//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Dimana AdaKeraguan Disitu AdaKebebasan (UbiDibium Ibi Libertas)OlehAajinSangmusafir  (Read 1384 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Wijayananda

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 532
  • Reputasi: 69
  • Gender: Male
  • Semua akan berlalu...
Suara langkah-langkah
kaki membangunkanku
dari tidur. Padahal baru
saja aku mencoba
rebahan di bawah pohon
yang rindang. Telah
berhari-hari aku
berjalan di negeri asing
yang panas dan kering
ini. Dengan enggan aku
bangun dan
memperhatikan apa
gerangan yang terjadi.
“Dia telah datang. Dia
telah datang. Mari
saudara-sudara yang
baik kita pastikan
teman-teman yang lain
juga mengetahuinya,”
kata seorang laki-laki.
“Ya, ini kesempatan
yang jarang terjadi,
kawan. Dan jangan lupa
kita kumpulkan semua
pertanyaan yang
menggelayuti pikiran
kita untuk ditanyakan
pada Sang Baghawan,”
timpal yang lainnya.
Aku jadi tertarik untuk
mengetahui apa yang
mereka sedang
bicarakan. Perlahan aku
ikuti rombongan itu. Tak
berapa lama aku lihat
ternyata telah banyak
orang berkumpul di satu
lapang di depan sebuah
bangunan aula desa.
Dari berbagai penjuru
desa mereka berkumpul.
Apa yang orang-orang
ini akan lihat dan
dengar?
 Tak lama kemudian
tampillah beberapa laki-
laki berkepala plontos
dan berjubah warna
kuning padi siap tuai.
Mereka dikepalai oleh
seorang lelaki berumur
sekitar 40an tahun. Ia
tampak anggun,
berwibawa, tenang dan
teduh bagaikan seorang
raja diraja. Ia
dipersilahkan duduk
terlebih dahulu, baru
para muridnya dan
semua penduduk desa
melakukan hal yang
sama. Lelaki muda
kepala para petapa itu
adalah Petapa Gautama,
seorang mantan
pangeran yang
memutuskan untuk
membaktikan dirinya
mencapai pencerahan
sempurna. Dan para
rombongan pemuda
yang tadi aku ikuti ini
adalah pemuda dari
suku-suku Kalama.
Dalam pengembaraan
jiwaku ini, aku
memutuskan untuk
mengarungi lautan,
melintasi waktu, menuju
India, tanah dimana
spiritualitas disemai.
Sekalipun secara
genetika, nenek moyang
umat manusia berasal
dari Afrika Timur,
namun tidak perlu
diperdebatkan lagi
bahwa India-lah yang
menjadi rahim manusia2
yang berkesadaran
tinggi. India adalah ibu
yang melahirkan banyak
man of spirit, para
mistik. India adalah
dapur raksasa dimana
para koki meracik
masakan dan
menyajikan hidangan
dengan ‘rasa’ super.
Rasa Dharma.
Dhammasuka.
Ada kesalahan umum
dalam benak kita bahwa
hindu adalah sebuah
agama orang India. Ini
tidak benar. Yang benar
adalah hindu bukan
agama. Hindu adalah
budaya, falsafah dan
spiritualitas hidup
bangsa India. Hinduisme
adalah isme-nya, atau
falsafahnya, orang india.
Dalam falsafah hidup,
budaya dan spiritualitas
ini  berkembanglah
dharma, yaitu ajaran2
dan metoda2
pencapaian spiritual
yang beragam. Dalam
hinduisme ada banyak
dharma, diantaranya
Shiva Dharma,
Vhaisnavaya Dharma,
Sanatahana Dharma,
Brahmana Dharma,
Buddha Darma, Sikh
Darma, Jain Darma, Hare
Krishna Dharma, Tantra
Dharma dan banyak lagi
lainnya.
