Tiba di India
Dari Nagarahara Xuan Zang memasuki negeri kelahiran Buddha melalui Celah Khyber. Di sini tidak hanya jalan yang sempit, tetapi juga para penyamun di mana-mana. Salah satu kisah pertemuan Xuan Zang dengan para penyamun tersebut adalah:
Xuan Zang dan rombongannya melewati sebuah hutan di mana para penyamun mengepung mereka. Para penyamun ini mengambil pakaian dan barang-barang bawaan mereka lalu memaksa mereka masuk ke dalam kolam kering di mana para penyamun akan membunuh mereka. Xuan Zang dan para pengikutnya hanya dapat berkubang tak berdaya dalam lumpur, sementara para penyamun bertengkar memperebutkan barang-barang hasil rampasan. Untungnya, seorang bhikshu muda melihat bahwa terdapat lubang kecil yang tersembunyi sebagian oleh tumbuhan di sisi kolam tersebut. Lubang tersebut cukup untuk satu orang merangkak di dalamnya. Bhikshu muda tersebut menarik lengan Xuan Zang dan keduanya masuk ke dalam lubang tersebut tanpa diketahui para penyamun yang sedang bertengkar. Lubang tersebut ternyata adalah sebuah terowongan dan mereka berdua merangkak di antara lumpur. Setelah melewati kegelapan, mereka menemukan sumber cahaya dan muncul di sebuah pedesaan. Dengan bantuan para penduduk desa, mereka kembali ke dalam hutan tersebut dan melepaskan tawanan lainnya sementara para penduduk desa menghalau para bandit tersebut. Demikianlah berkat ketajaman mata sang bhikshu muda, Xuan Zang bisa menyelamatkan dirinya dan rombongannya.
Pertemuan Xuan Zang dengan bandit lainnya dikisahkan sbb: Saat menelusuri sebuah sungai, mereka disergap para bandit sekali lagi. Kali ini para bandit tidak hanya menginginkan uang, tetapi juga menginginkan seorang manusia yang kuat dan sehat sebagai kurban kepada dewa mereka, dan Xuan Zang dianggap memenuhi persyaratan ini. Dengan semangat mereka mempersiapkan altar sementara. Setelah selesai mereka menempatkan Xuan Zang ke atas altar dan mulai mempersiapkan upacara kurban. Namun demikian, Xuan Zang tidak menunjukkan rasa takut atau marah sedikit pun, melainkan dengan tenang menerima perlakuan tersebut.
Xuan Zang berkata, "Karena kalian mempersembahkan kurban kepada dewa kalian, bersabarlah dulu. Biarkan aku memberikan pelayanan pada dewa kalian dengan damai." Lalu ia duduk dalam posisi bermeditasi dan mulai membaca nama para Bodhisattva, tidak menunjukkan perlawanan sama sekali. Para rekan seperjalanan Xuan Zang mulai berteriak menangis dan cemas, tetapi Xuan Zang tidak terpengaruh sama sekali.
Entah keberuntungan atau hanya kebetulan saja, tiba-tiba angin kencang bertiup dan tiupannya mematahkan cabang sebuah pohon besar di tepi sungai. Halilintar dan petir menyambar dengan cahaya dan suara yang mengerikan. Bahkan beberapa perahu para bandit terbalik, melemparkan para bandit ke sungai. Para bandit ketakutan dalam geladak kapal mereka, kehilangan akal mereka.
Seorang rekan Xuan Zang yang pemberani mengambil kesempatan ini dan berteriak, "Orang yang akan kalian jadikan kurban ini adalah Guru Besar Xuan Zang dari Kerajaan Tang! Jika kalian membunuhnya, kalian telah menyebabkan kemarahan Sang Buddha. Lihatlah! Tidakkah kalian tahu bahwa kalian telah membuat marah para dewa kalian!"
Para bandit yang kebingunan tersebut segera bersujud di hadapan altar, memohon agar Xuan Zang memaafkan mereka. Namun Xuan Zang telah mencapai tahap pemusatan pikiran tertentu di atas altar tersebut. Matanya tertutup dan tiada apa pun, bahkan angin dan hujan, yang dapat mengalihkan konsentrasi meditasinya. Hanya ketika kepala para bandit naik ke atas altar dan menyentuhnya dengan lembut, memanggil namanya, Xuan Zang mulai bangun dari meditasinya dan melihat sekitarnya.
"Apakah sudah waktunya untuk upacara kurban?" tanya Xuan Zang. Demikian tenangnya Xuan Zang dalam menghadapi bahaya kematian menunjukkan bahwa ia adalah benar-benar seorang bhikshu suci dan dapat menyelesaikan perjalanan berbahayanya mencari kitab suci di India.
