//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Kejanggalan Catuma Sutta (MN 67)?  (Read 6378 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Kejanggalan Catuma Sutta (MN 67)?
« on: 02 February 2013, 09:56:56 PM »
Catuma Sutta dari Majjhima Nikaya (http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,17773.0/message,290600.html) mengisahkan ketika Sang Buddha berdiam di Catuma sekelompok 500 orang bhikkhu yang dipimpin oleh Sariputta dan Moggallana datang mengunjungi Beliau. Namun karena pertemuan para bhikkhu tuan rumah dan para bhikkhu tamu tersebut menimbulkan keributan, Sang Buddha memanggil mereka dan membubarkan Sangha (mungkin maksudnya Sangha kelompok para bhikkhu yang baru datang tersebut).

Akhirnya berkat bujukan orang-orang Sakya di Catuma dan Brahma Sahampati, Sang Buddha menerima kembali para bhikkhu tersebut. Beliau bertanya kepada Bhikkhu Sariputta dan Moggallana tentang pendapat mereka atas kejadian pembubaran Sangha tersebut. Bhikkhu Sariputta menjawab bahwa ia berpikir Sang Buddha ingin berdiam dalam ketenangan sehingga ia dan para bhikkhu akan juga melakukan hal yang sama, tetapi ini disalahkan Sang Buddha. Jawaban Bhikkhu Moggallana bahwa karena ia berpikir Sang Buddha ingin berdiam dalam ketenangan, maka ia dan Sariputta-lah yang akan mengasuh Sangha, inilah yang dibenarkan Sang Buddha.

Kemudian berlanjut tentang kotbah mengenai 4 jenis ketakutan yang muncul ketika seseorang meninggalkan kehidupan duniawi.

Nah, sekarang hal yang menurut saya tidak wajar atau aneh dari sutta ini adalah:

1. Kenapa Sang Buddha digambarkan seakan-akan "jengkel" dengan keributan yang diperbuat para bhikkhu pendatang tersebut sehingga mengusir dan membubarkan mereka semua? Sepertinya ini bukan sifat Sang Buddha yang telah tercerahkan sempurna.....

2. Seharusnya Sang Buddha telah mengetahui akibat yang tidak diharapkan karena membubarkan para bhikkhu pendatang tersebut karena seperti dalam pernyataan oleh orang-orang Sakya dan Brahma Sahampati terdapat banyak bhikkhu yang baru ditahbiskan yang dikhawatirkan akan mengalami perubahan keyakinan dalam Dhamma. Kenapa Sang Buddha bertindak begitu gegabah dengan membubarkan mereka?

3. Kenapa Bhikkhu Sariputta tidak dapat menjawab dengan benar bahwa Sang Buddha bermaksud menyerahkan pengasuhan Sangha kepadanya dan Bhikkhu Moggallana jika Sang Buddha tidak dapat mau membimbing mereka lagi? Padahal Bhikkhu Sariputta adalah yang terkemuka dalam kebijaksanaan, yang menurut komentar bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan sulit dari Sang Buddha sekali pun (misalnya dalam kejadian ketika Sang Buddha turun dari Tavatimsa setelah bervassa di sana).....

4. Mungkinkah Sang Buddha hanya bermaksud menguji reaksi Bhikkhu Sariputta dan Moggallana dalam kejadian ini? Ataukah ada maksud lagi (seperti dalam kejadian pembabaran Dhamma pertama untuk mengundang permohonan dari Brahma Sahampati dulu)? Atau malah tidak ada maksud tertentu (memang ketidaksengajaan Sang Buddha sendiri)?

Adakah yang menjelaskan kejanggalan-kejanggalan ini?
Mari kita diskusikan hal ini _/\_
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline William_phang

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.101
  • Reputasi: 62
Re: Kejanggalan Catuma Sutta (MN 67)?
« Reply #1 on: 02 February 2013, 10:42:19 PM »
kayaknya ada di RAPB untuk kasus ini .... mgkn bisa lebih menjelaskan kisah ini di RAPB.....

