//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Hubungan Antara Sunyata dan Paticcasamuppada  (Read 36392 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Hubungan Antara Sunyata dan Paticcasamuppada
« on: 25 November 2012, 06:40:15 PM »
Artikel ini walau tidak dapat menjawab paradoks dari ungkapan "bentuk (rupa) adalah kosong dan kosong adalah bentuk" (yang umumnya diterjemahkan secara salah sebagai "isi adalah kosong dan kosong adalah isi"), tetapi setidaknya dapat memberikan pemahaman dasar tentang konsep kekosongan dalam pandangan Mahayana yang dikaitkan dengan hukum sebab akibat yang saling bergantungan (paticcasamuppada).

Semoga bermanfaat.

NB: Walau thread ini terinspirasi dari thread sebelah, namun tidak dimaksudkan untuk diperdebatkan spt pada thread tsb. Artikel sudah lama saya terjemahkan dan telah dipost di forum tetangga.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Hubungan Antara Sunyata dan Paticcasamuppada
« Reply #1 on: 25 November 2012, 06:47:12 PM »
HUBUNGAN ANTARA KEKOSONGAN (ŚŪNYATĀ) DAN SEBAB AKIBAT YANG SALING BERGANTUNGAN (PATICCASAMUPPADA)

ANKUR BARUA,     N. TESTERMAN,    M.A. BASILIO
 
Buddhist Door, Tung Lin Kok Yuen, Hong Kong
Hong Kong, 2009

Abstraksi

Ungkapan “Bentuk (rupa) adalah kosong; kosong adalah bentuk” mungkin paradoks yang paling banyak diperdebatkan dalam filosofi Buddhis. Ungkapan ini berasal dari Prajna Paramita Hridaya Sutra, yang umum dikenal sebagai Sutra Hati, yang mengandung inti filosofi dari 600 naskah yang membentuk Maha Prajna Paramita. Versi Nagarjuna yang unik tentang kekosongan merupakan hasil langsung dari 8 metode penyangkalan. Ia diterjemahkan sebagai yang tidak timbul (non-arising), tidak lenyap (non-ceasing), tidak kekal (non-permanence), tidak musnah (non-annihilition), tidak bertanda (non-identity), tidak berbeda (non-difference), tidak datang (non-coming), dan tidak pergi (non-exiting). Melalui 8 penyangkalan ini, semua konsep di mana kita memahami dunia ditempatkan dalam bentuk negative. Dengan cara ini, seseorang diharapkan dapat menyadari pemahaman yang benar atas kekosongan.

Pendahuluan

Dalam agama Buddha awal, istilah ‘suññatā’ atau ‘śūnyatā’ digunakan umumnya berkaitan dengan ajaran ‘tanpa-diri’ (anata/anatman) untuk menunjukkan bahwa Lima Kelompok Kehidupan (skandha) adalah ‘kosong’ dari diri atau jiwa yang kekal yang dengan salah dikaitkan dengan skandha-skandha tersebut [1].

Namun ajaran kekosongan mencapai bentuk penjelasan panjang lebar yang penuh oleh Nāgārjuna, yang menggunakannya dengan tepat untuk melenyapkan konsep substansial dari aliran Abhidharma dari Theravada. Karena tidak ada apa pun yang bukan sifat Kebuddhaan (buddhatā), semua yang muncul sesungguhnya sama sekali tanpa karakteristik. Ajaran kekosongan merupakan ajaran sentral dalam aliran Mādhyamaka. Pernyataan Nagarjuna yang mendukung hal ini dapat ditemukan dalam karyanya Mūla-Mādhyamaka-Nārikā. [1,2]

Nāgārjuna dianggap sebagai pendiri aliran Madhyamaka dari filosofi Buddhis Mahayana yang ia bangun selama abad ke-2 sampai ke-3 M. Mulamadhyamaka-Karika (Pokok Dasar Jalan Tengah) merupakan karya terbesarnya.

