//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Show Posts

This section allows you to view all posts made by this member. Note that you can only see posts made in areas you currently have access to.


Topics - seniya

Pages: 1 2 3 4 5 6 7 8 [9] 10
121
Sutra Mahayana / Maitreyavyakarana
« on: 19 June 2010, 03:46:57 PM »
Sumber tentang Buddha Metteya/Maitreya dalam agama Buddha (yang diurutkan dari sumber tertua) adalah Cakkavatti-sihanada Sutta dari Digha Nikaya (Pali), Buddhavamsa (Pali), Anagatavamsa (Pali), Maitreyavyakarana (Sanskrit) dan sutra-sutra Mahayana lainnya tentang Maitreya yang berbahasa Mandarin (versi Sanskerta-nya sudah hilang). Sementara beberapa sumber yang lebih awal (Cakkavatti-sihanada Sutta dan Buddhavamsa) tidak menyebutkan banyak detail tentang Buddha Metteya, sumber-sumber yang lebih belakangan (Anagatavamsa, Maitreyavyakarana, dan sutra-sutra Mahayana lainnya) mengisahkan detail kehidupan Buddha Metteya/Maitreya.

Maitreyavyakarana merupakan teks Sanskrit tertua yang berisi pernyataan/ramalan (vyakarana) dari Buddha Sakyamuni atas kemunculan Buddha Maitreya di masa yang akan datang atas permintaan Sariputra. Isi teks Buddhis ini sama dengan Anagatavamsa, teks Pali yang bertemakan hal yang sama. Dalam Anagatavamsa, Sang Buddha juga memberikan penjelasan tentang kemunculan Buddha Metteya atas permintaan Sang Jenderal Dhamma, Bhikkhu Sariputta.

Berikut ini merupakan kutipan isi Maitreyavyakarana yang diambil dari buku Buddhist Scriptures oleh Edward Conze.

122
Tolong ! / Cara komunikasi yg baik???
« on: 16 June 2010, 11:37:08 AM »
Namo Buddhaya,

Saya seorg karyawan swasta yg bekerja sbg staff administrasi kurang lebih 1 th & karyawan junior di tmpt kerja saya saat ini. Sebelumnya saya blm pernah bekerja,tetapi stlh lulus kuliah br mencari kerja & ini adl pengalaman kerja saya yg pertama.

Saya seorg yg pendiam,tdk bnyk bicara,kurang bnyk bergaul,jarang keluar rmh. Mgkn itu jg sebabnya sy tdk bs berkomunikasi dg baik dg org lain. Hal ini saya rasakan terutama di lingkungan kerja/kantor. Saya tdk bs berkomunikasi dg baik dg sesama karyawan,apalagi dg atasan/manager. Kadangkala jika ingin berbicara soal pekerjaan dg kawan kantor,ada perasaan tdk enak (segan,takut krn merasa lbh junior walaupun umur mrk lbh muda) shg "mengganggu" apa yg ingin saya komunikasikan. Tak jarang mrk "tdk menyukai" saya krn miskomunikasi yg demikian.

Hal ini lbh "parah" jika saya hrs berhadapan dg org2 yg lbh tinggi kedudukannya. Biasanya akan merasa grogi/gugup jika berhadapan dg atasan apalagi atasan yg agak "galak". Akibatnya apa yg ingin disampaikan ke atasan tsb tdk semuanya tersampaikan krn ada perasaan ingin cepat menyelesaikan pembicaraan.

Hal ini pun mengganggu pekerjaan saya,suatu pekerjaan yg seharusnya bs diselesaikan dg cepat jd berlarut2 & tertunda. Saya kadangkala merasa down & ingin pindah pekerjaan (mencr pekerjaan lain yg tdk memerlukan bnyk komunikasi dg org lain),namun saya pikir itu bkn solusi. Yg hrs diubah bkn hal2 di luar,namun diri sendirilah yg hrs berubah.

Sampai skrg saya msh bingung bgmn cara komunikasi atau sosialisasi yg baik. Mgkn dr tulisan ini org mengira saya seorg komunikator yg baik,tetapi ini hanya dlm bentuk komunikasi tertulis. Dlm komunikasi lisan saya tdk sebaik ini krn bg saya lbh sulit menyusun kata2 yg baik scr lisan.

Mungkin ada di antara teman2 di forum ini yg mengalami hal yg sama dan bs mensharing pengalaman & tips2 utk mengatasi masalah ini.

Terima kasih _/\_

123
Tolong ! / Cara komunikasi yg baik???
« on: 16 June 2010, 11:36:29 AM »
Double post

124
Mencari Akhir Dunia: Sebuah Penjelasan Atas Rohitassa Sutta dari Samyutta Nikaya/Anguttara Nikaya
Rohitassa Sutta
(SN, II:26; AN, IV:45)

Pada suatu ketika Sang Bhagava sedang berdiam di dekat Savatthi di vihara Jetavana milik Anathapindika. Kemudian Rohitassa, seorang devaputta, pada tengah malam, dengan cahaya cemerlang yang menerangi seluruh Jetavana, mendatangi Sang Bhagava. Sesampainya, setelah bersujud kepada Sang Bhagava, ia berdiri pada satu sisi. Ketika ia berdiri di sana, ia berkata kepada Sang Bhagava: “Apakah mungkin, Yang Mulia, dengan berjelajah, dapat mengetahui atau melihat atau mencapai akhir dunia di mana seseorang tidak lahir, tua, mati, meninggal atau tidak muncul kembali?”

“Aku katakan padamu, sahabat, bahwa tidak mungkin dengan berjelajah dapat mengetahui atau mencapai akhir dunia di mana seseorang tidak lahir, tua, mati, meninggal dunia, atau tidak muncul kembali.”

