Dikarenakan Sabhāvadhamma16 seperti ini, semua benda, obyek, makhluk hidup dan makhluk tidak-hidup, oleh karena itu, tunduk pada perubahan atau Tilakkhaṇa17: timbul atau lenyap, dan berkelanjutan pada setiap momen, tidak pernah berhenti diam tetap aktual. Citta-viññāṇa berasal dari Rūpa-Nāma alam semesta karena ia menipu dan menyesatkan serta berubah-ubah untuk membutakan kita. Ia berubah dari Rūpa-Nāma tidak-hidup menjadi Rūpa-Nama hidup, dari Rūpa- Nāma hidup menjadi Rūpa-Nāma hidup yang memiliki Citta-viññāṇa. Dengan demikian Citta-viññāṇa berubah dengan berpisah satu sama lain, menyisakan sekadar Nāma kosong tanpa Rūpa. Inilah penyesatan dari Rūpa-Nāma yang paling fundamental.
Penyebab munculnya Rūpa-Nāma alam semesta menimbulkan Rūpa-Nāma alam lainnya, yang meliputi bintang-bintang yang yang tak terukur tiada batas. Rūpa-Nāma alam yang beragam menimbulkan Rūpa-Nāma tumbuhan. Rūpa-Nāma tumbuhan menimbulkan Rūpa-Nāma hewan yang bisa bergerak, sehingga disebut sebagai makhluk hidup. Pada faktanya, tidak peduli apakah Rūpa-Nāma memiliki kehidupan atau tidak, ia dapat bergerak karena memiliki Rūpa-Nāma yang dapat menimbulkan reaksi dalam dirinya dan membuatnya bergerak terus-menerus dan berubah-ubah tiada akhir. Dikarenakan hal ini tak tampak oleh mata kita, karena itu kita menyebutnya sebagai makhluk tidak hidup. Ketika Rūpa-Nāma tumbuhan berubah menjadi Rūpa-Nāma hewan, ia mewujudkan permulaan kehidupan hewan dan menghasilkan Citta-viññāṇa. Perbuatan menyebabkan Kamma.
Hewan yang lahir-pertama hanya melakukan perbuatan buruk; hewan memangsa hewan, dan mereka memilik kemarahan, keserakahan dan kegelapan batin yang timbul dari kondisi internal dan eksternal. Perbuatan yang dilakukan oleh hewan tersebut melalui 5 alat inderanya: mata, telinga, hidung, lidah dan tubuh, yang berkontak dengan 5 obyek indera: wujud material, bunyi, bau, rasa dan rabaan; sehingga terkunci, terkurung, dan terekam sepenuhnya dalam ke dalam Rūpa-Atomik18 yang merupakan Rūpa-Halus19 yang terletak secara laten dalam kekosongan yang berada di antara mata, telinga, hidung, lidah dan tubuh. Hal ini tidak terlihat bagi kita.
Tatkala hewan yang lahir-pertama ini mati, kelahiran kembalinya semata-mata disebabkan oleh perbuatan buruknya sehingga mereka harus membayar hutang perbuatan buruk tersebut. Namun ketika mereka terlahir kembali, mereka tidak mau menuntaskan hutang yang menyebabkan kelahiran kembalinya; sebaliknya, mereka menumpuk lebih banyak hutang lagi yang membawa mereka pada kelahiran kembali berulang-ulang hingga pada kelahirannya yang sekarang. Maka dengan kekuatan perbuatan buruk terkunci di dalam 5 Rūpa-Halus betina ataupun jantan yang merupakan Rūpa-Halus yang melekat pada 5 kontak ini, ia akan berputar ke Rūpa-Atomik bulat, tetap seimbang dengan merotasi diri sendirinya tiada akhir dan menjadi gua di mana Citta berdiam di dalamnya. Hal ini disebut sebagai Rūpa-Viññāṇa 20 atau bisa juga disebut sebagai Rūpa-Dalam21 karena ia berasal dari Nāma kosong, kekosongan menceraikan Rūpa material ini (mata, telinga, hidung, lidah, dan tubuh) yang merupakan Rūpa-Halus yang terletak laten dalam kekosongan. Dengan demikian Rūpa-Viññāṇa bertahan dan bertahan lebih lama dibandingkan dengan Rūpa material. Perbuatan jahat membuatnya terus bergerak dengan sendirinya. Tiada dewa yang dapat mengakhirinya. Hanya Nibbāna22 yang dapat menghancurkan Rūpa-Viññāṇa.