Karya ini mulanya disusun dalam bahasa Sanskerta. Versi Sanskerta dan Tibet awal dari karya ini telah bertahan tanpa kerusakan yang signifikan selama berabad-abad bersama dengan terjemahan bahasa Cina-nya. Beberapa terjemahan Inggris dari Karika telah tersedia saat ini. [1,2]

Dengan demikian kekosongan menjadi karakteristik utama agama Buddha Mahayana. Ajaran ini mendalam dan rumusan yang tepat menjadi pokok perdebatan yang rumit, karena sedikit saja kesalahpahaman dikatakan dapat menghalangi kemajuan menuju pembebasan sempurna. Kekosongan tidak pernah disamakan dengan ketiadaan, seperti ruang kosong, tetapi selalu berhubungan dengan entitas tertentu di mana kekosongan dinyatakan. Dalam cara ini dikenali sampai dengan 20 jenis kekosongan, termasuk kekosongan dari kekosongan. Penekanan pada ketidak-tahuan (indiscoverability) adalah inti dari kekosongan Mādhyamika. Adalah penting untuk membedakan kekosongan dengan nihilisme.[1,2,3]

Pandangan Buddhis tentang kekosongan sering disalahartikan sebagai nihilisme. Sayangnya, filosofi Barat abad ke-19 berkontribusi  pada kesalahpahaman ini. Namun, satu-satunya hal yang didapat dikatakan sama dalam nihilisme dan ajaran kekosongan adalah awalnya yang skeptic. Nihilisme menyimpulkan bahwa kenyataan/realitas tidak dapat diketahui, bahwa tidak ada yang ada, bahwa tidak ada hal yang berarti yang dapat dibicarakan tentang dunia. Pandangan Buddhis tentang kekosongan berlawanan dengan hal ini. Ajaran kekosongan menyatakan bahwa realitas tertinggi dapat diketahui, terdapat dasar ontologis yang jelas untuk fenomena dan kita dapat membicarakan dan memperoleh pengetahuan yang bermanfaat darinya tentang dunia. Kekosongan (śūnyatā) tidak boleh disamakan dengan ketiadaan. Kekosongan bukan tidak ada (non-existence) ataupun tidak ada realitas (non-reality). [1,2,3,4]

Namun, dalam Yogācāra (Vijñānavāda), kekosongan diajarkan sebagai ketidakmampuan untuk memikirkan suatu objek selain dari kesadaran yang menyadari objek tersebut, yaitu penekanan pada ketidakmampuan menguraikan subjek dan objek dalam proses mengetahui [suatu objek] yang merupakan konsep kekosongan dalam Yogācāra. Adalah penting untuk membedakan hal ini dari paham idealism dan solipsism [1].
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Hubungan Antara Sunyata dan Paticcasamuppada
« Reply #2 on: 25 November 2012, 06:50:22 PM »
Konsep Kekosongan

Untuk memahami pengertian filosofis dari istilah kekosongan (śūnyatā ), marilah kita mengambil objek padat yang sederhana, seperti sebuah mangkuk. Kita biasanya mengatakan bahwa sebuah mangkuk kosong jika ia tidak mengandung cairan atau benda padat apa pun. Ini adalah pengertian awam dari kekosongan. Namun sebuah mangkuk yang kosong dari cairan atau benda padat tidak masih berisi udara. Tepatnya, kita harus menyatakan bahwa mangkuk itu kosong dari apa. Sebuah mangkuk yang berada di ruang hampa tidak mengandung udara, tetapi masing mengandung ruang kosong, cahaya, radiasi, dan substansi mangkuk itu sendiri. Oleh sebab itu, dari cara pandang fisik, mangkuk selalu penuh dengan sesuatu [tidak pernah kosong]. Tetapi dari cara pandang Buddhis, mangkuk selalu kosong. Pengertian Buddhis atas kekosongan berbeda dengan pengertian fisik. Mangkuk kosong karena ia sama sekali tanpa keberadaan yang inheren/melekat (devoid of inherent existence).

Konsep Tanpa Keberadaan yang Inheren (Non-inherent Existence)

Walaupun dari cara pandang Buddhis semua hal adalah tidak kekal, tetapi tidak berarti bahwa mangkuk itu tidak ada. Mangkuk sesungguhnya ada, namun seperti segala sesuatu di dunia ini, keberadaannya bergantung pada fenomena lainnya. Tidak ada sesuatu dalam mangkuk yang melekat pada mangkuk tertentu secara umum. Sifat seperti berlubang, bulat, silinder, atau tahan bocor tidak hakiki pada mangkuk. Benda-benda lain yang bukan mangkuk juga memiliki sifat yang sama, seperti vas bunga dan gelas. Sifat dan unsur dari mangkuk bukan mangkuk itu sendiri ataupun tidak menyatakan persepsi kita atas mangkuk atas sifat mangkuk itu sendiri. Materi bukan mangkuk itu sendir. Bentuk bukan mangkuk itu sendiri. Fungsinya bukan mangkuk itu sendiri. Hanya semua aspek ini bersama-sama yang membentuk mangkuk. Oleh karena itu, kita dapat mengatakan bahwa untuk sebuah objek yang menjadi mangkuk, kita membutuhkan sekumpulan kondisi tertentu agar menjadi ada. Hanya jika semua kondisi ini ada bersamaan maka pikiran menghubungkan label mangkuk pada objek itu. Jika salah satu kondisi lenyap, sebagai contoh, jika bentuk mangkuk berubah karena dihancurkan, mangkuk tersebut kehilangan beberapa atau semua atributnya dan pikiran kita tidak dapat mengenalinya sebagai mangkuk lagi. Dengan demikian, keberadaan mangkuk bergantung pada keadaan luar. Esensi fisiknya tetap sulit dipahami. [3,4,5,6]

