiliki kegelapan batin maupun pemahaman yang benar. Ia semata-mata kehampaan. Inilah esensi sejati Citta tunggal tersebut. Karena ini, bagaimana mungkin obyek indera dibentuk oleh Citta kita, baik abstrak maupun kongkrit, di luar batasan kehampaan?
   Menurut prinsip-prinsip dasar, kehampaan itu tidak berdimensi ruang, yaitu tanpa noda, perbuatan, kekotoran batin atau pemahaman benar. Kita harus memahami hal ini dengan jelas, sungguh-sungguh tiada apapun; tiada manusia biasa ataupun Buddha karena tiada apapun dalam kehampaan ini, tidak bahkan sehelai rambut halus pun dapat ditemukan dari dimensi atau dari hukum ruang. Ia tidak bergantung pada apapun dan juga tidak melekat pada apapun. Ia adalah keindahan tak bercela. Ia bertahan dengan sendirinya; dengan kata lain, ia adalah hal tertinggi yang tidak diciptakan oleh apapun. Ia sungguh-sungguh merupakan perhiasan yang melampaui segala penilaian. Jika kita memisahkan tubuh sisi dalam dengan menggunakan kebijaksanaan, Jalan Mulia, dan Citta; sebab akan lenyap dan akibat akan menjadi impas. Dengan demikian kita membebaskan diri kita dari hutang, lepas dari sebab-sebab tumimbal lahir.
   Terdapat makhluk hidup dan bukan-makhluk hidup yang tak terhitung jumlahnya di alam semesta ini, yang dapat disimpulkan semata-mata menjadi dua kategori: Rūpa dan Nāma. Nāma sejati adalah kehampaan alam semesta. Keduanya secara berpasangan menghasilkan kegelapan batin yang merupakan sebab. Di mana terdapat Rūpa, di situ terdapat Nāma, begitu juga sebaliknya. Rūpa menyatu dengan Nāma menyebabkan perubahan langeng yang melahirkan waktu. Rūpa saling menarik satu sama lain yang akibatnya membuatnya bergerak dan berputar. Rūpa bisa bergerak hanya ketika terdapat Nāma. Kekosongan berada di sela-sela antara Rūpa, sehingga Rūpa bisa bergerak.
Mereka yang melihat-Ku dari wujud dan mengikuti-Ku dari suara terlibat dalam upaya salah. Mereka takkan melihat Aku. Dari Dharma-lah mestinya ia melihat Para Buddha. Dari Dharmakaya datang tuntunan baginya. Namun hakikat sejati Dharma tak terlihat dan tiada seorangpun bisa menyadarinya sebagai obyek

