//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Show Posts

This section allows you to view all posts made by this member. Note that you can only see posts made in areas you currently have access to.


Topics - K.K.

Pages: 1 [2] 3 4 5 6
16
Kondisi: program eSPT 1770 (badan), instalasi di "c:\program files (x86)\DJP\espt 1770\" OS win7.
Database otomatis di "c:\program files (x86)\DJP\espt 1770\database\".

Masalah yang bikin saya bingung adalah data itu diupdate kemarin (23 April 2013) sekitar pukul 18:58, tapi kalau dilihat melalui explorer, tidak 'date modified' tidak ikut berubah. Bahkan saya cari di seluruh hard drive, tidak ada file .mdb yang di-modify pada waktu itu (yang ada yang diubah pukul 10:31, berbeda 8 jam lebih).

Pertanyaan saya: bagaimana cara mengetahui koneksi eSPT dan databasenya (eSPT ini pakai database yang mana, di folder apa, settingnya bagaimana)?

Terima kasih sebelumnya.

19
Perkenalan / MOVED: DhammaCitta on LINE
« on: 27 November 2012, 03:19:11 PM »

20
Theravada / Dasaraha & Pasak
« on: 19 October 2012, 06:35:02 PM »
Di masa lampau, di danau Kuliradaha, ada seekor kepiting emas raksasa yang suka memangsa gajah yang minum di sana. Kawanan gajah yang ketakutan lari dan Bodhisatta yang waktu itu terlahir sebagai gajah, kembali ke danau tersebut. Ketika kepiting tersebut muncul, Bodhisatta lari terlambat dan kakinya tertangkap capit. Teman-temannya lari ketakutan kecuali seekor gajah betina yang tidak tega. Kemudian gajah betina ini berusaha merayu si kepiting, dan mendengar suara lembutnya, capitnya melemah, dan Bodhisatta berhasil lepas dan menginjak kepiting tersebut sampai hancur.

Beberapa waktu berlalu, banjir datang menghanyutkan serpihan kepiting tersebut. Satu dari dua capit hanyut ke laut dan diambil oleh para Asura dan dibuat genderang bernama ālambara. Capit lainnya terdampar di sungai Gangga dan diambil oleh suku khattiya yang disebut Dasaraha.

Dari capit, dibuatlah sebuah genderang yang disebut 'Sang Pemanggil' (ānaka). Ketika ditabuh, genderang ini menggetarkan genderang lain dan terdengar sampai 12 yojana. Orang-orang akan berdatangan dari segala penjuru dan berkumpul. Ada kalanya genderang itu rusak dan kemudian digantikan pasak untuk menopangnya. Semakin lama, semakin banyak banyak pasaknya dan pada akhirnya tidak ada lagi bagian tersisa, hanya sekumpulan pasak saja. Pada saat itu, tabuhannya bahkan tidak terdengar dari bilik sebelah yang dipisahkan oleh kain.

Buddha Gotama mengumpamakan genderang itu sebagai Ajarannya, sementara pasak adalah bukan ajaran Buddha, namun menarik dan indah didengar. Di masa depan, orang-orang lebih menyenangi ajaran 'pasak' ini yang akhirnya menyebabkan Ajaran Buddha tidak lagi didengarkan.

Oleh karena itu, Buddha Gotama menasihati para bhikkhu:
Ketika khotbah dari ajaran Tathagata yang -dalam, dalam maknanya, transenden, berhubungan dengan kesunyataan- dibabarkan, kami akan mendengarkan, memperhatikan dengan sungguh-sungguh, menganggapnya ajaran ini sebagai patut dimengerti dan dilatih.

(ye te suttantā tathāgatabhāsitā gambhīrā gambhīratthā lokuttarā suññatappaṭisaṃyuttā, tesu bhaññamānesu sussūsissāma, sotaṃ odahissāma , aññā cittaṃ upaṭṭhāpessāma, te ca dhamme uggahetabbaṃ pariyāpuṇitabbaṃ maññissāmā.)

Bagaimana Ajaran Buddha bertahan adalah tergantung dari kita juga. Jika kita memilih "menyisipkan pasak-pasak ke dalam genderang 'sang pemanggil'", maka kita juga yang mempercepat kepunahan dhamma.