Adalah pikiran kita yang mengenali sifat dari sebuah objek dan menghubungkan atribut-atribut seperti mangkuk menjadi satu objek dan meja menjadi objek lain. Adalah pikiran yang menyadari mangkuk dan meja.  Kiranya, pikiran tidak dapat mengenali mangkuk dan meja jika tidak ada sensasi penglihatan dan perabaan. Namun, tidak ada sensasi penglihatan dan perabaan jika tidak ada objek fisik. Dengan demikian persepsi bergantung pada kehadiran sensasi, yang kemudian bergantung pada kehadiran objek fisik. Kita harus memahami bahwa esensi mangkuk bukan berada dalam pikiran, juga ia tidak pernah ditemukan pada objek fisik. Jelasnya, esensi atau inti objek tersebut bukan fisik maupun mental. Karena inti suatu objek tidak dapat ditemukan baik pada dunia eksternal kita maupun pada pikiran kita. [3,4,5,6]

Jika ini adalah kasus untuk objek sederhana, seperti mangkuk, maka ia juga pasti berlaku pada benda-benda yang lebih rumit/majemuk, seperti mobil, rumah, dan mesin. Sebagai contoh, sebuah mobil membutuhkan motor (penggerak), roda, poros roda, roda gigi dan banyak hal lain untuk berfungsi. Kita juga memandang perbedaan antara objek-objek buatan manusia, seperti mangkuk, dengan fenomena alamiah, seperti bumi, tumbuhan, hewan, dan manusia. Seseorang mungkin berpendapat bahwa ketiadaan keberadaan yang inheren tidak berlaku sama untuk fenomena alam dan makhluk hidup. Dalam hal seorang manusia, terdapat tubuh, pikiran, kepribadian, sejarah perbuatan, kebiasaan, perilaku, dan hal-hal lain untuk menggambarkan seseorang. Kita bahkan dapat menguraikan karakteristik ini lebih jauj menjadi sifat yang lebih mendasar. Sebagai contoh, kita dapat menganalisa pikiran dan melihat bahwa terdapat persepsi, kesadaran, perasaan, dan bentuk pikiran [yang membentuk pikiran itu]. [3,4,5,6]

Kita dapat menganalisa otak dan menemukan bahwa terdapat sel neuron, sel akson, sinapsis, dan zat neurotransmiter. Tetapi tidak ada dari unsur-unsur ini yang menjelaskan esensi dari seorang pribadi, pikiran, atau otak. Di sini juga, inti tersebut tidak dapat ditangkap. [3,4,5,6]

Kekosongan dari Kekosongan

Sifat tertinggi (ultimate nature) dari realitas diperdalam dan ditingkatkan dalam pikiran kita. Kita akan mengembangkan sebuah persepsi atas realitas di mana kita dapat mengenali fenomena dan kejadian sebagai semacam ilusi atau seperti ilusi. Cara melihat realitas seperti ini akan menyerap semua interaksi kita dengan realitas tersebut. Bahkan kekosongan itu sendiri, yang dilihat sebagai sifat tertinggi dari realitas, tidak mutlak, ataupun bukan ada secara bebas (tidak bergantung). Kita tidak dapat memahami kekosongan sebagai tidak bergantung pada suatu basis fenomena. Karena ketika kita memeriksa sifat realitas, kita menemukan bahwa ia kosong dari keberadaan yang inheren. Jika kita akan mengambil kekosongan itu sendiri sebagai suatu objek dan mencari esensinya, kita juga akan menemukan bahwa ia kosong dari keberadaan yang inheren. Oleh sebab itu, Buddha sesungguhnya mengajarkan kita “kekosongan dari kekosongan”. [3,4,5,6]
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Hubungan Antara Sunyata dan Paticcasamuppada
« Reply #3 on: 25 November 2012, 06:55:10 PM »
Konsep Sebab Akibat yang Saling Bergantungan (Paṭiccasamuppāda)

