//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Show Posts

This section allows you to view all posts made by this member. Note that you can only see posts made in areas you currently have access to.


Messages - vincentliong

Pages: [1] 2 3 4 5 6 7 8
1
Kainyn_Kutho wrote:
OK, terima kasih untuk penjelasannya. Memang betul, bukan masalah "lebih benar/salah". "Socially Acceptable" sebetulnya hanyalah masalah mayoritas manusia di satu komunitas, bukan perihal benar dan salah.

Pembahasan "Socially Acceptable" ini juga wilayah yang abu-abu sebab; seseorang bisa beranggapan bahwa orang lain tidak memenuhi kriteria "Socially Acceptable" sedangkan orang lain itu sendiri merasa telah mendapatkan "Socially Acceptable" yang lebih dari cukup.

Intinya bagaimana memainkan sisi eksistensialisme (diri sendiri) dan sisi romantisme (bertoleransi terhadap masyarakat) dengan tujuan dirinya mendapatkan "Socially Acceptable". Dalam beberapa kasus, bisa saja seseorang sangat kuat di sisi eksistensialisme (diri sendiri) dan tetap mampu menghasilkan kondisi "Socially Acceptable" yang lebih dari cukup bagi dirinya sendiri.

Alasan "Socially Acceptable" sering dijadikan alasan bagi kelompok yang mengaku mewakili masyarakat untuk bertindak melanggar hukum, misalnya dalam teror yang saya alami tahun lalu, kasus pembakaran saint Joan, dlsb.   

2
Kainyn_Kutho wrote:

Saya tertarik dengan gaya bicara sebagian orang Samawi yang sering mengatakan bahwa "ciptaan tidak mampu memahami pencipta", terutama jika ada sesuatu yang tidak sesuai dengan kepercayaannya, dan suka menuduh orang lain "playing God".
Misalnya masalah cloning manusia, sebagian mengatakan itu berusaha "menjadi Tuhan". Dikatakan "ciptaan tidak mampu memahami pencipta", tapi kok ada ciptaan yang memahami bahwa pencipta itu membatasi pikiran ciptaan agar tidak bisa cloning? Tahu dari mana bahwa cloning itu sendiri adalah "batasan" dari Pencipta, sedangkan dikatakan "ciptaan tidak ada yang mampu memahami pencipta"?

Vincent Liong answer:

“Kalau pakai bahasa samawi-nya” dimaksutkan bahwa kalimat itu biasanya saya gunakan untuk menyindir orang samawi yang “playing as God”. Tentang cloning batasan tersebut adalah asumsi manusia tentang pemikiran pencipta, saya setuju.

3
SandalJepit,

Quote
dalam ajaran Buddha, tidak semua ajarannya bisa dibuktikan (31 alam, teori karma, reinkarnasi, dll) .  Namun walaupun tidak bisa dibuktikan, apabila dipraktekkan akan memberikan manfaat. Apabila semua umat manusia bersikap skeptis: harus membuktikan dahulu baru percaya, menurut saya juga akan membuang-buang banyak waktu.
saya setuju kalau suatu ajaran belum berhasil dibuktikan tidak boleh dijadikan suatu kebenaran mutlak. namun suatu ajaran yang memberikan manfaat walaupun tidak bisa dibuktikan boleh dipraktekkan (walaupun bukan kebenaran mutlak).

Ya, betul. Seperti teori kamma, kita tidak bisa membuktikan kebenarannya, tetapi dicoba praktekkan saja apa yang bisa didapat dari berbuat baik dan berbuat jahat, nanti tahu sendiri manfaatnya.
Untuk inti ajarannya, yaitu tentang dukkha, itu sudah pasti bisa dibuktikan oleh setiap orang.
Dan pembuktian teori2 lain tentang 31 alam, kamma, tumimbal lahir, tidak berpengaruh pada praktek seseorang dalam proses penghentian dukkha (e.g. orang melakukan meditasi melihat ke 'dalam', tidak perlu pembuktian teori kamma/31 alam/dsb). Konsep dan teori dari ajaran itu adalah untuk mengarahkan pikiran agar berpikir secara benar (e.g. melihat orang terlahir cantik atau buruk adalah buah dari kamma lampau, bukan ujicoba mahluk adikuasa yang berhasil atau gagal, sehingga tidak perlu ada rasa tidak puas atau iri hati).
Jadi sifat skeptik itu memang dianjurkan, tetapi ditujukan pada hal2 yang membawa manfaat, bukan pada hal yang hanya membawa pada spekulasi.


Saya pernah membuat pernyataan awal saya ketika mulai berdiskusi di forum ini ;

Saya adalah Nabi Palsu bagi Diri Sendiri. (Nabi adalah sebutan untuk orang yang ber-nubuat) Saya sadar bahwa saya tidak berhak meninggikan diri di hadapan Pencipta dengan bernubuat bagi orang lain. Dengan menyadari dan mengakui bahwa diri saya hanyalah seorang nabi palsu, maka saya telah menggenapi apa yang tertulis di kitab suci bahwa akan datang nabi-nabi palsu.
Ketika hari ini datang seseorang mengaku sebagai Nabi Asli, merasa lebih pintar, lebih mengerti, lebih tinggi di hadapan Pencipta dan berusaha mengarahkan orang lain, meninggikan diri di hadapan Pencipta dengan bernubuat bagi orang lain;
Di masa kini Ia yang Mengaku Nabi Asli itu telah merampas Hak manusia-manusia yang dijadikan pengikutnya, untuk bernubuat bagi diri sendiri; Setiap manusia berhak menjadi Nabi Palsu bagi Dirinya Sendiri, tidak untuk meninggikan diri dengan bernubuat bagi orang lain.