Selama 3 ribuan tahun
dharma2 ini hidup
berdampingan dengan
harmonis. Tentu saja
ada berbagai perbedaan
dogma di antara
dharma-dharma
tersebut. Namun secara
budaya dan kebathinan
manusia-manusia India
diikat erat oleh
kesadaran akan ahimsa
(non-kekerasan), non-
ego dan harmoni. Dalam
peradaban manusia,
peperangan antar
kerajaan nampaknya
menjadi suatu yang
nisbi. Namun selama
ribuan tahun tidak
pernah satu kalipun ada
peperangan yang dipicu
oleh perbedaan
dharma / agama. Karena
inti dari agama-agama
India adalah olah
bathin, olah rasa.
India telah menjadi
miniatur kesadaran
manusia sejagat dimana
penganut animisme,
dinamisme, politheisme,
monotheisme, dan
pantheisme,
panentheisme atheisme
hidup berdampingan
tanpa harus saling
membinasakan.
Dalam keragaman
budaya, ketimpangan
sosial, kemiskinan yang
telanjang, mereka masih
bisa mengedapankan
prinsip2 hidup
berdampingan atas
nama Dharma……
sampai para penyerbu
dari Turki, mongol dan
Turki-Mongol yang
merangsek tanah ibu
India dan menancapkan
kekerasan dan
memaksakan agama
yang hanya menekankan
dogma dan syariat yang
sama sekali asing di
mata mereka dan
memandang rendah
agama lain yang tidak
sepaham dengannya.
Tak terhitung vihara,
pura dan cand-candi
yang indah dihancurkan
karena dianggap
pemujaan berhala.
Perpustakaan2 di bakar.
dan pembantaian
berdarah-darah terjadi.
Sejak saat itulah tanah
India terpisah menjadi
kerajaan-kerajaan
berdasarkan agama,
dengan garis marka yang
jelas, penuh kecurigaan
dan dendam.

Offline Wijayananda

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 532
  • Reputasi: 69
  • Gender: Male
  • Semua akan berlalu...
Setelah perkenalan dari
pihak para tetua adat
suku Kalama dan pihak
Petapa Gautama, maka
sesi tanya jawabpun
dimulailah.
“Petapa Gautama, telah
banyak para petapa dan
brahmana terpandang
datang ke desa kami.
Masing-masing dari
mereka mengaku bahwa
mereka memiliki
dharma yang paling
benar dan unggul. Dan
sambil mengajar mereka
juga saling mencela dan
memandang rendah
petapa-petapa lainnya.
Hanya metoda ini yang
benar sedang yang lain
salah. Hanya ajaran
inilah yang sempurna
sedang yang lain cacat
dan sesat. Dan sekarang
engkau dan murid-
muridmu datang ke desa
kami, tentu saja engkau
akan mengajarkan
dharma juga. Kami jadi
ragu dan bingung
menilai mana yang
benar dan mana yang
salah. Bagaimanakah
menurut pendapatmu,
Petapa Gautama?
Dan demikianlah
jawaban Petapa
Gautama:
“Oh para tetua dan
pemuda Kalama. Adalah
tepat bagimu untuk
meragukan apa yang
layak untuk diragukan.
Adalah tindakan yang
benar untuk menilai dan
mempertimbangkan
sesuatu sebelum kamu
mempercayainya.
Inilah prinsip yang
kalian harus pegang:
- Jangan percaya bahwa
sesuatu itu benar karena
hal itu didesas-desuskan
oleh banyak orang.
- Jangan percaya bahwa
sesuatu itu benar karena
hal itu diturunkan oleh
tradisi.
- Jangan percaya bahwa
sesuatu itu benar karena
hal itu tertulis dalam
kitab-kitab suci.
- Jangan percaya bahwa
sesuatu itu benar karena
berdasarkan logika dan
kesimpulan belaka.
- Jangan percaya bahwa
sesuatu itu benar karena
hal itu berdasarkan
perenungan orang lain.
- Jangan percaya bahwa
sesuatu itu benar karena
hal itu dirasa cocok
dengan pandanganmu.
