Buddhisme Awal, Sekte dan Tradisi > Theravada

45 tahun Sang Buddha

(1/6) > >>

Indra:
Teman-teman DC,

beberapa waktu lalu saya menerima kiriman buku dari YM Thanavaro Thera (terima kasih Bhante) berjudul Forty-Five Years of the Buddha (disusun oleh H.H. Somdet Phra Nyanasamvara) . buku ini menceritakan perjalanan Sang Buddha selama 45 vassa. tentu saja bukan seperti buku harian, tetapi cukuplah bagi kita untuk dapat mempelajari secara kronologis apa yg Sang Buddha lakukan selama 45 tahun.

Di sini saya ingin membagikan isi buku kepada teman2, saya berencana untuk memposting 1 bab setiap minggu, semoga terlaksana.

semoga bermanfaat buat kita semua _/\_


Edit: Pembahasan di sini : http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,15189.0.html
Agar lebih rapi.

Indra:
Teks Riwayat Buddha di Thailand berlimpah baik dalam bahasa Pali maupun Thai, yang bahasa Thai sebagai sumber-sumber rujukan adalah Pathama Sambodhi Katha oleh Pemimpin Tertinggi Kromphra Paramanujitajinorasa, Pathama Sambodhi oleh pemimpin Sa Pussadeva, Life of the Buddha oleh Pemimpin Tertinggi H.R.H. Prince Vajirananavarorasa. Masing-masing memiliki tujuan yang bervariasi, yang pertama menekankan pada kekuatan batin sebagai sarana untuk meningkatkan keyakinan pada Buddha, yang ke dua menekankan pada aspek ajaran, dengan sedikit penjelasan tentang peristiwa-peristiwa dalam kehidupan Sang Buddha, sedangkan yang ke tiga memberikan penekanan pada fakta-fakta histories dan data sehubungan dengan kehidupan Sang Buddha. Dengan tujuan-tujuan yang berbeda itu, masing-masing versi adalah berharga dalam kebenarannya. Akan tetapi, harus diperhatikan, bahwa fakta-fakta dan data banyak berserakan dalam berbaagi tempat dalam naskah asli, yaitu, Kanon Pali. Untuk mengumpulkannya sebanyak mungkin untuk membentuk suatu kesatuan yang menggambarkan peristiwa-peristiwa berurutan dari kehidupan Sang Buddha, adalah perlu untuk menelusurinya secara keseluruhan sebelum seseorang dapat merangkainya menjadi suatu kisah lengkap dari peristiwa-peristiwa secara kronologis yang dapat diandalkan. Tentu saja, pengerjaan ini harus berdasarkan pada sumber-sumber kitab yang dirujuk sebanyak mungkin.

Tidak dapat disangkal bahwa riwayat hidup Sang Buddha, yang menggambarkan aktivitas-aktivitas tanpa pamrih yang dilakukan demi makhluk-makhluk yang dapat dilatih, tentu saja bermanfaat besar bagi para terpelajar yang mengejar pendidikan mereka dengan tujuan untuk menerapkannya dalam kehidupan mereka. Ini tentu saja mendukung pada baik pengembangan-diri maupun pelayanan tanpa pamrih. Karya sekarang ini yang berjudul Empat Puluh Lima Tahun Sang Buddha adalah hasil dari tujuan itu. Selain menggambarkan peristiwa-peristiwa dalam urutan kronologis, karya ini juga dimaksudkan sebagai suatu pembahasan dengan tema Dhamma yang dibabarkan oleh Sang Buddha kepada orang-orang pada peristiwa tersebut. Pembahasan ditambahkan, jika memungkinkan, dengan rujukan-rujukan pada peristiwa-peristiwa yang berkaitan yang terdapat dalam tradisi Mahàyàna serta dari versi Theravàda, baik yang berasal dari masa itu maupun yang muncul belakangan. Oleh karena itu, karya ini, dapat dianggap sebagai gabungan dari berbagai elemen yang disebutkan di atas.

Sumber-sumber rujukan termasuk naskah asli yaitu Kanon Pali, Komentar dan teks-teks belakangan yang disebut òãkà. Sebagiannya – khususnya yang berguna untuk tujuan yang dimaksudkan – dikumpulkan, dikutip dan dicerna.