Daerah pertama yang ia masuki di India adalah Gandhara yang penduduknya telah berkurang dengan kota-kota dan desa-desa yang ditinggalkan penghuninya. Di sini terdapat 1000 vihara yang semuanya tinggal reruntuhan, ditumbuhi dengan semak belukar dan tak berpenghuni. Di ibu kotanya Purushapura (Peshawar) terdapat hanya sebuah vihara dengan 50 bhikshu Mahayana. Namun kuli dewa yang berjumlah sekitar 100 buah penuh sesak oleh para pertapa ajaran lain. Menurut Xuan Zang:
"Berabad-abad yang lampau, terdapat seorang raja Hun yang jahat dari Sakala bernama Mahirakula, yang membunuh penolongnya, raja Kashmir dan mengambil alih tahta. Lalu ia datang ke Gandhara dan membunuh rajanya dalam suatu penyerbuan. Ia membinasakan seluruh keluarga kerajaan dan perdana menteri, menghancurkan stupa-stupa dan vihara yang semuanya berjumlah seribu enam ratus bangunan."
Berjalan ke utara, sang peziarah tiba di Udyana, sebuah pusat agama Buddha pada masa Fa Xian (Fa Hsien, abad ke-5 M). Namun saat Xuan Zang tiba di sana, semua vihara di sana yang berjumlah 1400 bangunan terbengkalai dan ditinggalkan. Dulu terdapat sekitar 18.000 bhikshu di sana, tetapi saat itu hanya ada sangat sedikit. Setelah mengunjungi tempat-tempat suci, Xuan Zang melanjutkan perjalanan ke Takkasila (di dekat Rawalpindi). Di sini kembali ia melihat akibat perusakan oleh raja Mahirakula – banyak vihara dihancurkan dan ditinggalkan. Dari Takkasila ia menuju Kashmir di mana agama Buddha masih bertahan. Di sana masih terdapat 100 vihara dan 5000 bhikshu. Tampaknya setelah kematian Mahirakula, keturunannya yang kemudian berkuasa di Kashmir menembus kesalahan nenek moyang mereka dengan membangun kembali banyak stupa dan vihara untuk pengikut agama Buddha. Di ibukotanya Srinagar, Xuan Zang menghabiskan 2 tahun untuk mempelajari filosofi agama Buddha dan menyalin kitab-kitab suci di bawah seorang guru Mahayana.
Dari Kashmir Xuan Zang berjalan ke selatan melewati Jammu dan tiba di Sakala (Sialkot di dekat Lahore), di mana raja Bactria Milinda dan Mahirakula bertahta. Saat meninggalkan Sakala ia kembali dirampok oleh para penjahat dan menghabiskan malam di desa tetangga. Kemudian ia tiba di sebuah kota besar (kemungkinan Lahore) di mana ia singgah selama satu bulan. Lalu ia tinggal setahun di Chinapati. Pada tahun 634 ia melanjutkan perjalanan ke Jalandhar dan sampai di sungai Sutlej, melewati Satadru dan Paryartra sebelum tiba di Mathura. Sepanjang perjalanan ini Xuan Zang menyaksikan kemunduran agama Buddha dan kebangkitan neo-Brahmanisme dari zaman Gupta.
Mathura, sebuah pusat agama Buddha pada masa Raja Asoka dan pusat aliran Sarvastivada di bawah bhikshu Upagupta, sekarang tinggal bayangan masa lalu, dengan hanya 20 vihara dan 2000 bhikshu tersisa. Setelah mengunjungi tempat-tempat suci di Mathura, Xuan Zang menyeberangi sungai Yamuna menuju ke Kurukshetra (Thaneswar), tempat suci agama Hindu dan tempat terjadinya perang Mahabharata antara Pandava dan Kurava yang bersaudara. Di sana terdapat hanya 3 vihara dengan sekitar 700 bhikshu, namun 100 ribu kuil dewa dengan banyak sekali para pertapa ajaran lain.
Berjalan ke arah timur, Xuan Zang sampai di sungai Gangga dan menelusuri sungai tersebut ke bawah ia melewati beberapa kota di mana ia mencatat arus kebangkitan Brahmanisme. Ia mengunjungi Sankasia, kota di mana Sang Buddha pernah turun dari surga Tavatimsa setelah mengajar Abhidharma, dan mengunjungi stupa yang dibangun untuk mengenang kejadian ini. Kemudian ia sampai di Kanauj (yang juga dikenal sebagai Kanyakubja, yaitu "kota wanita bungkuk") di mana Raja Harsha Vardhana menjadikannya sebagai ibukota kerajaan. Xuan Zang tidak berkesempatan berjumpa dengan sang raja karena raja sedang tidak berada di tempat, namun kelak keduanya akan bersahabat dekat. Di sini terdapat 100 vihara dan 10.000 bhikshu Mahayana dan Theravada. Di sini juga Xuan Zang mempelajari kitab-kitab Theravada.
Pemberhentian Xuan Zang berikutnya adalah Ayodha atau Saketa, pusat aliran Yogacara di mana Vasubhandu menulis karya Buddhis-nya. Di sini Xuan Zang mempelajari ajaran Yogacara yang kemudian menjadi dasar ia mendirikan aliran Fa Xiang di Cina. Aliran Yogacara merupakan aliran Buddhis mengajarkan bahwa semua fenomena yang terjadi di sekitar kita adalah hasil pikiran kita, oleh sebab itu hanya pikiranlah yang ada, sedangkan yang lainnya hanyalah ilusi.