“Mengagumkan, Yang Mulia, dan menakjubkan, betapa baiknya apa yang dikatakan oleh Sang Bhagava: ‘Aku katakan padamu, sahabat, bahwa tidak mungkin dengan berjelajah dapat mengetahui atau melihat atau mencapai akhir dunia di mana seseorang tidak lahir, tua, mati, meninggal dunia, atau tidak muncul kembali.’ Dulu saya adalah seorang pertapa bernama Rohitassa, seorang murid Bhoja, seorang yang dapat berjalan di angkasa dengan kekuatan batinnya. Kecepatanku secepat seorang pemanah yang kuat, terlatih dengan baik, dengan tangan mahir, seorang pemanah handal yang mahir, yang menembakkan sebuah panah ringan melalui bayangan pohon palem. Langkahku membentang sejauh lautan timur dari arah barat. Bagiku, diberkahi dengan kecepatan demikian, langkah yang demikian, muncul keinginan: ‘Aku akan menjelajahi sampai ke akhir dunia.’ Aku dengan panjang usia seratus tahun menghabiskan seratus tahun berjelajah kecuali waktu yang dihabiskan untuk makan, minum, mengunyah dan mencicipi [makanan], buang air, dan tidur untuk menghilangkan kelelahan, namun tanpa mencapai akhir dunia aku meninggal dunia sepanjang jalan. Maka adalah mengagumkan, Yang Mulia, dan menakjubkan, betapa baiknya apa yang dikatakan oleh Sang Bhagava: ‘Aku katakan padamu, sahabat, bahwa tidak mungkin dengan berjelajah dapat mengetahui atau melihat atau mencapai akhir dunia di mana seseorang tidak lahir, tua, mati, meninggal dunia, atau tidak muncul kembali’.”

[Kemudian Sang Bhagava menjawab:] “Aku katakan padamu, sahabat, bahwa tidak mungkin dengan berjelajah dapat mengetahui atau melihat atau mencapai akhir dunia di mana seseorang tidak lahir, tua, mati, meninggal dunia, atau tidak muncul kembali. Namun pada saat yang sama, Aku katakan padamu bahwa tidak ada akhir dari penderitaan tanpa mencapai akhir dunia. Tetapi hanya dalam tubuh yang berukuran satu depa ini, dengan persepsi dan daya pikir, Aku menyatakan bahwa terdapat dunia, awal mula dunia, lenyapnya dunia, dan jalan menuju lenyapnya dunia.”

“Namun akhir dunia bukan dicapai dengan berjelajah.
Dan bukan tanpa mencapai akhir dunia terdapat pembebasan dari penderitaan.
Demikianlah, sesungguhnya seorang bijaksana, seorang yang ahli berkenaan dengan dunia, seorang yang mengetahui akhir dunia,
Setelah memenuhi kehidupan suci, tenang, mengetahui akhir dunia,
Tidak menginginkan dunia ini atau pun yang lainnya.”

125
Topik ini terinspirasi dari forum tetangga (http://www.w****a.com/forum/topik-umum/7176-apakah-ajaran-buddha-satu-satunya-jalan-menuju-kesempurnaan.html).

Menurut pandangan agama Buddha, apakah hanya dengan menjalankan ajaran Buddha baru bisa mencapai Pencerahan/Nibbana? Dengan kata lain, apakah orang lain yang menjalankan ajaran non-Buddhis tidak bisa mencapai Pencerahan?

Dalam Mahaparinibbana Sutta Sang Buddha mengatakan kepada Subhadda, seorang pertapa yang kemudian menjadi siswa terakhir yang ditahbiskan semasa Buddha masih hidup:

Quote
"Subhadda, dalam dhamma dan vinaya mana pun, jika tidak terdapat Jalan Mulia Berunsur Delapan, maka di sana pun tidak akan terdapat seorang petapa sejati yang telah mencapai tingkat pertama, kedua, ketiga atau keempat. Tetapi dalam dhamma dan vinaya yang mana pun, jika terdapat Jalan Mulia Berunsur Delapan, maka di sana pun akan terdapat petapa yang sejati yang telah mencapai tingkat pertama, kedua, ketiga atau keempat. Kini, dalam dhamma dan vinaya yang kami ajarkan terdapat Jalan Mulia Berunsur Delapan itu, maka dengan sendirinya juga terdapat petapa-petapa sejati yang telah mencapai tingkat pertama, kedua, ketiga atau keempat."

Di sini tampak bahwa ajaran mana pun yang mengajarkan Jalan Mulia Berunsur Delapan (sila, samadhi, panna) bisa membawa pada Pencerahan, yaitu pencapaian kesucian Magga dan Phala. Jika untuk sesama kalangan Buddhis sendiri, mungkin bisa/benar kita mengatakan hanya ajaran Buddha yang mengajarkan Jalan Mulia Berunsur Delapan dan oleh sebab itu, hanya ajaran Buddha satu-satunya jalan menuju Pencerahan. Tetapi apakah benar demikian? Maksudnya apakah benar dalam ajaran-ajaran non-Buddhis di dunia ini tidak ada yang mengajarkan Jalan Mulia Berunsur Delapan?

Karena ini adalah ruang Buddhisme dengan Agama, Kepercayaan, Tradisi dan Filsafat Lain, hal ini tidak dimaksudkan untuk didiskusikan secara Buddhis saja, tetapi juga didiskusikan melalui sudut pandangan ajaran lain, yaitu bagaimana pandangan Buddhis terhadap ajaran-ajaran non-Buddhis di luar sana? Apakah ajaran lain bisa membawa pada Pencerahan juga? Apakah agama Buddha juga memandang "tidak ada Pencerahan di luar Buddha Dhamma" seperti pada agama tetangga?

Mari kita diskusikan bersama. Terima kasih. _/\_

126
Diskusi Umum / Siddhartha Gautama lahir tahun 1800-an SM????
« on: 10 May 2010, 08:56:37 PM »
Saat saya sedang googling tentang kelahiran Siddhartha Gautama (karena sebentar lagi Waisak sudah dekat), saya menemukan artikel blog yang menarik tentang kemungkinan tahun kelahiran Sang Buddha berdasarkan pendekatan lain.

