//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Show Posts

This section allows you to view all posts made by this member. Note that you can only see posts made in areas you currently have access to.


Topics - NOYA

Pages: 1 [2]
16
Politik, ekonomi, Sosial dan budaya Umum / Borobudur: Mandala kehidupan
« on: 25 September 2010, 02:56:11 PM »
Borobudur Mandala Kehidupan Oleh M Burhanudin dan Regina Rukmorini
http://cetak.kompas.com/read/2010/09/25/03595764/borobudur.mandala.kehidupan

Pada suatu hari terjadi kebakaran hebat di hutan. Si burung pipit yang tinggal di hutan itu lalu berinisiatif memadamkan api meski sadar kemampuannya terbatas. Hari itulah sepuluh abad lampau ”altruisme”—kosakata yang menyeruak kembali dua tahun terakhir di sini—dipahat di batu.

Burung itu terbang ke telaga, membasahi tubuhnya, lalu terbang kembali menuju lokasi kebakaran, dan mengibaskan tubuhnya agar air bisa sedikit membantu memadamkan api. Upaya tersebut dilakukan bolak-balik, sampai akhirnya burung itu mati lemas dan diangkat menjadi Buddha.

Itulah sepenggal kisah Jantaka dalam salah satu panel relief Candi Borobudur. Jantaka merupakan cerita tentang perjalanan titisan Bodhisattva yang menjadi berbagai macam hewan.

Kisah si burung pipit merefleksikan betapa berharganya sikap altruistik, rela berkorban, tidak mementingkan diri sendiri, dan solidaritas. Melepaskan ego pribadi demi kepentingan bersama dengan pengorbanan.

Sebuah sikap hidup yang dalam kehidupan nyata saat ini terasa mahal. Keikhlasan sering kali hanya indah terucap, tetapi kosong dalam kenyataan.

Ya, Candi Borobudur memang kaya akan pesan kebajikan. Semuanya terpampang pada bagian dinding dan langkan bangunan candi yang panjangnya jika direntangkan akan mencapai 3.000 meter. Pada permukaan dinding-dinding batu yang membujur di bangunan candi terbesar kedua di dunia ini dipahat sebanyak 2.670 panel relief tebal. Sebanyak 1.212 panel berupa relief dekoratif dan 1.460 yang lain adalah panel relief naratif (relief berupa cerita).

Dibangun oleh Raja Samaratungga dari Dinasti Syailendra sekitar tahun 824, Candi Borobudur memang diarahkan sebagai monumen atas intisari kehidupan. Intisari itu tertutur dari dasar hingga puncak bangunan. Maknanya tersurat dan tersirat dari bentuk fisik candi, relief, serta kosmologi tempatnya.

Candi Borobudur terbuat dari dua juta potongan batu berukuran rata-rata 25 x 10 x 15 cm dengan tinggi 35,29 meter. Bangunannya bertingkat. Setiap tingkatnya melambangkan tahapan kehidupan manusia. Tahapan yang mengandung nilai universal tentang petunjuk hidup bagi manusia menuju kebajikan. Setiap tahapan itu diuraikan lewat ribuan panel relief candi.

Bagian kaki candi bernama Kamadhatu, lambang dunia yang masih dikuasai oleh ”kama” atau nafsu. Bagian yang tertutup struktur tambahan, berisi 160 panil cerita Karmawibhangga, cerita tentang segala perbuatan manusia soal ganjarannya.

Empat tingkat di atas kaki candi bernama Rupadhatu—artinya manusia yang telah dapat melepaskan diri dari hawa nafsu, tetapi masih terikat oleh rupa dan bentuk.

Mulai lantai kelima hingga ketujuh dindingnya tidak berelief dan lantainya berbentuk lingkaran. Tingkatan ini dinamakan Arupadhatu—yang tak berwujud—melambangkan manusia yang telah terbebas dari nafsu, rupa, dan bentuk sehingga siap mencapai nirwana.

Mandala

Candi Borobudur tak sekadar syarat makna kebajikan. Ia juga merupakan mandala atas bentuk tiga dimensinya sendiri, dan juga bangunan percandian di sekelilingnya (Muhammad Taufik dalam jurnal Balai Konservasi Purbakala Borobudur, 2008). Borobudur adalah totalitas, suatu tanda kesempurnaan dan kemuliaan. Pusat dunia yang berupa arca dan bangunan yang batas-batasnya telah ditentukan atau semacam ”pagar suci”.

Menurut Dr Sukmono dalam buku Chandi Borobudur (1976), sinergi dalam pengembangan peribadatan Borobudur dan percandian semasanya adalah bukti situasi damai masa itu. Posisi mandala ini segaris lurus dengan dua mandala Buddha lain di dekatnya, yaitu Candi Pawon, Mendut, dan Gunung Merapi.

Menurut Taufik, mengacu pada pengertian bahwa bentuk mandala berupa garis lurus geometris, Candi Mendut, Pawon, dan Borobudur yang dibangun pada satu garis lurus. Ketiga bangunan tersebut dianggap sebagai superstruktur. Candi-candi Hindu yang ada di sekitarnya dapat dianggap sebagai substrukturnya, seperti Candi Ngawen dan Kali Tengah.

Hampir satu milenium Borobudur ”tidur” dalam timbunan tanah dan debu vulkanik letusan Merapi. Sejak ditemukan dan dipugar oleh Pemerintah Kolonial Belanda antara abad XIX dan awal abad XX serta kemudian dilanjutkan dengan renovasi pada masa kemerdekaan, Borobudur terlihat kembali segar. Borobudur menjelma sebagai salah satu bangunan yang diakui sebagai warisan keajaiban dunia.

Kini, Borobudur lebih dikenal sebagai obyek wisata. Namun, kurang dibarengi dengan sosialisasi sebagai monumen warisan peradaban dengan nilai-nilai kemanusiaan universal. Kantor Pusat Studi Borobudur yang dulu diharapkan menjadi arena transformasi nilai luhur ke generasi masa kini telah lama berubah sebagai Hotel Manohara.

Namun, tak ada kata terlambat untuk memperbaiki diri. Menempatkan Borobudur kembali sebagai mandala kehidupan sangat relevan pada masa gegar nilai seperti sekarang ini.



17


NEWARK, N.J. – Facebook founder Mark Zuckerberg is about to make a lot of new friends: The 26-year-old tycoon is pouring $100 million of his staggering fortune into Newark's blighted school system after hitting it off with the mayor of the poverty-stricken city.

The donation — which is being announced Friday on Oprah Winfrey's show — instantly establishes Zuckerberg as one of high-tech's biggest philanthropists and comes just ahead of the release of "The Social Network," a movie that paints an unflattering portrait of the boy wonder of the Internet.

The arrangement brings together the young entrepreneur, Newark's celebrated Democratic mayor and a governor who has become a star of the Republican Party. And it underscores how the remaking of the nation's urban schools has become a popular cause among young philanthropists.

"What you're seeing is for the under-40 set, education reform is what feeding kids in Africa was in 1980," said Derrell Bradford, executive director of the Newark-based education reform group Excellent Education for Everyone. "Newark public schools are like the new Live Aid."

Last year, the Bill & Melinda Gates Foundation announced $290 million in education grants, including $100 million for the school system in Tampa, Fla., and $90 million for the Memphis, Tenn., district. The Gates Foundation also has given more than $150 million to New York City schools over the past eight years.

Exactly how Zuckerberg's donation will be used in Newark — a school system with about 40,000 students and a budget this year of $940 million — has not been disclosed.

The district has been plagued for years by low test scores, poor graduation rates and crumbling buildings, and was taken over by the state in 1995 after instances of waste and mismanagement, including the spending of taxpayer money by school board members on cars and restaurant meals.

Zuckerberg grew up in Dobbs Ferry, N.Y., graduated from Phillips Exeter Academy in New Hampshire in 2002 and attended Harvard before dropping out to work full time on Facebook. He has no connection to Newark other than knowing Mayor Cory Booker, a charismatic 41-year-old politician who has the ear of President Barack Obama and has helped the city get major donations from Winfrey and New Jersey's Jon Bon Jovi.