Permasalahannya ketika sesuatu sudah diteorikan, maka hilanglah kelengkapan informasi yang ingin diwakilkan dengan dibuatnya teori tersebut.

Kalau pakai bahasa samawi-nya; Sebagai ciptaan kita tidak akan mampu memahami kebijaksanaan pencipta.

Kalau pakai bahasa kompatiologi; Ketika saya, dan beberapa orang lain minum dari segelas minuman yang sama, maka sangat mungkin akan ada yang berpendapat bahwa rasa minuman itu manis, asin, pahit, asam atau pedas; tetapi dijamin 100% bahwa informasi utuh (feel/data mentah) yang didapatkan tentang minuman tersebut 100% sama. Tiap orang yang minum dan memberikan pendapatnya tentang rasa minuman (Judgement) hanya mendapatkan satu sudutpandang diantara sekian banyak sudutpandang, yang bila dikumpulkan, akan tetap sulit memberikan kebenaran yang mendekati 100% perihal rasa minuman tersebut (Generalisasi). Sebaliknya, bilamana ditentukan satu sudutpandang yang dianggap benar; maka masing-masing orang yang berusaha mengerti kebenaran tentang rasa minuman tersebut akan menemukan imajinasi, perkiraan tentang minuman tersebut yang berbeda-beda, yang tidak sama dengan minuman tersebut.
(Dikutip dari e-book; Kompatiologi logika komunikasi empati / I. Sejarah kompatiologi / Ide Dasar Kompatiologi Menggunakan Minuman bukan Kata-Kata)   

Inilah alasannya mengapa saya berusaha menghindari menggunakan ajaran. Tujuan “beyond the conditioned thinking" dan “conditioned thinking” adalah dua hal yang bertolakbelakang, bicara sebagai suatu ilmu, suatu gerakan, suatu aliran tentunya harus memilih.

Toh memilih “conditioned thinking” pun tetap akan “merasa” mengerti “beyond the conditioned thinking" dari luarnya saja. Toh memilih “beyond the conditioned thinking" pun tetap akan mendapatkan “conditioned thinking”. Jadi tidak ada yang salah atau benar, tetapi pilihan mau lewat jalan yang mana harus jelas atau tidak kesampaian kedua-duanya. Seperti pernah saya bahas tentang proses yang dimulai dari “beyond the conditioned thinking" sebagai berikut… (eksistensialisme = eksis = diri sendiri)

Proses yang dialami penganut eksistensialisme diawali dengan mengalami pengalaman (informasi/data secara utuh, alami, apa adanya) dan belum diberi pendapat, komentar, justifikasi yang bersifat verbal/pasti. Seperti misalnya kalau kita meminum segelas minuman dan belum berpendapat atas minuman tsb. Tentunya pengalaman yang dialami akan bisa di-Judgement atau tidak. ‘Pendapat atas suatu pengalaman’ (Judgement) bisa berubah dari waktu-ke waktu. Seperti misalnya kalau kita berkali-kali meminum segelas minuman yang 100% sama maka kita bisa memberikan ‘pendapat’(judgement) yang berbeda setiap kali kita meminumnya tergantung situasi dan kondisi saat meminumnya. Sebuah Feel(data mentah) yang sama bisa memiliki bermacam-macam Judgement. Sebuah sample pengalaman bisa dibandingkan dengan variasi pengalaman sejenis yang berbeda-beda range(jangkauan) dan pembandingnya. Banyak variasi Judgement yang muncul yang membuat pertumbuhan jangkauan kerangka logika Generalisasi yang dipahami oleh orang tersebut. Kecepatan pertumbuhan pemahaman ini berbeda-beda tergantung apakah orang tsb berpikir apa adanya dari pengalaman data mentah diri sendiri, atau sudah terpengaruh oleh berbagai Judgement dan Generalisasi dari orang lain.

Muncul fenomena dimana seseorang bisa belajar tidak dari membaca dan mendengar teori atau pendapat orang lain, melainkan dari pengalaman sehari-hari yang tampak sangat sepele. Fenomena menarik yang sering tampak pada mantan peserta dekon-kompatiologi yang tidak pernah membaca buku-buku filsafat dan psikologi; tiba-tiba saja bisa ‘ber-nubuat’(menceritakan ide-idenya yang original) dalam bidang filsafat atau psikologi, yang kalau diurutkan maka akan tampak mirip urutannya dengan urutan daftar isi sejarah filsafat barat atau buku sejarah teori-teori psikologi, dari paling awal hingga paling akhir. Satu-satunya kekurangannya, mereka yang bernubuat ini samasekali tidak tahu nama tokoh-tokoh filsafat dan psikologi yang berhubungan dengan ide-ide yang mereka ceritakan, kadang-kadang mereka bersikap sok tahu seolah-olah ide itu temuan mereka sendiri.

Bilamana kondisi “meditasi” sudah dapat dicapai, maka teori dan ajaran yang didengar atau dibaca dari pribadi lain tidak diperlukan lagi keberadaannya, karena toh akan terpikirkan dengan sendirinya (otomatis) dengan bahasa dan pendefinisian yang lebih dimengerti oleh pribadi itu sendiri.

Ini pilihan jalan yang saya ambil, belum tentu dipilih semua orang.

4
Sdr. SandalJepit dan Kainyn_Kutho, sepertinya lebih tepat menggunakan kata "Kritis" dibanding skeptis. Jadi nga berat sebelah antara sikap tidak percaya dan sikap mau membuktikan kebenarannya.