Penentuan tahun kelahiran Sang Buddha setidaknya ada 3 pendekatan yang umum:
1. Dalam tradisi Theravada berdasarkan kronologi Buddhis Sri Lanka yang menyatakan Buddha lahir tahun 623 SM dan wafat pada tahun 543 SM (versi ini yang digunakan umat Buddha secara internasional).

2. Para sejarahwan menggunakan tahun naik tahta Raja Asoka (sekitar 321 SM) yang diperoleh dari catatan sejarah Yunani (Megasthenes) dan mendapatkan tahun kelahiran Buddha sekitar 544 SM.

3. Ada juga versi yang menggunakan kronologi Buddhis Tibet yang menghasilkan tahun kelahiran Buddha sekitar 440 SM.

Namun sumber yang saya temukan (http://wirajhana-eka.blogspot.com/2007/08/benarkah-kehidupan-buddha-gautama-di.html dan http://www.stephen-knapp.com/reestablishing_the_date_of_buddha.htm) memberikan pendekatan yang berbeda: perhitungan dilakukan berdasarkan kitab Hindu Purana yang memberikan kronologi raja-raja India Kuno (termasuk raja Okkaka/Ikshvaku, raja Dinasti Matahari di mana keturunan raja-raja Sakya berasal). Menurut pendekatan ini kelahiran Buddha terjadi sekitar tahun 1887 SM.

Selain itu artikel kedua menyimpulkan terdapat 2 raja yang dikenal sebagai Asoka: Asoka dari Dinasti Maurya yang memerintah sekitar 1500 SM dan Asoka dari Dinasti Gupta yang memerintah sekitar 300 SM.

Bagaimana menurut teman-teman se-Dhamma sekalian?

127
Theravada / Bagaimana kamma mengenali pelakunya?
« on: 18 April 2010, 06:15:23 PM »
Namo Buddhaya,

Dalam pemahaman saya, hukum kamma bekerja secara sebab akibat yang saling bergantungan: "melalui nama rupa ini suatu perbuatan dilakukan, melalui perbuatan tersebut nama rupa baru terbentuk". Nama rupa ini dengan nama rupa berikutnya tidak sama walaupun tidak berbeda karena keduanya berhubungan melalui kamma seperti ungkapan di atas. Namun bagaimana mekanismenya hukum kamma bisa "mengenali" nama rupa baru sebagai kelanjutan dari nama rupa sebelumnya? Apakah kekuatan kamma "tersimpan" pada citta (yang kemudian pada kondisi yang mendukung akan memberikan konsekuensinya)?

Mohon penjelasannya (dan koreksinya jika pemahaman saya di atas salah).

Terima kasih _/\_

128
Diskusi Umum / Riwayat Hidup Raja Asoka
« on: 08 April 2010, 08:54:03 PM »


Ini ada e-book tentang riwayat hidup Raja Asoka yang ditulis menurut sumber sejarah (prasasti peninggalan Raja Asoka) dan sumber Buddhis (kitab-kitab Pali dan Sanskerta). Pada bagian akhir e-book ini juga dilengkapi dengan kutipan pesan-pesan Dhamma yang dipahatkan pada berbagai prasasti Raja Asoka dan kutipan isi kitab suci Tipitaka yang disebut oleh Raja Asoka sebagai "Dhamma sejati yang dapat bertahan lama."




Quote
H.G Wells, seorang penulis, dalam bukunya The Outline of History menulis: “Di tengah-tengah puluhan ribu nama raja yang meramaikan kolom-kolom sejarah, kebesaran dan kemuliaan mereka serta ketenangan dan kebesaran kerajaan dan seterusnya, nama Asoka bersinar, dan bersinar sendiri, [bagaikan] sebuah bintang.” Pernyataan ini mencerminkan penghargaan yang tinggi dari para cendikiawan dunia atas kepribadian Raja Asoka yang unik dalam sejarah dunia. Hal ini dapat dibaca pada berbagai prasasti dan maklumat peninggalan Raja Asoka yang mengumandangkan ajaran tentang cara hidup yang bermoral. [Bandingkan dengan raja-raja lain dalam sejarah yang memahatkan prasasti untuk mengenang kemenangan mereka dalam perang menaklukkan wilayah baru.]

Namun demikian, tidak banyak informasi biografi yang dapat kita ketahui dari berbagai peninggalan sejarah Raja Asoka. Sumber lain untuk mengetahui kehidupan dan aktivitas Raja Asoka tak lain berasal dari kitab-kitab Buddhis, di antaranya Asokavadana dan Mahavamsa. Dengan mengkolaborasi sumber Buddhis dan sumber sejarah, kita dapat memperoleh gambaran lengkap kehidupan Raja Asoka yang sebenarnya.

Raja Asoka memainkan peranan yang unik dalam agama Buddha. Ia tidak sekedar raja yang menerapkan prinsip Buddha Dhamma ke dalam administrasi pemerintahannya, tetapi juga merupakan Dhammaduta terbesar dalam sejarah agama Buddha. Saat Raja Asoka naik tahta, ajaran Buddha Gotama hanya dikenal di sekitar daerah lembah Sungai Gangga; melalui dukungan Raja Asoka, Buddha Dhamma mendapatkan banyak pengikut di seluruh India dan bahkan menyebar ke negeri-negeri tetangga.

Buku ini berusaha memberikan gambaran biografi Raja Asoka dari sudut pandang Buddhis berdasarkan sumber-sumber Buddhis selain mengandalkan sumber peninggalan sejarah. Walaupun mengandung informasi biografi, buku ini bukan ditujukan sebagai buku sejarah tentang hidup Raja Asoka, melainkan sebagai salah satu sumber bagi umat Buddhis yang ingin lebih banyak mengenal dan mempelajari kehidupan Asoka serta ajaran dan teladannya baik bagi agama Buddha secara khusus maupun bagi dunia secara umum.