Harus diperhatikan bahwa peristiwa-peristiwa yang terjadi selama 45 tahun Sang Buddha membabarkan Dhamma tidak disusun dalam urutan kronologis dlam Kanon Pali. Sumber-sumber itu harus dipelajari dengan saksama sebelum dapat dirangkai untuk menarik kesimpulan dari sana, seperti untuk mengetahui dengan pasti kapan (dari 45 tahun) suatu peristiwa terjadi. Suatu bukti yang lebih kuat dapat dibaca dari teks belakangan yang disebut Manorathapurani – Komentar atas Anguttaraniksya dari Suttapitaka, yang disusun oleh Yang Mulia Buddhaghosà. Yang lain adalah teks yang disebut Jinamahanidana, yang penulisnya tidak diketahui, dan teks Pathamasambodhikathà yang disusun dalam Bahasa Thai oleh Pemimpin Tertinggi Kromphra Paramànujitajinorasa. Teks-teks yang belakangan itu disusun lebih dari 1000 tahun sejak wafatnya Sang Buddha. Menurut teks Manorathapurani, urutan kronologis kediaman masa vassa Sang Buddha adalah sebagai berikut:

Vassa pertama, di Taman Rusa Isipatana, Benares.
Ke dua hingga ke empat, di Kota Rajagaha.
Ke lima, di Kutagarasala, Hutan Mahàvana, Vesàli.
Ke enam, Makula Pabbata (yaitu, Gunung).
Ke tujuh,  alam surga Tavatimsa.
Ke delapan, Bhesakalavana, Sumsumaragira.
Ke sembilan, Kota Kosambi.
Ke sepuluh, Hutan Parileyyaka.
Ke sebelas, Brahmanagama, Kota Nala.
Ke dua belas, Kota Veranjà.
Ke tiga belas, Caliya Pabbata (yaitu, Gunung).
Ke empat belas, Hutan Jetavana, Kota Savatthi.
Ke lima belas, Kota Kapilavatthu.
Ke enam belas, Kota alavi.
Ke tujuh belas, Kota Rajagaha.
Ke delapan belas dan ke sembilan belas, Caliya Pabbata (yaitu, Gunung).
Ke dua puluh, Kota Rajagaha.
Dari ke dua puluh satu hingga ke empat puluh lima, kadang-kadang di Hutan Jetavana dan kadang-kadang di Hutan Pubbà, Kota Savatthi.

Juga terdapat dalam sumber lain sedikit perbedaan sehubungan dengan urutan masa vassa dan nama beberapa tempat. Akan tetapi, semua ini menunjukkan bahwa sumber ini diturunkan dari sumber yang sama.

Edisi pertama buku ini (dalam Bahasa Thai) agak tergesa-gesa diterbitkan pada 2510 BE dan karenanya terdapat sejumlah ketidak-akuratan. Dalam edisi yang sekarang ini kesalahan tersebut telah diperbaiki. Juga terdapat penambahan untuk menjelaskan hal tersebut.

Namun harus diperhatikan bahwa bahkan sejauh ini karya ini tidak dapat diharapkan sebagai sesuatu yang sempurna dan tanpa kesalahan. Masih mungkin berubah, diperbaiki, dan ditambah.

Indra:
VASSA PERTAMA DI TAMAN RUSA ISIPATANA, KOTA BENARES

Empat puluh lima tahun sebelum wafatnya Sang Buddha, pada hari ketika bulan purnama melintasi gugusan bintang yang disebut Visàkha, Pangeran Siddhattha tercerahkan ke dalam Dhamma. Sebelum saat itu Beliau disebut Bodhisatta, secara literal berarti seorang yang melekat pada Pengetahuan. Ini menyiratkan fakta bahwa Beliau tidak melekat pada hal lainnya. Adalah karena ‘kemelekatan, atau pencarian, atas pengetahuan maka Beliau sepanjang waktu itu mencari hingga akhirnya Beliau tercerahkan dan selanjutnya disebut Buddha, yang mengetahui. Tempat di mana Beliau mencapai Penerangan Sempurna adalah di bawah kerindangan sebatang pohon bernama Assattha, kelak disebut Bodhi, yang berarti ‘mengetahui’. Demikianlah pohon ini, yang dibawahnya Sang Buddha duduk ketika Beliau mencapai Penerangan Sempurna, disebut Bodhirukkha, Pohon Penerangan Sempurna. Terletak di tepi sungai Neranjara, di wilayah Gaya, negeri Magadha.