5
Kainyn_Kutho wrote:
Yang saya tanyakan, manfaatnya yang unik dari kompatiologi ini apa?

Vincent Liong answer:

Bicara tentang hal meditasi, dogma, doktrin, dlsb; masing-masing memiliki perannya dalam kegiatan menerima dan memproses data.

“Meditasi”(berdasarkan definisi wikipedia bahasa Inggris), seperti juga kompatiologi yang berdasarkan pendefinisian tersebut dapat masuk kategori meditasi lebih cenderung pada kegiatan menerima data.

“Think”(berpikir) adalah memproses data yang telah diterima. Dogma, doktrin, dlsb berfungsi mengubah kegiatan pemerosesan data seseorang dari “cara buatannya sendiri”(pengalaman hidup, insting-nya sendiri) menjadi yang dianggap/diasumsikan lebih baik dan benar yaitu berdasarkan dogma, doktrin, dlsb tsb (conditioned thinking). Saat ini berbagai macam training menjanjikan kegiatan memproses data yang lebih baik.

Manfaat dari kompatiologi adalah memperlengkap jumlah data yang diterima dan merapikan susunannya dalam penggaris ukur indrawi, kegiatan memproses data yang diterima tetap dikerjakan menggunakan referensi pengalaman, insting dan kemampuan adaptasi alami orang tersebut yang telah dimiliki sejak lahir.

Saya pribadi orang yang tidak setuju dengan kegiatan-kegiatan yang bersifat mengubah kegiatan memproses data yang diterima, sebab beresiko cara yang baru yang dianggap/diasumsikan lebih benar dan baik, tidak relefan dengan situasi dan kondisi manusia-manusia yang berbeda-beda yang sifatnya individual. Bisa saja seseorang disugesti bahwa cara baru tersebut lebih baik/benar tetapi ini membuat orang tsb kehilangan sensitifitas kemampuan beradaptasi yang telah dimiliki sejak lahir. Saya hanya setuju untuk melakukan pengubahan kegiatan memproses data yang diterima bila pribadi tersebut bermasalah terhadap “social acceptable”, pengubahannya pun hanya untuk membuat lebih sedikit “social acceptable” kalau bisa tidal lebih dari itu.



Kainyn_Kutho wrote:
Seperti saya pernah tanyakan, apakah di waktu dan kondisi berbeda, feel orang terhadap objek sama, tetap sama?
Misalnya berdasarkan kondisi, minum sirup setelah minum jus pare, dan minum sirup setelah minum sirup lain, apakah feel-nya tetap 100% sama?
Jika berdasarkan waktu, apakah indera saya tidak mengalami perkembangan dan perubahan? Jika anda bilang tidak, mungkin anda harus research tentang presbyacousis.

Vincent Liong answer:

Tentunya feel meminum misalnya jus pare juga dipengaruhi oleh minuman yang diminum sebelum dan sesudah jus pare tsb, sebab selalu ada rasa yang menempel di lidah sehingga tidak akan murni 100% tidak terkontaminasi.



Kainyn_Kutho wrote:
Betulkah? Bagaimana dengan kasus dementia atau alzheimer? Atau bagaimana dengan Amnesia?

Vincent Liong answer:
Hal Dementia, Alzheimer, Amnesia; kelihatannya lebih cenderung berkaitan dengan proses berpikir, terutama kegiatan mengingat/memory bukan feel(sebelum diproses berpikir). Saya tidak kompeten dalam bidang tsb.



Dari Wikipedia:

* http://en.wikipedia.org/wiki/Dementia
Dementia (from Latin de- "apart, away" + mens (genitive mentis) "mind") is the progressive decline in cognitive function due to damage or disease in the brain beyond what might be expected from normal aging. Although dementia is far more common in the geriatric population, it may occur in any stage of adulthood. This age cutoff is defining, as similar sets of symptoms due to organic brain dysfunction are given different names in populations younger than adulthood (see, for instance, developmental disorders).
Dementia is a non-specific illness syndrome (set of symptoms) in which affected areas of cognition may be memory, attention, language, and problem solving. Higher mental functions are affected first in the process. Especially in the later stages of the condition, affected persons may be disoriented in time (not knowing what day of the week, day of the month, month, or even what year it is), in place (not knowing where they are), and in person (not knowing who they are).
Symptoms of dementia can be classified as either reversible or irreversible, depending upon the etiology of the disease. Less than 10 percent of cases of dementia are due to causes which may presently be reversed with treatment. Causes include many different specific disease processes, in the same way that symptoms of organ dysfunction such as shortness of breath, jaundice, or pain are attributable to many etiologies. Without careful assessment of history, the short-term syndrome of delirium can easily be confused with dementia, because they have many symptoms in common. Some mental illnesses, including depression and psychosis, may also produce symptoms which must be differentiated from both delirium and dementia.[1]