E-book ini dapat di-download di http://dhammacitta.org/perpustakaan/asoka/  (PDF dan ePub)

Semoga bermanfaat.

NB: Jika thread-nya salah masuk ruang, mohon dipindahkan ke ruang yang sesuai.



[admin]Update link ke versi dcpress[/admin]


129
Penerjemahan dan penulisan Teks Buddhisme / Pali atau Sansekerta
« on: 16 March 2010, 07:17:37 AM »
Maaf,OOT. Mana yg lebih sulit belajar bahasa Pali atau bahasa Sanskerta (terutama BHS/Buddhist Hybrid Sanskrit yg digunakan dlm teks2 Mahayana)?

130
Diskusi Umum / Di Balik Senyuman Sang Buddha
« on: 14 March 2010, 05:02:13 PM »
Hari ini saya mencari informasi tentang Agama Sutra (yang dikenal sebagai kumpulan Nikaya dalam kanon Pali) di google dan menemukan artikel yang berjudul "Introduction to Agama Sutra" di http://www.purifymind.com/IntroAgamaSutra.htm. Artikel tersebut berisi tentang sejarah Agama Sutra dan beberapa kutipan isinya. Walaupun umumnya Agama Sutra seperti juga sutta-sutta versi Pali-nya berisi ajaran pokok Sang Buddha yang diterima oleh semua aliran Buddhis awal, terdapat suatu kisah tentang kejadian "kecil" dalam kehidupan Sang Buddha yang cukup menarik:

Quote
Saat itu malam hari yang gelap, hujan rintik-rintik, dengan kilat halilintar. Sang Buddha berkata kepada Ananda: "Kamu bisa keluar dengan sebuah payung di atas sebuah pelita."

Ananda menurutinya, dan berjalan di belakang Sang Buddha, dengan sebuah payung di atas pelita.

Ketika mereka sampai di suatu tempat, Sang Buddha tersenyum.

Ananda berkata: "Buddha tidak tersenyum tanpa suatu alasan. Apakah yang menyebabkan senyum Beliau hari ini?"

Buddha menjawab: "Itu benar! Itu benar! Buddha tidak tersenyum tanpa suatu alasan. Karena kamu mengikuti-Ku dengan sebuah payung di atas pelita. Aku melihat ke sekeliling, dan melihat semua orang melakukan hal yang sama." [S-1150]

Apakah ini menyiratkan selera humor Sang Buddha? Atau yang lain? Silakan nilai sendiri.....

131
Ini ada artikel menarik tentang persamaan antara cita-cita Arahat (Theravada) dengan cita-cita Bodhisattva (Mahayana) berdasarkan sumber sutta-sutta Nikaya (Agama Sutra):

Quote
PENDAHULUAN

Ada banyak buku yang mengaku mengutip atau sesuai dengan sabda Buddha. Jika seseorang bersungguh-sungguh mempelajarinya dengan seksama (mungkin butuh waktu tahunan), maka dia akan menjumpai berbagai pertentangan dan ketidakcocokan yang telah bercampur dengan Dhamma dalam banyak buku.

Dua mazhab utama Buddhisme – Theravada dan Mahayana (termasuk Buddhisme Tibet atau Vajrayana) saling berbeda dalam beberapa ajaran yang penting. Sayangnya, harus diakui bahwa ajaran-ajaran yang salah terdapat di mazhab Theravada maupun Mahayana.

Satu-satunya kumpulan buku yang diakui bersama kedua mazhab sebagai sabda Buddha sendiri, dan juga cocok, tanpa pertentangan adalah keempat Nikaya terdahulu pada mazhab Theravada (Dîgha Nikaya, Majjhima Nikaya, Samyutta Nikaya, dan Anguttara Nikaya), yang merupakan Sutra Agama pada mazhab Mahayana. Kumpulan buku ini diterima oleh banyak bhikkhu dan sarjana sebagai ajaran Buddha yang asli. Buku-buku lainnya dapat diterima sepanjang tidak bertentangan dengan kumpulan buku ini.

Penting untuk memahami ajaran yang sebenarnya dan asli dari Buddha jika kita hendak mencapai tujuan sejati dari ajaran Buddha – untuk mengakhiri daur lahir-mati.

Kebanyakan Umat Buddha meyakini suatu ajaran karena ajaran tersebut berasal dari bhikkhu tertentu, tanpa menyadari bahwa beberapa dari ajaran tersebut berasal dari Atthakatha (Kitab Ulasan) atau buku lain yang bertentangan dengan Nikaya.

Sebagai contoh, banyak yang percaya cerita tentang Siddhattha Gotama (yang kemudian menjadi Buddha Sakyamuni) menyelinap keluar pada tengah malam – setelah melihat istri dan anaknya yang sedang tidur untuk terakhir kalinya – untuk pergi meninggalkan kehidupan berumah tangga, menjadi seorang pertapa. Cerita sesungguhnya diberitahukan oleh Buddha di dalam Majjhima Nikaya 26: "Kemudian, ketika masih muda, sebagai seorang pemuda berambut hitam yang memiliki berkah kemudaan, di dalam masa jaya kehidupan, walaupun ibu dan ayahku berharap sebaliknya dan menangis dengan wajah berlinang air mata, aku mencukur habis rambut dan jenggotku, memakai jubah oker, dan meninggalkan kehidupan berumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah".

Dari sini kita mendapatkan contoh pemahaman salah yang telah tertanam di pikiran orang, tanpa mereka sadari. Masih ada beberapa ajaran penting yang bertentangan dengan keempat Nikaya yang asli yang akan kita diskusikan berikut ini.