Prinsip sebab akibat yang saling bergantungan merupakan rumusan 12 faktor yang disebut Paṭiccasamuppāda dalam bahasa Pali. Gagasan utama dalam hubungan sebab-akibat ini diidentifikasi sebagai sebab dan akibat dalam urutan linier. Satu faktor diidentifikasi sebagai faktor yang mengkondisikan faktor berikutnya yang kemudian menjadi faktor yang mengkondisikan faktor berikutnya lagi sampai tahap akhir, konsep keduabelas, kelahiran [atau kelapukan dan kematian], yang memulai lagi proses kehidupan dan kemenjadian serta ke-12 langkah tersebut.[6]

Rumusan ini juga dapat dilihat dalam urutan terbalik untuk menunjukkan bagaimana pelenyapan salah satu faktor membawa pengaruh yang dominan pada faktor lain, dan menurun sampai ke faktor sebab yang pertama – ketidaktahuan – dilenyapkan sepenuhnya yang dengan demikian menghancurkan perkembangan dan pembuatan faktor-faktor [lainnya]. Ketika ini tercapai, seseorang dapat dikatakan mencapai pencerahan karena ia tidak lagi dibayangi oleh “hantu” ketidaktahuan sebab ia telah mengalahkan tiga racun dan memahami timbul dan lenyapnya fenomena.[4,6]

Penafsiran tradisionla atas rumusan ini menyatakan bahwa inilah yang menyebabkan kemunculan atau kelahiran dan kematian dan menjangkau sedikitnya tiga masa kehidupan [masa lalu, masa sekarang, dan masa yang akan datang]. Sebab akibat yang saling bergantungan dapat dipandang secara mikrokosmos dan diterapkan hanya pada kehidupan sekarang untuk menggambarkan kemunculan dan kelenyapan proses pikiran dan kesadaran, oleh sebab itu menunjukkan jalan yang benar untuk memahami suatu objek jika pencerahanlah yang dicari. [4,6]

Konsep Kekosongan dalam Hubungannya dengan Sebab Akibat yang Saling Bergantungan

Sebab akibat yang saling bergantungan menunjukkan keterkaitan dari semua fenomena, ketidakkekalan mereka, ketiadaan diri yang hakiki (intrinsic self), dan faktor-faktor yang mengkondisikan. Sama halnya, kekosongan bagi Nāgārjuna sama dengan sebab akibat yang saling bergantungan seperti yang dinyatakan oleh Candrakīrti, “Makna ungkapan ‘sebab akibat yang bergantungan’ sama dengan ‘kekosongan’”, tetapi ia lebih jauh menekankan pada ketiadaan sifat yang hakiki (intrinsic nature) dari dharma dan menyatakan bahwa semua dharma merupakan gagasan konseptual. Bagi Abhidhamma, dhamma merupakan unit terkecil kehidupan yang dapat diuraikan, namun bagi Nāgārjuna, bahkan dhamma-dhamma merupakan gagasan konseptual, dan memahami hal ini memerlukan kebijaksanaan yang benar (prajña): pemahaman atas kekosongan. [2,4,6]

Sebab akibat yang saling bergantungan merupakan prinsip ontologis dalam agama Buddha awal dan Abhidhamma, tetapi sistem Nagarjuna  kekosongan menjadi istilah yang mewakili prinsip utama ontologis ini. Ia menulis, “Adalah sebab akibat yang saling bergantungan yang kita sebut kekosongan.” Kemunculan yang bergantungan dan kekosongan menggambarkan bagaimana realitas menjadi ada; dengan demikian, ia merupakan kebenaran tertinggi dan kebenaran ontologism. Penekanan kekosongan sebagai kebenaran tertinggi merupakan perkembangan lebih lanjut yang unik dari pemikiran Nāgārjuna dan pemikiran Buddhisme belakangan. Nāgārjuna menekankan tidak adanya keberadaan yang hakiki dalam tingkat konvensional dari realitas. Ketiadaan [dari keberadaan yang hakiki] ini harus dipahami dengan pemahaman atas kebenaran tertinggi dari kekosongan. [2,4,6]