* http://en.wikipedia.org/wiki/Alzheimer
Alzheimer's disease (AD), also called Alzheimer disease or simply Alzheimer's, is the most common cause of dementia. Alzheimer's is a degenerative and terminal disease for which there is no known cure. In its most common form, it afflicts individuals over 65 years old, although a less prevalent early-onset form also exists. It is estimated that 26.6 million people worldwide were afflicted by AD in 2006, which could quadruple by 2050,[1] although estimations vary greatly.[2]
Each individual experiences the symptoms of AD in unique ways.[3] The symptoms of Alzheimer's disease are generally reported to a physician when memory loss becomes apparent. If AD is suspected as the cause, the physician or healthcare specialist will confirm the diagnosis with behavioral assessments and cognitive tests, often followed by a brain scan, if available.[4] The duration of the disease is between 5 and 20 years.[5][6] The disease can develop many years before it is eventually diagnosed. In its early stages, memory loss, shown as a difficulty to remember recently learned facts, is the most common symptom, although it is often initially misdiagnosed as age-related memory-loss or stress.[7] As the disease advances, symptoms include confusion, anger, mood swings, language breakdown, long-term memory loss, and the general withdrawal of the sufferer as his or her senses decline.[7][8] Gradually, minor and major bodily functions are lost, leading ultimately to death.[9]
The cause and progression of Alzheimer's disease are not well understood. Research indicates that the disease is associated with plaques and tangles in the brain.[10] No treatment has been found to stop or reverse the disease, and it is not known whether current treatments slow the progression, or simply manage the symptoms. Many preventive measures have been suggested for Alzheimer's disease, but their value is unproven in reducing the course and severity of the disease. Mental stimulation, exercise and a balanced diet are often recommended, both as a possible prevention and as a sensible way of managing the disease.[11]
Because AD cannot be cured and is degenerative, management of the Alzheimer's patient is essential. The role of the main caregiver is often taken by the spouse or a close relative.[12] Caregivers may themselves suffer from stress, over-work, depression, and being physically hit or struck.[citation needed]

* http://en.wikipedia.org/wiki/Amnesia
Amnesia (from Greek Ἀμνησία) is a condition in which memory is disturbed. In simple terms it is the loss of memory. The causes of amnesia are organic or functional. Organic causes include damage to the brain, through trauma or disease, or use of certain (generally sedative) drugs. Functional causes are psychological factors, such as defense mechanisms. Hysterical post-traumatic amnesia is an example of this. Amnesia may also be spontaneous, in the case of transient global amnesia.[1] This global type of amnesia is more common in middle-aged to elderly people, particularly males, and usually lasts less than 24 hours.
Another effect of amnesia is the inability to imagine the future. A recent study published online in the Proceedings of the National Academy of Sciences shows that amnesiacs with damaged hippocampus cannot imagine the future.[2] This is because when a normal human being imagines the future, they use their past experiences to construct a possible scenario. For example, a person who would try to imagine what would happen at a party that would occur in the near future would use their past experience at parties to help construct the event in the future.

6
duh ribetnya, kenapa tidak bilang "meditasi tanpa metoda" ataupun "meditasi metoda A" saja?

Saya kira setiap meditasi metode apapun memiliki metodenya masing-masing, tidak ada meditasi tanpa metode. Setiap metode dibangun sesuai dengan kondisi situasi, latarbelakang, jaman, dlsb saat metode tsb dicetuskan. Misalnya, saya hidup tiap hari makan, tidur di rumah, jalan-jalan dan fitness ke mall. Maka metode yang saya gunakan saya sesuaikan dengan kondisi mall tempat saya jalan-jalan dan fitness. Ketika kondisi kehidupan sehari-hari berbeda, maka metode yang akan dibuat berbeda. Salahsatu murid saya yang tinggal jauh dari mall mengubah metode saya untuk disesuaikan karena saat itu ia tinggal di lingkungan desa yang banyak sawahnya, jadi disesuaikan dengan kondisi setempat. 

7
_/\_ To Jhonson,

1. Anda memposting 48 Ikrar Amitabha, saya sudah membaca teks aslinya di Sutra 48 Ikrar Amitayus dari kitab Mahayana, saya sudah compare terjemahan Sangha Mahayana Indonesia dengan versi Mandarin Taisho Tripitaka, bahkan saya tidak melihat satu katapun Thian, Tuhan yang Maha Esa, Mu, Thian Kong atau segala macam nya, anda bisa search dari mbah google biar pernyataan saya objektif.

Saya bersumpah melindungi semua kitab Mahayana bersih dari kata-kata yang merujuk pada Tuhan Yang Maha Esa, dan jangan berdebat mengenai Sambhogakaya, Nirmana kaya dan Dhammakaya, karena inipun bukan Tuhan Yang Maha Esa, anda perlu paham kosmologi Mahayana tidak sesimpel menunjuk sebuah entitas Tuhan disana.

2. Anda mengeluarkan kitab Tao Te Cing, disana dikatakan bahwa tidak ada kata yang sanggup menggambarkan Thian maka diberi nama Tao dari segalanya. Sepertinya anda tidak paham Taoisme adalah mendekatkan diri pada alam, semesta dan semesta itu bukan Creator. tapi nature. Agar objektif,silahkan belajar di forum Taoisme agar anda mengerti apa itu Taoisme.


Setuju dengan sdr.Nyanadhana telah meluruskan. Kebingungan ini membuat diskusi kadang-kadang jadi sulit. Untuk menghindarkan diri dari kebingungan itu, lebih enak ngomong ke yang tekhnis-tekhnis aja ah...

8
jadi bro, kesimpulannya, anda mendukung meditasi atau tidak?
anda memiliki pengalaman dalam bermeditasi gak?
kamu tertarik ajaran sang Buddha gak??

bro, diliat dari tulisan lu, mungkin bisa jadi penulis untuk membuat
novel, artikel atau sebuah buku.


Masalahnya ketika menggunakan kata “meditasi” maka ada suatu paksaan tidak tertulis bahwa terikat pada salahsatu metode meditasi yang ada diantara banyak metode meditasi yang ada. Kalau di forum ini maka terikat ke kata “meditasi” yang terikat dengan metode meditasi umat Buddhist.

Siapa saja bisa mengatakan memiliki pengalaman dalam bermeditasi, permasalahannya; meditasi metode/tekhnik/aliran-nya siapa yang dimaksut dalam penggunakan kata “meditasi” tersebut.