According to The New York Times, Zuckerberg and Booker met at a conference over the summer and kept in touch.

The donation was first reported Wednesday night by The Star-Ledger of Newark. An official familiar with the plan confirmed it to The Associated Press on Thursday. The official spoke on condition of anonymity because those involved were told not to steal the thunder from Winfrey's show.

But that didn't stop Gov. Chris Christie and Booker from hinting about it on their Twitter accounts. Booker tweeted: "Looking forward to Oprah on Friday! Please tune in to learn more about what's going on in Newark." Christie replied, "See you in Chicago," adding: "Great things to come for education in Newark."

Zuckerberg is ranked by Forbes magazine as the 35th wealthiest American, with a net worth of $6.9 billion. That makes him richer than Apple's Steve Jobs and News Corp.'s Rupert Murdoch. Facebook has 500 million users and is valued by Forbes at $23 billion.

Some suggested that altruism was not the only thing behind the gift.

The announcement comes a week before "The Social Network" opens widely. The movie, whose tagline is "You don't get to 500 million friends without making a few enemies," portrays Zuckerberg as taking the idea for Facebook from other Harvard students.

"I hate to be cynical and there are few districts in the nation that couldn't use an infusion of cash more than Newark," wrote blogger Christopher Dawson on ZDNet, a website devoted to technology news and commentary. But the timing of the announcement, "on Oprah no less, feels a little too staged."

Forbes.com asked readers: "Was the gift heartfelt or cunning PR?"

According to the official with knowledge of the deal, Christie won't give up state control of Newark's schools but will authorize Booker to carry out the education plan. Christie can still veto any moves.

Christie, like Booker, is an advocate of more publicly funded charter schools, using public money to send children to private schools and paying teachers partly according to how well students perform. Those ideas often make teachers unions bristle, though union officials in Newark declined to comment on the donation.

In Newark, people were excited about the gift, which The Wall Street Journal reported will be in the form of Facebook stock that can be sold on private exchanges and can be hard put a value on. Facebook is not publicly traded.

"There's a lot of programs out here, but at the same time, a lot of the time these kids have nothing to do. They're getting the worst books — old everything — so maybe the money will help out. It's possible that everything could be updated if we all pool together," said city resident Carse Lucas.

For Christie, the deal may be a way to recover from the biggest misstep of his administration so far: Last month, the state missed out on a $400 million federal education grant because of a simple error on its application. Christie fired the state's education commissioner in the aftermath.

Education scholars and advocates will be watching closely.

"Just throwing a lot of money at a problem doesn't necessarily solve anything, and I think past history demonstrates this," said Joseph DePeirro, dean of education at Seton Hall University.

Bradford, of the Newark-based education reform group, said: "If you are enormously successful, then you really have outlined a model of how you can use private philanthropy to break the status quo. And if you fail, you've given everybody a billion reasons never to try again."

___

Mulvihill reported from Trenton. Also contributing were Associated Press writers Beth DeFalco in Trenton and Donna Blankinship in Seattle and Technology Writer Barbara Ortutay in New York.

18
Ulasan Buku, Majalah, Musik atau Film / NIRVANA FOR SALE? BOOK REVIEW
« on: 18 September 2010, 11:22:36 AM »
Rachelle M. Scott. Nirvana for Sale? Buddhism, Wealth, and the Dhammakāya Temple in Contemporary Thailand. Albany: SUNY Press, 2009. Illustrations. xiii + 242 pp. $70.00 (cloth), ISBN 978-1-4384-2783-6; $29.95 (paper), ISBN 978-1-4384-2784-3.

Reviewed by Justin T. McDaniel (University of Pennsylvania)
Published on H-Buddhism (August, 2010)
Commissioned by Thomas Borchert


-- Beyond Commercialism: A New Look at the Dhammakāya in Thailand --

The Dhammakāya Temple is the largest Buddhist structure in Thailand. For the past forty years, it has grown from a relatively small meditation and “self-help” movement to an extremely financially successful operation that offers meditation retreats, seminars, inspirational sermons, and public service programs. The leaders of the Dhammakāya Temple have been praised for opening up meditation instruction and practical Buddhist teachings for the growing middle class in Thailand and harshly criticized for commercializing and overly simplifying Buddhist practice. This tension has attracted a number of scholars to study its history and practices. Initially I was skeptical about this book as there have been several studies of the Dhammakāya Temple over the past fifteen years and I thought I knew all that there needed to be known about the subject; however, this book is so much more than just a study of the Dhammakāya Temple and movement. It is a very clearly written and complex study of Buddhism and wealth more  broadly. It does not lament the commercialization of Buddhism or consumerism in Thai society like most studies of the Dhammakāya. Indeed, Rachelle M. Scott emphasizes in the introduction that “my analysis ... will not seek to either prove or disprove the authenticity of pre-wealth forms of religiosity ... rather I am concerned with the dynamics of religious tradition--how particular religious discourses and practices are situated in reference to real or perceived pasts in order to authenticate (or reject) their place within the tradition” (pp. 15-16). Throughout her study, Scott demonstrates that there has been a long relationship between wealth and Thai Buddhism long before the modern period.

There are many laudable qualities of Scott’s work. The book provides a solid historical summary of the temple, and I was intrigued especially by her interviews and by the extent of the temple’s marketing campaign. Furthermore, her focus on Khun Yai’s influence on the modern temple and comparative overtures to the Soka Gakkai and Foguang Shan in Japan and Taiwan respectively are illuminating (although some reference to the growth of prosperity Christianity in the Philippines would have been helpful). Let me also state clearly, that this book is vastly superior to the recent book by Rory Mackenzie on the subject of the Dhammakāya movement (2006), as well as most of the many articles that have been published in the last fifteen years by other scholars. Although Nirvana for Sale? lacks some historical depth (which has recently been made available because of the wonderful historical research in Catherine Newell’s dissertation [2008]), it is a solid ethnographic study that will prove to be an invaluable resource for students and scholars alike. It could easily be used in Buddhist ethics courses, or in larger non-Asian studies courses like “religion and capitalism” or “prosperity religions.”

The greatest contribution to Thai and religious studies is Scott’s discussion of the relationship between wealth and Buddhism. Allow me to reflect for a moment on the state of the field in the study of Thai religion and wealth and then note why Scott’s book is so refreshing. The commodification of Buddhist objects (like the Dhammakāya Buddha images and amulets) and commercialization of Buddhism has generally been approached by scholars as a reflection of a growing crisis in Thai Buddhism and the rise of religious commercialism. There is a formidable literature on value/exchange and commodification theory, including groundbreaking work by Annette Weiner, Inalienable Objects: The Paradox of Keeping-While-Giving (1992), and Fred Myers, The Empire of Things: Regimes of Value and Material Culture (2001), as well as Arjun Appadurai’s well-known edited collection, The  Social Lives of Things (1986). However, this work is often ignored and commercialization is seen by scholars of Thai Buddhism as connected to the growing globalization of Thai culture (usually blamed on the West). Many scholars, Thai and non-Thai, those Scott cites as well as those she does not, and many amateur commentators on Internet blogs, listservs, and chatgroups have lamented this commodification. Most of these critics have very little appreciation for the history of Buddhist material culture and so are surprised by its apparent growth now. Most studies in English or by elite, liberal social critics are characterized by shock. These critics are offended by the prices of amulets or new Buddha images, the excessive trading, the prominent display, and the miracle stories. They seem somewhat surprised by materialism in Buddhism, as if it is a new phenomenon. Some studies express this shock in a different way: They explain it away. They reduce amulets or images to empty signifiers onto which those uneducated in Buddhist doctrine place their lower-class frustrations, modern anxieties, insecurities over the Islamic insurgency or the global economic downturn, fears regarding health, and petty aspirations for wealth (it is comfortably easy for elitist scholars born with wealth to criticize the nonelite for wanting to be wealthy). They relegate this display of wealth and the promotion of prosperity to social scientific illustrations of globalization, commercialization, or doomsday prophecies about the imminent end of true Buddhist values or the deleterious effects of Westernization. They argue that amulets and other “magical practices” are tools of oppressors, fake science, or the sad symbols of the poor trying to compete in a dangerous world. These are studies that are both condescending and rife with longing--longing for a Buddhism that is more in line with a certain enlightened rationality and that eschews materiality in favor of an undefined spirituality.