Offline Mas Tidar

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.262
  • Reputasi: 82
  • Gender: Male
Re: Kejanggalan Catuma Sutta (MN 67)?
« Reply #2 on: 02 February 2013, 11:50:41 PM »

perlu acuan yang lain sebagai pembanding ttg kejadian di sutta tsb.
bukan ingin memancing antara pro & kontra para pengikut sutta murni, kitab komentar ataupun kitab sub komentar.
Saccena me samo natthi, Esa me saccaparamiti

"One who sees the Dhamma sees me. One who sees me sees the Dhamma." Buddha

Offline Alay

  • Bukan Tamu
  • *
  • Posts: 13
  • Reputasi: 0
  • Gender: Male
  • Semoga semua mahluk berbahagia
Re: Kejanggalan Catuma Sutta (MN 67)?
« Reply #3 on: 03 February 2013, 12:44:35 AM »
IMO.. Sang Buddha sudah mengetahui bahwa Bhikkhu2 tersebut tetap akhirnya kembali ke dalam Sangha, cuma tindakan tersebut tetap dilakukan supaya dikemudian hari hal2 tersebut tidak terjadi lagi, karena sudah ada contoh peristiwa dan tindakan untuk peristiwa tsb..

Masalah YA Sariputta tidak bisa menjawab dengan benar, ini salah satu kepiawaian Sang Buddha dalam mengajar, dan belum tentu dipunyai oleh Arahat(Savaka Buddha).. CMIIW  :)

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Kejanggalan Catuma Sutta (MN 67)?
« Reply #4 on: 03 February 2013, 08:31:46 AM »
kayaknya ada di RAPB untuk kasus ini .... mgkn bisa lebih menjelaskan kisah ini di RAPB.....

Sepertinya tidak ada dalam RAPB, tapi gak tau jg kalo gw kelewatan... ;D

perlu acuan yang lain sebagai pembanding ttg kejadian di sutta tsb.
bukan ingin memancing antara pro & kontra para pengikut sutta murni, kitab komentar ataupun kitab sub komentar.

Kalo bisa mulai mas dulu acuan pembandingnya sutta/komentar yg mana?

IMO.. Sang Buddha sudah mengetahui bahwa Bhikkhu2 tersebut tetap akhirnya kembali ke dalam Sangha, cuma tindakan tersebut tetap dilakukan supaya dikemudian hari hal2 tersebut tidak terjadi lagi, karena sudah ada contoh peristiwa dan tindakan untuk peristiwa tsb..

Masalah YA Sariputta tidak bisa menjawab dengan benar, ini salah satu kepiawaian Sang Buddha dalam mengajar, dan belum tentu dipunyai oleh Arahat(Savaka Buddha).. CMIIW  :)

Kalo menyoal Sang Buddha sudah tahu apa yg akan/telah terjadi, kenapa Beliau bertanya kepada Ananda tentang siapa yang membuat keributan di awal sutta? Seharusnya Beliau yang maha mengetahui segalanya tidak perlu bertanya lagi dan langsung memanggil para bhikkhu tersebut.... Hmmmm....  :-?
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline kullatiro

  • Sebelumnya: Daimond
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.155
  • Reputasi: 97
  • Gender: Male
  • Ehmm, Selamat mencapai Nibbana
Re: Kejanggalan Catuma Sutta (MN 67)?
« Reply #5 on: 03 February 2013, 10:08:43 AM »
ini memperlihatkan dan sedang mengajarkan kepada umat dan sangha bahwa sang buddha saja memakai pedoman duniawi (aturan atau norma ) dengan baik tidak mentang tahu segalanya langsung bertindak main panggil seenak nya, bertanya kepada ananda (yang belum mencapai kesucian) juga menyirat kan ananda sebagai saksi.