- Jangan percaya bahwa
sesuatu itu benar hanya
untuk menyenangkan
gurumu atau tokoh yang
kau hormati
Tetapi renungkanlah hal
itu dengan seksama
dengan akal budi dan
hati yang jernih.
* Apakah hal demikian
membawa kebaikan
untuk sesama dan
dirimu?
* Apakah hal demikian
berguna bagi sesama
dan dirimu?
* Apakah hal demkian
membawa cela bagi
sesama dan dirimu?
* Apakah hal demikian
membawa kerugian dan
penderitaan bagi sesama
dan dirimu?
* Apakah hal demikian
dibenarkan oleh para
suciwan dan bijaksana?
Jika semua faktor itu
kalian telah
pertimbangkan, dengan
hati dan pikiran yang
terarah kepada sikap
mulia, maka peganglah
kebenaran itu erat-erat.
Apakah, oh Suku
Kalama, tanda-tanda
dari hati dan pikiran
yang terarah pada sikap
mulia itu?
- Jika pada dirinya tidak
didapati keserakahan.
- Jika pada dirinya tidak
didapati kebencian
- Jika pada dirinya tidak
didapati kebodohan
batin
Dalam orang yang
pikiran dan hatinya
dipenuhi 3 sikap mulia
itu, maka semua
pertimbangan yang aku
sebutkan tadi akan
mampu menilai mana
ajaran yang benar dan
mulia, dan mana yang
tidak.
Seandainya, oh Suku
Kalama, memang benar
ada alam-alam
kehidupan setelah
kematian, maka mereka
yang telah terbebaskan
dari keserakahan,
kebencian dan
kebodohan batin akan
menikmati kelahiran2 di
alam-alam yang baik.
Seandainya pun, oh
Suku Kalama, tidak
benar ada alam-alam
kehidupan setelah
kematian, maka mereka
yang telah terbebaskan
dari keserakahan,
kebencian dan
kebodohan batin, di
dunia ini pun mereka
telah terbebas dari
perasaan bermusuhan.
Mereka yang telah bebas
dari keserakahan,
kebencian dan
kebodohan batin, oh
Suku Kalama, akankah
mereka hidup dalam
kejahatan? Tentu tidak
bukan? Dengan
demikian mereka telah
membebaskan diri dari
kemungkinan bencana
yang disebabkan oleh
perbuatan-perbuatan
jahat.
Karena tidak adanya
kemungkinan bencana
yang disebabkan oleh
perbuatan-perbuatan
jahat, oh Suku Kalama,
maka mereka yang telah
bebas dari keserakahan,
kebencian, dan
kebodohan batin akan
hidup dalam sukacita,
kebahagian dan tanpa
ketakutan dalam
kehidupan ini.
Demikianlah ada empat
keuntungan yang dapat
dituai dalam kelahiran
ini dan kelahiran yang
akan datang bagi
mereka yang berusaha
membebaskan diri dari
kebencian, keserakahan
dan kebodohan batin.

Offline Wijayananda

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 532
  • Reputasi: 69
  • Gender: Male
  • Semua akan berlalu...
Aku terhenyak. Begitu
terkejutnya diriku
mendengar wejangan
petapa muda ini.
Sungguh luar biasa
petapa ini. Ia bukan
seperti yang aku
bayangkan, yakni
seorang guru agama
yang cuma berbicara
tentang kehidupan
setelah kematian dan
segala cerita alam-alam
ghoib yg tidak bisa
dibuktikan secara
empiris. Atau tentang
kunjungan mahluk-
mahluk halus semacam
malaikat atau dewa
yang memberi sabda ini
dan itu. Justru petapa ini
begitu rasional. Ia
mengajak setiap orang
mulai independen
menyikapi hal yang
paling asasi dalam hidup
ini, yaitu keyakinan.