Here is where Scott’s work is different. Although this is an ethnographic study of the modern Dhammakāya movement, some of the particular strengths of the book are when Scott turns toward the past. For example, she notes that Thai Buddhist and Pali literature either composed or popular in Thailand has long lauded wealth. She notes the existence of setthi (wealthy person) stories in premodern manuscript traditions; and the promotion of Buddhist practice as wealth producing in northern Thai chronicles, like the Cāmadevīvamsa, the Jinakālamālīpakaranam, and the Tamnān Doi Ang Salung, as well as popular jātakas and the Traibhūmikathā (pp. 29-30). She also shows that “for a majority of practicing Buddhists in South and Southeast Asia, merit-making is central to their self-understanding of Buddhist religiosity, as evidenced in the vernacular literature and material culture of Theravāda Buddhism” (pp. 92-93). Although I would have liked to have seen her make use of material culture in her argument (i.e., show more examples of murals, stories, and images that promote the connection between Buddhism and wealth), unlike most scholars working on contemporary Buddhism, Scott acknowledges the long-term existence of these aspects of Thai Buddhist culture. I am hoping her book will inspire more work on this subject.

While Scott’s work is much more nuanced than that of other scholars working on this subject, there are problems with the way she presents her material and the sources that she relies on. She has a tendency to overemphasize the Dhammakāya as a product of the rise of the middle class in Thailand, and its effective use of communication technology, or as a general symptom of “modernity.” To support this, she offers parallel comparisons of the Dhammakāya movement to the Soka Gakkai and the Foguang Shan, which also draw on middle-class donations and embrace technology. However, she largely sidesteps the possible noneconomic and technological reasons that the Dhammakāya has grown in popularity over the past forty years particularly and tends to rely on defensive statements made by Dhammakāya leadership more than offering her own rebuttal to criticism of the movement’s methods. I wondered as I read her book if she saw the Dhammakāya movement as simply a socio-economic phenomenon or a valuable contribution to the contemporary teaching of Buddhist ethics. However, she does qualify her arguments by noting that there is a danger in seeing the Dhammakāya movement as simply a “new religious movement.” Indeed, she states that classifying it in this way suggests that it is either “inauthentic” or “a departure from what the community deems to be normative” (p. 53). She argues that the Dhammakāya Temple literature emphasizes that it is a normative part of the Thai Buddhist sangha, but its techniques of using media and technology are new. Therefore, its methods are new, but its teachings are traditional. Along these same lines, I particularly liked her section beginning on page 163 in which she writes, “global consumer culture has influenced Thai patterns and ideologies of consumption, it is neither determinative nor monolithic.” It is qualifying statements such as these that need to be more prominent in this book. For example, chapter 5 which I think is the weakest of an otherwise strong book, moves from this qualification to write primarily about the liberal and mostly English-speaking critics of commercialization, like Phra Payutto, Suwanna Satha-anand, Buddhadasa Bhikkhu, Phra Phaisan, David Loy, Sanitsuda Ekachai, and others. This characteristic is a product of her choice of sources. Scott relies on too few Thai sources. Most of her textual sources come from English language newspapers and she has worked with mostly Thai scholars who are fluent in the English language. There is much in Thai on the Dhammakāya, not only historical information but also contemporary opinion pieces, blogs, court documents, etc. There are also Thai television commentaries that were not consulted. Scott clearly has Thai language skills and reads widely, but overall, her book could have benefited from more Thai language research and more time spent in the field. For example, in my interviews at Wat Pak Nam in Thonburi I noted a much greater tension between followers of Luang Pho Sot (the “founder” of the Dhammakāya method of meditation) and the Dhammakāya movement based in Pathum Thani. Scott notes the tensions within the Dhammakāya tradition, but does not give adequate weight to the alternative voices. It is the liberal, anti- Dhammakāya voices which she reads and consults that dominate the book. If she had included more “internal” criticisms by practitioners at Wat Pak Nam or disaffected followers, she might have been able to highlight criticisms of the Dhammakāya movement that have less to do with commercialization and more to do with the actual science of their meditation methods or ethical teachings. Moreover, when she uses the work of the former monk Phra Mettanando, Phra Payutto, Sulak Sivaraksa, and Sanitsuda Ekachai too extensively, particularly in chapter five, her own voice gets buried under theirs.

Finally, as a side point, she paints a rather one-sided portrait of royal “reformers” (see especially,pp. 9, 10, 42, 62). However, there is ample evidence that King Mongkut and King Chulalongkorn did not simply want to remove the protective, magical, metaphysical, commercial, and miraculous aspects of Thai Buddhism. They were not anti-superstitious zealots, maniacal centralizers, or unabashed modernists. If anything, their writing on religious subjects reveals a curious speculative attitude and ethnographic character. There is no doubt that they saw Central Thailand as the rightful center of political power and themselves as virtuous and absolute rulers; however, this political control and the rhetoric of orthodoxy did not often carry over into actual, on the ground policy (or policy that was ever actually implemented) that mitigated the diversity of ritual, intellectual, and liturgical practices in the realm(s) they aimed to tax and administer. A great diversity remains in Thai Buddhist ritual despite the nineteenth-century legacy of royal reform. Scott notes this diversity often in her book  but has a tendency to characterize nineteenth-century royal reformers as enemies of religious diversity.

However, these are rather small distractions. In general, Scott’s book acknowledges the diversity of Thai Buddhism of which the Dhammakāya is one part. Despite my minor criticisms, this book is clear, well organized, and accessible to both students and scholars. The link between the financial crash of 1997 and the rise of criticisms of the Dhammakāya Temple is particularly interesting (though it might have been expanded). I also like her effort at “historicizing discourses on the ‘crisis in Buddhism’” (p. 186). Her photographs (of which thirty are included in the book) are striking. In the end, Scott has made a great contribution to the study of prosperity religions, as well as the fields of Thai studies and Buddhist studies.

Jangan tanya terjemahannya ya?  ??? ???

19
Politik, ekonomi, Sosial dan budaya Umum / 25 Koruptor Penerima Remisi
« on: 14 September 2010, 03:16:59 AM »
JAKARTA, KOMPAS.com - Dalam rangka hari raya Idul Fitri 1431 Hijriyah, Lembaga Pemasyarakatan Cipinang mengusulkan pengurangan masa hukuman atau remisi terhadap 25 narapidana perkara korupsi.

Remisi berkisar satu hingga dua bulan penjara. Para napi perkara korupsi ini tidak ada yang langsung bebas. "Total narapidana perkara korupsi yang diusulkan dapat remisi ada 25 orang," kata Kepala Lapas Cipinang I Wayan Sukerta, Jakarta, Rabu (8/9/2010).

Wayan menyebutkan, terpidana lima tahun penjara perkara korupsi Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI), mantan anggota DPR (Golkar), Antony Zeidra Abidin, diusulkan mendapat remisi sebanyak satu bulan.

Mantan Direktur Utama Bulog Widjanarko Puspoyo, terpidana 10 tahun penjara perkara pidana korupsi dalam ekspor beras ke Afrika Selatan dan penerimaan hadiah dari rekanan Bulog, diusulkan mendapat remisi sebanyak satu bulan.

Terpidana 15 tahun penjara kasus pembobolan BNI 46 Cabang Kebayoran Baru senilai Rp 161, 8 miliar, mantan Kepala Bidang Pelayanan Nasabah Luar Negeri, Edy Santoso, diusulkan mendapat remisi dua bulan.

Sebelumnya, sejumlah lapas melalui Kanwil Kemenhuk dan HAM Jawa Barat telah mengusulkan remisi terhadap 21 napi perkara korupsi pada Lebaran kali ini.

Wayan dapat memahami kritik tajam yang disampaikan masyarakat atas obral remisi kepada koruptor pada peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agustus 2010. Namun, Wayan juga meminta masyarakat dapat memahami peraturan dan perundang-undangan yang ada.

Wayan menyatakan, pengajuan pemberian remisi terhadap 25 napi kasus korupsi ini mengacu pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, Peraturan Presiden No 174 dan Peraturan Pemerintah No 28.