Offline Alay

  • Bukan Tamu
  • *
  • Posts: 13
  • Reputasi: 0
  • Gender: Male
  • Semoga semua mahluk berbahagia
Re: Kejanggalan Catuma Sutta (MN 67)?
« Reply #6 on: 03 February 2013, 10:18:03 AM »
Kalo menyoal Sang Buddha sudah tahu apa yg akan/telah terjadi, kenapa Beliau bertanya kepada Ananda tentang siapa yang membuat keributan di awal sutta? Seharusnya Beliau yang maha mengetahui segalanya tidak perlu bertanya lagi dan langsung memanggil para bhikkhu tersebut.... Hmmmm....  :-?
[/quote]

IMO.. Sang Buddha dikatakan bisa mengetahui(maha-tahu) berbagai hal melalui perenungan atas hal2 yg terjadi, pada saat Sang Buddha menanyakan hal tsb kepada YA Ananda, Sang Buddha belum melakukannya, tapi setelah dijawab dan Sang Buddha melihat adanya kesempatan untuk mengajar(supaya YA Sariputta dan YA Moggalana mengasuh Sangha dan jg pemicu untuk ajaran beliau tentang 4 jenis  ketakutan ini), jg kemungkinan2 yg akan terjadi (permohonan para Sakya Catuma dan Brahma Sahampati akan dilakukan), dan akhirnya tidak ada hal yg merugikan dalam hal ini(Para Bhikkhu tsb tetap kembali ke dalam Sangha dan pengajaran berhasil dilakukan), maka Sang Buddha melakukan hal tsb.

Ilustrasi dalam kehidupan sehari2, bila ada suatu kejadian, setelah dipikirkan apa manfaatnya, dan kemungkinan2 yg akan terjadi setelahnya, dan akhirnya tujuan berhasil didapat sesuai dengan hasil pemikiran tersebut. Perbedaannya.. untuk makhluk2 lain hasil2 tersebut masih menjadi kemungkinan, sedangkan untuk Sang Buddha hal itu adalah pasti, entah itu adalah hasil kammanya atau karena taraf kebijaksanaannya jauh melebihi makhluk2 lain tsb.. CMIIW    :)

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Kejanggalan Catuma Sutta (MN 67)?
« Reply #7 on: 04 February 2013, 07:32:48 AM »
Mana yang lain.... Sepi banget thread ini sejak pengunduran diri para senior.... ;D
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: Kejanggalan Catuma Sutta (MN 67)?
« Reply #8 on: 04 February 2013, 08:39:35 AM »
Nah, sekarang hal yang menurut saya tidak wajar atau aneh dari sutta ini adalah:

1. Kenapa Sang Buddha digambarkan seakan-akan "jengkel" dengan keributan yang diperbuat para bhikkhu pendatang tersebut sehingga mengusir dan membubarkan mereka semua? Sepertinya ini bukan sifat Sang Buddha yang telah tercerahkan sempurna.....

2. Seharusnya Sang Buddha telah mengetahui akibat yang tidak diharapkan karena membubarkan para bhikkhu pendatang tersebut karena seperti dalam pernyataan oleh orang-orang Sakya dan Brahma Sahampati terdapat banyak bhikkhu yang baru ditahbiskan yang dikhawatirkan akan mengalami perubahan keyakinan dalam Dhamma. Kenapa Sang Buddha bertindak begitu gegabah dengan membubarkan mereka?

3. Kenapa Bhikkhu Sariputta tidak dapat menjawab dengan benar bahwa Sang Buddha bermaksud menyerahkan pengasuhan Sangha kepadanya dan Bhikkhu Moggallana jika Sang Buddha tidak dapat mau membimbing mereka lagi? Padahal Bhikkhu Sariputta adalah yang terkemuka dalam kebijaksanaan, yang menurut komentar bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan sulit dari Sang Buddha sekali pun (misalnya dalam kejadian ketika Sang Buddha turun dari Tavatimsa setelah bervassa di sana).....

4. Mungkinkah Sang Buddha hanya bermaksud menguji reaksi Bhikkhu Sariputta dan Moggallana dalam kejadian ini? Ataukah ada maksud lagi (seperti dalam kejadian pembabaran Dhamma pertama untuk mengundang permohonan dari Brahma Sahampati dulu)? Atau malah tidak ada maksud tertentu (memang ketidaksengajaan Sang Buddha sendiri)?