JALUR BODHISATTVA DAN JALUR ARAHAT TIDAK BERBEDA

Ajaran lainnya yang tidak bersesuaian adalah adanya jalur Bodhisatta/Bodhisattva yang dibedakan dari jalur Ariya atau Arahat. Jalur Bodhisattva, cita-cita mazhab Mahayana, yang juga diterima oleh sebagian kecil penganut Theravada, dianggap sebagai jalan untuk menjadi seorang Sammasambuddha, dengan tujuan untuk mengajari dan membebaskan makhluk hidup, dan ini dicapai dengan bersumpah untuk menjadi seorang Sammasambuddha, kemudian melatih paramita atau parami (penyempurnaan diri) selama berkalpa-kalpa (siklus dunia). Jadi, bagi mereka yang meyakini hal ini, Buddha kita dulunya adalah pertapa Sumedha yang bertemu dengan Buddha Dîpankara dan kemudian bersumpah untuk menjadi seorang Sammasambuddha. Setelah itu, beliau diperkirakan mengembangkan parami selama 4 asankheyyakappa (kalpa tak terhitung) dan 100 mahakappa (kalpa besar), dan bertemu dengan 24 Buddha yang juga memperkirakan bahwa beliau kelak akan menjadi Buddha Sakyamuni (atau Gotama).

Jika kita meneliti keempat Nikaya maka kita akan menemukan Sutta (khotbah) yang bertentangan dengan kepercayaan ini.

Didalam Nikaya, kita menemukan Buddha menyebut dirinya Arahat dan bukan menggunakan istilah itu untuk siswa-siswa Arahat-Nya, melainkan menyebut mereka "siswa-siswa Ariya yang dibebaskan oleh kebijaksanaan". Kemudian, kita menemukan bahwa Buddha memiliki kemampuan mengingat kehidupan lampau dan Beliau menyebutkan di dalam Majjhima Nikaya 4 bahwa Beliau mengingat kembali kehidupan lampaunya berkalpa-kalpa sebelumnya, tetapi Beliau tidak pernah menyebutkan pernah bersumpah untuk menjadi seorang Buddha di masa lampau.

Kenyataannya, dalam Anguttara Nikaya 5.5.43, Buddha bersabda bahwa bukanlah doa dan sumpah yang akan membuat kita mendapatkan apa yang kita inginkan, melainkan kamma (perbuatan atau tindakan). Buddha meraih pencerahan melalui Jalan Mulia Berunsur Delapan, begitu juga dengan siswa-siswa Arahat-Nya.

Dalam Sutta Nipata 22.6.58, Buddha menjelaskan bahwa perbedaan antara diri-Nya dan siswa-siswa Arahat-Nya adalah Beliau lebih dulu menjalani Jalan Mulia Berunsur Delapan (camkan bahwa seorang Sammasambuddha menjalani Jalan Mulia) dan siswa-siswa Arahat-Nya menjalani jalan yang sama setelah diri-Nya – tidak ada perbedaan utama lainnya antara Beliau dan siswa-Nya. Di dalam Digha Nikaya 14, Buddha berkata Beliau hanya mengingat kembali 91 kalpa dan mengetahui hanya 6 Buddha (yaitu Sammasambuddha) dalam selang waktu tersebut – tidak menyebutkan adanya 24 Buddha.

Di Majjhima Nikaya 26, Buddha mengatakan bahwa setelah Beliau meraih pencerahan, Beliau tidak bermaksud untuk mengajarkan Dhamma, sebelum menerima permohonan dari Brahmâ Sahampati. Seandainya saja Beliau pernah bersumpah di masa lampau, kita tentunya berharap Beliau membabarkan Dhamma sesegera mungkin setelah pencerahan, karena ini adalah tujuan yang telah dinanti-nantikan selama kalpa yang tak terhitung lamanya.

Di dalam Majjhima Nikaya 116, Isigili Sutta, Buddha merujuk pada Bukit Isigili di luar Râjagaha dan mengatakan bahwa 500 Paccekabuddha pernah menetap di atas bukit tersebut serta menyebutkan nama-nama Buddha tersebut. Jadi, kita menemukan keberadaan banyak Paccekabuddha dibandingkan dengan Sammâsambuddha.

Walaupun Buddha Sakyamuni setelah meraih pencerahan bukan bermaksu untuk mengajar melainkan menjadi seorang Paccekabuddha, tetapi akhirnya dimohon Brahmâ untuk memutar roda Dhamma. Jadi kebanyakan Buddha enggan untuk mengajarkan Dhamma karena hanya sedikit makhluk hidup yang benar-benar mampu untuk mempraktikkannya. Paccekabuddha dan  Sammâsambuddha pada dasarnya adalah sama, hanya saja Sammâsambuddha mengajarkan Dhamma.

Berdasarkan hal ini, kita menemukan bahwa pembedaan jalur Bodhisattva dari jalur Arahat dengan dasar Arahat itu egois adalah tidak benar karena kebanyakan Buddha enggan untuk mengajarkan Dhamma.

Kesalahan yang paling fatal dalam teori pembedaan jalur Bodhisattva dengan jalur Ariya disampaikan melalui Majjhima Nikaya 81. Di dalam Sutta ini, Buddha mengingat kembali kehidupan lampaunya sebagai Brahmana Jotipâla yang bersahabat baik dengan Ghatikâra, seorang pendukung setia Buddha Kassapa (Buddha sebelumnya). Ghatikâra berkali-kali gagal mengajak Jotipâla untuk menemui Buddha Kassapa – yang menunjukkan bahwa sumpah yang dibuat pada masa lampau akan sia-sia belaka karena tidak ada ingatan mengenai hal ini. Kemudian ketika dia dipaksa menjumpai Buddha Kassapa, dia menolak untuk menghormati Buddha (berbeda sekali dengan kisah tentang sumpah!). Namun, setelah mendengarkan ajaran Buddha Kassapa, Jotipâla berubah total. Dia meninggalkan ajaran Brahmana dan menjadi seorang bhikkhu di bawah Buddha Kassapa.