“setiap manusia mempunyai benih keBuddhaan”. Saya membahas hal-hal seperti meditasi, keBuddhaan, dlsb sebagai variasi pilihan metode/tekhnik di forum ini tidak mengikatkan diri dengan aliran tertentu karena “benih keBuddhaan” maupun meditasi bukan barang milik siapa-siapa.

Meditasi pada akhirnya adalah suatu kondisi. Cara mencapai kondisi tersebut bisa dipilih oleh masing-masing orang, yang penting tujuannya sampai pada kondisi tersebut, caranya bisa macam-macam tidak ada yang salah atau benar.

Apakah pilihan cara sudah dibatasi dalam diskusi ini? Atau hanya boleh menggunakan satu cara yang dianggap paling benar dan cara yang lain salah?

9
Edward,

Quote
Doktrin adalah sesuatu yang mutlak, tidak dapat disanggah walaupun tidak dapat ditelusuri kebenarannya..Dalam Buddhism, tidak ada doktrin, karena semua ajaran dapat ditelusuri, dicoba dan dibuktikan kebenarannya..

Doktrin atau sistematika ajaran yang khas selalu ada dalam tiap ajaran. Yang tidak ada dalam Buddhisme adalah dogma, sesuatu yang harus dipercaya tanpa bukti.

Bilamana dalam Buddhisme tidak ada "sesuatu yang harus dipercaya tanpa bukti" maka tentunya harus ada sikap skeptisme/tanpa prasangka baik maupun buruk dalam Buddhisme sendiri untuk mempertanyakan apa yang ada di dalam Buddhisme itu sendiri.

Diakui atau tidak yang namanya manusia itu tetap memiliki "sesuatu yang harus dipercaya tanpa bukti" , hal ini sudah ada pada mekanisme mental manusia itu sendiri. Kalau tidak maka tidak ada pembelaan terhadap sesuatu yang masing-masing dari kita "yakini" benar (yakin: mempercayai sesuatu yang tidak kelihatan dan tidak memerlukan bukti).

Mengatakan bahwa dalam Buddhism tidak memiliki dogma "sesuatu yang harus dipercaya tanpa bukti" adalah sombong sekali... Karena mengatakan bahwa "semua ajaran dapat ditelusuri, dicoba dan dibuktikan kebenarannya" adalah juga asumsi yang di-"yakin"-i tanpa keharusan untuk bersifat skeptis/tanpa prasangka baik maupun buruk untuk membuktikannya.

Pada akhirnya perjalanan setiap umat Buddhis bisa bersifat "sesuatu yang harus dipercaya tanpa bukti", bisa pula "semua ajaran dapat ditelusuri, dicoba dan dibuktikan kebenarannya" adalah tergantung diri masing-masing.

10
Meditation (from From Wikipedia, the free encyclopedia)
e-link: http://en.wikipedia.org/wiki/Meditation
“ Meditation is discipline in which one attempts to get beyond the conditioned, "thinking" mind into a deeper state of relaxation or awareness. …”

1a. "beyond - thinking" adalah/jelaskan:
1b. "conditioned thinking" adalah/jelaskan:
2. "deeper state of relaxation or awareness" adalah/jelaskan:




1a. "beyond - thinking"

input indrawi -> naluri/insting -> output spontan.
input indrawi -> thinking -> output tidak spontan.
input berupa pemikiran -> thinking -> output tidak spontan.
Bilamana suatu data telah bersifat thinking maka pengalaman indrawi akan. kalah/tertutupi oleh kegiatan berpikir (thinking) sehingga bersifat tidak spontan.
Kondisi beyond thinking hanya bisa terjadi bila samasekali belum berpikir (thinking).

Problemnya: penjelasan berupa ajaran lisan/tertulis diproses menggunakan kegiatan berpikir (thinking). Jadi bagaimana mengakali agar suatu kegiatan yang sudah memiliki ajaran (thinking) menjadi before/beyond thingking?

Ketika orang bertemu maka mengucapkan salam: “Apakabar?” dan jawaban yang standart “baik”. “How are you ?” dijawab “I’am fine thank you.”. Mengapa hal ini dilakukan? Jawab: untuk mencairkan suasana, untuk menghilangkan praduga/asumsi. Sama seperti apa rasa minuman ini? Jawab: Manis.   

Jadi selama sebuah kegiatan meditasi mampu mencaikan suasana, mencairkan praduga, asumsi/penghakiman, dlsb maka memenuhi definisi meditasi menurut point “1a” tsb di atas.


1b. "conditioned thinking"

"conditioned thinking" adalah pikiran yang dikondisikan oleh pihak lain; ajaran lisan/tertulis adalah contoh "conditioned thinking".

Jadi bagaimana “mengajarkan suatu ajaran” (conditioned thinking) yang tidak "conditioned thinking"?
* Saat memperkenalkan suatu jenis produk meditasi, mau tidak mau ada ajaran yang diceritakan untuk menjelaskan apa sich produk meditasi tsb, apa gunanya, dlsb; jadi sangat mustahil mengajarkan meditasi tanpa melanggar point "beyond conditioned thinking" ini meskipun pada akhir sesi meditasi dan setelah mengalami meditasi maka hal ini harus terpenuhi sebagai hasil akhir.
* Jadi ada dua cara yang bertolakbelakang satu sama lain dalam mengajarkan suatu metode/tekhnik meditasi; pertama-tama melanggar point "beyond conditioned thinking" terlebih dahulu, sampai orangnya berminat dan memutuskan untuk mencoba, lalu setelah itu “conditioned thinking" harus dibunuh dengan metode/tekhnik yang melunturkan “conditioned thinking" tersebut kembali menjadi "beyond conditioned thinking".
* Bagaimana keterampilan seorang guru harus mampu menentukan kapan dia menjadi guru yang bersikap “conditioned thinking" dan kapan harus mampu menghancurkan/melunturkan “conditioned thinking" tersebut.