Spoiler: ShowHide
-Samyutta Nikaya, Opammasamyutta, Āṇisutta
-Jataka 267: Kakkata Jataka

21
Sains / Evolusi
« on: 16 October 2012, 09:31:11 AM »
Nah, judulnya pendek, starter-nya pendek saja, tapi semoga pembahasannya bisa panjang & detail.

Silahkan bagi yang tertarik untuk sharing, tanya, dan diskusi tentang Evolusi Biologi.

22
Diskusi Umum / [ASK] Apakah Vassa Berlaku Mutlak?
« on: 15 October 2012, 08:52:39 AM »
Tradisi vassa ada sejak sebelum Buddha menetapkan vinaya di mana para petapa juga tidak bepergian selama vassa agar tidak merusak tanaman. Selain itu, para bhikkhu juga menggunakan vassa ini untuk berlatih secara intensif dan meninggalkan total urusan-urusan lainnya.

Yang jadi pertanyaan: kalau di tempat dengan curah hujan sangat rendah seperti di gurun atau di kutub, apakah tradisi vassa tetap harus dijalankan? Jika daerah dengan letak geografis berbeda yang musim penghujannya tidak sama dengan kalender Buddhis, waktu yang mana yang perlu diikuti?

23
Swadaya di sini maksudnya dari umat ke umat, non-organisasi dan bebas dari birokrasi. Rencananya akan dimulai bulan September. Tempat akan ditentukan kemudian. Peserta bisa kumpul dulu di tempat yang disetujui, lalu berangkat bareng. Tempat diskusi direncanakan sekitar Jelambar sampai Cengkareng, waktunya sementara ini Sabtu sore.
Topik masih bebas dan pembahasan berdasarkan dhamma & vinaya.

Yang berminat boleh bahas dan beri usul di sini.


Spoiler: ShowHide
Pertemuan ke 1, Sabtu, 8 September 2012.
Peserta: 11 orang ("Yaya", "Mr.Jhonz", Juli Wu + suami, "mettama", Komala, "stephen chow", "rooney", "Gina", "Indra").
Lokasi: Duta Mas.

Peserta: 10 orang (Chitra, "Indra", "stephen chow", anita, "Mr.Jhonz", Jeffrey, "circleofgoodness", Komala, "mettama").
Lokasi: Cengkareng.



24
Theravada / Kisah Tentang Ke[tidak-]indahan Tubuh
« on: 23 August 2012, 01:18:41 PM »
Uttarā Nandamātā yang ingin menjalankan Uposatha tidak mendapatkan izin dari sang suami yang berpandangan lain. Kemudian ia meminta sejumlah uang dari ayahnya dan menggunakannya untuk menyewa jasa dari seorang pelacur bernama Sirimā untuk melayani suaminya. Kemudian Uttarā sibuk menjalankan uposatha dan menyiapkan dana untuk sangha. Suatu ketika, suaminya lewat dan melihatnya sibuk dan tersenyum. Ia berpikir bahwa istrinya begitu bodoh tidak menikmati kekayaan dan malah menyusahkan diri sendiri. Sirimā melihatnya dan berpikir bahwa mereka sedang senyum satu sama lain, maka cemburu menguasainya. Ia mengambil minyak mendidih dan menuangnya ke Uttarā. Namun karena pikirannya dipenuhi dengan belas kasih, maka minyak mendidih itu hanya membasahi wajahnya seperti air dingin. Sirimā berpikir minyak tersebut memang sudah dingin dan ingin mengambil lagi, namun seorang pembantu Uttarā melihat dan memukuli Sirimā. Uttarā menghentikannya dan menyuruh pelayan itu mengobati luka Sirimā yang kemudian menyadari betapa berat kesalahannya dan meminta maaf. Uttarā berkata bahwa ia harus bertanya kepada ayahnya apakah ia harus memaafkannya, dan Sirimā siap untuk pergi menghadap Punnasiha, ayah Uttarā. Namun Uttarā menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan 'ayah' tersebut bukanlah 'ayah' yang membawanya pada kelahiran ini, namun 'ayah' yang membawanya pada terhentinya kelahiran, yakni Buddha.

