SUKHA MATTEYATA LOKE
MEMPUNYAI IBU MERUPAKAN SUATU KEBAHAGIAAN DIDUNIA INI
(DHAMMAPADA.332)
Ada sepasang suami istri yang dalam kesehariannya hidup rukun dan harmoni. Sang suami bernama Kana dan istrinya bernama Kani. Pada suatu hari suaminya membuka pembicaraan dan berkata, “Bu, kelak kalau punya anak, harus laki-laki lho!”. “Kenapa, pak? Anak perempuan kan sama saja,” sanggah istrinya. “Kamu diberi tahu kok berkata seperti itu. Kita kan punya usaha dan hanya anak lelaki yang bisa meneruskan usaha kita. Anak perempuan bisa apa, “ kata si Kana. ”Anak perempuan hanya bisa bikin repot. Perempuan itu hanya bisa di dapur” (konco wingking : istilah jawa).
Hari demi hari, bulan demi bulan dan waktu terus bergulir hingga suatu ketika istrinya pun melahirkan anak perempuan. Kana terkejut mendengar anak yang dilahirkan istrinya adalah perempuan. Ia tidak bisa menerima kenyataan. Harapannya menjadi pupus. Hatinya menjadi gundah, jengkel dan larut dalam kekecewaan. Kemarahannya meledak-ledak dan menjadi tidak terkendali. Sempat terlintas dalam pikirannya untuk membuang anak perempuannya.
Sebagian orang menyesal memiliki anak perempuan. Sebagian lagi menyesal terlahir menjadi perempuan. Mereka yang menyesal berharap kelak dilahirkan lagi ingin dilahirkan menjadi laki-laki. Mengapa opini ini ada ditengah-tengah masyarakat kita? Sejak lama manusia terbentuk dengan pola pikir yang menonjolkan dominasi pria dibandingkan dengan wanita. Pandangan seperti ini turun-temurun hingga sampai sekarang masih ada yang mempertahankannya. Bagaimana dengan Buddha Dhamma? Buddha Dhamma tidak memandang wanita sebagai makhluk yang rendah. Wanita punya hak untuk memperbaiki kualitas hidupnya. Pada saat-saat tertentu Sang Buddha sangat berterima kasih dan memberikan penghargaan kepada wanita yang mempunyai peranan dimasyarakat.
Hal ini dapat kita lihat pada syair Dhammapada yang berbunyi, “Sukha Matteyata Loke”. Arti dari kalimat tersebut adalah: “Mempunyai ibu merupakan suatu kebahagiaan di dunia ini”. Sang Buddha sendiri telah memberikan contoh agar semua orang mau menghargai dan menghormati orang tua. Rasa bakti kepada orang tua harus diwujudkan dalam kehidupan ini. Walaupun Sang Buddha meninggalkan keluarganya tetapi rasa bakti kepada orang tuanya tidak hilang begitu saja. Beliau justru mempersembahkan persembahan yang luar biasa yakni kebenaran. Di Tavatimsa Loka Beliau memberikan persembahan Dhamma kepada ibu yang telah melahirkan-Nya. Dari peristiwa ini sangat jelas bahwa seorang wanita bukanlah seorang yang harus diperlakukan secara rendah. Sang Buddha telah memberi contoh dengan mempersembahkan kebenaran sebagai wujud terima kasih dan rasa hormat kepada ibunda-Nya.
Apa yang dilakukan oleh Sang Buddha juga diikuti para siswanya. Salah satunya adalah Bhante Sariputta yang merupakan siswa utama Sang Buddha. Beliau setiap hari sebelum tidur, melakukan penghormatan dengan cara bernamakhara pada arah tertentu. Beliau menjelaskan bahwa arah tersebut adalah tempat dimana ibunya tinggal. Apa yang dilakukan Bhante Sariputta sangat dipuji oleh Sang Buddha.
Pada suatu ketika Permaisuri Raja Pasenadi melahirkan bayi perempuan, padahal Raja sangat mengharapkan anak laki-laki. Mendengar berita kelahiran itu Raja menjadi sedih. Hal ini wajar karena pada waktu itu, kelahiran anak perempuan dianggap mendatangkan bencana. Wanita dianggap sebagai manusia rendah. Akhirnya Raja Pasenadi pergi menghadap Sang Buddha dan memberitahukan apa yang membuat dirinya sedih.