Inilah yang seharusnya
menjadi jantung dari
segala ajaran agama,
yaitu tidak mudah
meyakini sesuatu.
Kesalahan agama-agama
adalah melulu
menekankan umatnya
untuk mengimani akan
adanya tuhan, nabi,
kitab dan ajaran yang
sempurna, tanpa
mendorong mereka
untuk meragukan,
membandingkan dan
menilainya sendiri.
Belum apa-apa umat
manusia sudah dicekoki
dengan konsep kitab
yang sempurna, agama
yang terakhir dan
sempurna, nabi terakhir
dan sempurna, juru
selamat penebus dosa
dsb. Bagaimana
mungkin manusia bisa
cerdas apabila kacamata
yang dipakai untuk
menatap dunia adalah
kaca mata iman dan
klaim-klaim kebenaran
sepihak?
Ingat bahwa saya sedang
berada di India utara
2500 tahun yang lalu.
Namun sedini ini,
petapa Gautama telah
menancapkan suatu
sikap mulia yang jauh
melebihi ajaran nabi-
nabi agama samawi yang
melulu menekankan
iman, iman kepada
sesuatu yang seringkali
sukar diterima akal
sehat orang dewasa.
Inilah spiritualitas yang
sebenar-benarnya,
keluar dari sikap
mempercayai buta suatu
ajaran, kitab dan tokoh
agama, dan mulai berani
melangkah sendiri
melihat dunia apa
adanya. Anda tidak
perlu pintar dalam
filsafat dan theologi
untuk menyadari bahwa
ada sesuatu yang salah
dalam agama-agama.
 Spiritualitas sejati
membebaskan kita dari
perbudakan kebodohan,
dan mulai mempercayai
diri kita dalam tanggung
jawab dan integritas.
Ubi dibium ibi libertas -
dalam keraguan ada
kebebasan.
Bukan tujuan saya untuk
mempromosikan suatu
agama tertentu, justru
dengan mengambil kisah
ini umat Buddha di
Indonesia harus sadar
bahwa tokoh agama
kalian justru seorang
free thinker sejati yang
menekankan
indipendensi manusia,
bukan hanya
mempelajari ajaran
karena tradisi, kitab dan
menurut kata-kata biksu
saja. Bukankah kalian
memiliki jargon ehi
pasikho– datang dan
selami sendiri?
Jikalau petapa Gautama
mengundang pemuda
Kalama untuk menelaah
ajaran-ajaran agama
dengan akal budi dan
integritas, maka
buddhisme sendiri tak
terkecuali harus dibedah
dan dianalisa jangan
dipercayai begitu saja!
Hal yang ironis adalah
justru umat Buddha
yang selalu mengagung-
agungkan Khotbah
Buddha untuk suku
Kalama, enggan
mengkritisi ajarannya
sendiri, karena takut
dengan budaya, tradisi
atau dikucilkan oleh
komunitasnya.
Ratusan tahun setelah
Buddha wafat, justru
para yogi non-
buddhislah yang tampil
membela dharma sejati
dengan menghasilkan
kompilasi ajaran-ajaran
agung dalam kitab yang
sangat termashur yaitu
Bagavad Gita. Dalam
kitab inilah para yogi
mengkristalkan dharma,
bahwa ada banyak jalan
dharma, dan semua
dharma itu berasal dari
yang satu dan mengarah
pada yang satu. Pada
saat itu justru ajaran
buddhis sudah
dikooptasi oleh
sekelompok elitis biksu
yang merasa berhak
menilai mana sutra yang
berasal langsung dari
bibir Buddha dan mana
yang tidak. Padahal
semua sutra di tulis
paling dini 200 ratus
tahun setelah Buddha
wafat dan
memungkinkan untuk
terjadinya bias budaya,
politik, tafsir,
interpolasi, dan
 kepentingan dogma!
Menangislah kalian
umat Buddha, karena
kalian sudah
mendegradasi ajaran
guru kalian sendiri dan
membakukannya dalam
dogmatika kaku.