Offline sobat-dharma

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.286
  • Reputasi: 45
  • Gender: Male
  • sharing, caring, offering
Re: Buddha adalah Citta
« Reply #3 on: 27 May 2011, 01:01:09 PM »
Dikarenakan Sabhāvadhamma16 seperti ini, semua benda, obyek, makhluk hidup dan makhluk tidak-hidup, oleh karena itu, tunduk pada perubahan atau Tilakkhaṇa17: timbul atau lenyap, dan berkelanjutan pada setiap momen, tidak pernah berhenti diam tetap aktual. Citta-viññāṇa berasal dari Rūpa-Nāma alam semesta karena ia menipu dan menyesatkan serta berubah-ubah untuk membutakan kita. Ia berubah dari Rūpa-Nāma tidak-hidup menjadi Rūpa-Nama hidup, dari Rūpa- Nāma hidup menjadi Rūpa-Nāma hidup yang memiliki Citta-viññāṇa. Dengan demikian Citta-viññāṇa berubah dengan berpisah satu sama lain, menyisakan sekadar Nāma kosong tanpa Rūpa. Inilah penyesatan dari Rūpa-Nāma yang paling fundamental.
   Penyebab munculnya Rūpa-Nāma alam semesta menimbulkan Rūpa-Nāma alam lainnya, yang meliputi bintang-bintang yang yang tak terukur tiada batas. Rūpa-Nāma alam yang beragam menimbulkan Rūpa-Nāma tumbuhan. Rūpa-Nāma tumbuhan menimbulkan Rūpa-Nāma hewan yang bisa bergerak, sehingga disebut  sebagai makhluk hidup. Pada faktanya, tidak peduli apakah Rūpa-Nāma memiliki kehidupan atau tidak, ia dapat bergerak karena memiliki Rūpa-Nāma yang dapat menimbulkan reaksi dalam dirinya dan membuatnya bergerak terus-menerus dan berubah-ubah tiada akhir. Dikarenakan hal ini tak tampak oleh mata kita, karena itu kita menyebutnya sebagai makhluk tidak hidup. Ketika Rūpa-Nāma tumbuhan berubah menjadi Rūpa-Nāma hewan, ia mewujudkan permulaan kehidupan hewan dan menghasilkan Citta-viññāṇa. Perbuatan menyebabkan Kamma.
   Hewan yang lahir-pertama hanya melakukan perbuatan buruk; hewan memangsa hewan, dan mereka memilik kemarahan, keserakahan dan kegelapan batin yang timbul dari kondisi internal dan eksternal. Perbuatan yang dilakukan oleh hewan tersebut melalui 5 alat inderanya: mata, telinga, hidung, lidah dan tubuh, yang berkontak dengan  5 obyek indera: wujud material, bunyi, bau, rasa dan rabaan; sehingga terkunci, terkurung, dan terekam sepenuhnya dalam ke dalam Rūpa-Atomik18  yang merupakan Rūpa-Halus19 yang terletak secara laten dalam kekosongan yang berada di antara mata, telinga, hidung, lidah dan tubuh. Hal ini tidak terlihat bagi kita.
   Tatkala hewan yang lahir-pertama ini mati, kelahiran kembalinya semata-mata disebabkan oleh perbuatan buruknya sehingga mereka harus membayar hutang perbuatan buruk tersebut. Namun ketika mereka terlahir kembali, mereka tidak mau menuntaskan hutang yang menyebabkan kelahiran kembalinya; sebaliknya, mereka menumpuk lebih banyak hutang lagi yang membawa mereka pada kelahiran kembali berulang-ulang hingga pada kelahirannya yang sekarang. Maka dengan kekuatan perbuatan buruk terkunci di dalam 5 Rūpa-Halus betina ataupun jantan yang merupakan Rūpa-Halus yang melekat pada 5 kontak ini, ia akan berputar ke Rūpa-Atomik bulat, tetap seimbang dengan merotasi diri sendirinya tiada akhir dan menjadi gua di mana Citta berdiam di dalamnya. Hal ini disebut sebagai Rūpa-Viññāṇa 20 atau bisa juga disebut sebagai Rūpa-Dalam21 karena ia berasal dari Nāma kosong, kekosongan menceraikan Rūpa material ini (mata, telinga, hidung, lidah, dan tubuh) yang merupakan Rūpa-Halus yang terletak laten dalam kekosongan. Dengan demikian Rūpa-Viññāṇa bertahan dan bertahan lebih lama dibandingkan dengan Rūpa material. Perbuatan jahat membuatnya terus bergerak dengan sendirinya. Tiada dewa yang dapat mengakhirinya. Hanya Nibbāna22 yang dapat menghancurkan Rūpa-Viññāṇa.
   Semua kamma yang dibuat oleh hewan terkunci didalam 5 Rūpa-Halus: mata, telinga, hidung, lidah dan tubuh yang secara keseluruh disebut sebagai Citta. Dengan demikian Citta  memiliki kantor yang melekat pada 5 Viññāṇa yang kesemuanya menjadi tempat kerja Citta pusat, terhubung dengan mata, telinga, hidung, lidah dan tubuh eksternal yang merupakan media Citta.  Dengan demikian Citta berbeda dengan Viññāṇa. Citta adalah pemikirnya. Viññāṇa adalah gua di mana Citta berdiam dan sekaligus adalah kendaraan yang membawa Citta terlahir atau pergi ke suatu tempat. Viññāṇa mengawetkan Rūpa-Halus, yaitu Rūpa yang berasal dari penjumlahan seluruh Rūpa, mengada dalam wujud laki-laki dan perempuan, memiliki mata, telinga, hidung, lidah dan tubuh, serta terselubung dalam Viññāṇa jahat yang menyebabkan tumimbal lahir dan keberlanjutan alam kehidupan.
   Tatkala seekor hewan mati, eksistensi tubuh duniawi alam kehidupan tersebut berakhir pada usia biologis tubuh duniawi tersebut. Namun kehidupan esensial, Rūpa-Viññāṇa Atomik, takkan berakhir ataupun hancur. Ia harus bertumimbal lahir secara berturut-turut dalam alam kehidupan yang berbeda-beda sesuai dengan sebab dan kondisi yang berulang-ulang. Kehidupan esensial, Rūpa-dalam atau Viññāṇa yang berputar-putar, menyebabkan Citta muncul dan padam, mewarisi, serta menunggu fenomena internal dan eksternal yang akan menjalin kontak dengan mata, telinga, hidung, lidah, tubuh  dan batin; sehingga Citta akan berubah-ubah menurut sebab dan kondisi yang menghampiri kontak. Ia menumpuk semua perbuatan, tanpa peduli baik ataupun buruk, dan menjadi fondasi muncul dan padam yang mengarahkan Citta pada formasi lanjutan hingga pada perbuatan buruk, penyebab tumimbal lahir, berakhir. Kemudian kehidupan esensial, Rūpa dalam atau Viññāṇa akan berhenti berotasi. Rūpa-Halus, “Rūpa-Viññāṇa”, yang disebabkan oleh perbuatan buruk dari kehidupan pertama akan terurai; menjadi tidak bisa mempertahankan wujud, menjadi tersebar. Dikarenakan perbuatan baik, Cittadhamma23 melekat pada Viññāṇa, mereka akan menyebar keluar bersama dengan Rūpa-Atomik, yang menyisakan semat-mata kehampaan yang memisahkan ruang antara setiap Rupa-Atomik. Lantas, tanpa Rūpa-Atomik, kehampaan ini menjadi murni dan berkilau serta menyatu menjadi tunggal dengan kehampaan murni dan berkilau alam semesta yang mendasar, sehingga ia disebut sebagai Nibbāna.
