Walaupun tdk bertujuan sbg pembalasan, namun hukuman mati tdk bisa merehabilitasi perilaku sang penjahat. Semua penjahat pada dasarnya bisa memperbaiki dirinya jika diberi kesempatan dan dibimbing dengan cara yg tepat. Hukuman mati hanya melenyapkan kesempatan tsb.
Angulimala termasuk serial killer juga, telah membunuh 999 orang dan menjadikan jarinya sbg kalung, toh Sang Buddha bisa merehabilitasi Angulimala. Di masa modern ini terdapat pusat rehabilitasi kejahatan di penjara2 dunia dan banyak penjahat dpt kembali ke jalan yg benar setelah direhabilitasi....
kadang rehabilitasi diisi oleh penjahat kambuhan & musiman.
Penjara sebenernya juga kata yang tepat untuk rehabilitasi. Lebih tepatnya Lembaga Pemasyarakatan, memasyarakatkan kembali individu yang bersalah menurut
legal norm ke lingkungan masyarakat normal.
Sang Buddha bisa merehabilitasi Angulimala
=> ini tokoh hanya ada 1 di setiap jaman, kalau tokoh ini masih ada mungkin semua isi LP akan kosong. Mungkin yah...
ada sebuah
keyword yang mungkin masih baru tapi sebenernya sudah lama, dan menurut saya condong ke hukum dengan aliran hukum alam. Tapi karena munculnya dari pemikiran budaya barat maka konotasinya akan kebarat2an padahal kalau disampaikan secara luas unsur budaya timur lebih dominan, asalkan faktor "
Tuhan"nya disingkirkan.
Keyword tsb adalah
restoratif justice. Saya ambil kutifan dari beberapa nara sumber, silakan dimaknai apakah hukuman dengan cara menghukum (pembalasan) adalah sesuai ?
Restoratif Justice adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga korban/pelaku dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan
(Sari Murti,
Tagedi “AQJ”,
krjogja.com/liputan-khusus/analisis/2180/tragedi-aqj.kr, 31 Desember 2013).
Keadilan restoratif menekankan pentingnya mengangkat peranan korban kejahatan dan anggota masyarakat, memberikan pertanggungjawaban secara langsung kepada pihak yang telah dilanggar oleh pelanggar, memulihkan kerugian emosional, materi dan menyediakan peluang untuk dialog, perundingan, pemecahan masalah, jika memungkinkan, yang dapat menyebabkan rasa yang lebih aman untuk masyarakat, resolusi konflik, dan melibatkan semua pihak
(Mark Umbreit,
The Handbook of Victim Offender Mediation: An Essential Guide to Practice and Research, 2001, Jossey Bass Inc., Publishers, ISBN: 0-7879-5491-8, hlm xxv ).
Dilihat melalui lensa keadilan restoratif, “kejahatan adalah pelanggaran orang dan pelanggaran hubungan. Pelanggaran ini menciptakan keharusan untuk memperbaikinya menjadi baik. Keadilan dengan melibatkan korban, pelaku dan komunitas dalam mencari sebuah solusi yang mendorong perbaikan, rekonsiliasi dan kepastian”
(Howard Zehr,
Changing Lenses: A New Focus for Crime and Justice, Herald Press, 1990, ISBN: 0-8361-351-21, hlm. 181).
Peradilan restoratif untuk menghasilkan keadaan restoratif, yaitu suatu proses dimana semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama memecahkan masalah bagaimana menangani akhibat di masa yang akan datang. Tindak pidana yang dilakukan anak adalah suatu pelanggaran terhadap manusia dan relasi antar manusia. Tindak pidana menciptakan suatu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik dengan melibatkan korban, pelaku dan masyarakat dalam mencari solusi untuk memperbaiki, rekonsialisi dan menentramkan hati
(Apong Herlina, dkk.,
Perlindungan Terhadap Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum, Manual Pelatihan Untuk POLISI, 2004, Jakarta: Polri dan Unicef).
restoratif, asal katanya dari restore (how to restore, bagaimana untuk mengembalikan ...)