Setelah kehidupan itu, beliau lahir kembali di Surga Tusita dan belakangan lahir di dunia dan menjadi Buddha Sakyamuni. Sangatlah mungkin bagi seorang Sotâpanna atau Sakadâgâmî (kemuliaan tingkat kedua) untuk kemudian menjadi seorang Buddha karena ketika Beliau lahir kembali di alam manusia, Buddha dan Dhamma mungkin sudah tidak ada lagi sehubungan dengan berlalunya jutaan tahun di surga dan waktu untuk pencerahan sudah tiba. Jadi dari Sutta ini kita menemukan bahwa seorang Ariya-lah yang menjadi Buddha. Apakah seorang Buddha adalah Paccekabuddha atau Sammâsambuddha – keduanya adalah sama saja seperti halnya Buddha Sakyamuni kita, terkecuali bahwa yang satu tidak mengajarkan Dhamma sedangkan yang lainnya dimohon untuk itu – bergantung pada masing-masing.

Jadi kita menemukan dalam Nikâya bahwa Buddha tidak pernah mengajarkan bahwa jalur ke-Buddha-an terpisah dari jalur Ariya, melainkan hanya buku-buku belakangan yang membedakannya. Melatih pârami tidak akan membawa kita keluar dari samsâra (lingkaran lahir-mati), melainkan hanya membawa kita menuju alam surga dan kemudian turun ke alam menderita dan berulang-ulang demikian.

Inilah yang terjadi pada Bodhisatta kita selama kalpa yang tak terhitung lamanya sampai berjumpa dengan Buddha Kassapa yang mengajarkan Jalan Mulia Berunsur Delapan, satu-satunya cara untuk keluar dari samsâra.

Cerita-cerita tentang bagaimana Bodhisatta melatih pâramî ditemukan dalam Jâtaka. Ketika kita menelaah Jâtaka, sangat jelas bahwa isinya adalah dongeng yang diciptakan untuk mengajari nilai-nilai kebajikan pada anak-anak, seperti Fabel Aesop dan Dongeng Grimm… bagaimana mungkin binatang dapat berbicara dan berkelakuan seperti manusia kecuali dalam dongeng. Cerita seperti Vessantara Jâtaka, dimana Bodhisatta, dalam usahanya untuk menyempurnakan dânapâramî, menyerahkan istri dan kedua anaknya kepada seorang pengemis kejam yang memukuli mereka, adalah bertentangan dengan Dhamma. Buddha berkata bahwa pemberian yang baik adalah pemberian yang tidak melukai diri sendiri maupun makhluk lain.

Penjelasan di atas menekankan pentingnya fakta bahwa Buddha hanya mengajarkan Jalan Mulia Berunsur Delapan untuk meraih pencerahan dan mengakhiri penderitaan, yang berbeda dengan jalan lainnya.

Sumber: http://www.w****a.com/forum/meditasi/5813-samatha-dan-vipassana.html

Bagaimana pandapat teman-teman se-Dhamma sekalian?

132
Studi Sutta/Sutra / Empat Ketergantungan
« on: 07 March 2010, 07:15:41 PM »
Melihat bahwa dalam forum ini ada subforum Studi Sutta/Sutra yang mengkaji berbagai sutta Pali maupun sutra Mahayana secara lebih mendalam berdasarkan perspektif para peserta diskusi di sini, maka saya ingin memberikan sebuah pernyataan dari Sang Buddha sebelum wafat-Nya dalam Mahaparinirvana Sutra (yang berbahasa Sanskerta) sbb:

Quote
“catvāri pratiśaraṇāni| tadyathā-arthapratiśaraṇatā na vyañjanapratiśaraṇatā| jñānapratiśaraṇatā na vijñānapratiśaraṇatā| nītārthapratiśaraṇatā na neyārthapratiśaraṇatā| dharmapratiśaraṇatā na pudgalapratiśaraṇatā ceti||”

“Four reliances: that is, reliance on the Dhamma not (merely) reliance on the person; reliance on the meaning not (merely) reliance on the phrasing; reliance on the suttas whose meaning is already drawn out not (merely) reliance on those suttas whose meaning is to be drawn out (interpreted); reliance on extraordinary-knowledge* not (merely) reliance on (intellectual) discrimination.”

"Empat ketergantungan [yang harus diperhatikan oleh para bhikshu]: yaitu, bergantung pada Dharma bukan (semata-mata) bergantung pada orang [yang mengajarkan Dharma]; bergantung pada makna [sesungguhnya] bukan (semata-mata) bergantung pada susunan kata-kata; bergantung pada sutra-sutra yang maknanya sudah diketahui bukan (semata-mata) bergantung pada sutra-sutra yang maknanya harus disimpulkan (ditafsirkan); bergantung pada pengetahuan mendalam* bukan (semata-mata) bergantung pada pemahaman (intelektual)."

Note:
* “extraordinary-knowledge”: the kind of 'higher-knowledge' (abhiññā) or insight that occurs as a result of samādhi. It probably implies here the meditative realisations resulting in the attainments of the noble paths and fruits.

Catatan:
* "pengetahuan mendalam": sejenis 'pengetahuan yang lebih tinggi' (abhinna) atau pemahaman yang muncul sebagai hasil dari samadhi. Ini mungkin menunjukkan di sini pencapaian meditasi yang menghasilkan pencapaian atas Empat Jalan dan Buahnya.

Sumber: http://sites.google.com/site/santifm10/fourreliancessutra

Semoga dalam mengkaji sutta/sutra dalam subforum ini, kita dapat menggunakan Empat Ketergantungan ini sehingga diskusi di sini menghasilkan kesimpulan yang benar dan bermanfaat bagi kita semua. Kecuali untuk ketergantungan keempat (bergantung pada pengetahuan mendalam/abhinna bukan bergantung pada pemahaman intelektual) yang mungkin agak sulit untuk dicapai/dijalankan karena kebanyakan dari kita belum mencapai apa pun dalam meditasi, apalagi pemahaman kita terhadap sutta/sutra berdasarkan pemahaman intelektual semata.