Maka Sirimā mengatur dana untuk keesokan harinya di rumah tersebut. Dan setelah dana makanan, mereka menceritakan apa yang telah terjadi. Uttarā mengatakan bahwa ia tidak dendam pada Sirimā karena merasa berterimakasih atas jasanya sehingga ia bisa menjalankan uposatha dan menyiapkan dana. Maka Buddha memuji tindakan tersebut dan kemudian mengucapkan syair berikut:

"Kalahkan kebencian dengan tidak membenci, kalahkan kejahatan dengan kebaikan;
Kalahkan kekikiran dengan kedermawanan, dan pembohong dengan kebenaran."
(Akkodhena jine kodhaṃ, asādhuṃ sādhunā jine; Jine kadariyaṃ dānena, saccenālikavādinaṃ.)


Mendengar khotbah dari Buddha itu, Uttarā mencapai Sakadagami, sedangkan Sirimā mencapai Sotapanna dan sejak hari itu, ia berdana kepada 8 bhikkhu setiap harinya. Suatu hari, seorang bhikkhu mendengar tentang baiknya dana dan juga betapa cantiknya Sirimā. Setelah mendapatkan tiket dana, maka ia pergi ke tempat Sirimā yang pada waktu itu sedang sakit. Setelah dana makanan diberikan, Sirimā keluar untuk memberikan hormat. Bhikkhu itu melihat bahwa dalam keadaan sakit pun ia sangat cantik, dan jatuh cinta. Namun pada malam hari itu, Sirimā meninggal, dan atas permintaan Buddha, jenazahnya tidak dibakar namun dibiarkan dan dijaga dari hewan pemakan bangkai. Pada hari ke empat, Raja Bimbisara mengumumkan semua orang untuk berkumpul untuk melihat jenazah tersebut.

Ketika Sangha Bhikkhuni ditahbiskan, Janapadakalyānī Nandā, istri dari Pangeran Nanda yang menjadi bhikkhu pada hari pernikahannya, yang merasa tidak memiliki apa-apa lagi, memutuskan untuk menjadi bhikkhuni. Ia sangat melekat pada kecantikannya sehingga ia selalu berusaha menghindari bertemu dengan Buddha yang selalu mengajarkan ketidak-melekatan. Namun ia juga hadir dalam kejadian ini. Buddha mengetahui pikiran Nandā dan membuat bayangan wanita yang sangat cantik yang menarik perhatiaannya. Kemudian wanita ini perlahan-lahan menjadi tua dan mati. Nandā melihat dan merenungkan ketidak-kekalan ini, melepaskan kemelakatannya dan mencapai tingkat Sotapanna.

Sementara itu, terjadi pelelangan mayat Sirimā mulai dari harga seribut keping (harga jasa semalam sewaktu ia hidup). Dan tentu saja tidak ada yang mau. Kemudian turun setengah harga, seperempat, dan seterusnya sampai akhirnya mayat itu boleh diambil gratis. Namun tetap saja tidak ada yang mau. Buddha kemudian mengucapkan syair berikut:

"Lihatlah tubuh semu ini, badan berpuru yang disanggah [oleh tulang],
sumber dari berbagai macam pikiran [nafsu], yang tidak kekal ataupun bertahan."
(Passa cittakataṃ bimbaṃ, arukāyaṃ samussitaṃ; Āturaṃ bahusaṅkappaṃ, yassa natthi dhuvaṃ ṭhiti.)


Mendengar hal tersebut, bhikkhu yang jatuh cinta pada Sirimā itu mencapai Sotapanna. Kemudian Buddha memberikan khotbah ketidak-menarikan tubuh (Kāyavicchandanikasutta):

"Apakah berjalan, berdiri, duduk, atau berbaring, melentur dan meregang: ini adalah gerakan tubuh. Tergabung dengan urat dan tulang, dibungkus otot dan kulit, tersembunyi oleh rona, tubuh ini tidak terlihat sebagaimana adanya: terisi dengan usus, perut, kumpulan hati, kandung kemih, paru-paru, jantung, ginjal, limpa, lendir, keringat, ludah, lemak, darah, cairan sendi, empedu, dan minyak. Padanya, dalam sembilan aliran, kotoran mengalir darinya: dari mata: sekresi mata, dari telinga: sekresi telinga, dari hidung: lendir, dari mulut: muntah, phlegma, dan cairan empedu, dari tubuh: butiran keringat. Padanya, rongga kepala terisi otak.