Kebenaran kedua tingkatan realitas ini saling mengimplikasikan satu sama lain. Kekosongan menjadi dhammatta, diri sejati atas benda-benda. Seorang komentator Nāgārjuna menggambarkan kekosongan sebagai “tidak dikondisikan oleh yang lain, diam, dapat dicapai oleh para ariya melalui intuisi langsung, melampaui semua perbedaan verbal, tetapi, ia tidak lebih daripada ketiadaan keberadaan yang inheren dan hakiki.” Karena prinsip śūnyatā menyatakan bahwa semua hal yang ditemui seseorang dalam kehidupan ini kosong dari jiwa yang kekal atau sifat yang inheren dan saling berkaitan, tidak pernah berdiri sendiri, atau tidak bergantung [pada yang lain]; dengan demikian tidak ada realitas yang tidak bergantung. [2,4,6]

Walaupun terdapat cara yang berbeda untuk menjelaskan ajaran kekosongan, semuanya didasarkan pada ajaran sebab akibat yang saling bergantungan. Nāgārjuna menyediakna rumusan yang mendalam atas śūnyatā sebagai ciri atas semua fenomena. Uraian yang lebih jauh atas sebab akibat yang saling bergantungan adalah bahwa konsep kekosongan itu bukan ajaran atau pandangan yang sejati, tetapi merupakan alat penyembuhan (therapeutic device). Nāgārjuna menjelaskan hal ini sebagai “penawar atas semua cara pandang (ḍṛṣṭi)”. [2,4,6]
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Hubungan Antara Sunyata dan Paticcasamuppada
« Reply #4 on: 25 November 2012, 06:55:58 PM »
Penutup

Kekosongan merupakan konsep utama dalam filosofi Buddhis, atau lebih tepatnya, dalam ontology Buddhisme Mahayana. Ungkapan “bentuk adalah kosong; kosong adalah bentuk” mungkin merupakan paradoks yang berhubungan dengan filosofi Buddhis yang paling banyak diperdebatkan. Ia adalah “mantra” yang tertinggi. Ungkapan ini berasal dari Prajna Paramita Hridaya Sutra, yang umumnya dikenal sebagai Sutra Hati, yang mengandung inti filosofi dari kira-kira 600 naskah yang membentuk Maha Prajna Paramita. Sutra Hati merupakan sutra terpendek dalam kumpulan teks ini. Ia termasuk teks Mahayana tertua dan diperkirakan berasal dari India pada masa Masehi. [2,4,5,6]

Versi unik kekosongan dari Nāgārjuna merupakan hasil langsung dari 8 metode penyangkalam. Ia ditafsirkan sebagai yang tidak timbul (non-arising), tidak lenyap (non-ceasing), tidak kekal (non-permanence), tidak musnah (non-annihilition), tidak bertanda (non-identity), tidak berbeda (non-difference), tidak datang (non-coming), dan tidak pergi (non-exiting). Melalui 8 penyangkalan ini, semua konsep di mana kita memahami dunia ini secara normal ditempatkan dalam bentuk negative. Dengan cara ini, seseorang diharapkan menyadari pemahaman yang benar atas kekosongan. Dengan memahami kekosongan dari konsep ini di mana kita secara konseptual membentuk dan memahami dunia ini dan bahkan dhamma, seseorang dapat memahami kekosongan dari kekosongan (śunyatāśunyatā). Inilah penemuan baru dalam pemikiran Buddhis yang dianggap berasal dari Nāgārjuna. [2,3,4,6]

Referensi

1.    Bowker, J. 1997. Śūnyatā. The Concise Oxford Dictionary of World Religions. UK: Encyclopedia.com. [Serial online]. [Cited 2009 April 28]; [2 screens]. Available from: URL: Encyclopedia - Online Dictionary | Encyclopedia.com: Get facts, articles, pictures, video 
 
2.    Garfield, J.L. 1995. The Fundamental Wisdom of the Middle Way: Nāgārjuna's Mulamadhyamakakarika, translation (from Tibetan) and commentary. New York: Oxford University Press.
 
3.    Finkelstein, D.R., Wallace, B.A. ed. 2001. Emptiness and Relativity. Berkeley, CA: University of California Press.
 
4.    McCagney, N. 1997. Nāgārjuna and the Philosophy of Openness. Lanham, MD: Rowman & Littlefield Publishers: 135-218.
 
5.    Knierim, T. 2009. Emptiness is Form [serial online]. [Cited 2009 October 20]; [4 screens]. Available from: URL: Emptiness Is Form 
 
6.    Williams, P. 2009. Mahāyāna Buddhism: The Doctrinal Foundations, 2nd edition. UK: Routledge: 69-82.

Diterjemahkan dari: RELATIONSHIP BETWEEN EMPTINESS (??NYAT? ) AND DEPENDENT ORIGINATION : Buddhism & Governance : Mingkok : Buddhistdoor
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Hubungan Antara Sunyata dan Paticcasamuppada
« Reply #5 on: 25 November 2012, 06:56:52 PM »
mana?