Seperti orang membuat batik tulis, setelah digambar dengan lilin, lalu dicelup ke dalam pewarna lalu lilinnya disingkirkan, fungsi lilin adalah agar pewarna mewarnai daerah yang diinginkan saja dan tidak mewarnai daerah yang tertutup lilin. Berbagai tindakan yang berlawanan dilakukan demi mencapai hasil yang diharapkan.


2. "deeper state of relaxation or awareness"

"deeper state of relaxation or awareness" adalah bahasa keren/indah untuk menjelaskan kondisi "beyond conditioned thinking" meskipun penjelasan yang digunakan oleh pengajar pada saat menerangkan produk meditasi kepada calon pengguna sudah bersifat “conditioned thinking" yang harus dilunturkan pada tahap praktikum metode/tekhnik meditasi.
* Apa sich arti orang sedang di kondisi "deeper state of relaxation”?
Jawab: belum/tidak sedang berpikir.
* Apa sich arti seseorang sedang di kondisi “aware”?
Jawab: Mengalami data secara utuh/lengkap, kondisi ini hanya bisa didapatkan saat seseorang belum berpikir yaitu saat seseorang mengalami pengalaan indrawi yang tidak terbatasi oleh kata-kata.   


Prasyarat-prasyarat tersebut di atas adalah prasyarat suatu kegiatan/tekhnik/metode/ritual yang dinamakan “meditasi” memiliki standart yang memenuhi criteria untuk pantas disebut “meditasi”. Bila hal-hal tsb di atas tidak terpenuhi maka meski namanya “meditasi”, menggunakan berbagai atribut budaya yang berkesan pencerahan spiritual, sebenarnya hal tsb tidak pantas disebut “meditasi”. Jadi keberhasilan “meditasi” sangat ditentukan oleh keterampilan guru dan efektifitas metode untuk menciptakan kondisi “meditasi”.

Ada komentar?

11
Meditation (from From Wikipedia, the free encyclopedia)
e-link: http://en.wikipedia.org/wiki/Meditation
“ Meditation is discipline in which one attempts to get beyond the conditioned, "thinking" mind into a deeper state of relaxation or awareness. …”

1a. "beyond - thinking" adalah/jelaskan:
1b. "conditioned thinking" adalah/jelaskan:
2. "deeper state of relaxation or awareness" adalah/jelaskan:




1a. "beyond - thinking"

input indrawi -> naluri/insting -> output spontan.
input indrawi -> thinking -> output tidak spontan.
input berupa pemikiran -> thinking -> output tidak spontan.
Bilamana suatu data telah bersifat thinking maka pengalaman indrawi akan. kalah/tertutupi oleh kegiatan berpikir (thinking) sehingga bersifat tidak spontan.
Kondisi beyond thinking hanya bisa terjadi bila samasekali belum berpikir (thinking).

Problemnya: penjelasan berupa ajaran lisan/tertulis diproses menggunakan kegiatan berpikir (thinking). Jadi bagaimana mengakali agar suatu kegiatan yang sudah memiliki ajaran (thinking) menjadi before/beyond thingking?

Ketika orang bertemu maka mengucapkan salam: “Apakabar?” dan jawaban yang standart “baik”. “How are you ?” dijawab “I’am fine thank you.”. Mengapa hal ini dilakukan? Jawab: untuk mencairkan suasana, untuk menghilangkan praduga/asumsi. Sama seperti apa rasa minuman ini? Jawab: Manis.   

Jadi selama sebuah kegiatan meditasi mampu mencaikan suasana, mencairkan praduga, asumsi/penghakiman, dlsb maka memenuhi definisi meditasi menurut point “1a” tsb di atas.


1b. "conditioned thinking"

"conditioned thinking" adalah pikiran yang dikondisikan oleh pihak lain; ajaran lisan/tertulis adalah contoh "conditioned thinking".

Jadi bagaimana “mengajarkan suatu ajaran” (conditioned thinking) yang tidak "conditioned thinking"?
* Saat memperkenalkan suatu jenis produk meditasi, mau tidak mau ada ajaran yang diceritakan untuk menjelaskan apa sich produk meditasi tsb, apa gunanya, dlsb; jadi sangat mustahil mengajarkan meditasi tanpa melanggar point "beyond conditioned thinking" ini meskipun pada akhir sesi meditasi dan setelah mengalami meditasi maka hal ini harus terpenuhi sebagai hasil akhir.
* Jadi ada dua cara yang bertolakbelakang satu sama lain dalam mengajarkan suatu metode/tekhnik meditasi; pertama-tama melanggar point "beyond conditioned thinking" terlebih dahulu, sampai orangnya berminat dan memutuskan untuk mencoba, lalu setelah itu “conditioned thinking" harus dibunuh dengan metode/tekhnik yang melunturkan “conditioned thinking" tersebut kembali menjadi "beyond conditioned thinking".
* Bagaimana keterampilan seorang guru harus mampu menentukan kapan dia menjadi guru yang bersikap “conditioned thinking" dan kapan harus mampu menghancurkan/melunturkan “conditioned thinking" tersebut.

Seperti orang membuat batik tulis, setelah digambar dengan lilin, lalu dicelup ke dalam pewarna lalu lilinnya disingkirkan, fungsi lilin adalah agar pewarna mewarnai daerah yang diinginkan saja dan tidak mewarnai daerah yang tertutup lilin. Berbagai tindakan yang berlawanan dilakukan demi mencapai hasil yang diharapkan.