Setelah mencapai Penerangan Sempurna,  Beliau duduk bermandikan kebahagiaan dan kegembiraan luar biasa yang muncul dari kebebasan di sejumlah tempat di dekat sana selama beberapa minggu. merenungkan Dhamma yang Beliau temukan, Beliau yakin akan betapa halusnya Dhamma dan karenanya praktis diluar jangkauan kebanyakan orang. Karena itu Beliau cenderung merasa puas, tidak perlu bersusah-payah untuk mengajarkannya kepada makhluk-makhluk lain. akan tetapi, pada perenungan selanjutnya, melihat ke dalam potensi berbagai makhluk, Beliau mengetahui bagaimana makhluk-makhluk memiliki kecenderungan dan tingkat kematangan yang bervariasi seperti halnya berbagai jenis teratai dalam sebuah kolam teratai. Beberapa dari mereka, seperti halnya teratai yang segera membukan kuntumnya untuk menyapa matahari fajar, akan mampu memahami Dhamma dalam waktu singkat. Kemudian ada yang lain, seperti halnya teratai yang masih berada di bawah permukaan air namun segera keluar keesokan harinya, juga akan mampu memahami ajaranNya beberapa waktu kemudian. Di samping itu, terdapat sejumlah orang yang, bagaikan taratai yang tidak pernah menembus permukaan air, tidak mampu memahami. Ini digambarkan dalam cara bahwa Beliau dimohon, oleh makhluk tinggi dari alam Brahma bernama Sahampati, untuk membabarkan Dhamma demi umat manusia. Yang mana Beliau menerima permohonan itu. Disamping kata-kata kiasan, ini dapat dianggap sebagai suatu panggilan, atau ‘undangan,’ di pihak Belas kasihan dari Sang Buddha sendiri yang mendorongNya untuk membabarkan Dhamma yang Beliau temukan kepada makhluk-makhluk hidup.


Lima Petapa

Setelah memutuskan, Sang Buddha bertekad untuk memelihara kehidupan jasmaniNya hingga AjaranNya telah kokoh, dengan empat kelompok Buddhis (yaitu, Bhikkhu, Bhikkhuni, umat awam laki-laki dan perempuan) mantap dalam Dhamma. Sekarang ketika merenungkan orang yang akan memperoleh manfaat dari ajaranNya pertama kali, Beliau teringat kedua petapa, Alara dn Uddaka, yang mana pada mereka Beliau pernah menetap dan belajar. Tetapi melalui mata batin Beliau mengetahui bahwa mereka telah meninggal dunia. Kemudian Beliau teringat pda Lima Petapa yang melayaniNya sewaktu Beliau sedang melakukan praktik pertapaan menyiksa-diri tetapi kemudian meninggalkanNya setelah Beliau mengehentikan praktik itu. Dengan cara yang sama Beliau mengetahui bahwa pada saat itu mereka menetap di taman rusa Isipatana, di Kota Benares. Kemudian Beliau meninggalkan Uruvela, pergi menuju taman rusa. Di sini para komentator mencatat bahwa Sang Buddha meninggalkan Uruvela di pagi hari tanggal ke empat belas, bulan ke delapan lunar, sehari sebelum periode tiga bulan masa vassa. Dikatakan bawah Beliau tiba di sore hari menjelang malam pada hari yang sama. Akan tetapi, menurut peta, jarak antara Uruvelà, yang sekarang dikenal sebagai Buddhagaya, dan taman rusa Isipatana, sekarang disebut Sarnath, adalah lebih dari seratus mil. Akan tetapi Kanon pali, tidak menyebutkan lamanya waktu yang dihabiskan oleh Sang Buddha dalam perjalanan itu, hanya ada jalan-jalan yang Beliau lalui berturut-turut (melewati berbagai lokasi dalam perjalanan itu).