Maaf, Batara Indra, tadi inet lemot trus ada telp ;D
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline M14ka

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 4.821
  • Reputasi: 94
  • Gender: Female
  • Live your best life!! ^^
Re: Hubungan Antara Sunyata dan Paticcasamuppada
« Reply #6 on: 25 November 2012, 06:59:58 PM »
Maaf, Batara Indra, tadi inet lemot trus ada telp ;D

Post pertama singkat lebih bgs yaa hehe.....

Offline Kelana

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.225
  • Reputasi: 142
Re: Hubungan Antara Sunyata dan Paticcasamuppada
« Reply #7 on: 25 November 2012, 10:42:13 PM »
Komentar:
Inti artikel adalah mengenai Ajaran Anatta/Anatman dan Paticcasamuppada. Tetap memang tidak membahas mengapa paradoks itu terjadi. Saya tetap mengindikasikan adanya kesalahan terjemahan dari Sanskerta ke bahasa Tiongkok mengenai “Bentuk (rupa) = kosong; kosong = bentuk” , terletak pada menerjemahkan kata ”na prthak” yang seharusnya diterjemahkan sebagai “tidak terpisahkan” menjadi “sama” / “tidak berbeda”. Mungkin ini yang mengakibatkan paradoks ini terjadi.


Terlepas dari kontkes salah terjemahan Prajnaparamita Hrdaya Sutra, ada satu hal yang membuat saya penasaran setiap ada ulasan mengenai Nagarjuna. Dikatakan ia mengkritik/menyangkal ajaran di abhidhamma (di artikel ini dikatakan konsep substansial dari aliran Abhidharma dari Theravada).

Pertanyaannya:
ajaran Abhidhamma Theravada yang mana yang Nagarjuna sanggah tersebut? Ada yang bisa bantu menjelaskannya?

 _/\_
« Last Edit: 25 November 2012, 10:45:46 PM by Kelana »
GKBU
 
_/\_ suvatthi hotu


- finire -

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Hubungan Antara Sunyata dan Paticcasamuppada
« Reply #8 on: 26 November 2012, 10:41:50 AM »
Komentar:
Inti artikel adalah mengenai Ajaran Anatta/Anatman dan Paticcasamuppada. Tetap memang tidak membahas mengapa paradoks itu terjadi. Saya tetap mengindikasikan adanya kesalahan terjemahan dari Sanskerta ke bahasa Tiongkok mengenai “Bentuk (rupa) = kosong; kosong = bentuk” , terletak pada menerjemahkan kata ”na prthak” yang seharusnya diterjemahkan sebagai “tidak terpisahkan” menjadi “sama” / “tidak berbeda”. Mungkin ini yang mengakibatkan paradoks ini terjadi.


Terlepas dari kontkes salah terjemahan Prajnaparamita Hrdaya Sutra, ada satu hal yang membuat saya penasaran setiap ada ulasan mengenai Nagarjuna. Dikatakan ia mengkritik/menyangkal ajaran di abhidhamma (di artikel ini dikatakan konsep substansial dari aliran Abhidharma dari Theravada).

Pertanyaannya:
ajaran Abhidhamma Theravada yang mana yang Nagarjuna sanggah tersebut? Ada yang bisa bantu menjelaskannya?

 _/\_

Abhidharma berusaha membagi elemen-elemen menjadi unsur yang paling dasar terkecil yang memiliki karakteristik tertentu. Kalau kita lihat Abhidhamma Theravada (saya asumsi ada kesamaan), seperti rupa dibagi menjadi 28 unsur. Nagarjuna menolak pemahaman demikian karena tidak sesuai dengan esensi Ajaran Buddha tentang keterkondisian, perubahan, dan tanpa 'jati', dan ini tidak terbatas hanya pada makhluk saja, namun pada fenomena secara keseluruhan.

P.S.: Abhidharma tidak terdapat dalam Ajaran Buddhisme awal, demikian pula konsep sabhava (elemen yang tak terbagi lagi) ini juga tidak ada dalam Buddhisme awal.