Semua kamma yang dibuat oleh hewan terkunci didalam 5 Rūpa-Halus: mata, telinga, hidung, lidah dan tubuh yang secara keseluruh disebut sebagai Citta. Dengan demikian Citta memiliki kantor yang melekat pada 5 Viññāṇa yang kesemuanya menjadi tempat kerja Citta pusat, terhubung dengan mata, telinga, hidung, lidah dan tubuh eksternal yang merupakan media Citta. Dengan demikian Citta berbeda dengan Viññāṇa. Citta adalah pemikirnya. Viññāṇa adalah gua di mana Citta berdiam dan sekaligus adalah kendaraan yang membawa Citta terlahir atau pergi ke suatu tempat. Viññāṇa mengawetkan Rūpa-Halus, yaitu Rūpa yang berasal dari penjumlahan seluruh Rūpa, mengada dalam wujud laki-laki dan perempuan, memiliki mata, telinga, hidung, lidah dan tubuh, serta terselubung dalam Viññāṇa jahat yang menyebabkan tumimbal lahir dan keberlanjutan alam kehidupan.
Tatkala seekor hewan mati, eksistensi tubuh duniawi alam kehidupan tersebut berakhir pada usia biologis tubuh duniawi tersebut. Namun kehidupan esensial, Rūpa-Viññāṇa Atomik, takkan berakhir ataupun hancur. Ia harus bertumimbal lahir secara berturut-turut dalam alam kehidupan yang berbeda-beda sesuai dengan sebab dan kondisi yang berulang-ulang. Kehidupan esensial, Rūpa-dalam atau Viññāṇa yang berputar-putar, menyebabkan Citta muncul dan padam, mewarisi, serta menunggu fenomena internal dan eksternal yang akan menjalin kontak dengan mata, telinga, hidung, lidah, tubuh dan batin; sehingga Citta akan berubah-ubah menurut sebab dan kondisi yang menghampiri kontak. Ia menumpuk semua perbuatan, tanpa peduli baik ataupun buruk, dan menjadi fondasi muncul dan padam yang mengarahkan Citta pada formasi lanjutan hingga pada perbuatan buruk, penyebab tumimbal lahir, berakhir. Kemudian kehidupan esensial, Rūpa dalam atau Viññāṇa akan berhenti berotasi. Rūpa-Halus, “Rūpa-Viññāṇa”, yang disebabkan oleh perbuatan buruk dari kehidupan pertama akan terurai; menjadi tidak bisa mempertahankan wujud, menjadi tersebar. Dikarenakan perbuatan baik, Cittadhamma23 melekat pada Viññāṇa, mereka akan menyebar keluar bersama dengan Rūpa-Atomik, yang menyisakan semat-mata kehampaan yang memisahkan ruang antara setiap Rupa-Atomik. Lantas, tanpa Rūpa-Atomik, kehampaan ini menjadi murni dan berkilau serta menyatu menjadi tunggal dengan kehampaan murni dan berkilau alam semesta yang mendasar, sehingga ia disebut sebagai Nibbāna.
Ketika Sang Tathāgata24 telah berhasil mendirikan sebuah kehidupan Buddhis25 yang mewujudkan kehidupan sempurna sebagaimana yang Beliau harapkan, Beliau, lantas, membebaskan diri-Nya dari Vibhavataṇhā 26 dan memasuki Anupādisesanibbāna27; sehingga dikatakan, Beliau telah membebaskan diri-Nya dari semua kekotoran batin. Beliau menjadi bebas sepenuhnya dengan padamnya kandha. Cara Anupādisesanibbāna Sang Tathagata adalah sebagai berikut. Pertama, Beliau mengembangkan Jhāna28 dan masuk ke yang terdalam ke Saññavedayitanirodha,29 yang berarti memasuki pemadaman yang mendalam jauh melampaui Arūpajhāna.30 Pada tahap pertama ini, Beliau tidak sepenuhnya memadamkan semua Kandha31 namun semata-mata masuk untuk mempertahankan proses menuju Nibbana atau Nirodha32 untuk yang terakhir kali dalam hidup-Nya, atau dapat dikatakan secara sederhana, agaknya Beliau berusaha untuk membentuk dan bertahan untuk menciptakan jalan, model, untuk yang terakhir kali dalam hidup-Nya. Hal ini bisa disebut sebagai hal yang berasal dari daya tahan-Nya terhadap penderitaan halus yang tidak dapat dirasakah oleh makhluk hidup umum yang memiliki Citta yang kotor.
Dengan demikian, proses perkembangan Citta seseorang yang disebut Saññavedayitanirodha merupakan proses yang hanya Sang Tathagata, orang suci teragung di dunia, temukan dan ungkapkan bagi semua makhluk hidup sehingga mereka akan mengikutinya. Setelah mencapai tahap terakhir ini, Beliau, kemudian, kembali ke tahap pertama, Absorpsi Pertama, dan membuat keputusan akhir untuk untuk memadamkan semua Kandha sekaligus. Viññāṇakhandha33 kehidupan dan tubuh telah berakhir lama sebelum ia memasuki Absorpsi Pertama karena ia pertama-tama harus mengakhiri Saṅkhārakhanda34 atau Saṅkhāradhamma.35 Dengan demikian Viññāṇakhandha akan berakhir dengan sendirinya.