Sehubungan dengan Lima Petapa, mereka bernama Kondanna, Vappa, Bhaddiya, Mahanama dan Assaji, yang pertama adalah pemimpin bagi yang lainnya. Dikatakan bahwa ia adalah satu dari 108 brahmana yang diundang untuk memberikan ramalan atas kehidupan Bayi Siddhattha ketika Beliau berusia lima hari. Para brahmana lain meramalkan dua kemungkinan bagi bayi kerajaan: menjadi Raja Dunia atau Guru Religius Dunia. Ini tergantung pada apakah Beliau lebih menyukai kehidupan sekular atau monastik. Brahmana Kondanna, yang termuda dari semuanya, meramalkan dengan penuh keyakinan bahwa sang bayi pasti memilih kehidupan religius dan karenanya akan menjadi Guru Religius Dunia. Adalah karena keyakinan ini maka Brahmana Kondanna selalu mendengarkan dengan penuh harap mengenai segala sesuatu yang terjadi pada sang bayi kerajaan. Setelah mengetahui bahwa Pangeran Siddhattha telah meninggalkan keduniawian untuk menjalani kehidupan religius, ia menjadi lebih yakin dan karena itu ia mengajak 4 brahmana lain – yang semuanya adalah putera dari para brahmana yang meramalkan takdir bayi Siddhattha – agar menyertainya mengikuti teladan Sang Pangeran. Adalah ketika petapa kerajaan itu menjalankan praktik penyiksaan diri yang sangat mereka yakini, maka mereka datang melayaniNya dengan penuh kesetiaan. Dengan harapan bahwa ketika ia mencapai penerangan sempurna melalui cara itu, Beliau akan mengajarkan kepada mereka apa yang Beliau temukan. Tetapi mereka merasa cemas, melihat sang petapa kerajaan meninggalkan praktik penyiksaan diri, yang bagi mereka adalah jalan satu-satunya untuk mencapai penerangan sempuana. Tentu saja mereka menganggap hal ini sebagai tindakan kembali kepada kenikmatan dank arena itu, setelah kehilangan keyakinan pada sang pangeran-petapa, mereka meninggalkanNya dan pergi menuju ke taman rusa Isipatana.

Pada hari bersejarah itu, melihat Sang Buddha datang dari kejauhan, mereka sepakat untuk tidak memberi hormat kepadaNya. Akan tetapi, sebagai bentuk penghormatan sebelumnya, mereka menyediakan sebuah tempat duduk sehingga Beliau dapat menutuskan sendiri apakah akan menerimanya atau tidak. Tetapi ketika Beliau tiba mereka lupa akan kesepakatan mereka dan bangkit dan bersujud kepada Beliau seperti yang biasa mereka lakukan sebelumnya. Mereka membasih kaki Beliau dengan air, menyediakan bangku agar Beliau dapat meletakkan kakiNya dan juga menyediakan sepotong kain untuk menggosok kakiNya. Sang Buddha duduk di sana dan, setelah mencuci kakiNya,  mengeringkannya dengan kain yang telah disediakan. Sekarang kelima Petapa, masih belum yakin, menyapa Beliau dengan kata ‘Avuso’, yang diucapkan pada orang dengan derajat yang sama, bukan kepada orang yang lebih mulia. Di sini Sang Buddha menghentikan mereka, mengatakan bahwa Beliau datang untuk membabarkan Dhamma Keabadian kepada mereka. Jika mereka mendengarkan dengan penuh perhatian dan hidup di dalamnya dengan tekun, maka mereka akan memperoleh berkah padamnya penderitaan yang mereka cari. Mereka menolak untuk percaya, memperdebatkan bahwa bahkan selagi mempraktikkan penyiksaan-diri Beliau telah gagal dalam usahaNya. Bagaimana mungkin, mereka memperdebatkan, bahwa Beliau yang telah meninggalkan praktik demikian, bias memperoleh pencapaian? Sekali lagi Sang Buddha mengkonfirmasi pencapaianNya dan sekali lagi Kelima Petapa itu tidak mempercayainya. Hal ini berlangsung tiga kali hingga ketika Sang Buddha menyarankan agar mereka mengingat-ingat apakah Beliau pernah berkata seperti itu sebelumnya. Tentu saja, mereka memberikan jawaban negative dan dengan jawaban itu kekerasan mereka berkurang, menjadi lebih lunak dan siap untuk mendengarkan. Mengetahui dengan mata batin bahwa batin mereka siap untuk menerima, Sang Buddha membabarkan kepada mereka apa yang kelak dikenal sebagai Roda Dhamma, atau dalam istilah kitab, Dhammacakkappavattanasutta, Khotbah PertamaNya. Di sini tercatat bahwa khotbah ini dibabarkan pada keesokan harinya, yaitu, sehari setelah Beliau tiba di tempat di mana Kelima Petapa itu menetap. Hari itu adalah hari purnama bulan âsàëha, yang adalah bulan ke delapan Lunar. Kelak dikenal sebagai sehari sebelum masa vassa tiga bulan dan di Thailand ditetapkan sebagai Hari Saïgha, suatu hari penuh berkah ketika muncul di alam manusia yang ke tiga dari Tiga Permata dalam sosok Kondanna, yang sebagai seorang Sotapanna atau seorang Pemasuk-Arus menjadi saksi pertama atas pencerahan Sang Buddha.



