Aku terhenyak. Begitu
terkejutnya diriku
mendengar wejangan
petapa muda ini.
Sungguh luar biasa
petapa ini. Ia bukan
seperti yang aku
bayangkan, yakni
seorang guru agama
yang cuma berbicara
tentang kehidupan
setelah kematian dan
segala cerita alam-alam
ghoib yg tidak bisa
dibuktikan secara
empiris. Atau tentang
kunjungan mahluk-
mahluk halus semacam
malaikat atau dewa
yang memberi sabda ini
dan itu. Justru petapa ini
begitu rasional. Ia
mengajak setiap orang
mulai independen
menyikapi hal yang
paling asasi dalam hidup
ini, yaitu keyakinan.
Inilah yang seharusnya
menjadi jantung dari
segala ajaran agama,
yaitu tidak mudah
meyakini sesuatu.
Kesalahan agama-agama
adalah melulu
menekankan umatnya
untuk mengimani akan
adanya tuhan, nabi,
kitab dan ajaran yang
sempurna, tanpa
mendorong mereka
untuk meragukan,
membandingkan dan
menilainya sendiri.
Belum apa-apa umat
manusia sudah dicekoki
dengan konsep kitab
yang sempurna, agama
yang terakhir dan
sempurna, nabi terakhir
dan sempurna, juru
selamat penebus dosa
dsb. Bagaimana
mungkin manusia bisa
cerdas apabila kacamata
yang dipakai untuk
menatap dunia adalah
kaca mata iman dan
klaim-klaim kebenaran
sepihak?
Ingat bahwa saya sedang
berada di India utara
2500 tahun yang lalu.
Namun sedini ini,
petapa Gautama telah
menancapkan suatu
sikap mulia yang jauh
melebihi ajaran nabi-
nabi agama samawi yang
melulu menekankan
iman, iman kepada
sesuatu yang seringkali
sukar diterima akal
sehat orang dewasa.
Inilah spiritualitas yang
sebenar-benarnya,
keluar dari sikap
mempercayai buta suatu
ajaran, kitab dan tokoh
agama, dan mulai berani
melangkah sendiri
melihat dunia apa
adanya. Anda tidak
perlu pintar dalam
filsafat dan theologi
untuk menyadari bahwa
ada sesuatu yang salah
dalam agama-agama.
Spiritualitas sejati
membebaskan kita dari
perbudakan kebodohan,
dan mulai mempercayai
diri kita dalam tanggung
jawab dan integritas.
Ubi dibium ibi libertas -
dalam keraguan ada
kebebasan.
Bukan tujuan saya untuk
mempromosikan suatu
agama tertentu, justru
dengan mengambil kisah
ini umat Buddha di
Indonesia harus sadar
bahwa tokoh agama
kalian justru seorang
free thinker sejati yang
menekankan
indipendensi manusia,
bukan hanya
mempelajari ajaran
karena tradisi, kitab dan
menurut kata-kata biksu
saja. Bukankah kalian
memiliki jargon ehi
pasikho– datang dan
selami sendiri?
Jikalau petapa Gautama
mengundang pemuda
Kalama untuk menelaah
ajaran-ajaran agama
dengan akal budi dan
integritas, maka
buddhisme sendiri tak
terkecuali harus dibedah
dan dianalisa jangan
dipercayai begitu saja!
Hal yang ironis adalah
justru umat Buddha
yang selalu mengagung-
agungkan Khotbah
Buddha untuk suku
Kalama, enggan
mengkritisi ajarannya
sendiri, karena takut
dengan budaya, tradisi
atau dikucilkan oleh
komunitasnya.
Ratusan tahun setelah
Buddha wafat, justru
para yogi non-
buddhislah yang tampil
membela dharma sejati
dengan menghasilkan
kompilasi ajaran-ajaran
agung dalam kitab yang
sangat termashur yaitu
Bagavad Gita. Dalam
kitab inilah para yogi
mengkristalkan dharma,
bahwa ada banyak jalan
dharma, dan semua
dharma itu berasal dari
yang satu dan mengarah
pada yang satu. Pada
saat itu justru ajaran
buddhis sudah
dikooptasi oleh
sekelompok elitis biksu
yang merasa berhak
menilai mana sutra yang
berasal langsung dari
bibir Buddha dan mana
yang tidak. Padahal
semua sutra di tulis
paling dini 200 ratus
tahun setelah Buddha
wafat dan
memungkinkan untuk
terjadinya bias budaya,
politik, tafsir,
interpolasi, dan
kepentingan dogma!
Menangislah kalian
umat Buddha, karena
kalian sudah
mendegradasi ajaran
guru kalian sendiri dan
membakukannya dalam
dogmatika kaku.
============
Pada saat itu tampillah
pula seorang pemuda
dari kasta brahmana. Ia
sangat cakap dalam
pengetahuan weda,
sastra dan kitab-kitab
suci lainnya.
“Petapa Gautama,
engkau bukan berasal
dari kasta brahmana,
melainkan kasta ksatria.
Begitu pula umurmu
masih muda. Pada kami
ada kitab-kitab suci
yang umurnya jauh lebih
tua darimu. Kami
mengamati ajaranmu,
dan kami dapati bahwa
ajaranmu tidak
ditemukan dalam kitab-
kitab kami. Padahal
kami telah meneelah
bahwa kitab yang kami
miliki adalah benar dan
sempurna. Hanya inilah
yang benar dan yang
lain salah. Bagaimana
kamu memandangnya?”
