[at] Injulia
Banyak orang suka membicarakan perbuatan baik atau seakan-akan sebagai perbuatan baik, tetapi tidak dan enggan melakukan apapun , dan menjadikan wacana untuk didiskusikan, apakah ini termasuk orang yang menpunyai keyakinan terhadap Hukum Kamma ? Tentu sangat sukar untuk menjawabnya. Tetapi reaksi social bereaksi negatif terhadapnya, mungkin ditinjau dari segi manfaat, ini dapat dikatakan sebagai kamma yang berbuah.
Kadang keputusan selalu berada ditangan kita mendapatkan hasil yang baik ( kusala kamma ) atau hasil yang buruk ( akusala kamma ). Sama seperti kisah nyata dibawah ini. Kalau dilihat dan dievaluasi, kamma baik atau kamma buruk yang berbuah hanya beda waktu beberapa detik atau menit. Karena pembuat keputusan yang menentukannya hasil akhir.
Maka saya punya ungkapan :
LUPAKAN KEBAIKAN YANG PERNAH DILAKUKAN, TETAPI SELALU INGAT BAHWA KITA BELUM MELAKUKAN KEBAIKAN MELALUI PIKIRAN, UCAPAN DAN PERBUATAN SAAT INI.IMO, ini ajaran Buddha yang harus diingat selalu.
Saya sajikan 2 artikel yang hampir sama.
Menolong Dari Pemerkosa Pada suatu larut malam, aku melewati sebuah jalan remang-remang, ketika mendadak terdengar jeritan-jeritan tertahan dari balik segerumbulan semak. Aku berhenti dengan terkejut dan memasang telinga. Rasa panikku timbul ketika menyadari bahwa yang kudengar itu adalah suara orang yang sedang bergumul: geraman berat, gerakan meronta yang panik, dan bunyi pakaian yang dirobek. Seorang wanita sedang diserang, hanya beberapa meter dari tempatku berdiri.
Mestikah aku melibatkan diri? Aku takut memikirkan keselamatanku sendiri. Dalam hati aku menyumpah-nyumpah, kenapa memilih rute lain untuk pulang kali ini. Bagaimana kalau aku menjadi korban? Apakah sebaiknya aku mencari telepon terdekat dan menghubungi polisi?
Meski kelihatannya sangat lama, pergulatan batinku sebenarnya hanya berlangsung beberapa detik, tapi teriakan-teriakan wanita itu sudah semakin lemah. Aku tahu aku mesti cepat bertindak. Bagaimana mungkin aku pergi begitu saja? Tidak. Akhirnya aku membulatkan tekad. Aku tak bisa begitu saja meninggalkan wanita tak dikenal ini, meski itu berarti aku mempertaruhkan hidupku sendiri.
Aku bukan laki-laki pemberani, juga tidak atletis. Entah dari mana aku memperoleh semangat dan kekuatan fisik itu - tapi begitu aku membulatkan tekad untuk membantu wanita tersebut, mendadak aku merasakan perubahan. Aku lari ke balik semak-semak itu dan menarik si penyerang dari atas tubuh si wanita. Kami berguling-guling di tanah dan bergumul selama beberapa menit, sampai kemudian si penyerang melompat bangkit dan melarikan diri. Sambil terengah-engah aku berdiri dan mendekat si wanita yang bersembunyi di balik pohon sambil menangis. Dalam kegelapan, aku hampir-hampir tak bisa melihat sosoknya, tapi aku bisa merasakan shock yang dialamainya.
Karena tak ingin membuat ia semakin ketakutan, semula aku hanya berbicara dari jauh padanya.
"Tak apa," kataku, berusaha menenangkannya. "Orang itu sudah pergi. Kau aman sekarang."
Lama suasana hening, kemudian kudengar wanita itu berkata dengan terheran-heran dan tak percaya.
"Dad, kaukah itu?"
Lalu dari balik pohon itu melangkah putri bungsuku, Katherine.