Semoga bermanfaat.

133
Sutta Vinaya / Dewa angin, dewa matahari, dewa hujan???
« on: 06 March 2010, 10:29:22 PM »
Dalam kisah Sang Buddha mempertunjukkan kekuatan batinnya yang disebut Keajaiban Ganda (Mukjizat Kembar) di kebun mangga milik tukang kebun Ganda (Kanda menurut RAPB) di Savatthi yang terdapat dalam Dhammapada Atthakatha, terdapat kejadian bagaimana para pertapa ajaran lain "dihajar" habis-habisan oleh panas matahari, angin badai, dan hujan sbb:

Quote
Paviliun Tempat Para Penganut Pandangan Salah Rubuh dan Hancur Diterpa Angin Dewa

Sakka (Indira) memerintahkan dewa angin, “Tiuplah sampai rubuh paviliun para penganut pandangan salah itu hingga semua tonggaknya tercabut dan buanglah ke tempat sampah,” dewa angin melaksanakan sesuai perintah.

Sakka memerintahkan dewa matahari untuk memberikan panas yang luar biasa kepada para penganut pandangan salah dengan menurunkan istananya sedikit. Dewa matahari melakukan sesuai perintah.

Dewa angin diperintahkan lagi oleh Sakka untuk menciptakan angin badai yang menyerang hanya tempat para penganut pandangan salah. Ia melakukan sesuai perintah, dan akibatnya, mereka basah oleh keringat dan diselimuti oleh debu, dan mereka terlihat seperti gundukan bukit sarang semut merah.

Sakka kemudian memerintahkan dewa hujan untuk menurunkan hujan deras beserta hujan batu. Dewa hujan melakukan sesuai perintah, dan akibatnya mereka terlihat bagaikan sapi berbintik merah dan putih, di seluruh tubuh mereka.

Para penganut pandangan salah, dengan paviliun yang rusak dan tidak mungkin diperbaiki, tidak dapat bertahan dari panas dan serangan badai disertai hujan batu; mereka menjadi putus asa, dan mereka akhirnya melarikan diri tunggang langgang ke mana saja kaki mereka membawa.

atau versi terjemahan STI dalam "Sang Buddha Pelindungku":

Quote
Raja Sakka, Raja Para Dewa memerintahkan Dewa Awan Angin : "Cabut paviliun para pertapa dan lemparkan ke kolam penampungan limbah."

Dewa Awan Angin melaksanakan perintah Raja Sakka. Kemudian Raja Sakka memerintahkan Dewa Matahari : "Perhatikan lintasan matahari dan sengat mereka dengan panas matahari,"

Dewa Sakka kemudian memerintahkan kepada Dewa Awan Angin : "Siapkan kereta angin dan luncurkan."

Kejadian ini membuat tubuh para pertapa berkeringat dan Dewa Awan Angin menaburi mereka dengan hujan debu hingga mereka kelihatan seperti semut-semut merah. Dewa Sakka kemudian menyuruh Dewa Awan Angin : "Turunkan hujan lebat yang tak terhingga banyaknya."

Dewa Awan Angin melaksanakannya, sehingga para pertapa itu kelihatan seperti sapi-sapi kudisan. Dengan tanpa pakaian mereka terpontang-panting melarikan diri.

Intinya kedua versi ini sama, hanya berbeda terjemahan dan cara penuturan kisahnya. Namun jika diperhatikan baik-baik, maka akan ditemukan suatu ketidaksesuaian: Jika kejadian alam seperti jalannya matahari, terjadinya badai dan hujan diatur oleh hukum Utu Niyama dan tidak ada sosok makhluk pun apakah dewa atau brahma yang dapat mempengaruhi jalannya hukum tersebut, mengapa para dewa dalam kisah di atas bisa "menciptakan" terik matahari yang panas, angin kencang, badai, hujan deras dan hujan batu tersebut?

Apakah benar demikian (ada dewa tertentu yang mengatur cuaca dan iklim seperti dalam kisah Perjalanan ke Barat/Kera Sakti)? Atau ada yang "salah" dengan kisah ini (yang berasal dari kitab Komentar/Atthakatha terhadap Dhammapada)?

134
Diskusi Umum / Taktik Kotor dengan Metode Pembodohan Logika [copas]
« on: 03 March 2010, 10:03:05 PM »
Ini saya peroleh dari forum tetangga tentang berbagai metode debat yang "kotor" untuk menjatuhkan lawan yang penulisnya tidak diketahui:

Quote
Untuk yg sdg belajar berdiskusi, boleh jadi pedoman, spy kita bisa berdiskusi dgn baik

****************************
Berdasarkan pengamatan dan pengalaman berdiskusi dengan berbagai macam,
maka
saya dapat mengetahui adanya taktik-taktik kotor dengan metode
pemutarbalikan logika yang sangat mendasar.
Sasaran mereka adalah jelas, yaitu orang-orang yang gullible ( mudah
dipengaruhi ).
Ciri khasnya adalah mempunyai daya kritis lemah dan mudah
ditakut-takuti.

Dirty Tactics in Discussion : Taktik Kotor dengan Metode Pembodohan
Logika :

1. Ad Hominem :
Menyerang orangnya bukan menjawab isinya.
Ketika seorang arguer tidak dapat mempertahankan posisinya dengan
evidence /
fakta / reason, maka mereka mulai mengkritik sisi kepribadian lawannya.

2. Appeal to Ignorance ( Argumentum ex silentio ) :
Menganggap suatu ketidaktahuan sebagai fakta atas sesuatu.
Misalnya : Kita tidak memiliki bukti bahwa tidak ada kecurangan, maka
berarti ada kecurangan.
Padahal, ketiada-tahuan akan sesuatu hal tidak menyatakan bahwa sesuatu
itu
ada ataupun tidak ada.