Katanya, remisi diajukan dan diberikan karena penilaian bahwa napi berperilaku baik dan telah menjalani 1/3 masa hukuman. (Abdul Qodir)

Inilah daftar para narapidana korupsi berikut masa remisinya.
1. Olah Abdullah (2 bulan)
2. Edy Santoso (2 bulan)
3. Husadi Yuwono (2 bulan)
4. Rudi Sutopo (2 bulan)
5. Indra Warman Siregar (1 bulan 15 hari)
6. Ismail Syaefudin (1 bulan 15 hari)
7. Kuncoro (1 bulan 15 hari)
8. Tabrani Ismail (1 bulan 15 hari)
9. Arken Tarigan (1 bulan)
10. Herominus Abdul Salam (1 bulan)
11. Mustofa (1 bulan)
12. Ramli Lubis (1 bulan)
13. Sugiyo Prasodjo (1 bulan)
14. Arifin bin Jai (1 bulan)
15. Hari Purnomo (1 bulan)
16. Tarudjono Oentara (1 bulan)
17. Widjanarko Puspoyo (1 bulan)
18. Yustian Ismail (1 bulan)
19. Germani Prawira Supradja (1 bulan)
20. Agus Rahardjo (1 bulan)
21. Antony Zeidra Abidin (1 bulan)
22. Bahrun Effendi (1 bulan)
23. Sholeh Tasrifan (1 bulan)
24. Syamsuri Astar (1 bulan)
25. Zulkarnaen Yunus (1 bulan)


20
SATU INDONESIA AWARD
Sebuah Penghargaan untuk Anak Muda


Perubahan menuju Indonesia lebih baik adalah milik kita semua. Dia tidak datang
begitu saja dari langit, tapi harus diperjuangkan. SATU INDONESIA AWARD hadir
untuk mengapresiasi anak muda dengan semangat berkarya, inisiatif, dan membawa
manfaat bagi masyarakat dan bagi Indonesia.

Semangat Astra Terpadu (SATU) Indonesia adalah semangat yang diusung PT Astra
International Tbk., sebagai fondasi award ini. Award akan diberikan pada 10
nominee pada 23 Oktober 2010, menjelang Sumpah Pemuda 2010. Hadiah total
bernilai Rp 200 juta ditambah berbagai hadiah menarik.

Proses penjaringan kandidat dilakukan bersama TEMPO Institute, sayap Grup Tempo
Inti Media Tbk. Demi menajamkan radar, serta jangkauan ke seluruh lapisan,
penyelenggara juga merangkul berbagai lembaga swadaya masyarakat dan komunitas
yang bergerak di berbagai bidang.

Kami juga mengundang Anda untuk menominasikan kandidat dengan menulis email ke
alamat : satu.indonesia.award [at] gmail.com dan institut [at] tempo.co.id, mulai 26
Agustus sampai 26 September 2010. Masukan Anda sangat kami harapkan.

KRITERIA
* Orang Indonesia
* Bermanfaat bagi orang lain, masyarakat, dan komunitas
* Individu (bukan kelompok)
* Usia maksimal 35 tahun
* Orisinalitas ide, jenis program, dan model pendekatan,
* Sustainability, kegiatan telah berlangsung minimal 2 tahun,
* Diutamakan yang belum terekspose media,
* Bukan karyawan Grup Astra dan Grup Tempo Inti Media

TANGGAL PENTING
* 26 Agustus 2010: Peluncuran Program melalui Press Release
* 26 Agustus - 26 September 2010 : Penjaringan kandidat
* 26 September – 4 Oktober 2010: verfikasi 20 kandidat, reportase,
pengambilan foto, dan dokumentasi video ke lokasi.
* 5 Oktober 2010: Panel Dewan Juri
* 6 – 18 Oktober 2010 : Penulisan brosur, pembuatan profil film peserta
* 23 Oktober 2010 : Pemberian award

PENJARINGAN KANDIDAT & PENJURIAN
* Panitiamenjemput bola, menampung usulan dari berbagai pihak, dan
menyeleksinya hingga menjadi 20 kandidat

* Panitia melakukan verifikasi terhadap 20 kandidat penerima award
* Ke-20 kandidat diminta mengajukan proposal singkat mengenai apa yang akan
dilakukan seandainya menerima award

* Dewan Juri akan menyeleksi 20 kandidat menjadi 10 nominee penerima award
* Keputusan Dewan Juri tidak bisa diganggu gugat.

HADIAH
* Hadiah utama diberikan kepada 5 nominee terbaikdengan nilai  [at]  Rp 40 juta
* 5 nominee lainnya mendapatkan paket hadiah menarikdari Grup Astra dan Grup
Tempo.

Selamat Mencoba!!!!!!!!!

21
Beban Bunga Utang RI Sudah tembus 100 Triliun
(detikfinance.com)

Jakarta - DPR RI menilai pembayaran bunga utang Indonesia yang mencapai Rp 100 triliun saat ini sudah mengkhawatirkan.

"Saat ini, beban bunga utang sudah mengkhawatirkan. Ini akan menggerus kapasitas anggaran dan memperkecil celah fiskal," ujar Anggota Komisi VI DPR Ecky Awal Muharram dalam Rapat Paripurna DPR RI, Jakarta, Selasa (24/8/2010).

Pada 2010, Ecky mengungkapkan pembayaran bunga utang sudah menembus Rp 100 triliun, tepatnya Rp 115 triliun atau 9,4 persen dari belanja negara.

"Tahun depan, pembayaran bunga utang diperkirakan meningkat menjadi 116,4 triliun rupiah atau 9,7 persen dari belanja negara," ujarnya.

Menurut Ecky, kondisi tersebut dinilai cukup mengkhawatirkan. Oleh karenanya, DPR meminta pemerintah untuk meninjau ulang utang tersebut.

"Oleh karena itu, Kami meminta pemerintah untuk lebih mengendalikan outstanding utang dan biaya pengadaan utang," jelasnya.

Pada akhir 2011, total utang pemerintah diperkirakan sebesar Rp 1.807,5 triliun. Meningkat dibandingkan perkiraan sampai akhir 2010, yang sebesar Rp 1.688,3 triliun.

Sampai akhir 2011, total penerbitan obligasi negara diperkirakan sebesar Rp 1.197,1 triliun. Meningkat dibandingkan perkiraan akhir 2010 yang sebesar Rp 1.077,1 triliun.

Sementara utang luar negeri sampai akhir 2011 diperkirakan sebesar Rp 610,4 triliun. Menurun dibandingkan perkiraan akhir 2010 yang sebesar Rp 611,2 triliun.

"Utang, terutama luar negeri, harus diturunkan secara progresif. Utang luar negeri tidak bisa terus dipertahankan, karena utang murah semakin terbatas," kata Ecky.

Anggota Komisi XI DPR Laurens Bahang Dama mengatakan, anggaran negara yang defisit sudah tidak relevan.

"Defisit baru relevan jika ekonomi sedang krisis, karena pemerintah memang menjadi andalan. Namun pada 2011, perekonomian sudah pulih sehingga anggaran defisit tidak perlu dilaksanakan," ujarnya.

Pada 2011, lanjut Laurens, perekonomian swasta sudah bergerak normal sehingga ekspansi fiskal tidak terlalu dibutuhkan. Jika penerimaan tidak mampu membiayai belanja, maka pilihan yang bisa tempuh adalah efisiensi belanja bukan defisit anggaran.

"Anggaran negara harus efisien, kurangi overhead cost. Harus seimbang antara pengeluaran dan pendapatan, tanpa defisit," jelasnya

Selain itu, Laurens menyatakan pemerintah juga belum bisa merealisasikan defisit sesuai target. Pada 2009, realisasi defisit anggaran hanya sebesar 872, triliun rupiah, jauh dari target yaitu 129,8 triliun rupiah.

Anggota Badan Anggaran DPR Fary Djemi Francis mengatakan, utang membuat perekonomian nasional tersandera oleh pasar dan kreditur asing.