Banyak orang takut kalau-kalau perbuatan baik yang mereka lakukan justru membawa bencana. Bukankah sering kita mendengar pepatah sinis ini: "Perbuatan baik akan membawa celaka?" Namun kisah diatas merupakan contoh jelas bahwa yang terjadi sering kali berlawanan sepenuhnya. Dengan memutuskan untuk mempertaruhkan hidupnya demi seorang wanita tak dikenal, si ayah akhirnya malah menyelamatkan putrinya sendiri. Dan dalam tekadnya untuk menolong sesama, si ayah mendadak memperoleh kekuatan dan semangat yang menakjubkan. Dalam keadaan biasa, ia takkan sanggup mengumpulkan kekuatan fisik untuk melawan si pemerkosa. Tapi karena tekadnya yang begitu besar, ia bisa menarik kekuatan entah dari mana. Kita mempunyai berbagai kemampuan yang tidak kita sadari. Karena bertekad untuk berbuat baik pada sesamanya, pria ini jadi melakukan hal yang luar biasa bagi dirinya sendiri!
Penyelamatan di Laut Beberapa tahun lalu, di sebuah desa nelayan kecil di Belanda, seorang pemuda mengajarkan kepada dunia, tentang hadiah yang diperoleh dari sikap tidak mementingkan diri sendiri.
Karena seluruh desa bergerak dalam industri perikanan, sukarelawan untuk regu penyelamat dibutuhkan dalam keadaan darurat.
Suatu malam angin mengamuk, awan-awan bergerak cepat dan badai besar mengancam sebuah perahu penangkap ikan tenggelam di laut. Dalam kepanikan dan ketakutan, awak kapal mengirimkan sinyal bahaya, S.O.S.
Kapten kapal regu penyelamat membunyikan alarm dan penduduk desa berkumpul memandang ke pelabuhan. Ketika regu penyelamat meluncurkan perahu mereka dan berjuang menembus gelombang liar, penduduk desa menanti dengan gelisah ditepi pantai, dengan lentera di tangan untuk menerangi jalan kembali. Satu jam berikut, kapal penyelamat muncul kembali dan penduduk desa bersorak menyambut mereka.
Jatuh kelelahan di atas pasir, para sukarelawan itu melaporkan bahwa kapal penyelamat tidak sanggup menampung penumpang tambahan dan mereka meninggalkan seseorang di belakang. Meskipun hanya satu orang penumpang tapi jika dipaksakan pasti akan akan menenggelamkan kapal penyelamat dan semuanya akan meninggal. Sang kapten meminta satu regu sukarelawan lagi untuk pergi menyelamatkan orang yang tertinggal itu.
Hans, pemuda berumur 16 tahun maju kedepan.
Ibunya memegang lengannya, memohon, "Jangan pergi. Ayahmu meninggal dalam kecelakaan kapal 10 tahun lalu dan kakakmu, Paul, telah hilang di lautan selama 3 minggu. Hans, kamu satu-satunya yang masih saya miliki."
Hans menjawab, "Ibu, saya harus pergi. Apa yang terjadi kalau semua orang berkata, 'Saya tidak dapat pergi, biarkan orang lain yang melakukannya?' Ibu, kali ini, saya harus melakukan tugas saya. Ketika ada panggilan untuk melayani, kita semua perlu mengambil giliran dan melakukan bagian kita."
Hans mencium ibunya, bergabung dengan regu penyelamat dan menghilang dalam kegelapan malam.
Beberapa jam berlalu, bagi ibu Hans itu terasa selamanya. Akhirnya, kapal penyelamat kembali dengan Hans berdiri di ujung kapal.
Dengan mengatupkan kedua belah telapak tangan, kapten berteriak, "Apakah kamu menemukan orang yang tertinggal itu?"
Hampir-hampir tidak dapat menguasai diri, Hans berteriak balik dengan kegirangan, "Ya, kami menemukannya. Beritahu ibu saya itu adalah kakak saya, Paul !"
Semoga Bermanfaat