   Ketika Sang Tathāgata24 telah berhasil mendirikan sebuah kehidupan Buddhis25 yang mewujudkan kehidupan sempurna sebagaimana yang Beliau harapkan, Beliau, lantas, membebaskan diri-Nya dari Vibhavataṇhā 26 dan memasuki Anupādisesanibbāna27; sehingga dikatakan, Beliau telah membebaskan diri-Nya dari semua kekotoran batin. Beliau menjadi bebas sepenuhnya dengan padamnya kandha. Cara Anupādisesanibbāna Sang Tathagata adalah sebagai berikut. Pertama, Beliau mengembangkan Jhāna28 dan masuk ke yang terdalam ke Saññavedayitanirodha,29 yang berarti memasuki pemadaman yang mendalam jauh melampaui Arūpajhāna.30 Pada tahap pertama ini, Beliau tidak sepenuhnya memadamkan semua Kandha31 namun semata-mata masuk untuk mempertahankan proses menuju Nibbana atau Nirodha32 untuk yang terakhir kali dalam hidup-Nya, atau dapat dikatakan secara sederhana, agaknya Beliau berusaha untuk membentuk  dan bertahan untuk menciptakan jalan, model, untuk yang terakhir kali dalam hidup-Nya. Hal ini bisa disebut sebagai hal yang berasal dari daya tahan-Nya terhadap penderitaan halus yang tidak dapat dirasakah oleh makhluk hidup umum yang memiliki Citta yang kotor.
   Dengan demikian, proses perkembangan Citta seseorang yang disebut  Saññavedayitanirodha merupakan proses yang hanya Sang Tathagata, orang suci teragung di dunia, temukan dan ungkapkan bagi semua makhluk hidup sehingga mereka akan mengikutinya. Setelah mencapai tahap terakhir ini, Beliau, kemudian, kembali ke tahap pertama, Absorpsi Pertama, dan membuat keputusan akhir untuk untuk memadamkan semua Kandha sekaligus. Viññāṇakhandha33 kehidupan dan tubuh telah berakhir lama sebelum ia memasuki Absorpsi Pertama karena ia pertama-tama harus mengakhiri Saṅkhārakhanda34 atau Saṅkhāradhamma.35 Dengan demikian Viññāṇakhandha akan berakhir dengan sendirinya.
   Sang Tathagata memulai pertama-tama dengan mengakhiri Saṅkhārakhanda dalam atau Saṅkhāradhamma yang menimbulkan Vibhavataṇhā.  Kemudian Beliau menanjak ke Absorpsi Kedua, Saññākhanda yang dipadamkan serta bergerak ke Absorpsi Ketiga. Setelah mengakhiri Saṅkhārakhanda atau Saṅkhāradhamma, Beliau kemudian bergerak ke Absorpsi Keempat, menyisakan hanya Vedanākandha terakhir kehidupan. Ini merupakan proses tahap terakhir pemadaman absolut. 
   Tatkala Sang Tathāgata mengakhiri secara tuntas Saṅkhārakhanda atau Saṅkhāradhamma utama yang terakhir, Beliau, kemudian, mengakhiri Vedanākandha yang mana merupakan Cittakhandha36 atau Nāmakhandha37 yang memiliki Citta dalam atau Bhavaṅgacitta.38 Beliau meninggalkan Absorpsi Keempat dan mengakhiri Cittakandha atau Nāmakandha sejati yang terakhir-Nya pada tahap ini.  Sang Tathagata memasuki Nibbāna pada tahap terakhir ini. Beliau tidak memasuki Nibbāna dalam Jhāna-Samāpatti (tahap-tahap pencapaian meditatif) yang manapun.  Tatkala Sang Tathāgata meninggalkan Absorpsi Keempat, Cittakandha atau Namakandha berakhir sama sekali secara bersamaan. Tiada satupun yang tersisa. Adalah Beliau mengakhiri Vedanākhandha39 pada keadaan Citta tersadarkan atau dengan Citta kesadaran normal pada manusia menjadi sempurna bersama perhatian penuh dan sadar-diri, tianpa dikuasai oleh keadaan lainnya. Ia adalah keadaan yang terarah untuk tidak dikuasai atau dibutakan. Ini merupakan keadaan sadar seseorang.
   Ketika Vedanākanda sejati yang terakhir dihancurkan dengan sepenuhnya, Sang Tathāgata, kemudian, menjadi Yang Murni bebas dari Saṅkhāradhamma atau benihnya.  Tiada satupun Cittakhandha atau Nāmakhandha dari-Nya yang tersisa. Satu-satunya yang tersisa adalah Rūpakhandha yang sudah pasti tidak dapat bertahan karena Rūpa bukan kehidupan. Tanpa Nāma, Rūpa hanya semata-mata sebuah massa, sebuah obyek. Demikianlah tahap-tahap Jhana yang  ditelusur amati oleh Yang Arya Anuruddha Thera40 dengan Jhānacitta41 beliau. Ini adalah metode pemadaman absolut, pemadaman oleh Citta, dan oleh Sang Tathāgata sendiri.
   Keseluruhan ajaran Sang Buddha seperti yang dijabarkan semata-mata adalah kultivasi Buddha Citta agar dapat kita pahami. Hanya dengan membebaskan sepenuhnya diri kita dari formasi mental yang seluruhnya menyebabkan timbul dan padam yang tiada akhir serta penderitaan dan kecemasan seluruh makhluk hidup dunia ini dan dunia lainnya, barulah kita tidak perlu lagi membutuhkan suatu cara berusaha dengan tujuan mencapai pencerahan atau apapun itu.
   Satu-satunya tujuan keseluruhan dari ajaran Buddha adalah untuk membangkitkan kita dari pemikiran konseptual. Sekarang, bila kita menghentikan pemikiran kita dan berhasil menghentikannya, lantas apalah gunanya semua Dhamma yang Sang Buddha ajarkan pada kita? Hal ini berarti kita berusaha hingga pada titik di mana kita dapat menghentikan diri kita sendiri dari  semua aksi formasi mental, sehingga tiada apapun yang dapat memengaruhi Citta kita untuk berpikir dibawah kekuasaan ketercemaran dan nafsu keinginan. Ini adalah Citta yang bebas dari  formasi dan gagasan. Inilah Dhamma, atau Buddha, atau hakikat sejati Tathata. Dengan demikian, bila kita dalam memahami semua persoalan ini dengan mendalam, maka tidak ucapan manusia yang dapat memengaruhi kita atau mengungkapkannya.
   Pencerahan adalah pemusatan perhatian pada tiada apapun. Orang yang tercerahkan tidak membicarakan apapun yang mereka ketahui dikarenakan hal tersebut melampaui kata-kata.
Mereka yang melihat-Ku dari wujud dan mengikuti-Ku dari suara terlibat dalam upaya salah. Mereka takkan melihat Aku. Dari Dharma-lah mestinya ia melihat Para Buddha. Dari Dharmakaya datang tuntunan baginya. Namun hakikat sejati Dharma tak terlihat dan tiada seorangpun bisa menyadarinya sebagai obyek