          ============
Pada saat itu tampillah
pula seorang pemuda
dari kasta brahmana. Ia
sangat cakap dalam
pengetahuan weda,
sastra dan kitab-kitab
suci lainnya.
“Petapa Gautama,
engkau bukan berasal
dari kasta brahmana,
melainkan kasta ksatria.
Begitu pula umurmu
masih muda. Pada kami
ada kitab-kitab suci
yang umurnya jauh lebih
tua darimu. Kami
mengamati ajaranmu,
dan kami dapati bahwa
ajaranmu tidak
ditemukan dalam kitab-
kitab kami. Padahal
kami telah meneelah
bahwa kitab yang kami
miliki adalah benar dan
sempurna. Hanya inilah
yang benar dan yang
lain salah. Bagaimana
kamu memandangnya?”
“Oh brahmana yang
muda, berapakah
umurmu?”
“Umurku kurang dari 20
tahun, oh Bagawan.”
“Kalau begitu apakah
engkau, dengan matamu
sendiri, melihat dan
mengawasi bagaimana
kitab-kitab itu
disampaikan dari satu
generasi ke generasi
berikutnya, disalin dari
satu naskah ke naskah
yang lain tanpa
mengalami pengurangan
dan pelebihan, dan
pemaknaan setiap kata
dan kalimatnya tidak
pernah bergeser dari
generasi ke generasi?”
“Tentu tidak , oh
Bagawan.”
“Apakah orang tuamu,
atau kakekmu, atau
kakek buyutmu, melihat
dan mengawasinya
seperti yang aku
tanyakan sebelumnya?”
“Tidak pula oh Petapa
Gautama. Sesungguhnya
kitab-kitab ini jauh lebih
tua dari pada kakek
buyut generasi ketujuh
kami.”
“Kalau demikian,
bagaimana kamu bisa
sampai pada kesimpulan
bahwa inilah kitab yang
benar sedang kitab yang
lain salah? Bagaimana
kamu bisa sampai pada
kesimpulan bahwa
ajaran inilah yang benar
sedang ajaran lain salah?
Bagaikan sederet orang-
orang buta yang
berpegangan tangan.
 Yang depan
mengatakan,‘aku telah
melihat seekor gajah
yang demikian dan
demikian,’ dan
pernyataan itu
disampaikan begitu saja
kepada orang-orang
buta dibelakangnya,
demikianlah
pemahamanmu.
Jika engkau sudah
mengatakan hanya
inilah yang benar dan
yang lain salah, maka
engkau telah melekat
kepada sesuatu. Dan
manakala engkau telah
melekat pada sesuatu,
engkau tidak bisa
beranjak kepada
kesadaran yang lebih
tinggi.
Oh brahmana,
sesungguhnya setiap
manusia memiliki benih-
benih keluhuran budi,
tanpa memandang kasta
dan latar belakang
agamanya. Benih-benih
keluhuran budhi ini
hanya akan mekar
apabila avidya, ketidak
tahuan akan kesejatian
sifat segala sesuatu,
kebencian, serta
kemelekatan kepada
nafsu dan konsep sedikit
demi sedikit
dilenyapkan.
Kepada murid-muridku
aku tak pernah lelah
menekankan bahwa ada
tiga pilar dalam
menempuh kehidupan
suci, yaitu:
- Sila, usaha untuk
menegakan moral dan
etika.
- Samadhi, usaha untuk
selalu mencari
keheningan bathin,
lepas dari menilai dan
menghakimi,
menggenggam dan
melepaskan, menyukai
dan membenci.
- Panna, usaha untuk
selalu menambahkan
kebijaksanaan dan
pengetahuan.
Ketiga pilar ini harus
seimbang dan simultan.
* Mereka yang hanya
menekankan sila akan
terjebak pada
kemelekatan akan
syariat kaku dan
menjadi budak dari
batasan-batasan yang
kita pakai sendiri.