Sang Buddha dengan bijaksana berkata kepada Raja Pasenadi, “Anak wanita kadang-kadang dapat berperilaku lebih baik daripada anak laki-laki, bimbinglah mereka O Raja. Jika mereka dapat menjadi gadis yang suci, bijaksana, baik hati dan bersikap hormat kepada mertua maka dari istri-istri yang berhati mulia seperti mereka akan lahir anak laki-laki yang gagah berani, yang kemudian hari dapat menjadi Raja yang adil dan bijaksana”.
Pernyataan tersebut dapat dikatakan suatu revolusi terhadap status kaum wanita pada masa itu. Setelah Buddhisme berkembang pesat di India, pandangan terhadap status wanita perlahan-lahan mulai berubah. Bahkan dalam literature bahasa Pali, menurut Drs Adi Suhardi, dalam bukunya yang berjudul “Status wanita dalam agama Buddha - suatu uraian singkat” dapat dijumpai bahwa kaum wanita mendapat tempat yang terhormat di dalam agama Buddha.
Sang Buddha berkata, “Seseorang menjadi mulia bukan karena kelahiran, seseorang menjadi hina bukan karena kelahiran. Seseorang menjadi mulia karena perbuatan, seseorang menjadi hina karena perbuatan”. Ajaran Sang Buddha tersebut juga diterapkan para siswa Beliau. Bhante Ananda juga seorang siswa yang patut dijadikan sebagai teladan. Pada suatu hari Bhante Ananda melewati sebuah desa. Ditengah perjalanan berpapasan dengan seorang gadis yang bernama Pakati yang berasal dari kasta rendah. Pada saat itu Bhante Ananda terasa haus dan memohon kepada Pakati untuk menyediakan air minum. Pakati merasa keliru mendengar, karena itu dengan ragu-ragu dia bertanya kepada Bhante Ananda, “Yang Mulia, saya begitu hina untuk memberikan air, sebab hamba berasal dari kasta rendah”. Bhante Ananda dengan bijaksana menjawab “Saudari, saya memerlukan air bukan kasta saudari”. Mendengar jawaban itu, Pakati sangat bahagia dan sangat bergembira. Biasanya orang memperlakukan dirinya secara hina tetapi sekarang ada orang suci dan mulia mau menghargai dirinya walaupun ia berasal dari kasta rendah.
Di samping itu, Sang Buddha juga merestui didirikannya Sangha Bhikkhuni yang secara langsung mengangkat derajat kaum wanita. Dengan terbentuknya Sangha Bhikkhuni pada tahun ke lima setelah Sang Buddha mencapai penerangan sempurna maka terbukalah jalan kebebasan bagi kaum wanita untuk menjalankan kegiatan keagamaan yang sebelumnya dibatasi. Dalam sangha Bhikkhuni dapat dijumpai siswa-siswa yang berasal dari latar belakang yang tidak sama. Banyak dijumpai siswa-siswa Sang Buddha yang berasal dari kaum wanita seperti Maha Pajapati, Sukha, Patacara, Khema, Dhammadina, Upplavana, Sanghamitta Theri, Punna, Punnika dan masih banyak lagi yang lainnya.
Dengan adanya sangha Bhikkhuni pada waktu itu, Sang Buddha telah memberikan kesempatan kepada kaum wanita untuk berpikir dan menentukan jalan hidup mereka sendiri. Bahkan Dhamma yang dibabarkan dengan sangat jelas dan sempurna oleh Sang Buddha banyak membebaskan wanita dari belenggu-belenggu pandangan keliru pada waktu itu. Wanita tidak lagi ditindas sebagai objek pemuas jasmaniah belaka, tetapi perlu disadari bahwa kaum wanita dapat mencapai kesempurnaan tertinggi sebagai wanita terhormat. Menurut para peneliti, kebanyakan Negara Buddhis memperlakukan kaum wanita setara dengan pria. Negara-negara tersebut adalah Thailand, Myanmar, Tibet, Laos, Kamboja dan Negara Buddhis lainnya. Ini membuktikan bahwa Buddha Dhamma sangat menghargai hak-hak kaum wanita, dan yang lebih jelas lagi wanita dapat mencapai tingkat batin tertinggi. Ditengah-tengah masyarakat Buddhis kaum wanita sangat dihargai dan dihormati bukan sebagai manusia yang rendah dan hina.
Ringkasan materi oleh Bhikkhu Abhayanando