Sang Tathagata memulai pertama-tama dengan mengakhiri Saṅkhārakhanda dalam atau Saṅkhāradhamma yang menimbulkan Vibhavataṇhā. Kemudian Beliau menanjak ke Absorpsi Kedua, Saññākhanda yang dipadamkan serta bergerak ke Absorpsi Ketiga. Setelah mengakhiri Saṅkhārakhanda atau Saṅkhāradhamma, Beliau kemudian bergerak ke Absorpsi Keempat, menyisakan hanya Vedanākandha terakhir kehidupan. Ini merupakan proses tahap terakhir pemadaman absolut.
Tatkala Sang Tathāgata mengakhiri secara tuntas Saṅkhārakhanda atau Saṅkhāradhamma utama yang terakhir, Beliau, kemudian, mengakhiri Vedanākandha yang mana merupakan Cittakhandha36 atau Nāmakhandha37 yang memiliki Citta dalam atau Bhavaṅgacitta.38 Beliau meninggalkan Absorpsi Keempat dan mengakhiri Cittakandha atau Nāmakandha sejati yang terakhir-Nya pada tahap ini. Sang Tathagata memasuki Nibbāna pada tahap terakhir ini. Beliau tidak memasuki Nibbāna dalam Jhāna-Samāpatti (tahap-tahap pencapaian meditatif) yang manapun. Tatkala Sang Tathāgata meninggalkan Absorpsi Keempat, Cittakandha atau Namakandha berakhir sama sekali secara bersamaan. Tiada satupun yang tersisa. Adalah Beliau mengakhiri Vedanākhandha39 pada keadaan Citta tersadarkan atau dengan Citta kesadaran normal pada manusia menjadi sempurna bersama perhatian penuh dan sadar-diri, tianpa dikuasai oleh keadaan lainnya. Ia adalah keadaan yang terarah untuk tidak dikuasai atau dibutakan. Ini merupakan keadaan sadar seseorang.
Ketika Vedanākanda sejati yang terakhir dihancurkan dengan sepenuhnya, Sang Tathāgata, kemudian, menjadi Yang Murni bebas dari Saṅkhāradhamma atau benihnya. Tiada satupun Cittakhandha atau Nāmakhandha dari-Nya yang tersisa. Satu-satunya yang tersisa adalah Rūpakhandha yang sudah pasti tidak dapat bertahan karena Rūpa bukan kehidupan. Tanpa Nāma, Rūpa hanya semata-mata sebuah massa, sebuah obyek. Demikianlah tahap-tahap Jhana yang ditelusur amati oleh Yang Arya Anuruddha Thera40 dengan Jhānacitta41 beliau. Ini adalah metode pemadaman absolut, pemadaman oleh Citta, dan oleh Sang Tathāgata sendiri.
Keseluruhan ajaran Sang Buddha seperti yang dijabarkan semata-mata adalah kultivasi Buddha Citta agar dapat kita pahami. Hanya dengan membebaskan sepenuhnya diri kita dari formasi mental yang seluruhnya menyebabkan timbul dan padam yang tiada akhir serta penderitaan dan kecemasan seluruh makhluk hidup dunia ini dan dunia lainnya, barulah kita tidak perlu lagi membutuhkan suatu cara berusaha dengan tujuan mencapai pencerahan atau apapun itu.
Satu-satunya tujuan keseluruhan dari ajaran Buddha adalah untuk membangkitkan kita dari pemikiran konseptual. Sekarang, bila kita menghentikan pemikiran kita dan berhasil menghentikannya, lantas apalah gunanya semua Dhamma yang Sang Buddha ajarkan pada kita? Hal ini berarti kita berusaha hingga pada titik di mana kita dapat menghentikan diri kita sendiri dari semua aksi formasi mental, sehingga tiada apapun yang dapat memengaruhi Citta kita untuk berpikir dibawah kekuasaan ketercemaran dan nafsu keinginan. Ini adalah Citta yang bebas dari formasi dan gagasan. Inilah Dhamma, atau Buddha, atau hakikat sejati Tathata. Dengan demikian, bila kita dalam memahami semua persoalan ini dengan mendalam, maka tidak ucapan manusia yang dapat memengaruhi kita atau mengungkapkannya.
Pencerahan adalah pemusatan perhatian pada tiada apapun. Orang yang tercerahkan tidak membicarakan apapun yang mereka ketahui dikarenakan hal tersebut melampaui kata-kata.