Offline djoe

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 892
  • Reputasi: -13
  • Gender: Male
  • Semoga semua mahluk berbahagia
Re: Hubungan Antara Sunyata dan Paticcasamuppada
« Reply #9 on: 26 November 2012, 10:52:55 AM »
Konsep Kekosongan

Sifat dan unsur dari mangkuk bukan mangkuk itu sendiri ataupun tidak menyatakan persepsi kita atas mangkuk atas sifat mangkuk itu sendiri. Materi bukan mangkuk itu sendir. Bentuk bukan mangkuk itu sendiri. Fungsinya bukan mangkuk itu sendiri. Hanya semua aspek ini bersama-sama yang membentuk mangkuk. Oleh karena itu, kita dapat mengatakan bahwa untuk sebuah objek yang menjadi mangkuk, kita membutuhkan sekumpulan kondisi tertentu agar menjadi ada. Hanya jika semua kondisi ini ada bersamaan maka pikiran menghubungkan label mangkuk pada objek itu. Jika salah satu kondisi lenyap, sebagai contoh, jika bentuk mangkuk berubah karena dihancurkan, mangkuk tersebut kehilangan beberapa atau semua atributnya dan pikiran kita tidak dapat mengenalinya sebagai mangkuk lagi. Dengan demikian, keberadaan mangkuk bergantung pada keadaan luar. Esensi fisiknya tetap sulit dipahami. [3,4,5,6]


Mangkuk hanya dapat dikatakan sebagai mangkuk, jika semua unsur dan kondisi terpenuhi seperti yang bro jelaskan. Termasuk sifat cekungan dan cembung.
Semua hal tersebut hanyalah manifestasi dari keberadaan mangkuk itu sendiri, maka dikatakan cekungan dan cumbungan adalah hal yang sama merupakan manifestasi/proyeksi dari hal yang sama(mangkuk)

Sama halnya dengan bukit dan lembah, mereka merupakan manifestasi dari hal yang sama, tidak ada dualisme yang melekat pada bukit dan lembah. Mereka tidak bisa dikatakan terpisahkan dan juga tidak bisa dikatakan tidak terpisahkan, tetapi bersama sama membentuk bukit dan lembah.

Mengatakan bukit dan lembah tidak terpisahkan ataupun terpisahkan hanyalah pandangam terdelusi. Mereka hanyalah seperti itu karena mereka tidak punya sifat terpisahkan ataupun tidak terpisahkan.

Sama seperti seseorang  yang di dalam suatu ruang memaku satu papan untuk menyekat ruang atas dan bawah. Semua unsur unsur yang membentuk ruang dan atas harus ada baru bisa dikatakan ruang dan atas. Tetapi dapatkah kita mengatakan ruang dan atas terpisah atau tidak terpisahkan. Berdebat adanya terpisah atau tidak terpisahkan hanyalah pandangan yang terdelusi. Apalagi menyatakannya dalam pandangan ekstreme mengatakan terpisah dan berusaha meyakinkan kepada orang bahwa hal tersebut terpisah

Sepertinya hal ini sulit dipahami orang tertentu dan tidak menyadari dari statement yang dibuatnya. Atau hanya argumen ego untuk menunjukkan kepintarannya karena tidak bisa melihat hal yang disampaikan terkesan asal menjawab atau tidak bisa menjawab
 :)) :)) :))
 :'( :'( :'(

Atau terlalu pintar untuk menjawab tulisan orang bodoh.
« Last Edit: 26 November 2012, 11:23:03 AM by djoe »

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Hubungan Antara Sunyata dan Paticcasamuppada
« Reply #10 on: 26 November 2012, 11:03:19 AM »
Mangkuk hanya dapat dikatakan sebagai mangkuk, jika semua unsur dan kondisi terpenuhi seperti yang bro jelaskan. Termasuk sifat cekungan dan cembung.
Semua hal tersebut hanyalah manifestasi dari keberadaan mangkuk itu sendiri, maka dikatakan cekungan dan cumbungan adalah hal yang sama merupakan manifestasi/proyeksi dari hal yang sama.

Sama halnya dengan bukit dan lembah, mereka merupakan manifestasi dari hal yang sama, tidak ada dualisme yang melekat pada bukit dan lembah. Mereka tidak bisa dikatakan terpisahkan dan juga tidak bisa dikatakan tidak terpisahkan, tetapi bersama sama membentuk bukit dan lembah.

