IMO, untuk menembus paticca samuppada kita tidak wajib mengetahui masa depan maupun masa lalu dalam arti melihat kelahiran sebelum dan sesudah. Lagi pula apalah artinya masa depan dan masa lalu itu ketika satu detik yang akan datang dari sekarang adalah masa depan dan satu detik sebelum sekarang adalah masa lalu. Saya melihat bahwa sekarang pun kita mengalami proses paticca samuppada dalam skala kecil.
Ini menarik. ... Saya setuju dengan ini. ...
Dari sini timbul permasalahan: Jadi, kalau untuk menembus paticca-samuppada tidak perlu mengetahui kehidupan masa lampau dan masa depan, maka pelajaran paticca-samuppada yang kita terima secara
tradisional dari para bhante itu tidak lebih dari
pengetahuan analitis, pengetahuan intelektual,
bukan penembusan sama sekali?? ...
Pelajaran paticca-samuppada secara tradisional mengajarkan bahwa paticca-samuppada menjelaskan hubungan antara
tiga kehidupan:
masa lampau (avijja, sankhara),
masa kini (vinnana, nama-rupa, salayatana, phassa, vedana, tanha, upadana, bhava), dan
masa depan (jati, jara-marana).
Kalau paham seperti ini benar, maka implikasinya untuk menembus paticca-samuppada orang harus mampu melihat ke masa lampau dan ke masa depan, sebagaimana dinyatakan oleh
Pa-Auk Sayadaw, seorang
Master jhana.
Dan ini sudah diajarkan turun-temurun di kalangan umat Buddha Theravada.
Baru pada abad ke-20 M muncul sanggahan dari beberapa bhikkhu. Mula-mula dari alm.
Nanavira Thera, seorang bhikkhu yang tinggal menyendiri untuk bermeditasi. Lalu, tidak tanggung-tanggung, dari
Ajahn Buddhadasa Mahathera, seorang Guru vipassana bertaraf internasional. Dua-duanya adalah bhikkhu meditasi. Malah alm. Nanavira Thera, dalam salah satu surat anumertanya, menyatakan sudah terbuka "
Dhammacakkhu"-nya (menjadi Sotapanna).
Kedua bhikkhu itu menyatakan bahwa
kedua belas nidana dari paticca-samuppada akan terlihat--bukan secara
linear--melainkan
secara serentak, saling bergantungan, pada saat kini.
Mereka menekankan salah satu sifat Dhamma, yaitu
'akaliko'. Dalam buku-buku paritta, 'akaliko' diterjemahkan sebagai "tidak lapuk oleh waktu, abadi". Padahal arti sebenarnya dari 'akaliko' adalah
"tanpa waktu" (a-kala), time-less. Artinya tidak ada masa lampau dan masa depan, yang ada adalah
nidana-nidana yang berproses serentak dan saling-bergantungan pada saat kini.
Di dalam
retret MMD, diskusi tentang 'waktu' merupakan diskusi yang penting. Dalam
keheningan mendalam, di mana pikiran & si aku berhenti, pemeditasi berada pada saat kini terus-menerus, tidak ada masa lampau, tidak ada masa depan.
NB: Salah seorang bhikkhu yang terang-terangan menentang pemahaman 'akaliko' dari paticca-samuppada ini adalah
Ajahn Brahmavamso, seorang
Master jhana.
Salam,
hudoyo