* Mereka yang hanya
menekankan Samadhi
akan kehilangan pijakan
di dunia nyata. Mereka
akan mengawang-awang
dalam intuisi dan salah
kaprah dengan
menjadikan intuisi, yang
adalah pengalaman
subyektif, sebagai alat
pengetahuan yang
obyektif dan mutlak.
* Mereka yang hanya
menekankan pada
panna, atau kebijaksaan
akan cenderung merasa
benar sendiri, mudah
menyalahkan orang lain
yang tidak secerdas dan
sebijaksana mereka.
Kitab-kitab suci oh
Brahmana muda,
hanyalah kumpulan
pengalaman dan prinsip-
prinsip baik dari para
penempuh kesucian di
masa lalu. Mereka
menuliskannya sebagai
respons akan
permasalahan mereka
dalam ruang, waktu dan
cara berpikir orang
sejamannya.
Jikalau engkau dewasa
melihat dunia ini, maka
engkau akan dapati
bahwa semua yang
terbentuk dari unsur-
unsur yang
menggagasnya, suatu
saat akan pula lenyap
berdasarkan sifat-sifat
dari unsur yang
menggagasnya, begitu
pula ajaran dan konsep
dalam kitab suci, oh
Brahmana muda.
Kebenaran yang
sempurna tidak akan
kau temui dalam kitab-
kitab. Justru dalam
tubuh yang tidak lebih
dari dua meter ini,
tersimpanlah rahasia-
rahasia abadi. Dalam
tubuh yang tidak lebih
dari dua meter ini,
tersimpanlah benih-
benih untuk
direalisasikan, apakah
itu surga atau neraka,
samsara atau nibanna.
Demikianlah oh
Brahmana muda, telah
aku jawab, aku jelaskan
dan aku perinci mutiara-
mutiara  kebijaksaan
kepadamu, sekarang
terserah dirimu,
akankah engkau
menerimanya atau tetap
bersikukuh dalam
pemahamanmu.”

Offline Wijayananda

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 532
  • Reputasi: 69
  • Gender: Male
  • Semua akan berlalu...
Bagai dikejutkan oleh
halilintar di siang
bolong. Bagaikan tanah
kering kerontang yang
disirami oleh hujan
lebat, demikianlah
hatiku kala mendengar
ucapan Sang Buddha.
Tak kuasa kedua mata
ini meneteskan air mata.
Aku teringat negeriku
tercinta Indonesia. Di
negeri ini justru orang
terilusi dengan agama-
agama bentuk. Mereka
mengagung-agungkan
hal yang remeh temeh.
Mereka justru terikat
dengan kebenaran yang
masih kasar. Masih
banyak orang yang
terilusi dengan cerita
surga dan neraka abadi
yang dialami setelah
kematian. Masih percaya
pada kebenaran mutlak
dari kitab-kitab dan
ajaran-ajaran yang
dianggap suci, sempurna
dan tidak bisa dikoreksi.
Masih percaya pada
tokoh ini dan itu yang
sama sekali tidak bisa
diusik kesejarahan dan
kebenaran cerita
hidupnya.
Padahal yang sempurna
itu bukanlah kitab atau
ajaran, melainkan
perjalanan evolusi
kesadaran manusia
sejagat itu sendiri.
Kesadaran itu sempurna
karena ia mampu untuk
berdialektika dan
mencari makna baru
menurut ruang, waktu
dan pengetahuan dalam
jamannya masing-
masing. Sempurna yang
terus mengusahakan
kesempurnaannya lagi.
Suatu usaha yang tidak
pernah berakhir.
Sampai kapan
kebodohan di negeri ini
terus diperam? Sampai
kapan yang cangkang
dimuliakan sedangkan
yang isi dibuang dan
dianggap
membahayakan? Satu-
satunya cara agar
bangsa ini terbebaskan
dari kebodohan yang
mengelayuti benak
putra-putri bangsa ini
adalah memisahkan
antara negara dan
agama. Agama harus
dimasukan ke dalam
wilayah privat. Wilayah
pribadi, yang tidak
boleh dicampurtangani
oleh pemerintah dan
tidak boleh dimonopoli
oleh suara mayoritas.