"Realisasi pembiayaan sudah melebihi kebutuhan, ini bisa menambah beban fiskal di masa mendatang. Sudah sepatutnya kebijakan ini dikoreksi," ujarnya.

Pemerintah, lanjut Fary, harus mulai memutuskan jebakan utang yang menggerus anggaran negara.

"Putuskan ketergantungan utang, salah satunya dengan moratorium," ujar dia.

Menanggapi hal itu, Menteri Keuangan Agus DW Martowardojo mengatakan pemerintah sudah mulai menerapkan kebijakan pengurangan utang. Pada 2010, defisit anggaran diperkirakan turun dari 2,1 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) menjadi 1,5 persen PDB.

"Itu sebenarnya sudah menunjukkan pemerintah terus memberikan insentif kepada stimulus, supaya bisa betul-betul mempersiapkan diri membangun ekonomi dengan baik," imbuhnya usai Rapat Paripurna.

22
PT. Kereta Api Indonesia (KAI) akan meluncurkan kereta listrik khusus wanita untuk melayani rute Jakarta- Depok- Tangerang- Bekasi. Layanan khusus ini sengaja dibuat PT. KAI untuk melindungi wanita dari pelecehan seksual yang kerap dialami di atas gerbong kereta.


Kereta khusus wanita ini rencananya akan diresmikan pada 19 Agustus 2010. PT KAI menyiapkan delapan gerbong berkapasitas 300 orang. Setiap harinya kereta khusus ini akan ditempatkan di unit rangkaian kereta paling depan dan paling belakang. Untuk pengaturannya akan ada petugas khusus yang mengawasi.


Kereta khusus wanita ini beroperasi pada jam normal, seperti kereta Jabodetabek lain. Begitu juga dengan harga tiketnya, masih Rp 2.500 untuk kelas ekonomi dan Rp 11.000 untuk kelas AC Ekspres.

sumber: http://www.kabarinews.com/article.cfm?articleID=35324

23
Diskusi Umum / Arti kata THE BUDDHA: Buddha saja atau Sang Buddha?
« on: 06 August 2010, 01:16:20 PM »
BUDDHA atau SANG BUDDHA
Saya sering mengalami keragu-raguan dalam menuliskan kata terjemahan THE BUDDHA dalam bahasa Indonesia. Kata “the Buddha” ini sebaiknya ditulis sebagai “Buddha” saja atau “Sang Buddha”. Ada yang berpendapat bahwa penggunaan kata “Sang” cenderung “menuhankan” Buddha atau memposisikan Buddha seperti Tuhan.

Mohon pendapatnya…..
Terima kasih
 _/\_

24
Hobi dan Kegiatan Ektrakulikuler / KARTINI SEJATI BOXING CLUB
« on: 02 August 2010, 05:25:13 PM »
Dear para sahabat perempuan

Kartini Sejati Boxing Club membuka klas baru bagi teman-teman perempuan yang ingin menyalurkan hoby olahraganya sekaligus belajar untuk tehnik pertahanan diri. Bagi yang ingin bergabung silahkan datang ke sasana Arseto Jl. Taman Tanah Abang 3 No.14 Jakarta Pusat setiap hari Minggu pukul 16.30 wib. atau hubungi No. Hp. 0858 1488 5461. GRATIS loooh.....

TXS


25
Menjadi volunteer guru SD selama satu tahun. Siapa rela dan berani mengambil kesempatan ini? Silakan daftar segera! Penutupan pendaftaran tinggal 2 hari lagi!


________________________________
Surat untuk Anak-anak Muda Indonesia

Dari : Anies Baswedan
Hal : Indonesia Mengajar

Saya menulis khusus pada Anda dengan sebuah keyakinan bahwa kita bersama bisa
saling dukung demi kemajuan republik dan bangsa kita. Saya yakin karena sejarah
sudah membuktikan bahwa Republik ini berdiri, tumbuh, berkembang dan maju
seperti sekarang karena ditopang oleh anak-anak muda yang tecerdaskan, tangguh
dan energik seperti Anda.

Hari ini kondisi kita jauh lebih maju daripada saat kita menyatakan merdeka.
Saat republik berdiri, angka buta huruf adalah 95%. Saya membayangkan betapa
beratnya beban para pemimpin republik muda di waktu itu. Mereka harus
menggerakan kemajuan dari nol, dari nol besar. Puluhan
juta rakyatnya sanggup berjuang dalam revolusi kemerdekaan, tapi tidak sanggup
menuliskan namanya sendiri. Hari ini melalui kerja kolektif seluruh bangsa,
kita berhasil memutarbalikan hingga tinggal 8% yang buta huruf. Tidak banyak
bangsa besar di dunia yang dalam waktu 60 tahun bisa berubah sedrastis ini.

Itu prestasi kolosal, dan kita boleh bangga. Tapi daftar masalah yang belum
terselesaikan masih panjang. Melek huruf adalah langkah awal.
Langkah berikutnya adalah akses yang merata, akses untuk setiap anak pada
pendidikan berkualitas. Pendidikan berkualitas adalah kunci mengkonversi dari
kemiskinan dan keterbelakangan menjadi kemajuan, menjadi bangsa yang cerdas,
adil dan makmur.

Garda terdepan dalam soal pendidikan ini adalah guru. Di balik kompleksitas
perdebatan yang rumit dan panjang soal sistem pendidikan, soal kurikulum, soal
ujian dan semacamnya, berdiri para guru. Mereka bersahaja, berdiri di depan
anak didiknya; mereka mendidik, merangsang dan menginspirasi. Dalam himpitan
tekanan ekonomi, mereka hadir di hati anak-anak Indonesia. Hati mereka bergetar
setiap melihat anak-anak itu
menjadi orang di kemudian hari. Setiap ucapan terima kasih adalah tanda atas
pahala guru-guru ini. Mereka adalah profesi terpercaya, pada pundak guru-guru
ini kita titipkan persiapan masa depan republik ini.

Hari ini kita berhadapan dengan masalah: variasi kualitas guru dan distribusi
guru. Menghadapi masalah ini kita bisa berkeluh kesah, menyalahkan negara dan
menuding pemerintah. Atau kita gulungkan lengan baju dan berbuat sesuatu. Saya
mengajak kita semua untuk turun tangan.
Libatkan diri kita untuk mempersiapkan masa depan republik. Untuk kita, untuk
masa depan anak-anak kita dan untuk melunasi janji kemerdekaan: mencerdaskan
kehidupan bangsa.

Saat ini saya dan banyak kawan seide sedang mengembangkan program Indonesia
Mengajar, yaitu sebuah inisiatif dengan misi ganda: pertama, mengisi kekurangan
guru berkualitas di Sekolah Dasar, khususnya di daerah terpencil; dan kedua
menyiapkan lulusan perguruan tinggi untuk jadi pemimpin masa depan yang
memiliki pengetahuan, pengalaman dan kedekatan dengan rakyat kecil di pelosok
negeri.

Kami mengundang putra-putri terbaik republik ini untuk menjadi Pengajar Muda,
menjadi guru SD selama 1 tahun. Satu tahun berada di tengah-tengah rakyat di
pelosok negeri, di tengah anak-anak bangsa yang kelak akan meneruskan sejarah
republik ini. Satu tahun berada bersama anak-anak di dekat keindahan alam, di
pesisir pulau-pulau kecil, di puncak-puncak pegunungan dan di lembah-lembah
hijau yang membentang sepanjang khatulistiwa. Saya yakin pengalaman satu tahun
ini akan menjadi bagian dari sejarah hidup yang tidak mungkin bisa Anda
lupakan: desa terpencil dan anak-anak didik itu akan selalu menjadi bagian dari
diri Anda.

Di desa-desa terpencil itu para Pengajar Muda akan menorehkan jejak, menitipkan
pahala; bagi para siswa SD disana, alas kaki bisa jadi tidak ada, baju bisa
jadi kumal dan ala kadarnya tapi mata mereka bisa berbinar karena kehadiran
Anda. Anda hadir memberikan harapan. Anda hadir mendekatkan jarak mereka dengan
pusat kemajuan. Anda hadir membuat anak-anak SD di pelosok negeri memiliki
mimpi. Anda hadir membuat para orang-tua di desa-desa terpencil ingin memiliki
anak yang terdidik seperti anda. Ya, ketertinggalan adalah baju mereka
sekarang, tapi Anda hadir merangsang mereka untuk punya cita-cita, punya mimpi.
Mimpi adalah energi mereka untuk meraih baju baru di masa depan. Kemajuan dan
kemandirian adalah baju anak-anak di masa depan. Anda hadir disana, di desa
mereka, Anda hadir membukakan pintu menuju masa depan yang jauh lebih baik.