Mengatakan bukit dan lembah tidak terpisahkan ataupun terpisahkan hanyalah pandangam terdelusi. Mereka hanyalah seperti itu karena mereka tidak punya sifat terpisahkan ataupun tidak terpisahkan.

Sama seperti seseorang  yang di dalam suatu ruang memaku satu papan untuk menyekat ruang atas dan bawah. Semua unsur unsur yang membentuk ruang dan atas harus ada baru bisa dikatakan ruang dan atas. Tetapi dapatkah kita mengatakan ruang dan atas terpisah atau tidak terpisahkan. Berdebat adanya terpisah atau tidak terpisahkan hanyalah pandangan yang terdelusi. Apalagi menyatakannya dalam pandangan ekstreme mengatakan terpisah.

Sepertinya hal ini sulit dipahami orang tertentu dan tidak menyadari dari statement yang dibuatnya. Atau hanya argumen ego untuk menunjukkan kepintarannya karena tidak bisa melihat hal yang disampaikan.
 :)) :)) :))
 :'( :'( :'(
Wah, ada master djoe. Egonya berkobar meluap tidak bisa tahan diri yah? ;D
Coba dilanjutkan donk di thread sebelah yang master bikin. Mohon jangan lari dan menyebar sampah di mana-mana yah.

Offline djoe

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 892
  • Reputasi: -13
  • Gender: Male
  • Semoga semua mahluk berbahagia
Re: Hubungan Antara Sunyata dan Paticcasamuppada
« Reply #11 on: 26 November 2012, 11:18:50 AM »
Artikel ini walau tidak dapat menjawab paradoks dari ungkapan "bentuk (rupa) adalah kosong dan kosong adalah bentuk" (yang umumnya diterjemahkan secara salah sebagai "isi adalah kosong dan kosong adalah isi"), tetapi setidaknya dapat memberikan pemahaman dasar tentang konsep kekosongan dalam pandangan Mahayana yang dikaitkan dengan hukum sebab akibat yang saling bergantungan (paticcasamuppada).


Diterjemahkan secara salah dalam pengertian ini diterjemahkan sebagai isi adalah kosong dan kosong adalah isi.

Offline cumi polos

  • Sebelumnya: Teko
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 5.130
  • Reputasi: 82
  • Gender: Male
  • mohon transparansinya
Re: Hubungan Antara Sunyata dan Paticcasamuppada
« Reply #12 on: 26 November 2012, 11:19:04 AM »
Quote
Sepertinya hal ini sulit dipahami orang tertentu dan tidak menyadari dari statement yang dibuatnya. Atau hanya argumen ego untuk menunjukkan kepintarannya karena tidak bisa melihat hal yang disampaikan.

bagaimana kalau kita lihat master Djoe n cumi polos
  pintar mana ?

 _/\_ :P
merryXmas n happyNewYYYY 2018

Offline djoe

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 892
  • Reputasi: -13
  • Gender: Male
  • Semoga semua mahluk berbahagia
Re: Hubungan Antara Sunyata dan Paticcasamuppada
« Reply #13 on: 26 November 2012, 11:24:37 AM »

Bro Ari, boleh minta versi bahasa inggrisnya?

Offline Kelana

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.225
  • Reputasi: 142
Re: Hubungan Antara Sunyata dan Paticcasamuppada
« Reply #14 on: 26 November 2012, 11:48:05 AM »
Abhidharma berusaha membagi elemen-elemen menjadi unsur yang paling dasar terkecil yang memiliki karakteristik tertentu. Kalau kita lihat Abhidhamma Theravada (saya asumsi ada kesamaan), seperti rupa dibagi menjadi 28 unsur. Nagarjuna menolak pemahaman demikian karena tidak sesuai dengan esensi Ajaran Buddha tentang keterkondisian, perubahan, dan tanpa 'jati', dan ini tidak terbatas hanya pada makhluk saja, namun pada fenomena secara keseluruhan.

P.S.: Abhidharma tidak terdapat dalam Ajaran Buddhisme awal, demikian pula konsep sabhava (elemen yang tak terbagi lagi) ini juga tidak ada dalam Buddhisme awal.


Ooo. IC, thanks Sdr. Kainyn_Kutho, baru tahu saya mengenai hal ini, maklum bukan pakar Abhidhamma.
Jadi, apakah dapat kita katakan bahwa ini salah satu “error” dari Abdhidhamma karena adanya svabhava/sabhava (yaitu 28 unsur tersebut)?
GKBU
 
_/\_ suvatthi hotu


- finire -

 

anything