Adakah yang menjelaskan kejanggalan-kejanggalan ini?
Mari kita diskusikan hal ini _/\_

Menurut saya pertanyaan-pertanyaan di atas tidak begitu penting dibahas, karena bukan merupakan inti dari sutta. Dan sepertinya hanya berujung ke spekulasi2 gak jelas.

Misalnya pada pertanyaan pertama, kenapa kamu menyimpulkan bahwa membubarkan bhikkhu adalah gambaran kejengkelan? <---- tidak perlu dijawab.

Lalu untuk pertanyaan kedua, kita tidak tau pertimbangan2 apa yang Buddha pikirkan sehingga akhirnya membubarkan bhikkhu. Lalu kenapa mengatakan bahwa sang Buddha gegabah? Dan di pertanyaan keempat, kamu berpikir dan menebak-nebak apakah mungkin ini ujian, atau apa?

Saya rasa akhirnya ini hanya spekulasi ga penting aja. Kalo kita cenderung "membela" Buddha, kita mungkin memikirkan berbagai pembenaran, demikian pula sebaliknya.
« Last Edit: 04 February 2013, 08:41:13 AM by dhammadinna »

Offline M14ka

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 4.821
  • Reputasi: 94
  • Gender: Female
  • Live your best life!! ^^
Re: Kejanggalan Catuma Sutta (MN 67)?
« Reply #9 on: 04 February 2013, 09:43:07 AM »
Di sini ada penjelasan ttg situasi n kondisinya lumayan detail...

http://dharmafarer.org/wordpress/wp-content/uploads/2010/02/34.7-Catuma-S-m67-piya.pdf