Sebagai Pengajar Muda, Anda adalah role model, Anda menjadi sumber inspirasi.
Kita semua yakin, mengajar itu adalah memberi inspirasi.
Menggandakan semangat, menyebarkan harapan dan optimisme; hal-hal yang selama
ini terlihat defisit di pelosok negeri ini.

Bukan hanya itu, selama 1 tahun para Pengajar Muda ini sebenarnya akan belajar.
Pengalaman berada di pelosok Indonesia, tinggal di rumah rakyat kebanyakan,
berinteraksi dekat dengan rakyat. Menghadapi tantangan mulai dari sekolah yang
minim fasilitas, desa tanpa listrik, masyarakat yang
jauh dari informasi sampai dengan kemiskinan yang merata; itu semua adalah
wahana tempaan, itu pengembangan diri yang luar biasa. Anda dibenturkan dengan
kenyataan republik ini. Anda ditantang untuk mengeluarkan seluruh potensi
energi Anda untuk mendorong kemajuan. Satu tahun ini menjadi
leadership training yang luar biasa. Sukses itu sering bukan karena berhasil
meraih sesuatu, tetapi karena Anda berhasil menyelesaikan dan melampaui
tantangan dan kesulitan. Setahun Anda berpeluang membekali diri sendiri dengan
resep untuk sukses.

Apalagi, kita semua tahu bahwa: You are a leader only if you have follower.
Keberhasilan Anda menjadi leader di hadapan anak-anak SD adalah pengalaman
leadership yang kongkrit. Biarkan anak-anak itu memiliki Anda, mencintai Anda,
menyerap ilmu Anda, mengambil inspirasi dari Anda. Anda mengajar selama
setahun, tapi kehadiran Anda dalam hidup mereka adalah seumur hidup, dampak
positifnya seumur hidup.

Sesudah satu tahun menjadi Pengajar Muda, Anda bisa meniti karir di berbagai
bidang. Anda memulai karir dengan bobot pengalaman dan nilai kepemimpinan yang
luar biasa. Saya sering tekankan: your high GPA will get you a job interview,
but your leadership gets you the bright future.
Setahun menjadi Pengajar Muda tidak akan membuat Anda terlambat dibandingkan
kawan-kawan yang tidak menjadi Pengajar Muda.
Perusahaan-perusaha an, institusi masyarakat dan lembaga pemerintahan semua
akan memandang Anda sebagai anak-anak muda yang cerdas, berpengalaman, kreatif,
berkepemimpinan kuat, konstruktif dan grounded. Mereka sangat mencari anak-anak
muda seperti itu. Mereka akan membuka lebar pintunya
bagi kehadiran Pengajar Muda.

Sejak awal bulan Juni 2010 Gerakan Indonesia Mengajar membuka peluang bagi
bakat-bakat muda terbaik bangsa seperti Anda, dari berbagai disiplin ilmu dan
dari dalam negeri maupun dari luar negeri, untuk menjadi Pengajar Muda. Sarjana
yang direkrut oleh Gerakan Indonesia Mengajar hanyalah best graduate,
sarjana-sarjana terbaik: berprestasi akademik, berjiwa kepemimpinan, aktif
bermasyarakat, kemampuan yang komunikasi baik.

Sebelum berangkat, Anda akan dibekali dengan pelatihan yang komplit sebagai
bekal untuk mengajar, untuk hidup dan untuk berperan di pelosok negeri. Selama
menjadi Pengajar Muda, Anda akan mendapatkan gaji yang memadai dan kompetitif
dibandingkan kawan Anda yang bekerja di sektor swasta. Anda akan dibekali
dengan teknologi penunjang selama program dan jaringan yang luas untuk memilih
karier sesudah selesai mengabdi sebagai Pengajar Muda. Selama menjadi Pengajar
Muda, Anda tidak akan dibiarkan sendirian. Kami akan hadir dekat dengan Anda.

Seselesainya program ini, Anda meniti karier sebagai anak-anak terbaik bangsa.
Dalam beberapa tahun kedepan, Anda menjadi garda terdepan Indonesia di era
globalisasi baik di sektor swasta maupun publik. Kelak Anda menjadi pemimpin di
bidang masing-masing dengan kompetensi kelas dunia dan ditopang pemahaman
mendalam tentang bangsa sendiri. One day you become world class leader, but
grounded and strong roots in the heart of the nation. Suatu saat mungkin Anda
menjadi CEO, menjadi guru besar, menjadi pejabat tinggi atau yang lainnya, saat
itu di posisi apapun, Anda selalu bisa mengatakan bahwa "Saya pernah hidup di
desa terpencil dan mengabdi untuk bangsa ini"; hari ini kita bisa dengan mudah
menghitung berapa banyak kalangan sipil yang sanggup mengatakan kalimat itu.

Di atas segalanya, program ini menawarkan kesempatan untuk setahun mengajar,
seumur hidup menginspirasi anak bangsa. Setahun menempa diri, seumur hidup
memancarkan gelora kepemimpinan.

Saya menggugah, sekaligus menantang Anda. Saya mengajak Anda untuk bergabung
bersama Indonesia Mengajar. Menjadi bagian dari ikatan untuk membangun
Indonesia kita.

Salam hangat,
Anies Baswedan
anies.baswedan [at]  indonesiamengajar. org

Pendaftaran Pengajar Muda dan info lebih jauh di www.indonesiamengajar.org
(deadline pendaftaran 30 Juli 2010).

Sila utk memforward surat ini pada teman, saudara, dan lingkungan yang anda
rasa berminat utk melangkah bersama dalam Indonesia Mengajar

26
Undangan Menulis Makalah dan Berpartisipasi
KONFERENSI I tentang ’HUKUM DAN PENGHUKUMAN’

Minggu, 28 November – Rabu, 1 Desember 2010
Pusat Studi Jepang, Universitas Indonesia, Kampus Depok





LATAR BELAKANG

Undang-undang mengenai Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga merupakan suatu keberhasilan dan terobosan sangat penting dalam mengupayakan keadilan bagi korban. Meski demikian, ada cukup banyak kebingungan dari istri yang ingin suaminya berhenti melakukan tindak kekerasan, tetapi tidak ingin sang suami dipidana penjara karena berbagai alasan termasuk untuk menghindari stigma.

Sementara itu mencoba menjawab berbagai persoalan kompleks dalam masyarakat, beberapa tahun terakhir ini berkembang wacana kuat mengenai pengaturan masyarakat dengan memfokus pada aspek moralitas. Aceh kini mempunyai kewenangan khusus melaksanakan Syariat Islam, memperkenalkan cambuk sebagai bentuk penghukuman baru dalam peraturan daerah. Di daerah-daerah lain, berbagai persoalan masyarakat yang sangat kompleks tampaknya juga dipahami oleh para pengambil kebijakan sebagai persoalan moralitas, dan dikerucutkan melalui pengaturan moral. Semuanya langsung maupun tidak langsung banyak menyangkut perempuan dan konstruksi gender dalam ranah privat, publik maupun kebijakan.

Pada saat sama kita mengamati situasi hak asasi manusia di tempat-tempat penahanan dan lembaga pemasyarakatan. Amat sesaknya tingkat hunian menyebabkan hak atas kondisi hidup yang layak sulit. terpenuhi. Berbagai keterbatasan sarana dan prasarana ikut memicu proliferasi bentuk-bentuk penghukuman baru yang dianggap dapat menjadi alternatif penyelesaian, termasuk bentuk-bentuk hukuman badan seperti yang telah diperkenalkan di Aceh.