Di pertemuan sungai Yamuna dan Gangga, Xuan Zang tiba di Prayag (Allahabad) di mana terdapat dua vihara dengan sedikit pengikut, namun banyak sekali kuil dewa dengan banyak pengikut. Di sini Xuan Zang menyaksikan ratusan pengikut Hindu yang taat menenggelamkan dirinya ke dalam sungai Gangga setelah melakukan puasa selama tujuh hari, dengan keyakinan bahwa air sungai Gangga dapat membersihkan perbuatan buruk mereka dan membawa mereka ke surga. Kemudian ia tiba di Kosambi dan mengunjungi Ghositarama, vihara yang dibangun saudagar Ghosita untuk Sang Buddha yang tinggal reruntuhan.
Mengunjungi Tempat-Tempat Suci Agama Buddha di India
Berjalan ke arah utara, sang peziarah tiba di Sravasti (Savatthi) dan mengunjungi daerah Maheth di mana ia melihat stupa Sudatta yang menandai tempat tinggal Anathapindika dan di sampingnya terdapat stupa Angulimala. Di Saheth, ia menemukan vihara Jetavana, tempat Sang Buddha biasanya berdiam di Sravasti, kini tinggal reruntuhan dan ditinggalkan. Dari Sravasti ia menuju Kapilavastu, ibukota kerajaan Sakya kuno; Lumbini, tempat kelahiran Siddhartha Gautama; Ramagama yang telah ditinggalkan selama bertahun-tahun; dan Kusinara, tempat mangkatnya Sang Buddha.
Berjalan ke selatan sekitar 500 li, melalui hutan rimba yang luas, ia tiba di Varanasi (Baranasi atau Benares), kota suci umat Hindu. Di sana terdapat 30 vihara dengan 3000 bhikshu, tetapi lebih dari 100 kuil dewa dengan 10.000 pertapa ajaran lain, kebanyakan adalah pemuja Siva. Di taman rusa di Sarnath, Xuan Zang mengunjungi sebuah vihara dengan 1500 bhikshu aliran Sammitiya dan menghormati stupa di sana. Menelusuri aliran sungai Gangga ke timur menuju Ghazipur, kemudian ke arah timur laut, ia tiba di kota Vesali di mana terdapat beberapa ratus vihara yang kebanyakan sudah rusak dengan sangat sedikit bhikshu. Kota tersebut dalam kehancuran dan praktis ditinggalkan. Xuan Zang juga melihat pilar Asoka dengan singa besar di atas dan di sampingnya, stupa yang didirikan Raja Asoka. Di dekat pilar tersebut terdapat sebuah kolam yang digali oleh sekelompok monyet untuk digunakan oleh Sang Buddha dan jauh ke selatan terdapat stupa yang menandai tempat di mana para monyet, setelah mengambil mangkuk Sang Buddha, memanjat sebuah pohon dan mengumpulkan madu untuk Beliau. Berjalan ke arah barat laut, ia melewati negeri Vajji dan menuju Nepal. Kemudian kembali ke Vesali dan menyeberangi sungai Gangga, ia tiba di kerajaan Magadha.
Pataliputta (Patna), ibukota kerajaan Magadha selama masa Raja Asoka sedang dalam kemunduran. Di sana terdapat 50 vihara dengan sekitar 10.000 bhikshu, kebanyakan beraliran Mahayana. Di kota tua tersebut Xuan Zang melihat ratusan vihara, stupa dan kuil dewa tinggal reruntuhan. Xuan Zang juga mengunjungi vihara Kukkutarama yang dibangun oleh Raja Asoka, namun bangunannya telah runtuh dan hanya tinggal fondasi dinding yang tersisa. Berjalan ke selatan, ia melewati vihara Tiladaka di mana para sarjana dan cendikiawan datang untuk belajar agama Buddha. Di dalam salah satu bangunannya ia melihat patung Tara dan Avalokitesvara didirikan di samping patung Sang Buddha, yang menandakan pengaruh Tantra dalam agama Buddha.
Kemudian ia sampai di sungai Neranjana dan menyeberanginya, sampai di Gaya. Di sini ia mengunjungi Pragbodhi di mana Bodhisattva Gautama menjalankan pertapaan keras selama 6 tahun, desa Sujata, hutan Uruvela, dan Bodhgaya, tempat Bodhisattva mencapai Pencerahan. Lalu ia berjalan ke Rajagaha di mana ia mengunjungi tempat-tempat suci seperti Puncak Burung Nazar, Hutan Bambu, sumber mata air panas, rumah batu Pippala, dan gua Sattapanni, tempat diadakannya Konsili Buddhis Pertama.
Setelah mengunjungi berbagai tempat-tempat yang berhubungan dengan kehidupan Sang Buddha, Xuan Zang pun tiba di Nalanda, tujuan utama perjalanannya ke India.