Quote
3.1.2 Is the Buddha “angry” at the noisy monks?
3.1.2.1 THE 4 PARABLES.
The Ctumā Sutta, in fact, inspired two dilemmas in the Milinda,paha,
the first of which opens by quoting the Dhaniya Sutta: “I am without anger, gone is mental barrenness”
(Sn 19). Just as the great earth shows neither anger nor satisfaction should anyone fall onto it, just as the
great ocean does not associate with a corpse but quickly casts it ashore, showing neither anger nor satisfaction,
even so, the Buddhas are beyond approval and repugnance (anunaya-p,paigha,vipamutta). It is
out of desire for their welfare that the Buddha dismisses the monks (that is, as a skilful means) (Miln 186-
188). In short, the Buddha knows no anger, as he is awakened.
Of the four parables [§§14-20], the first, that of the waves, warns against the fear or danger of “anger
and despair.” As such, it is clear here that the Buddha speaks against anger, and as he speaks so he acts
(yath,vdi tath,kr).36 The Buddha’s gentle disapproval of Sāriputta is like a father admonishing his
eldest son. It is spiritual friendship,37 a relationship that the Buddha himself poetically describes as a
“clay-pot friendship,” an expression found in the Mah Suat Sutta (M 122) in connection with
nanda, where the buddha says to him:
“I shall not treat you as the potter treats the raw damp clay. Repeatedly restraining you, I
shall speak to you, nanda. Repeatedly admonishing you, I shall speak to you, nanda. The
sound core will stand the test.” (M 3:118; cf Gandhra Jtaka, J 406/3:368)
3.1.2.2 THE BUDDHA’S FEELING.
The Saḷ-āyatana Vibhaṅga Sutta (M 137) gives is a key teaching
in our understanding of the Buddha’s feeling (and by extension, those of the arhats, too). There, the Buddha
states that there are three qualities that “a noble one (ariya) cultivates, which make him a teacher
worthy of instructing the masses.”38 These qualities are the three foundations of mindfulness (ti satipaṭ-
ṭhāna), that is, to say, the Teacher teaches the Dharma out of compassion,
(1) his disciples do not listen to him, “As such, the Tathagata [thus come] is not pleased, but although
not feeling pleased, he dwells untroubled, mindful and fully aware;”39
(2) some of his disciples listen to him, “As such, the Tathagata is pleased, but although feeling
pleased, he dwells untroubled,40 mindful and fully aware;”
(3) his disciples listen to him, “As such, the Tathagata is pleased, but although feeling pleased, he
dwells untroubled, mindful and fully aware.” (M 137.21-24/3:222) = SD 29.5
Since the Buddha speaks in reference to “the Tathāgata,” the word ariya, must also refer to him here.
In other words, the Buddha is referring to himself. For the Buddha, therefore, it is natural that he would
feel or “emotionally” respond according to the situation, good or bad, but he is unaffected by any of such
responses in karmic terms. That is to say, no greed, hate or delusion arises on him in such situations, or in
any other.
3.1.2.3 PASĀDETUṀ.
Those who are really disturbed, or better, moved, by the noisy monk’s position
and the Buddha’s response are actually the Sakyas and Mahā Brahmā. They initiate a “reconciliation” by
saying, “...let the venerables be seated. Perhaps, we would be able to reconcile (pasādetuṁ) them with the
Blessed One” [§6].
Pasādetuṁ is the infinitive form of pasādeti, “he renders calm, appease, makes peaceful, reconcile,
gladden, inclines one’s heart (cittaṁ) towards (loc),”43 which is in turn a causative verb of pasīdati, “he
feel clear, serene, tranquil; he is content, satisfied, pleased, glad; he takes pleasure in; he has faith in, believes
in, is converted.”
The noun form is pasāda, “clearness, brightness; joy, satisfaction, good mind, virtue; faith; repose,
composure, serenity; the faculty of the senses.” This is a polysemic term which refers firstly to a person’s
conduct and demeanour, that is, one that should joyfully calm, composed and mindful. Secondly, such a
demeanour inspires faith in others. Thirdly, it refers to a mutual feeling that spiritual friends naturally feel
for one another, one of mutual joy and admiration.45
On account of the new monks’ unmindful conduct, they do not inspire joyful faith in the Buddha who
knows that they have not yet internalized proper monastic conduct. They may have faith in the Buddha
(enough to visit him), but this is not wise faith (avecca,pasāda). On this account, they are “not in touch”
with the teacher, and to quicken the learning and healing, the Buddha simply dismisses them, well knowing
that this is the beginning of the rehabilitation process. That the laity and divinity are also drawn into
the reconciliation process only expedites it, and show the beautiful fellowship of the three worlds: the
monastic, the lay and the divine.
The teaching is clearly intended for all Dharma teachers, ordained or lay (and the divine, too, we
might presume). No matter how their pupils or audience respond to their teachings, Dharma teachers
should remain “untroubled, mindful and fully aware,” whether they are pleased or not. If we are able to
do this, then—as long as that mindfulness lasts—we would, like the Buddha and the arhats, not be affected
by the circumstances, but to do what should be done next.
« Last Edit: 04 February 2013, 09:48:42 AM by M14ka »

Offline dipasena

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.612
  • Reputasi: 99
  • Gender: Male
  • Sudah Meninggal
Re: Kejanggalan Catuma Sutta (MN 67)?
« Reply #10 on: 04 February 2013, 10:18:31 AM »
IMO.. Sang Buddha sudah mengetahui bahwa Bhikkhu2 tersebut tetap akhirnya kembali ke dalam Sangha, cuma tindakan tersebut tetap dilakukan supaya dikemudian hari hal2 tersebut tidak terjadi lagi, karena sudah ada contoh peristiwa dan tindakan untuk peristiwa tsb..