TUJUAN, DAN SIGNIFIKANSI KONFERENSI

Konstruksi hukum selama berabad-abad hingga kini, didominasi oleh bangunan pemikiran laki-laki, untuk kepentingan penguasa. Hukum yang didamba masyarakat dapat memberi keadilan dan perlindungan, malah dapat menyudutkan dan mengkriminalisasi perempuan dan kelompok marjinal. Dalam tampilannya di masa kini, konstruksi hukum yang didominasi oleh bangunan pemikiran laki-laki untuk kepentingan penguasa tampil dalam wacana yang mempersempit kompleksitas berbagai persoalan kenegaraan dan kemasyarakatan  dalam kacamata moral. Pemahaman kemudian dipersempit lagi ke dalam pengaturan moral dan perilaku masyarakat (seringkali perempuan), dengan  menggunakan cara berpikir tunggal dan penyeragaman dalam menyelesaikan persoalan publik. Penyelesaian demikian berpotensi makin merentankan posisi perempuan, melanggengkan berbagai stereotipe dan diskriminasi, sekaligus melemahkan sendi-sendi penghormatan terhadap kebhinekaan.

Sehubungan hal di atas, menjadi sangat penting untuk menyediakan mekanisme bagi masyarakat, khususnya perempuan yang dalam konstruksi gender yang patriarkis berada dalam posisi rentan dan sering dikorbankan, untuk secara terbuka menyampaikan persoalan-persoalan, temuan pendampingan dan kerja lapangan, hasil-hasil penelitian, serta pemikiran-pemikiran baru untuk menanggulangi kebuntuan dan membuka pemahaman baru. Rekonstruksi hukum dan penghukuman – dalam arti dan cakupan seluas-luasnya – perlu dilakukan dengan memerhatikan pengalaman perempuan dan kelompok marjinal. Rekonstruksi ‘hukum dan penghukuman’ sekaligus merupakan rekonstruksi nilai-nilai, perspektif, teori dan cara berperilaku kita semua dalam memahami, mengelola dan menyelesaikan wacana publik.

Wacana ‘hukum dan penghukuman’ di sini diartikan secara luas, bukan hanya dalam artian hukum positif (perdata, pidana) dan kebijakan-kebijakan formal tertulis di tingkat nasional maupun daerah. Masuk pula di sini berbagai diskusi mengenai bagaimana masyarakat mempersepsi, mengevaluasi, memberikan sanksi, melakukan pemantapan nilai-nilai dan perilaku dalam keluarga, di sekolah, dalam hubungan kerja, dalam relasi antar kelompok, hingga ke hukum dan kebijakan formal. Pada intinya, konferensi diarahkan untuk dapat mengambil intisari pemaknaan pengalaman lapangan, membuka dan mengusulkan pemahaman dan pemikiran baru – dapat bersifat konseptual maupun strategis, mengenai hukum, bukan sebagai alat represi melainkan sebagai wadah pendidikan masyarakat. Mengintegrasikan dimensi feminin, atau ‘pengetahuan dari perempuan’ menjadi sangat penting untuk memastikan perlindungan, keadilan dan dijunjung tingginya martabat dan hak-hak asasi manusia dari semua kita yang berbeda-beda.

TEMA DAN KONTEKS BAHASAN

Untuk memudahkan pembelajaran dan berbagi pengetahuan secara maksimal, percakapan dalam konferensi akan dibagi dalam kategori-kategori besar sebagai berikut, yang sekaligus mengintegrasikan aksi, refleksi dan pengetahuan menjadi alur besar konferensi:

1.Berbagi cerita dan/atau pembahasan pengalaman lapangan terkait hukum dan penghukuman dari individu/kelompok perempuan sebagai subjek hukum, serta dari kerja pendampingan, advokasi dan berbagai bentuk pembelajaran lapangan lain (= PENGALAMAN LAPANGAN)
2.Kajian konseptual lintas disiplin mengenai hukum dan penghukuman, terkait pendasaran filosofisnya, perenungan konseptual dari pengalaman lapangan, tinjauan dari berbagai disiplin dan konsep berbeda; termasuk di dalamnya kajian terhadap berbagai produk perundangan yang telah disahkan, dan atau rancangan peraturan  (= KAJIAN KONSEPTUAL)
3.Diskusi mengenai rekomendasi dan pemikiran-pemikiran alternatif mengenai hukum dan penghukuman untuk memastikan penyimpulan konseptual dalam pemikiran-pemikiran pembaruan hukum yang bermuara pada perlindungan masyarakat dan penghormatan akan martabat dan hak-hak asasi manusia (= PEMIKIRAN ALTERNATIF)
Tema-tema khusus yang dapat dikembangkan antara lain:

■Politik seksualitas dan konstruksi identitas perempuan
■Pelanggaran HAM berat berbasis gender
■Gender dan peran negara dalam rezim-rezim penghukuman
■Penghukuman dan alternatif-alternatif sanksi sosial
■Politik budaya, keberdayaan perempuan dan masyarakat marginal
■Pluralisme hukum dan akses terhadap keadilan
■Demokrasi dan demokratisasi
■Kajian hukum nasional, hukum adat dan hukum agama
■Upaya perempuan, agency, strategi dan pemikiran-pemikiran baru
■Tema-tema khusus lain yang relevan
Untuk memudahkan, bahasan mengenai tema atau topik-topik khusus dari butir-butir dalam kategori-kategori/alur di atas dapat dikembangkan dari situasi nyata konteks-konteks berikut:

■Pembelajaran dari berbagai instrumen internasional, implementasi instrumen nasional dan pengalaman negara-negara lain
■Perempuan dan relasi gender terkait tubuh, seksualitas, reproduksi dan kehidupan berkeluarga
■Perempuan dan relasi gender terkait sumberdaya alam, masyarakat adat, masyarakat terpencil dan masyarakat miskin perdesaan
■Perempuan buruh, pekerja migran, pekerja rumahtangga, pekerja informal dan masyarakat miskin kota
■Perempuan dan relasi gender dalam otonomi daerah, konteks konflik dan kerja perdamaian
■Perempuan dan relasi gender dalam wacana pluralitas budaya, beragama dan berkeyakinan
■Perempuan korban yang diposisikan sebagai pelaku kejahatan/kriminal
■Perempuan sebagai pekerja kemanusiaan dan pekerja HAM
■Perempuan bicara mengenai isu-isu strategis lain (mis. perdagangan manusia dan perdagangan perempuan hingga ke bentuk-bentuknya yang paling kejam dan destruktif, perdagangan narkoba lintas negara, korupsi, hukuman mati, dan lain sebagainya)
PESERTA, UNDANGAN UNTUK BERPARTISIPASI DAN JADWAL

Konferensi mengundang partisipasi yang sama aktifnya dari praktisi lapangan, akademisi, peneliti dan individu-individu lain yang berminat, dari kalangan non hukum (sosiologi, antropologi, kesehatan, psikologi, seni, bahasa, media dan lain sebagainya). Mekanisme yang digunakan adalah gabungan antara ’undangan menulis makalah’ (’call for papers’), terutama bagi kalangan akademik dan umum, serta ‘afirmasi-rekomendasi’, khususnya bagi pekerja kemanusiaan dan pekerja HAM yang bergelut di lapangan.

Untuk mekanisme afirmasi-rekomendasi, mohon agar pemberi rekomendasi menyampaikan informasi tertulis mengenai:

■Diri sendiri (individu, kelompok dan/atau lembaga) dengan bidang yang ditekuni
■Siapa (individu, kelompok dan/atau lembaga) yang direkomendasikan untuk mempresentasikan materinya, serta tema/topik yang akan disampaikan
■Alasan mengapa individu, kelompok dan/atau lembaga, serta tema/topik tersebut penting untuk dibagikan atau disampaikan dalam konferensi
Formulir pernyataan minat untuk ikut atau formulir rekomendasi bisa diunduh di link dibawah ini:

■Download Formulir Pendaftaran Panelis
■Download Formulir Rekomendasi



Tenggat penyerahan abstrak materi dan atau penyerahan rekomendasi : Jumat, 16 Juli 2010
Pengumuman paper yang disetujui : Jumat, 20 Agustus 2010
Tenggat registrasi (pendaftaran sebagai peserta) : Selasa, 31 Agustus 2010

Mohon mengirimkan formulir melalui email ke:

pengetahuan [at] komnasperempuan.or.id dan  CC: kajianperempuan [at] gmail.com.