Si bodoh, terserang kebodohan, menganggapnya indah. Namun ketika ia terbaring mati, bengkak, pucat, dibuang ke pekuburan, bahkan para kerabat tidak memedulikannya. Anjing memakannya. Anjing liar, serigala, cacing, gagak dan burung bangkai memakannya, bersama dengan hewan-hewan lainnya.

Mendengar kata-kata dari Yang Tercerahkan, bhikkhu yang melihat memahami, karena ia melihatnya sebagaimana adanya: "Karena begini, maka begitu. Karena begitu, maka begini." Di dalam dan di luar, ia harus membuat keinginan akan tubuh memudar. Dengan keinginan dan nafsu memudar, bhikkhu yang melihat sampai di sini: pada tanpa-kematian, kedamaian, kebebasan yang kekal. Tubuh berkaki dua, kotor, berbau busuk, terisi berbagai macam bangkai, meleleh di sana-sini: siapapun akan berpikir, dengan dasar tubuh yang seperti ini, memuji diri sendiri atau merendahkan orang lain, apakah hal tersebut kalau bukan kebutaan?"


Setelah mendengar ini, Janapadakalyānī Nandā dan bhikkhu yang jatuh cinta tersebut mencapai kesucian Arahatta, sementara Sirimā [yang pada saat itu telah terlahir di Nimmānarati] yang menyamar dalam wujud manusia dan hadir di sana, mencapai Anagami.


25
Kemusnahan Umat Buddha, Kebangkitan Umat Bhikkhu
Case: Ashin Jinarakkhita (vs LuangTa Maha Bua)
by Wirajhana Eka on Friday, December 30, 2011 at 12:07pm


Mungkin sudah terlalu sering anda mendengar/membaca bahwa ajaran sang Buddha akan lenyap dari muka bumi.

Kalimat itu tidaklah benar!

Yang benar adalah SadDhamma (Dhamma sejati) bertahan hingga 500 tahun[1] saja setelah wafatnya sang Buddha. Batasan usia Dhamma sejati, disampaikan sang Buddha ketika berada di Vesali, pada tahun ke-5 keBuddhaannya.

So, Apa sih Dhamma sejati itu?

Bagaimana Dhamma sejati itu dapat berumur hingga 500 tahun sejak parinibbananya beliau?

Jika Dhamma sejati telah lenyap, maka mengapa hingga sekarang ajaran Buddha masih ada?

Untuk memahami ini,

Maka perlu kita ketahui peristiwa yang terjadi di kota Veranja pada tahun ke-12 masa keBuddhaan Beliau. Ketika itu, YM Sariputta bertanya pada sang Buddha, "Pada Masa Buddha siapakah kehidupan suci bertahan lama dan masa Buddha siapakah tidak bertahan lama?”. Sang Buddha memberikan jawaban sebagai berikut:

   1. Pada masa Buddha Vipassī, Sikhī and Vessabhū tidak membabarkan khotbah Dhamma secara terperinci, peraturan latihan bagi para siswa (vinaya) tidak dipermaklumkan dan kumpulan peraturan tidak dirumuskan (Pàtimokkha, inti peraturan). Setelah Para Buddha, generasi para siswanya parinibbanna, ajaran itu lenyap dengan cepat.
   2. Pada masa Buddha Kakusandha, Konāgamana and Kassapa membabarkan khotbah Mereka secara terperinci, menetapkan Vinaya dan Pàtimokkha. Setelah Mereka dan para siswa langsung Parinibanna, generasi-generasi berikutnya menjaga ajaran itu hingga bertahan.