Khotbah Pertama: Roda Dhamma

Khotbah ini, atau Roda Dhamma seperti umunya disebut, - sesuai nama dalam Pali, dapat dianggap sebagai jawaban atas pertanyaan pencarian, Apakah yang membuat Sang Buddha puas akan PencerahanNya, Seperti apakah, dan dengan cara apakah Sang Buddha telah mempraktikkan sehingga Beliau terberkahi dengan pencapaian demikian. Oleh karena itu Sutta (khotbah) mengenai pembabaran ini adalah sangat penting dan layak dipelajari dengan mendalam dan terperinci.

Pada bagian pertama Sang Buddha menunjukkan cara-cara praktik yang harus dihindari oleh para bhikkhu atau mereka yang meninggalkan keduniawian, yang bercita-cita untuk mencapai kebosanan yang mengecewakan, lenyapnya kenikmatan dan kemelekatan yaitu Penerangan Sempurna atau Nibbàna. Ini adalah kedua ekstrim pemuasan indria dan penyiksaan-diri, keduanya harus dihindari oleh mereka yang bercita-cita untuk mencapai tujuan yang disebutkan di atas. PenemuanNya, demikianlah Beliau mengatakan kepada Kelima Petapa, adalah antara kedua ekstrim ini, dengan tidak mendekati salah satunya. Ini adalah praktik yang mendukung ‘Mata’ (kebijaksanaan). Pandangan terang, Kedamaian, Pengetahuan Tertinggi, Penerangan Sempurna, NIbbàna (padamnya kekotoran). Ini adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan, yang terdiri dari Pandangan Benar, Kehendak Benar, Ucapan Benar, Perbuatan Benar, Penghidupan Benar, Usaha Benar, Perhatian Benar dan Meditasi Benar.

Pada bagian ke dua Beliau mengajarkan Dhamma kepada Kelima Petapa yang dengannya Beliau menjadi tercerahkan. Ini adalah akibat dari menghindari kedua ekstrim dan menapak apa yang disebut Jalan Tengah. Dhamma itu disebut Empat Kebenaran Mulia. Ini menyiratkan Kebenaran-kebenaran dari orang-orang mulia atau kebenaran-kebenaran yang memuliakan seseorang. Empat Kebenaran itu adalah:

Kebenaran Mulia Pertama tentang Dukkha, biasanya diterjemahkan sebagai Penderitaan. Sewaktu menjelaskan manifestasinya, Sang Buddha menunjukkan fenomena kelahiran, usia tua, kematian, kesedihan, ratapan, penyakit, dukacita, keputus-asaan, berkumpul dengan yang tidak menyenangkan, berpisah dengan yang menyenangkan atau yang dicintai dan akhirnya, sebagai suatu sintesa, tidak mendapatkan apa yang diinginkan. Rangkumannya, Kelima kelompok usnur kehidupan yang dilekati adalah (tempat bagi) penderitaan.

Kebenaran Mulia Ke dua tentang Dukkhasamudaya, Sebab Penderitaan. Sutta menunjuk pada Tanha atau keinginan sebagai penyebabnya. Ia menarik seseorang pada penjelmaan kembali atau kelahiran kembali, yang disertai dengan Nandi atau kenikmatan dan dengan keserakahan atau nafsu. Keinginan ini ada tiga jenis, yaitu, Keinginan untuk memiliki obyek-obyek kenikmatan indria, Keinginan untuk menjadi atau menjelma kembali dan Keinginan (pada aspek negative) untuk tidak menelma kembali (sebagai lawan dari jenis ke dua).

Kebenaran Mulia Ke tiga tentang Dukkhanirodha, Padamnya penderitaan. Menurut Sutta, hal ini dimungkinkan dengan cara memuntahkan keinginan dengan tanpa meninggalkan bekas, berpisah dengan, melepaskan dan kebebasan dari Keinginan, tanpa kemelekatan yang tertinggal.

Kebenaran Mulia ke empat tentang Dukkhanirodhagaminipatipada atau, singkatnya, Sang Jalan. Ini adalah apa yang disebut dengan Jalan Mulia Berunsur Delapan seperti yang telah disebutkan sebelumnya dan telah dijelaskan.