2. "deeper state of relaxation or awareness"

"deeper state of relaxation or awareness" adalah bahasa keren/indah untuk menjelaskan kondisi "beyond conditioned thinking" meskipun penjelasan yang digunakan oleh pengajar pada saat menerangkan produk meditasi kepada calon pengguna sudah bersifat “conditioned thinking" yang harus dilunturkan pada tahap praktikum metode/tekhnik meditasi.
* Apa sich arti orang sedang di kondisi "deeper state of relaxation”?
Jawab: belum/tidak sedang berpikir.
* Apa sich arti seseorang sedang di kondisi “aware”?
Jawab: Mengalami data secara utuh/lengkap, kondisi ini hanya bisa didapatkan saat seseorang belum berpikir yaitu saat seseorang mengalami pengalaan indrawi yang tidak terbatasi oleh kata-kata.   


Prasyarat-prasyarat tersebut di atas adalah prasyarat suatu kegiatan/tekhnik/metode/ritual yang dinamakan “meditasi” memiliki standart yang memenuhi criteria untuk pantas disebut “meditasi”. Bila hal-hal tsb di atas tidak terpenuhi maka meski namanya “meditasi”, menggunakan berbagai atribut budaya yang berkesan pencerahan spiritual, sebenarnya hal tsb tidak pantas disebut “meditasi”. Jadi keberhasilan “meditasi” sangat ditentukan oleh keterampilan guru dan efektifitas metode untuk menciptakan kondisi “meditasi”.

Ada komentar?

12
vincent liong seorng filsuf? setiap kata-kata yang ditlis sangat panjaaaang..

Sejak tahun 2003 saya banyak bermain di dunia maillist terutama yahoogroups.com . Di forum orang biasa menulis pendek-pendek seperti balas-berbalas chatting, tetapi di maillist orang biasa menulis panjang dalam bentuk artikel. Sampai hari ini saya lebih terbiasa di maillist daripada di forum, kalau di forum saya hanya nulis kalau ada yang mengundang saja.

13
Kainyn_Kutho wrote:

OK, berarti dari yang saya tangkap, tidak ada keharusan untuk ini-itu, tidak ada "indoktrinasi" ke arah tertentu, hanya sebagai 'kegiatan' yang memfokuskan pada feel & judgment agar orang lebih mengenal feel & judgment itu sendiri. Lalu, karena tidak ada tolok ukur tertentu dan dibiarkan menurut user, bagaimana kita tahu bahwa proses itu memberikan manfaat?


Vincent Liong answer:

Ada dua sudutpandang tentang manfaat:
* Manfaat menurut guru/pembimbing/ penjelasan orang yang dianggap lebih cerah/lebih mengerti tentang apa ang dianggap bermanfaat atau tidak bermanfaat. Dalam sudutpandang ini apa yang dianggap bermanfaat menurut guru belum tentu dianggap bermanfaat menurut pengguna, tetapi karena pengguna tidak memiliki pilihan selain mengikuti kata-kata/pendapat guru yang dianggap lebih benar dan menganggap pendapat/sudutpandangnya tiak memiliki nilai maka dia merasa tidak memiliki hak untuk mengatakan hal tsb tidak bermanfaat. Tidak ada demokrasi yang memperbolehkan pengguna berpendapat berbeda dengan guru, maka dari itu penelitian tentang hal-hal yang sudah bersifat doktrin sangat ditentang oleh pihak-pihak yang meyakini doktrin itu sendiri seperti yang ditekankan oleh sdr.Bond bahwa meditasi tidak boleh diteliti, dan sesuatu yang dapat diteliti tidak boleh diberi nama meditasi.
* Manfaat menurut user harus dikaitkan dengan kepentingan/minat/tujuan, dlsb dari user itu sendiri. Permasalahannya apakah orang mengerti hakikat dari kebebasan berpendapat itu sendiri? ini yang dimanfaatkan musuh kompatiologi untuk mencari celah menjatuhkan kompatiologi bahwa sebagai bukan pengguna (non-user) merasa berhak menjelasakan apa yang belum dialami dengan tujuan menjatuhkan kompatiologi. Kebebasan berpendapat adalah plus point sekaligus minus point bagi perkembangan kompatiologi. Tiap user yang memiliki kepentingan/minat/tujuan, dlsb dari user itu sendiri menuliskan kriteria berguna atau tidak berguna bagi dirinya sendiri.

Pertanyaannya: Penelitian dilakukan untuk membantu pemasaran suatu alat/tekhnik/metode atau untuk bertanggungjawab pada pengguna alat/tekhnik/metode itu sendiri?

Penelitian tentang manfaat suatu alat/tekhnik/metode sangat ditentukan oleh kejujuran dan keterbukaan pemilik/pendidik/pengguna alat/tekhnik/metode itu sendiri untuk bersikap jujur kepada diri sendiri dan orang lain.   




Kainyn_Kutho wrote:

Kalau tidak salah ingat, di pembahasan sebelumnya ada dikatakan kita tidak bisa menilai pikiran orang lain karena sifatnya subjektif, maka digunakan pendekatan "feel" ragawi yang lebih objektif (walaupun saya katakan sama saja subjektifnya). Masalahnya, "data" tentang "pengalaman dekon", termasuk "feel & judgment" juga diproses melalui pikiran, yang akhirnya kita juga tidak tahu bagaimana pikiran orang mengenai "feel & judgment" itu. Misalnya dalam contoh "jawaban kuesioner" ada yang mengalami euforia dan tentu saja menempatkan "feel & judgment" dengan cara yang berbeda dengan orang yang misalnya malah mengalami depressi.