Ketika mendengar itu, YM Sariputta kemudian memohon kepada sang Buddha agar berkenan menetapkan vinaya dan patimokkha. Sang Buddha berkata padanya bahwa itu belumlah saatnya karena puluhan ribu anggota sangha (kelompok para Bhikkhu) yang ada saat itu, 500nya saja sudah mencapai sotapanna [Tingkat kesucian ke-1] dan kelak ketika jumlah anggota sangha semakin membesar maka akan terjadi kecenderungan berpikir, berucap dan berbuat yang mengakibatkan menjauh dari jalan kesucian, di saat itulah vinaya dan patimokkha baru dapat ditetapkan[2]. [Tentang apa itu sangha dan kegunaannya bagi pelestarian Dhamma sejati, silakan baca di sini]

Patimokkha pertama yang ditetapkan sang Buddha merujuk pada kasus yang dilakukan oleh Suddina.


Pentahbisan Suddina menjadi Bhikkhu terjadi di setelah berakhirnya masa vassa ke-12 Sang Buddha di kota Veranja. Ketika itu Sang Buddha berada di Vesali. Setelah ditahbishkan, Sudinna menetap di Vajji selama 8 tahun[2]. Pada tahun itu, Vajji mengalami paceklik besar sehingga sulit bagi bhikkhu untuk berpindapatta (mengumpulkan dàna makanan dengan mangkuk di tangan mereka). Oleh karena kejadian itu, Suddina bermaksud untuk menggantungkan hidup pada sanak keluarganya yang hidup makmur di Vesali. Alasan pembenaran untuk keputusannya itu adalah seperti ini, "Karena aku mereka dapat mempersembahkan dàna dan melakukan kebajikan. Dan para bhikkhu akan memperoleh keuntungan secara materi, dan aku tidak akan dipersulit dalam hal makanan”.

 
Setelah di Vesali, keluarganya berusaha membujuknya dengan harta agar Ia  kembali kepada kehidupan umat awam. Namun Ia tidak bergeming. Tidak mempan dengan dengan cara itu, Sang Ibu kemudian memintanya agar dapat memberikan keturunan sebagai pewaris harta keluarga agar kelak tidak direnggut oleh kaum licchavi. Permohonan sang ibu dikabulkannya dan Ia kemudian melakukan hubungan seksual dengan istrinya yg dulu. Atas kejadian itulah, kemudian Sang Buddha menetapkan aturan untuk pertama kalinya bahwa Barang siapa yang melakukan percabulan maka ia sudah kalah (parajika), tidak lagi dalam persekutuan (sangha)[2]

 
Setelah itu, hingga parinibannanya Sang Buddha, terdapat 227 Kasus (Bhikkhu) dan 311 kasus (Bhikkhuni) yang kemudian ditetapkan sebagai aturan mendisiplinkan [Vinaya dan Patimokkha]. 

 
Terdapat pertanyaan menarik dari YM Maha Kassapa kepada Sang Buddha, "Apa alasan dan bergantung pada kondisi apa ketika sebelumnya sedikit aturan, banyak bhikkhu yang memperoleh pencerahan namun sekarang2 ini, lebih banyak aturan yg ditetapkan namun lebih sedikit bhikkhu yang mencapai pencerahan sempurna?"

 
Sang Buddha menjawab bahwa ketika mahluk2 menurun jumlahnya, Dhamma sejati juga akan berkurang, aturan ditetapkan semakin banyak, semakin sedikit bhikkhu yang mencapai pencerahan namun itu tidak membuat Dhamma sejati lenyap hingga kemudian dhamma tiruan bermunculan di dunia. Ketika Dhamma tiruan bermunculan di dunia maka dhamma sejati akan lenyap..adalah orang yang kosong melompong spiritualitasnya (mogha purisa) yang bermunculan di sini yang menyebabkan Dhamma sejati melenyap. Terdapat 5 faktor yang menyebabkan menurunnya Dhamma sejati, yaitu Bhikkhu, Bhikkhuni dan umat awam bersikap tidak hormat dan melawan pada: Guru, dhamma, sangha, pelatihan dan meditasi [Saddhamma Patirūpaka Sutta SN 16.13]

Di menjelang Parinibbannanya,

bertempat di RajaGaha, Sang Buddha menyampaikan 7 faktor kemajuan bukan kemunduran (Aparihāniyā dhammā), yaitu selama para Bhikkhu:

   1. sering mengadakan pertemuan-pertemuan rutin,
   2. bertemu dalam damai, berpisah dalam damai, dan melakukan tugas-tugas mereka dalam damai,
   3. tidak menetapkan apa yang belum ditetapkan sebelumnya, dan tidak meniadakan apa yang telah ditetapkan,   
       melainkan meneruskan apa yang telah ditetapkan,
   4. menghormati para senior yang lebih dulu ditahbiskan, ayah dan pemimpin dari Sangha,
   5. tidak menjadi mangsa dari keinginan yang muncul dalam diri mereka dan mengarah menuju kelahiran kembali,
   6. setia menjalani kehidupan dalam kesunyian hutan dan
   7. menjaga perhatian mereka masing-masing

kemudian, ketika berada di Bhojanegara, Sang Buddha menyampaikan kreteria/standar (Maha Padesa) untuk menilai klaim suatu dhamma dan dibandingkan dengan Dhamma sejati:

   1. Buddha. Seandainya seorang bhikkhu mengatakan: “Teman-teman, aku mendengar dan menerima ini dari mulut Sang Bhagavā sendiri: inilah Dhamma, inilah disiplin, inilah Ajaran Sang Guru,” maka, para bhikkhu, kalian tidak boleh menerima atau menolak kata-katanya. Kemudian, tanpa menerima atau menolak, kata-kata dan ungkapannya harus dengan teliti dicatat dan di bandingkan dengan Sutta-sutta dan dipelajari, Jika kata-katanya, dibandingkan terbukti tidak selaras dengan Sutta atau disiplin, maka kesimpulannya adalah: “Pasti ini bukan kata-kata Sang Buddha, hal ini telah keliru dipahami oleh bhikkhu ini,” dan kata-katanya itu harus ditolak. Tetapi jika saat dibandingkan dan dipelajari, terbukti selaras dengan Sutta atau disiplin, berarti kesimpulannya adalah: “Pasti ini adalah kata-kata Sang Buddha, hal ini telah dengan benar dipahami oleh bhikkhu ini.” Ini adalah kriteria pertama.
   2. Sangha. Seandainya seorang bhikkhu mengatakan: “Di tempat-tempat ini terdapat komunitas para bhikkhu dengan bhikkhu-bhikhu senior dan guru-guru terkemuka. Aku telah mendengar dan menerima ini dari komunitas tersebut,” maka, para bhikkhu, kalian tidak boleh menerima atau menolak kata-katanya ... (seperti di atas). Ini adalah kriteria ke dua.’
   3. Para Bhikkhu Senior. Seandainya seorang bhikkhu mengatakan: “Di tempat-tempat ini terdapat banyak bhikkhu senior yang terpelajar, pewaris tradisi, yang mengetahui Dhamma, disiplin, peraturan-peraturan ...” (seperti di atas). Ini adalah kriteria ke tiga.’
   4. Seorang Bhikkhu Senior. Seandainya seorang bhikkhu mengatakan: “Di tempat-tempat ini terdapat seorang bhikkhu senior yang terpelajar ... aku telah mendengar dan menerima ini dari bhikkhu senior tersebut ...” (seperti di atas). Ini adalah kriteria ke empat.'
      [MahaParinibanna sutta(DN 16) dan Maha Padesa Sutta]


Kemudian, di 3 (tiga) bulan setelah wafatnya beliau, 84.000 pokok Dhamma ajaran beliau di[ ]ulang kembali oleh 500 Arahat yang dipimpin oleh YM Maha Kassapa.
 

Itulah yang kemudian dikenal sebagai Dhamma dan Vinaya sebagai kelengkapan dari Dhamma sejati agar kehidupan kesucian ke-1 s.d ke-4 (arahat) menjadi memungkinkan hingga 500 tahun dari setelah parinibbannanya sang Buddha. [Detail lanjutan ttg Dhamma Sejati berunsur 8,  tingkat kesucian dan juga konsili ke-1 s.d ke-4, lihat di sini]


Demikianlah upaya yang dilakukan agar Dhamma sejati berusia hingga 500 tahun lamanya.