Pelajaran-pelajaran
agama seharusnya
diajarkan di keluarga
dan komunitasnya
masing-masing saja,
bukan di sekolah-
sekolah umum. Justru di
lembaga2 pendidikan
dan di masyarakat yang
bermulti wajah ini, yang
dikedepankan adalah
adab, etika, kejujuran,
intelektualitas, dan
nilai-nilai kemanusiaan.
Bukan kebenaran
berdasarkan dogma
suatu agama.
Aku merindukan
Indonesia yang baru,
Indonesia yang
mengedepankan
kejujuran,
intelektualitas,
kemanusiaan dan
tanggung jawab. Aku
merindukan anak-anak
bangsa ini bebas
memilih apa yang
diyakininya, bahkan
dalam batas-batas
tertentu, bebas untuk
melakukan kesalahan-
kesalahan yang darinya
mereka akan belajar
kebaikan-kebaikan yang
lebih tinggi.
Aku merindukan
Indonesia dengan
beragam perspektif
pemikiran. Biarkan para
pengusung spiritisme.
animisime, dinamisme,
politheisme,
monotheisme, deisme,
pantheisme,
panentheisme,
agnotisme bahkan
atheisme untuk mencari
makna hidupnya sendiri
dan berdialektika dalam
kodrat diri dan kapasitas
kesadarannya masing-
masing. Asalkan mereka
diikat dengan kesadaran
akan semangat hidup
berdampingan dan
menjunjung hak hidup
dan berkeyakinan
masing-masing.
Ketika sesi Tanya jawab
itu selesai, maka tiap
orang mengucapkan
terima kasih atas
penjelasan dari Petapa
Gautama dan murid-
muridnya. Mereka
menungkupkan kedua
tangannya di depan
dada dan mengangguk
sebagai tanda hormat.
Ingin rasanya aku
menanyakan banyak hal
kepada Petapa
Gautama, namun bibir
ini terasa terkatup erat.
Membisu seribu bahasa.
Mungkin karena apa
yang baru saja aku
dengar, masih terlalu
tinggi buatku, terlalu
halus buat pikiranku.
Setelah kami semua
berdiri dan memberi
ruang kepada Petapa
Gautama dan murid-
muridnya untuk
meninggalkan aula desa,
mereka pun berdiri dan
meminta diri. Satu
persatu dimulai dari
sang pemimpin yaitu
pertapa Gautama
berjalan tenang, kepala
mereka tertunduk. Hati
mereka teduh. Dan
ternyata di barisan itu
terdapat pula banyak
umat awam dan
perumah tangga biasa
yang menjadi murid-
murid inti sang Buddha,
bukan hanya para biksu!
Yang membuatku
bergetar adalah
manakala Petapa
Gautama melirik ke
arahku. Ia berhenti
untuk sejenak
memperhatikanku.
Tentu saja ia tahu aku
orang asing. Dari
penampakan tubuhku
yang terbilang pendek
dan ringkih di banding
orang2 India yang tinggi
besar, aku bagaikan
setitik tinta hitam
dihamparan kain putih.
Dengan kedua telapak
tangan di dadanya ia
menebarkan senyum
khusus untukku. Senyum
berjuta arti. Aku
membalasnya dengan
senyum pula. Senyum
pembebasan. Terima
kasih Gautama. Terima
kasih India.
Spiritualitas –
ketelanjangan dan
kejujuran.
Dalam setiap note saya
selalu menekankan
kejujuran. Dan
spiritualitas yang sejati
berbicara tentang
kejujuran. Kejujuran
yang menelanjangi
setiap kepongahan dan
kecongkakan agama
lahiriah dan dogma.
