ambil contoh,
ada anak kecil yg diceritakan kakeknya tentang hantu di kolong ranjang
si anak sampe trauma ketakutan setengah mati, jadi kalo tidur suka ketakutan dan gak berani ngintip kolong ranjang, karena dia meyakininya.
tapi apakah hantu tersebut memang ada? kita tentu tahu tidak ada.
dan anggap saja memang hantu itu benar2 tidak ada dan hanya omong kosong semata.
tetapi apa bagi anak kecil tersebut? walau hal itu tidak nyata tetapi hal itu adalah nyata baginya.
jadi tidak tergantung bagaimana orang lain melihatnya walaupun orang lain tersebut melihat kebenaran mutlak tersebut. tetapi hantu kolong ranjang adalah sesuatu yg benar2 ada dan nyata baginya.
kasarnya, sesuatu yg sebenarnya tidak ada malah menjadi ada karena kita benar2 meyakininya.
yang beginian, BUDDHA sebagai dokter memiliki obatnya... atas keyakinan terhadap "sesuatu" yang tidak eksis ataupun yang diciptakan oleh pikiran...
Dalam salah satu sutta (lupa, sedang dicari) tentang satu brahmana yang "patah hati" karena kematian calon istri yang didengung-dengungkan orang atas kecantikannya, padahal belum pernah dijumpai ataupun dilihat sama sekali. Buddha berhasil menyadarkan kembali brahmana tersebut.
Kisah Anitthigandha Kumara
DHAMMAPADA XVI, 7
Anitthigandha tinggal di Savatthi. Dia akan menikah dengan seorang wanita muda cantik dari kota Sagala, dari negara Maddas. Pengantin wanita datang dari kotanya ke Savatthi, dia jatuh sakit dan meninggal dunia dalam perjalanan. Ketika pengantin pria mendengar kabar tentang kematian pengantin wanitanya, dia menjadi putus asa.
Dalam keadaan ini, Sang Buddha mengetahui bahwa waktunya sudah matang bagi pemuda itu untuk mencapai tingkat kesucian sotapatti, Sang Buddha menuju ke rumah pemuda tersebut. Orang tua pemuda itu memberi dana makanan kepada Sang Buddha. Setelah bersantap, Sang Buddha meminta orang tua pemuda itu untuk membawa anaknya menghadap Sang Buddha.
Ketika pemuda itu tiba, Sang Buddha bertanya mengapa dia sedih dan putus asa, pemuda itu menjelaskan seluruh kejadian tragis kematian pengantin wanitanya.
Kemudian Sang Buddha berkata kepadanya, "O Anitthigandha! Dari nafsu timbul kesedihan; tergantung dari nafsu terhadap barang-barang dan kesenangan duniawi, kesedihan serta ketakutan muncul".
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 215 berikut:
Dari nafsu timbul kesedihan, dari nafsu timbul ketakutan; bagi orang yang telah bebas dari nafsu, tiada lagi kesedihan maupun ketakutan.
Anitthigandha mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.***