Offline dilbert

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.935
  • Reputasi: 90
  • Gender: Male
  • "vayadhamma sankhara appamadena sampadetha"
Re: Buddha adalah Citta
« Reply #4 on: 27 May 2011, 01:10:04 PM »
Buddha is Citta ?
Then Buddha can Akusala Citta, Buddha can be Dosa Mula Citta, Buddha can be Moha Mula Citta, Buddha can be Lobha Mula Citta...

Then Buddha can kill people and stated that killing action is Upaya Kausalya
VAYADHAMMA SANKHARA APPAMADENA SAMPADETHA
Semua yang berkondisi tdak kekal adanya, berjuanglah dengan penuh kewaspadaan

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Buddha adalah Citta
« Reply #5 on: 27 May 2011, 01:18:12 PM »
bukankah seharusnya masuk ke "ulasan buku"?

Offline dilbert

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.935
  • Reputasi: 90
  • Gender: Male
  • "vayadhamma sankhara appamadena sampadetha"
Re: Buddha adalah Citta
« Reply #6 on: 27 May 2011, 01:24:43 PM »
bukankah seharusnya masuk ke "ulasan buku"?

citta itu sejenis bahasa "smurf"
VAYADHAMMA SANKHARA APPAMADENA SAMPADETHA
Semua yang berkondisi tdak kekal adanya, berjuanglah dengan penuh kewaspadaan