Ajaran Buddha menyatakan bahwa segala sesuatu yang berkondisi adalah tidak kekal dan tidak memuaskan dan itu berlaku pada segala hal baik itu Alam, Mahluk dan Ajaran sehingga semua hal tersebut hanya merupakan fenomena ato perubahan yang tidak berinti/berlandaskan. Untuk memperjelas, saya sampaikan contoh lain misalnya tentang semesta:

      Semesta ini telah berulang kali ada, mengembang, menyusut dan hancur.  Permulaan 1 Kappa semesta ini dibagi dalam 4 periode. Di periode ke-1, tidak ada apapun. Di periode ke-2 dan ke-3, Mahluk2 dari alam Abhassara muncul kembali di alam bawahnya yaitu alam Brahma dan yang pertama muncul dinamakan  maha brahma. Setelah itu alam2 di bawahnya terbentuk dengan ditandai kemunculan mahluk di alam tersebut. Ketika mahluk pertama muncul di neraka maka mulailah periode balik ato penghancuran yang bertahap menghancurkan juga alam-alam berikutnya hingga ke alam Brahma dan di Periode ke-4 kembali tidak ada apapun.


      Setelah 7x pengulangan maka yang ke-8, bukan cuma alam Brahma saja yang hancur namun juga alam yang di atasnya, yaitu alam Abhassara. Setelah 7x pengulangan hancurnya alam Abhasara, maka yang ke-8, bukan saja alam brahma dan alam Abhasara yang hancur, namun juga alam di atasnya yaitu alam Śubhakṛtsna. Setelah 7x pengulangan hancurnya alam Śubhakṛtsna, maka yang ke-8, bukan saja alam brahma, alam Abhasara dan alam Śubhakṛtsna yang hancur namun juga alam di atasnya yaitu  alam Bṛhatphala. Itulah batasan tertinggi dari alam Rupa yang hancur. Demikianlah putaran bagai lingkaran itu terjadi berulang-ulang. Jika kita melihat lingkaran, maka menentukan titik awalnya adalah tidak relevan dan/atau tidaklah dapat ditentukan kecuali melalui suatu konsensus/kesepakatan tertentu.

Nah, siklus lingkaran: ada-mengembang-menyusut-hancur yang berulangkali itu terjadi pula pada Dhamma sejati.

Rupanya, Komunitas buddhis di awal milenium pertama abad ini tersadar bahwa kisaran waktu 500 tahun sudah terlewatkan maka marak bermunculan tradisi-tradisi baru untuk memperpanjang sendiri batasan umur Dhamma sejati tersebut[3][4]:

   1. Di peride SETELAH 500 tahun Parinibanyanya Sang Buddha ["paścimāyāṁ pańacaśatyām", Sūtra Intan, dan Sūtra
       Teratai]
   2. 700 tahun [Sūtra Mahāparinirvāṇa dan Sūtra 7 mimpi Ananda (Taisho 49, no. 2034, p. 116, c4)]
   3. 1000 tahun [Bhadrakalpika Sūtra dan komentar dari Prajńāpāramitā Sūtra, dibagi per 500 tahun]
   4. 1500 tahun [Candragarbha Sūtra, Mahāsaṃnipata Sūtra, Karunapundarīka Sutra, Mahāmāyā Sūtra]
   5. Setelah 2500 tahun yang dibagi per 500 tahun. [Mahāsaṃnipata Sūtra, dalam Abhidharma Mahāvibhāṣa Śāstra:
       dibagi per 500 tahun setelah parinibanna Sang Buddha terakhir 3500 tahun.]
   6. 5000 tahun [dengan tabel waktu dalam: Komentar Buddhagosa pada Aṅguttara Nikāya, juga di Maitreya
       Sūtra(sumber tibet)]
   7. 5104 tahun [Kalacakra tantra, tibetan]
   8. ≥ 10.000 tahun [translasi dari Samantapasadika ch. 18 merubah dari 5000 menjadi 10.000 dengan perincian
       1000 tahun Saddharma, 5000 tahun mirip dhamma dan terus hingga batas 10.000 tahun juga di Ju She Lun Bao,
       ch.29 Shu ; juga ada yg menyatakan 11.500 tahun (Taisho no.1933, 46.786c4-6); kemudian 12000 tahun (Taisho
       T42, no. 1824,.p. 18, b2-5, T47, no. 1960, p. 48, c7-8 dan T35, no. 1709,p. 520, c10)], dll

Semakin lengkaplah terjadi! Dengan kemunculan Dhamma tiruan [baik dari kalangan dalam maupun luar ajaran Buddha sendiri].