Manusia spiritual adalah
manusia yang jujur
melihat betapa agama-
agama dibangun diatas
dogma yang  rapuh, dan
irrasional. Manusia
spiritualitas adalah
manusia jujur yang
melihat kebohongan
sejarah agama dan tidak
mau ikut menambah
kebodohan umat
manusia dengan
berpura-pura
memujanya dan
menyalutnya dengan
eufemisme. Manusia
spiritual bahkan tidak
mau menerima uang
dan hidup dari
membodohi umat
manusia.
Ada sesuatu yang salah
dengan agama-agama.
Ada sesuatu yang salah
dengan keberagamaan
kita.
Ada sesuatu yang salah
dengan pemujaan-
pemujaan kita kepada
tuhan, agama dan
tokoh2 agama dan
kitab-kitabnya.
Kesalahan itu ada pada
tidak diberdayakannya
akal budi dan nurani
kita.
Dan tuhan yang takut
dengan analisa akal
budi, adalah tuhan yang
tidak layak dipuja oleh
nurani kita.
Banyak dari kami yang
akhirnya memilih untuk
tidak ikut ambil bagian
dalam organisasi
keagamaan dan
ritualnya. Kami lebih
memilih hidup
sederhana dan mandiri.
Agama yang sejati
sebenarnya hanya
diperuntukan untuk
mereka yang sudah
dewasa.
Agama sejati lahir dari
sikap hati. Bukan dari
dogma dan kitab-kitab.
Agama sejati lirih dan
hening menghadap ke
dalam, namun lembut
dan ceria menghadap
keluar, kepada alam dan
sesame mahluk hidup.
Manusia spiritual adalah
manusia yang telanjang.
Dengan telanjang kita
lahir ke bumi ini, dan
dengan telanjang kita
mengarungi
pengembaraan spiritual
kita.
Telanjang dari segala
ketakutan akan
kekurangan materi.
Telanjang dari segala
mulut manis apologetis.
Telanjang dari segala
titel semu dalam
hierarki agama.
Telanjang dari segala
pengakuan-pengakuan
dogmatis.
Telanjang, bagai kisah
adam dan hawa sebelum
mereka memahami nilai
benar dan salah.
Alaniss Moressete,
seorang penyanyi dari
Kanada, pernah
menghabiskan hidupnya
di India selama 1,5
tahun. Dan baru di India
dia bisa menerima
hidupnya apa adanya.
Sebelumnya ia selalu
bergumul dengan rasa
takut, bulimia, obat2an
dan krisis diri. Melihat
masyarakat India yang
begitu bersahaja dalam
kemiskinan dan
kepolosannya, Allanis
sadar bahwa ia tidak
perlu terus membawa-
bawa rasa takut, trauma
luka hati, kebiasaan
buruk dsbnya. Alih-alih
ia bisa menerima dan
menikmati hidup yang
hanya satu kali saja.
Dalam kekurangannya ia
menerima semuanya itu
dan menjadikannya
sebagai kekuatan
hidupnya.
Sebagai rasa terima
kasihnya pada bangsa
India, ia menuliskan
lagu Thank You sebagai
katarsis dari fase
penerimaan dirinya.
Dalam video klip itu, ia
berpose telanjang dan
dalam ketelanjangannya
ia memaknai  ruang dan
waktu hidupnya dan
menyapa setiap orang
yang ia temui apa
adanya, sebagai sesama
manusia.
terima kasih India
terima kasih rasa takut
terima kasih
kekecewaan
terima kasih kerapuhan
diri
terima kasih
konsekwensi
terima kasih, terima
kasih keheningan
saat-saat dimana aku
melepaskan
adalah saat dimana aku
menerimanya dgn
melimpah
saat-saat dimana aku
melompat
adalah saat dimana aku
mendarat
terima kasih India
terima kasih
pemeliharaan
terima kasih
kekecewaan
terima kasih kekosongan
terima kasih kejelasan
terima kasih, terima
kasih keheningan