3. Appeal to Belief :
Bila anda tidak memiliki kepercayaan, maka anda tidak akan mengerti.
Bila seorang pendebat berdasarkan pada kepercayaan sebagai dasar dari
argumennya, maka tiada lagi yang dapat dibicarakan dalam diskusi.
Itu namanya bukan diskusi, tapi pemaksaan kepercayaan.

4. Argument from Authority ( Argumentum ad verecundiam ) :
Menggunakan kata-kata "para ahli" atau membawa-bawa otoritas sebagai
dasar
dari argumen instead of menggunakan logic dan fakta untuk men-support
argumen itu.
Misalnya : Profesor Anu mengatakan bahwa creation-science adalah betul.
Sesuatu tidak lantas menjadi benar hanya karena suatu otoritas
mengatakan
sesuatu hal.
Bila pendebat memberikan testimoni dari seorang ahli, lihat apakah
dilengkapi dengan alasan yang logis dan masuk akal, serta hati-hati
terhadap
keotentikan sumber dan evidence di belakangnya.

5. Argument from Adverse Consequences :
Hanya karena suatu peristiwa terjadi, tidak menyatakan sesuatu mengenai
eksitensi maupun non-eksistensi dari sesuatu.
Ataupun tidak menyatakan suatu keharusan untuk mempercayai sesuatu.

5. Menakut-nakuti ( Argumentum ad Baculum ) :
Argumen yang didasarkan pada tekanan atau rasa takut
Misalnya : Saya telah diberi kuasa oleh Negara, bila Anda tidak percaya
kepada saya, maka Anda akan masuk Daftar Orang Tercela.

6. Argumentum ad Ignorantiam :
Argumen yang mempelesetkan ketidaktahuan seseorang.
Misalnya : Pernyataan bahwa saya pasti betul karena tidak ada yang
pernah
membuktikan salah.

8. Argumentum ad populum :
Argumen yang digunakan untuk mendapatkan popularitas dengan menggunakan
issue-issue yang sentimental daripada menggunakan fakta atau alasan.

9. Bandwagon Fallacy :
Menyimpulkan suatu idea adalah benar hanya karena banyak orang
mempercayainya demikian.
Hanya karena sekian banyak orang mempercayai sesuatu tidaklah
membuktikan
atau menyatakan fakta mengenai sesuatu.

10. Begging the question :
Mengantisipasi jawaban.

11. Circular Reasoning
Makhluk Adi Kuasa ada karena Kitab Suci menyatakan demikian.
Kitab Suci diwahyukan oleh Tuhan.

12. Confusion of Correlation and Causation :
Misalnya : Anak yang menonton acara kekerasan di TV cenderung untuk
menjadi
ganas ketika ia dewasa.
Tetapi apakah program di TV itu menyebabkan kekerasan ataukah anak-anak
yang
berbakat ganas cenderung menonton acara kekerasan di TV ???

13. Half Truths :
Suatu pernyataan yang biasanya ditujukan untuk menipu seseorang dengan
menyembunyikan sebagian fakta / kebenaran.

14. Communal Reinforcement :
Suatu proses dimana suatu klaim menjadi suatu kepercayaan kuat melalui
suatu
pernyataan yang diulang-ulang oleh suatu anggota komunitas.
Proses ini independent terhadap kebenaran klaim tersebut dan tidak
didukung
oleh data empiris yang signifikan untuk menggaransi bahwa kepercayaan
itu
didukung oleh alasan yang reasonable.

15. Non-Sequitur :
Nggak nyambung.
Suatu kesimpulan yang diambil tidak didasarkan pada suatu premis
ataupun
evidence / fakta.

16. Post Hoc, Ergo Propter Hoc :
Itu terjadi sebelumnya, maka itu disebabkan olehnya.
Semacam non-sequitur, tetapi berdasarkan waktu.
Misalnya : Seseorang menjadi sakit setelah pergi ke Mall, maka Mall
adalah
sumber penyakit.
Padahal sakitnya tidak disebabkan oleh sesuatu yang ada hubungannya
dengan
kepergiannya ke Mall.

17. Red Herring :
Sering terjadi ... sang pendebat buru-buru mengalihkan perhatian /
subyek
pembicaraan.

18. Statistic of Small Number :
Satu kasus digunakan untuk menjudge keseluruhan.
Hanya karena suatu kejadian, tidak dapat mewakili kemungkinan
keseluruhannya.

18. Straw Man :
Manusia jerami
Membuat suatu skenario yang salah image yang menyesatkan, kemudian
menyerangnya.

20. Dua Salah Menjadi Benar
Misalnya : Siapakah kamu yang mengatakan saya demikian apabila kamu
juga
begitu.
Saya mencoba menjustify apa yang saya lakukan dengan melemparkan
kesalahan
yang sama pada Anda sebagai teman diskusi saya.

21 Observational Selection
Menggembar-gemborkan kejadian yang menguntungkan dan menutupi kejadian
yang
merugikan.


Maksud saya memposting ini bukan agar metode ini digunakan supaya bisa menang debat di forum ini ataupun forum mana pun, tetapi agar kita di sini tidak terpancing untuk berdebat dengan cara kotor demikian dan mengantisipasi supaya diskusi/tanya jawab di forum ini tidak menjadi ajang perdebatan yang kotor seperti ini.

Semoga bermanfaat.

135
Theravada / Pembahasan 45 tahun Sang Buddha
« on: 26 February 2010, 12:25:25 PM »
Pembahasan dari thread ini: http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,15156.msg245107.html
Anumodana,sdr. Indra.
Kalau bs dbuat dlm bentuk pdf jg donk,agar bs d download & dbaca scr offline.

Pages: 1 2 3 4 5 6 7 8 [9] 10
anything