Perlahan tapi pasti, Umat Buddhapun berubah menjadi umat Bhikkhu!


Jika anda google, di banyak link, akan anda temukan banyak ulasan dan klaim alasan mengapa SadDhamma belum lenyap dan bahwa masih terdapat banyak orang yang mencapai tingkat kesucian tertentu di setelah kurun waktu 500 tahun Parinibbannanya sang Buddha dan bahkan hingga jaman sekarang!


Demikianlah sabda dari banyak klaim yg beredar tersebut.

 
Namun rupanya mereka lupa bahwa di literatur awal sendiri terdapat satu kisah yg menegaskan bahwa mencapai tingkat kesucian adalah tidaklah mudah, yaitu merujuk pada kisah Raja Pukkusàti/Pushracarin, penguasa Negeri Gandhara, dengan ibu kotanya Takkasilà [sekarang di Pakistan, 35 km, barat laut Rawalpindi]. Ia menerima hadiah kain emas yang berisi tulisan mengenai ajaran Buddhisme yang dikirim Raja Bimbisàra, Penguasa negeri Maghadha [wilayah tengah - Majjhima Desa]. Raja Pukkusati kemudian membacanya hingga ia menjadi mengenal Dhamma dan mempraktekkan yang tertulis, yang salah satunya adalah meditasi dan memperoleh hasil berupa jhana Rupavacara.

Hanya itulah yang dicapainya dan Iapun tidak mendapatkan pencapaian tingkat kesucian manapun.
Baru setelah Ia bertemu dengan sang Buddha, yang memberikan penjelasan dan pengertian lanjutan yang disesuaikan dengan karakter sang raja, Pukkusati akhirnya mencapai tingkat kesucian ke-3, yaitu Anagami. [detail tentang ini silakan baca di sini]

Nah anda bayangkan saja, seorang yang mempunyai parami [kumpulan kebajikan yang sangat besar] seperti raja Pukkusati saja, ketika membaca, Ia hanya sampai di mengenal Dhamma dan jhana hasil meditasi. Tanpa mendapat bimbingan lanjutan dari seorang Arahat, maka pencapaian tingkat kesucian tidaklah Ia peroleh.

Sekarang, anda akan semakin jelas bahwa klaim-klaim tersebut dan juga segala manipulasi itu menjadi sangat mengada-ada, bukan?!

 

Disamping itu,

Di (Ahitāya) Thera Sutta, sang Buddha juga menyatakan  bahwa Bhikkhu (ato guru) yang mempunyai pandangan salah dan visi menyimpang, setelah membuat pengikutnya berpaling dari Dhamma sejati, dia menenggelamkan mereka dalam Dhamma yang palsu.


Sehingga tidaklah mengherankan jika di setelah 500 tahun setelah parinibanna Sang Buddha, ada orang yg ngaku2 [atau diakui] arahat dan masih saja di percaya!

Yang lebih gila lagi adalah SETELAH 2500 tahun..eh koq ada juga yang gak TAHU MALU menyematkan label ARAHAT pada orang2 jaman sekarang :)

 
[Bersambung]

27
Theravada / [ASK] Apakah Kewajiban Bhikkhu Terhadap Umat?
« on: 26 April 2012, 10:47:09 AM »
Tiba-tiba terlintas dalam pikiran saya tentang tidak jelasnya kewajiban seseorang menjadi bhikkhu dan juga interaksinya dengan kehidupan sosial. Sebetulnya apa sajakah kewajiban bhikkhu pada umat?
Dalam hal pengajaran, bagaimanakah Dhamma-Vinaya seharusnya dibabarkan oleh para bhikkhu?

Mohon sharingnya teman2 di sini.

28
Tolong ! / MOVED: Samanera Pandita
« on: 23 April 2012, 04:42:54 PM »

Pages: 1 [2] 3 4 5 6