Masalah YA Sariputta tidak bisa menjawab dengan benar, ini salah satu kepiawaian Sang Buddha dalam mengajar, dan belum tentu dipunyai oleh Arahat(Savaka Buddha).. CMIIW  :)

Kalo menyoal Sang Buddha sudah tahu apa yg akan/telah terjadi, kenapa Beliau bertanya kepada Ananda tentang siapa yang membuat keributan di awal sutta? Seharusnya Beliau yang maha mengetahui segalanya tidak perlu bertanya lagi dan langsung memanggil para bhikkhu tersebut.... Hmmmm....  :-?

pertanyaan gini sama seperti menjawab, kenapa buddha menerima devadatta kedalam sangha, bkn kah seharusnya buddha telah mengetahui bahwa suatu ketika devadatta akan memecah belah sangha dan melukai diri nya.

jawaban paling sederhana yg penah sy tau, walau buddha mengetahui bagaimana davadatta kelak, buddha tetap menerima devadatta sebagai bhikkhu karena buddha tidak menghalangi kamma baik seseorang yg berbuah untuk menjadi seorang bhikkhu. jk suatu ketika devadatta melakukan perbuatan jahat maka ia telah mengetahui konsekuensi dr perbuatan nya sendiri.

namun kita bukan lah buddha, jd tdk mungkin kita bs mengetahui dgn persis knp buddha bertanya kepada ananda. tapi ada beberapa kemungkinan atas hal itu, bkn jawaban sesungguhnya, hanya mengira-ngira.
1. jika buddha lsng memanggil, maka bhikkhu yg lain pasti kebingungan, koq tiba2 buddha lsng memanggil kelompok bhikkhu yg membuat keributan tanpa tau sebab pasti, sehingga buddha bertanya kepada bhikkhu lain, sehingga semua mengetahui nya.
2. buddha tidak memamerkan kemampuan nya, tp dengan mengundang pertanyaan kepada bhikkhu yg ada disekitar nya.
3. salah dalam penyusunan tipitaka atau salah terjemahan ;D
« Last Edit: 04 February 2013, 10:20:30 AM by dato' tono »

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Kejanggalan Catuma Sutta (MN 67)?
« Reply #11 on: 05 February 2013, 07:25:45 AM »
Menurut saya pertanyaan-pertanyaan di atas tidak begitu penting dibahas, karena bukan merupakan inti dari sutta. Dan sepertinya hanya berujung ke spekulasi2 gak jelas.

Misalnya pada pertanyaan pertama, kenapa kamu menyimpulkan bahwa membubarkan bhikkhu adalah gambaran kejengkelan? <---- tidak perlu dijawab.

Lalu untuk pertanyaan kedua, kita tidak tau pertimbangan2 apa yang Buddha pikirkan sehingga akhirnya membubarkan bhikkhu. Lalu kenapa mengatakan bahwa sang Buddha gegabah? Dan di pertanyaan keempat, kamu berpikir dan menebak-nebak apakah mungkin ini ujian, atau apa?

Saya rasa akhirnya ini hanya spekulasi ga penting aja. Kalo kita cenderung "membela" Buddha, kita mungkin memikirkan berbagai pembenaran, demikian pula sebaliknya.


Memang kalo dipikir2 untuk apa bertanya2 tentang hal2 di atas, tapi tujuannya bukan untuk spekulasi juga, cuma ingin tahu saja, kebetulan kemarin membaca Majjhima Nikaya sampai sutta ini.... ;D

Maksudnya ini kan studi sutta/sutra, jadi ya apa pun yang dirasa janggal atau tidak dipahami boleh kita diskusikan bersama..... :)

Di sini ada penjelasan ttg situasi n kondisinya lumayan detail...

http://dharmafarer.org/wordpress/wp-content/uploads/2010/02/34.7-Catuma-S-m67-piya.pdf



 :jempol:

Nah itu ada yang bisa menjelaskan.... :)

pertanyaan gini sama seperti menjawab, kenapa buddha menerima devadatta kedalam sangha, bkn kah seharusnya buddha telah mengetahui bahwa suatu ketika devadatta akan memecah belah sangha dan melukai diri nya.

jawaban paling sederhana yg penah sy tau, walau buddha mengetahui bagaimana davadatta kelak, buddha tetap menerima devadatta sebagai bhikkhu karena buddha tidak menghalangi kamma baik seseorang yg berbuah untuk menjadi seorang bhikkhu. jk suatu ketika devadatta melakukan perbuatan jahat maka ia telah mengetahui konsekuensi dr perbuatan nya sendiri.