Berbagai pertanyaan atau usulan lebih lanjut juga dapat dikirim ke alamat sama.

Panitia akan membiayai transportasi dan akomodasi untuk penulis yang makalahnya disetujui.





PENGETAHUAN DARI PEREMPUAN dan PENGARAH

Konferensi digagas dan diselenggarakan sebagai bentuk kerjasama antara Program Studi Kajian Wanita (Kajian Gender) Program Pascasarjana Universitas Indonesia dan Komnas Perempuan, sebagai konferensi pertama, yang menjadi bagian dari Program Jangka Panjang INSTITUTIONALISASI PEMBANGUNAN PENGETAHUAN DARI PEREMPUAN INDONESIA (PENGETAHUAN DARI PEREMPUAN). Program jangka panjang ini dilatarbelakangi oleh kenyataan lemahnya institusionalisasi kerja perempuan di berbagai tingkatan dan sektor berbeda, dan adanya kebutuhan mendesak untuk melahirkan dan memastikan penguatan jangka panjang suatu mekanisme nasional untuk membangun pengetahuan dari perempuan.

KOMITE PENGARAH (berdasar urutan abjad)

■Kamala Chandrakirana
■Kristi Poerwandari
■Nani Zulminarni
■Neng Dara Affiah
■Sjamsiah Achmad
■Sri Kusyuniati
■Sulistyowati Irianto
■Yustina Rostiawati
Info lebih lanjut, hubungi:

■Yati / Shelly, Program Studi Kajian Wanita PPs-UI (021-3160788 / 021-3907407)
■Komnas Perempuan (021-3903963)

Info selanjutnya lihat di: http://www.komnasperempuan.or.id/pengetahuan-dari-perempuan/

27
Subjek: Lowongan di Eksekutif Nasional Walhi: Manager Kampanye Pesisir &
Laut

Ke: alumni-kalabahu-lbh-jakarta [at] yahoogroups.com, perempuan [at] yahoogroups.com

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi)/ Friends of the Earth Indonesia
merupakan organisasi lingkungan hidup terbesar di Indonesia sejak 1980,
dengan 25 Eksekutif Daerah dan 472 lembaga anggota. Eksekutif Nasional Walhi
saat ini membutuhkan seorang Manager Kampanye Pesisir dan Laut (di bawah
Departemen Kampanye dan Advokasi), dengan kriteria umum sebagai berikut:

- Memahami isu dan permasalahan lingkungan hidup di sektor pesisir dan laut
- Berpengalaman bekerja dalam bidang advokasi/kampanye di LSM minimal 3
tahun
- Mampu berbahasa Inggris (lisan dan tulis)
- Mampu bekerja di bawah tekanan baik secara tim maupun individu
- Memiliki kecerdasan emosional dan kemampuan managemen konflik yang baik
- Mampu membangun jaringan baik lokal, nasional maupun internasional

Gambaran pekerjaan (umum):
- melakukan advokasi dan kampanye terhadap isu pesisir dan laut di tingkat
nasional
- bersama dengan manager hukum dan kebijakan melakukan analisa terhadap
kebijakan di isu pesisir dan laut
- melakukan pengembangan kapasitas serta menjadi pusat informasi untuk
eksekutif daerah Walhi
- membantu Eksekutif Daerah WALHI dalam menyusun strategi kampanye pesisir
dan laut, jika dibutuhkan.
- Mencari sumber pendanaan untuk mensuport aktivitas Kampanye pesisir dan
laut baik yang sedang dilakukan maupun yang akan dilakukan, jika dibutuhkan
- Melakukan mainstreaming Kampanye pesisir dan laut WALHI dalam setiap
pertemuan, diskusi maupun debat baik tingkat lokal, nasional maupun
internasional.
- Mengikuti dan mengawal perdebatan dalam tingkat nasional dan internasional
terkait isu yang dikampanyekan, serta melakukan intervensi didalamnya.

Walhi memprioritaskan pelamar perempuan sebagai tindakan khusus untuk
pengarusutamaan gender. Kirimkan lamaran dan CV ke emi [at] walhi.or.id atau
direktur [at] walhi.or.id, ditujukan kepada Direktur cc. Bagian HRD. Posisi ini
akan tetap terbuka sampai ditemukan orang yang paling tepat.

--
Jumi Rahayu
Manager Advokasi Hukum & Kebijakan
Eksekutif Nasional WALHI/ Friends of the Earth Indonesia
Jl. Tegalparang Utara No.14 Jakarta Selatan 12790
Telp: +6221-7941672; 79193363 Fax: +6221-7941673
Mobile: +62 817 4910 355
Skype: jumirahayu


28
Dampak Lumpur Lapindo Jalan Raya Porong Ambles 5 Cm Setiap Bulan

[SURABAYA] Jalan Raya Porong, Sidoarjo, Jawa Timur (Jatim) mengalami penurunan tanah sedalam lima sentimeter (cm) per bulan. Ambles tersebut sudah mencapai 90 cm sejak tahun 2008, sebagai dampak dari semburan dan luberan lumpur panas bercampur gas Lapindo setiap hari.

Dari hasil observasi Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) disimpulkan, penurunan terparah berada di pintu keluar Jalan Tol Porong, yang lebih dikenal dengan tol bunting. Penurunan disebabkan adanya rongga yang berada di dalam tanah, sehingga tanah yang ada di atasnya anjlok perlahan.

Wakil Kepala Humas Badan Pelaksana (Bapel) Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), Akhmad Kusairi, mengemukakan hal itu di Surabaya, Sabtu (3/7) pagi. Karena ambles, BPLS kemudian meninggikan jalan sepanjang satu kilometer dari Desa Ketapang, Tanggulangin hingga Tugu Kuning di Kelurahan Siring, Porong. Peninggian pada jalur ini mencapai satu meter pada tempat amblesan yang terdalam di depan Gerbang Tol Porong.

Sementara itu, anggota Komisi V DPR Imam Nachrawi menganggap proyek peninggian Jalan Raya Porong, sebagai pekerjaan mubazir, karena tidak lama jalan tersebut akan dipindah ke lokasi jalan arteri baru. "Proyek ini terkesan mengada-ada karena menghabiskan dana anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN)," kata Imam Nachrawi, seusai melakukan inspeksi mendadak (sidak) bersama empat anggota Komisi V lainnya, Jumat (2/7). Menurut Nachrawi, pihaknya mendapat banyak keluhan dari masyarakat tentang pembangunan proyek peninggian jalan itu, karena mereka selalu menghirup debu ketika proyek dikerjakan. Keluhan terbesar dari pengemudi truk dan angkutan umum serta pengguna kendaraan roda dua.

Audit
Komisi V DPR RI juga mendorong Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) segera melakukan audit menyeluruh terhadap penggunaan APBN di lingkup BPLS. Nachrawi memberi contoh, ada pompa besar mangkrak di pinggir Kali Porong. Pompa tersebut dibeli dengan harga miliaran rupiah. Karena itu perlu audit. Kepala Humas BPLS, Achmad Zulkanaen mengatakan, proyek peninggian jalan merupakan bagian dari tindak lanjut rekomendasi Kementerian Pekerjaan Umum, Jasa Marga dan BPLS.

Menurut Zulkarnaen, sejak BPLS dibentuk 2007, anggarannya mencapai Rp 4 triliun, tetapi hanya terserap Rp 1,3 triliun. Minimnya penyerapan disebabkan, anggaran dialokasikan untuk proyek relokasi infrastruktur. Masih ada lahan yang belum terbebaskan, sehingga pembangunan fisik belum bisa dikerjakan di atas lahan yang belum tersedia.
Seperti diberitakan semburan dan luberan lumpur terjadi sejak 29 Mei 2006. Luberan lumpur ditampung dalam kolam raksasa seluas 700 hektare dan sebagian dibuang langsung ke Selat Madura, melalui Kali Porong. Sebanyak 13.000 lebih rumah telah tenggelam karena semburan tersebut. [080/070]

Pages: 1 [2]