Vincent Liong answer:

Feel ragawi dialami oleh setiap pribadi secara 100% sama, tetapi judgement terhadap feel ragawi yang dialami 100% beda.

Depresi maupun eforia adalah judgement terhadap suatu feel ragawi. Bisa saja suatu feel ragawi yang sama menghasilkan reaksi di peserta pertama sebagai eforia dan di peserta kedua sebagai depresi. Feel ragawi atas suatu campuran minuman tertentu berlaku umum (sama) untuk peserta yang meminumnya, judgement atas suatu campuran minuman tertentu berbeda antara peserta yang satu dan yang lain yang meminumnya.

Urutan pemerosesan data:
Feel Ragawi -> Judgement -> Generalisasi

Feel Ragawi belum bersifat pikiran karena sifatnya yang data mentah.
Judgement dan generalisasi bersifat pikiran.
Data Feel Ragawi dalam proses selanjutnya (judgement -> generalisasi) akan diproses menjadi pikiran juga.

Kalau kegiatan pemerosesan data diawali dengan “pikiran” (judgement -> generalisasi) maka tidak didapatkan pengalaman Feel Ragawi belum bersifat pikiran karena sifatnya yang data mentah.


“Human can learn, but they can’t un-learned.”

Seorang manusia bisa belajar tetapi tidak bisa memundurkan proses kegiatan belajar yang telah dilalui menjadi belum belajar.
Feel Ragawi bisa diproses menjadi “pikiran” (judgement -> generalisasi) tetapi pikiran tidak bisa dimundurkan prosesnya menjadi Feel Ragawi.

Seperti seorang manusia yang pernah menggunakan narkotika tidak bisa memundurkan proses belajarnya “mengenai pengalaman menggunakan obat-obatan terlarang” ke sebelum pernah menggunakan obat-obatan terlarang. 

14
[at]  vincent, ada baiknya no hp apalgi no tlp rmh jgn dicantumkan, krn bisa disalahgunakan oleh oknum2 tidak bertanggungjawab. bukan karena tidak yakin dgn rekan2 dc, tpi forum ini terbuka bagi umum dan bisa d search d gugel, bisa2 malah repot sendiri..
Terimakasih telah mengingatkan. Sudah terlanjur dari dulu saya bermain sebagai orang terbuka yang mencantumkan contact person di berbagai web.

15
Willibordus wrote:

Pertama,
Mengenai 'manage keinginan' dan 'melihat n menerima apa adanya' menurut anda kedua hal ini bertentangan. Padahal tidak, kedua hal ini saling berkaitan erat. Memanage keinginan agar tidak terlalu melekat terhadap hasil berhubungan dengan kemampuan menerima apapun hasil sebagaimana adanya. Memang pada tahapan awal diperlukan usaha yg sangat kuat untuk bisa begini dikarenakan kebiasaan yg telah kita pupuk sejak lama. Seerti yg anda tulis, kita terbiasa mengharapkan yg 'disukai', kita belum terbiasa untuk menerima 'apa adanya'. Kita ambil contoh berdiskusi di forum ini, pada mulanya ketika pendapat kita ditentang, kita tidak menerima dan  membalas dengan gencar akhirnya akan timbul debat panjang yg tidak berkesudahan, selama itu batin kita penuh emosi, kekesalan dan kemarahan. Batin kita bergejolak, batin yg bergejolak ini adalah 'ketidakpuasan'. Supaya tidak 'menderita' begini, kita seharusnya memanage batin agar tidak terlalu mengharapkan hasil (agar pendapat kita harus diterima) dan juga bisa melihat kenyataan apa adanya. Ini tentu tidak mudah, perlu USAHA. Namun bila dilatih terus menerus maka akan menjadi kebiasaan batin/pikiran yg baru.

Sy tambahkan satu lagi sifat pikiran, yakni: pikiran perlu dilatih sedikit demi sedikit, maka akan menjadi kebiasaan.


Vincent Liong answer:

Melatih pikiran dengan sengaja, yang terjadi adalah menggantikan pikiran yang satu dengan pikiran yang lain. Tetap tidak akan mampu mencapai 'melihat n menerima apa adanya' karena yang apa adanya tidak memiliki usaha apapun yang disengaja nama jenis usahanya.


Willibordus wrote:

Kedua,
Anda telah salah menilai tulisan sy. Bisa anda baca ulang, sy tidak pernah sama sekali berpendapat bahwa kita harus positive thinking. 'Melihat dan menerima apa adanya' adalah 'Realistic thinking'. Metoda kompatiologi anda rupanya telah gagal dalam menyikapi tulisan sy. Anda tidak dapat melihat tulisan saya 'sebagaimana adanya'. Anda membaca tulisan sy disertai persepsi2 dan ditempeli label2: Buddhist dan Non Buddhist, Ajaran turun temurun, dsbnya. Sebenarnya kita mendiskusikan METODA, tanpa melihat ini adalah ajaran turun temurun atau si penulis adalah Buddhist / bukan.

Jadi, sy masih melihat Ajaran Buddha mudah dimengerti dan bermanfaat.


Vincent Liong answer:

Tulisan membahas kompatiologi adalah tulisan bukan tekhnik/metode kompatiologi. Tulisan anda yang membahas Buddha adalah tulisan bukan tekhnik/metode yang digunakan di Buddha.

Sebenarnya saya sudah siapkan jawaban untuk pembahasan ini di e-link: http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=3541.0

Subject: Meditation (from From Wikipedia, the free encyclopedia)

Selamat membaca…

Pages: [1] 2 3 4 5 6 7 8
anything