“Oh brahmana yang
muda, berapakah
umurmu?”
“Umurku kurang dari 20
tahun, oh Bagawan.”
“Kalau begitu apakah
engkau, dengan matamu
sendiri, melihat dan
mengawasi bagaimana
kitab-kitab itu
disampaikan dari satu
generasi ke generasi
berikutnya, disalin dari
satu naskah ke naskah
yang lain tanpa
mengalami pengurangan
dan pelebihan, dan
pemaknaan setiap kata
dan kalimatnya tidak
pernah bergeser dari
generasi ke generasi?”
“Tentu tidak , oh
Bagawan.”
“Apakah orang tuamu,
atau kakekmu, atau
kakek buyutmu, melihat
dan mengawasinya
seperti yang aku
tanyakan sebelumnya?”
“Tidak pula oh Petapa
Gautama. Sesungguhnya
kitab-kitab ini jauh lebih
tua dari pada kakek
buyut generasi ketujuh
kami.”
“Kalau demikian,
bagaimana kamu bisa
sampai pada kesimpulan
bahwa inilah kitab yang
benar sedang kitab yang
lain salah? Bagaimana
kamu bisa sampai pada
kesimpulan bahwa
ajaran inilah yang benar
sedang ajaran lain salah?
Bagaikan sederet orang-
orang buta yang
berpegangan tangan.
Yang depan
mengatakan,‘aku telah
melihat seekor gajah
yang demikian dan
demikian,’ dan
pernyataan itu
disampaikan begitu saja
kepada orang-orang
buta dibelakangnya,
demikianlah
pemahamanmu.
Jika engkau sudah
mengatakan hanya
inilah yang benar dan
yang lain salah, maka
engkau telah melekat
kepada sesuatu. Dan
manakala engkau telah
melekat pada sesuatu,
engkau tidak bisa
beranjak kepada
kesadaran yang lebih
tinggi.
Oh brahmana,
sesungguhnya setiap
manusia memiliki benih-
benih keluhuran budi,
tanpa memandang kasta
dan latar belakang
agamanya. Benih-benih
keluhuran budhi ini
hanya akan mekar
apabila avidya, ketidak
tahuan akan kesejatian
sifat segala sesuatu,
kebencian, serta
kemelekatan kepada
nafsu dan konsep sedikit
demi sedikit
dilenyapkan.
Kepada murid-muridku
aku tak pernah lelah
menekankan bahwa ada
tiga pilar dalam
menempuh kehidupan
suci, yaitu:
- Sila, usaha untuk
menegakan moral dan
etika.
- Samadhi, usaha untuk
selalu mencari
keheningan bathin,
lepas dari menilai dan
menghakimi,
menggenggam dan
melepaskan, menyukai
dan membenci.
- Panna, usaha untuk
selalu menambahkan
kebijaksanaan dan
pengetahuan.
Ketiga pilar ini harus
seimbang dan simultan.
* Mereka yang hanya
menekankan sila akan
terjebak pada
kemelekatan akan
syariat kaku dan
menjadi budak dari
batasan-batasan yang
kita pakai sendiri.
* Mereka yang hanya
menekankan Samadhi
akan kehilangan pijakan
di dunia nyata. Mereka
akan mengawang-awang
dalam intuisi dan salah
kaprah dengan
menjadikan intuisi, yang
adalah pengalaman
subyektif, sebagai alat
pengetahuan yang
obyektif dan mutlak.
* Mereka yang hanya
menekankan pada
panna, atau kebijaksaan
akan cenderung merasa
benar sendiri, mudah
menyalahkan orang lain
yang tidak secerdas dan
sebijaksana mereka.
Kitab-kitab suci oh
Brahmana muda,
hanyalah kumpulan
pengalaman dan prinsip-
prinsip baik dari para
penempuh kesucian di
masa lalu. Mereka
menuliskannya sebagai
respons akan
permasalahan mereka
dalam ruang, waktu dan
cara berpikir orang
sejamannya.
Jikalau engkau dewasa
melihat dunia ini, maka
engkau akan dapati
bahwa semua yang
terbentuk dari unsur-
unsur yang
menggagasnya, suatu
saat akan pula lenyap
berdasarkan sifat-sifat
dari unsur yang
menggagasnya, begitu
pula ajaran dan konsep
dalam kitab suci, oh
Brahmana muda.
Kebenaran yang
sempurna tidak akan
kau temui dalam kitab-
kitab. Justru dalam
tubuh yang tidak lebih
dari dua meter ini,
tersimpanlah rahasia-
rahasia abadi. Dalam
tubuh yang tidak lebih
dari dua meter ini,
tersimpanlah benih-
benih untuk
direalisasikan, apakah
itu surga atau neraka,
samsara atau nibanna.
Demikianlah oh
Brahmana muda, telah
aku jawab, aku jelaskan
dan aku perinci mutiara-
mutiara kebijaksaan
kepadamu, sekarang
terserah dirimu,
akankah engkau
menerimanya atau tetap
bersikukuh dalam
pemahamanmu.”