Saya mencoba mereview ulang topik yang ada. Kesepakatan yang saya rasa ada dalam topik ini adalah pelafalan nama Buddha dalam Mahayana
bukan sekedar membeo, tetapi juga dapat merupakan suatu teknik meditasi dimana esensinya adalah Buddhanusmrti Samadhi (Buddhanusati), perenungan atas kualitas-kualitas Buddha, yang imo, menuju pada dhyana (jhana), cmiiw.
Tapi, berbicara mengenai kualitas-kualitas Buddha, ada satu kualitas yang menjadi pertanyaan besar, yaitu Arahat, Arhat.
Seperti Buddhanusati yang di sampaikan Sdr. Indra, salah satu kualitas Samyaksambuddha dalam non-Mahayana, cth. Theravada adalah Araham, Arahat. Jika Mahayana juga menerima Buddhanusati ala Theravada maka, ini berarti Mahayana menyadhui (mengiyakan) bahwa kuatitas Arahat ada dalam diri seorang Samyaksambuddha. Dan seharusnya menyadhui kualitas Arhat yang sama.
Tidaklah ada masalah saat kualitas Arahat ada pada seorang Samyaksambuddha bagi mereka yang mengakui bahwa Arahat adalah kesucian tertinggi, tapi menjadi masalah jika dikatakan Arahat bukan kesucian tertinggi, masih kotor, masih SD. Ini sama saja mengatakan seorang Samyaksambuddha itu masih SD, kotor, karena kualitas Arahat melekat padaNya. Banyak sutta maupun sutra yang menempelkan kualitas Arahat pada seorang Samyaksambuddha saat menyebut dan menghormati namaNya. Contoh: ”Then appeared a Buddha named Lokeshvararaja, the Tathagata, Arhat, Perfectly Enlightened One,…”(
Longer Sukhāvatīvyūha Sūtra)
Berkaitan dengan Buddhanusmrti, jika Arhat bukanlah kualitas yang tertinggi, maka saat melakukan Buddhanusmrti atas kualitas Arhat, maka ini berarti kita melakukan perenungan terhadap kualitas yang bukan tertinggi dan kualitas yang masih bernoda. Dan hasilnya….bisa kita pikirkan sendiri.