namun kita bukan lah buddha, jd tdk mungkin kita bs mengetahui dgn persis knp buddha bertanya kepada ananda. tapi ada beberapa kemungkinan atas hal itu, bkn jawaban sesungguhnya, hanya mengira-ngira.
1. jika buddha lsng memanggil, maka bhikkhu yg lain pasti kebingungan, koq tiba2 buddha lsng memanggil kelompok bhikkhu yg membuat keributan tanpa tau sebab pasti, sehingga buddha bertanya kepada bhikkhu lain, sehingga semua mengetahui nya.
2. buddha tidak memamerkan kemampuan nya, tp dengan mengundang pertanyaan kepada bhikkhu yg ada disekitar nya.
3. salah dalam penyusunan tipitaka atau salah terjemahan ;D

Bisa juga seperti itu ;D
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline dhammadinna

  • Sebelumnya: Mayvise
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.627
  • Reputasi: 149
Re: Kejanggalan Catuma Sutta (MN 67)?
« Reply #12 on: 28 February 2013, 09:52:06 AM »
coba ke link berikut:

http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,23884.0/message,436514.html

di sana, ada kejadian juga di mana Sang Buddha membubarkan bhikkhu. Di catatan kakinya (yang saya spoiler), ada keterangan kenapa para bhikkhu dibubarkan (berdasarkan komentar si pembuat catatan kaki?). Lalu ada kunjungan Brahma Sahampati juga...

Memang kalo dipikir2 untuk apa bertanya2 tentang hal2 di atas, tapi tujuannya bukan untuk spekulasi juga, cuma ingin tahu saja, kebetulan kemarin membaca Majjhima Nikaya sampai sutta ini.... ;D

Maksudnya ini kan studi sutta/sutra, jadi ya apa pun yang dirasa janggal atau tidak dipahami boleh kita diskusikan bersama..... :)

Iya, ga masalah... Setelah saya pikir kembali, mungkin bagi orang yang dominan ke faktor keyakinan, memang hal ini bisa menjadi penting.
« Last Edit: 28 February 2013, 09:54:35 AM by dhammadinna »

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Kejanggalan Catuma Sutta (MN 67)?
« Reply #13 on: 03 March 2013, 10:56:13 AM »
coba ke link berikut:

http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,23884.0/message,436514.html

di sana, ada kejadian juga di mana Sang Buddha membubarkan bhikkhu. Di catatan kakinya (yang saya spoiler), ada keterangan kenapa para bhikkhu dibubarkan (berdasarkan komentar si pembuat catatan kaki?). Lalu ada kunjungan Brahma Sahampati juga...

Iya, ga masalah... Setelah saya pikir kembali, mungkin bagi orang yang dominan ke faktor keyakinan, memang hal ini bisa menjadi penting.

Yang di catatan kaki itu dari komentar Samyutta Nikaya (Spk = Sāratthappakāsinī) oleh Buddhaghosa
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Kejanggalan Catuma Sutta (MN 67)?
« Reply #14 on: 25 April 2013, 09:31:51 AM »
1. Kenapa Sang Buddha digambarkan seakan-akan "jengkel" dengan keributan yang diperbuat para bhikkhu pendatang tersebut sehingga mengusir dan membubarkan mereka semua? Sepertinya ini bukan sifat Sang Buddha yang telah tercerahkan sempurna.....
Kalau soal 'jengkel' atau tidak, karena kita tidak ada di sana waktu kejadian, sulit sih untuk membayangkan bagaimana tindakan Buddha waktu itu. Kalau saya pribadi membayangkan membubarkan sekadar membubarkan saja, tidak marah-marah.


Quote
2. Seharusnya Sang Buddha telah mengetahui akibat yang tidak diharapkan karena membubarkan para bhikkhu pendatang tersebut karena seperti dalam pernyataan oleh orang-orang Sakya dan Brahma Sahampati terdapat banyak bhikkhu yang baru ditahbiskan yang dikhawatirkan akan mengalami perubahan keyakinan dalam Dhamma. Kenapa Sang Buddha bertindak begitu gegabah dengan membubarkan mereka?

4. Mungkinkah Sang Buddha hanya bermaksud menguji reaksi Bhikkhu Sariputta dan Moggallana dalam kejadian ini? Ataukah ada maksud lagi (seperti dalam kejadian pembabaran Dhamma pertama untuk mengundang permohonan dari Brahma Sahampati dulu)? Atau malah tidak ada maksud tertentu (memang ketidaksengajaan Sang Buddha sendiri)?
Sama juga ketika Buddha berniat tidak mengajar, apakah Buddha tidak tahu ada orang yang memiliki sedikit debu di matanya sehingga harus dimohon oleh Brahma Sahampati?

Menurut saya ada beberapa hal di sini. Pertama para bhikkhu itu tampaknya belum siap secara batin, dengan dibubarkannya oleh Buddha, maka mereka akan merenung. Kemudian tampaknya Buddha mengetahui bahwa orang-orang Catuma ini akan membantu mereka, sehingga dibiarkan dan memberikan kesempatan pada orang-orang Catuma ini untuk berperan serta. Saya menduga demikian karena ada banyak sutta di tempat lain di mana Buddha sangat terganggu dengan para bhikkhu yang seperti "nelayan berjualan ikan", tapi tidak dibubarkan. (AN VI.1.4.12)

Lalu dalam kesempatan ini pula tampaknya Buddha ingin mengajarkan kepada para siswa senior (khususnya Sariputta dan Mahamoggallana) tentang apa yang seharusnya dilakukan ketika Buddha 'mengundurkan diri', bukannya mereka ikut mengundurkan diri, namun harus mengambil-alih tugas tersebut.


Quote
3. Kenapa Bhikkhu Sariputta tidak dapat menjawab dengan benar bahwa Sang Buddha bermaksud menyerahkan pengasuhan Sangha kepadanya dan Bhikkhu Moggallana jika Sang Buddha tidak dapat mau membimbing mereka lagi? Padahal Bhikkhu Sariputta adalah yang terkemuka dalam kebijaksanaan, yang menurut komentar bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan sulit dari Sang Buddha sekali pun (misalnya dalam kejadian ketika Sang Buddha turun dari Tavatimsa setelah bervassa di sana).....
Sariputta disebut-sebut terunggul dalam kebijaksanaan, sering disalahpahami orang bahwa maksudnya adalah kebijaksanaan duniawi. Namun sebetulnya bukan itu. Seseorang yang menembus jalan akhir, harus mengembangkan 5 indriya: saddha, viriya, sati, samadhi, panna. Di antara mereka yang indriya kebijaksanaannya lebih menonjol, yang mencapai pembebasan melalui kebijaksanaan (pannavimutta), Sariputta-lah yang terunggul. Sedangkan di antara mereka yang indriya samadhinya lebih menonjol, yang mencapai pembebasan lewat pemusatan pikiran (cetovimutta), Mahamoggallana yang terunggul. Kualitas dua siswa utama itu hampir sama secara duniawi, Sariputta sangat sakti, dan Mahamoggallana pun sangat bijaksana. Yang membedakan keduanya hanyalah indriyanya saja, sehingga "cara" pembebasannya berbeda.

Selain hal ini, Sariputta secara duniawi juga bisa tidak bijaksana, misalnya dalam Dhananjanisutta, Sariputta tidak mengetahui potensi kesucian Dhananjani dan membabarkan "hanya" sebatas alam Brahma saja. Jadi intinya memang 'kebijaksanaan' duniawi dan lokuttara berbeda. Para Arahant yang telah sempurna dalam kebijaksanaaan lokuttara juga bisa berbuat yang secara duniawi tidak bijaksana. (Contohnya Pindola Bharadvaja yang pamer kesaktian, Anuruddha yang masuk kamar wanita.)


 

anything