Pada bagian ke tiga, Sang Buddha menjelaskan seperti apakah yang disebut Penerangan Sempurna,. Ini menyiratkan munculnya pengetahuan secara spontan, atau berdasarkan intuisi, terhadap tiga putaran atau tahapan dari masing-masing dari Empat Kebenaran Mulia. Demikianlah Kebijaksanaan spontan atau Kebijaksanaan intuitif mengetahui bahwa

1.   (Sehubungan dengan Kebenaran Pertama) ini adalah penderitaan, maka penderitaan ini harus diketahui, dan ini telah diketahui sekarang;
2.   (Sehubungan dengan Kebenaran Ke dua) ini adalah sebab penderitaan, maka penyebab ini harus dilenyapkan, dan ini telah dilenyapkan sekarang.
3.   (Sehubungan dengan Kebenaran Ke tiga) ini adalah padanya penderitaan, maka padamnya ini harus dicapai, dan ini telah dicapai sekarang.
4.   (Sehubungan dengan Kebenaran Ke empat) ini adalah jalan menuju padamnya penderitaan, maka jalan ini harus dikembangkan, dan ini telah dikembangkan sempurna sekarang, yaitu, dalam segala hal.

Ada istilah lain yang merujuk pada pengetahuan demikian, yang bersinonim dengan Pencerahan. Yaitu yang disebut nana atau Pandangan Terang dan melibatkan tiga putaran atau tingkat kehalusan atau kemendalaman yang disebut:

a)   Saccanana: Pandangan Terang ke dalam sifat Kebenaran-kebenaran itu sendiri. Ini menyiratkan pengetahuan bagaimana ini adalah penderitaan, ini adalah Penyebabnya, ini adalah Padamnya dan ini adalah Jalan menuju ke sana.
b)   Kiccanana: Pandangan Terang ke dalam apa yang harus dilakukan pada masing-masingnya. Demikianlah penderitaan ini harus dikenali atau diketahui; Penyebabnya harus dilenyapkan atau dihilangkan; Padamnya harus dicapai; dan Sang Jalan menuju ke sana harus dikembangkan aatu disempurnakan.
c)   Katanana: Pandangan Terang ke dalam apa yang telah dilakukan sehubungan dengan masing-masing dari Empat Kebenaran. Menyiratkan pengetahuan bahwa segala penderitaan telah dikenali atau diketahui, tidak ada yang tersisa dari jenis ini. Sehubungan dengan Kebenaran ke dua, menyiratkan pengetahuan bahwa segala penyebab penderitaan telah dilenyapkan selamanya, tidak ada lagi yang tersisa untuk dilenyapkan lebih jauh lagi. Pada Kebenaran ke tiga, ini merujuk pada pengetahuan bahwa segala lenyapnya penderitaan telah dicapai, tidak ada lagi yang tersisa untuk dicapai lebih jauh lagi. Dan sehubungan dengan kebenaran ke empat, ini menunjukkan Pengetahuan bahwa segala Jalan (yaitu, praktik) yang menuju pada Padamnya telah diikuti, tidak ada lagi yang tersisa untuk dikembangkan lebih jauh lagi.


Indra:
Tiga Tahapan Spiral yang Mencakup Empat Kebenaran dalam Dua Belas Hal

Demikianlah dalam Sutta digambarkan Pencerahan Sang Buddha sebagai Pandangan Terang yang merupakan tiga tahapan spiral yang mencakup dua belas hal. Ketiga tahap merujuk pada Pengetahuan Pandangan Terang ke dalam, pertama, sifat Empat Kebenaran; ke dua, penilaianNya terhadap Empat Kebenaran itu; dan ke tiga, pencapaianNya sepenuhnya  sehubungan dengan penilaian itu. Dengan Pandangan Terang demikian yang mengerucut mencakup Empat Kebenaran tiga kali, apa yang dihasilkan dari sana adalah dua belas manifestasi Pandangan Terang yang mendukung PencerahanNya. Adalah seseorang yang terberkahi dengan pandangan terang yang lengkap dan sempurna ini yang membuatNya disebut Buddha, Yang Terceerahkan. Karena itu Panna-Nya (Kebijaksanaan atau Pandangan Terang) disebut Bodhi, yang berarti Pencerahan.

Dari apa yang telah dibahas, dapat dikatakan bahwa pembelajaran Sutta ini dapat menjawab tiga pertanyaan pencarian dari para buddhis. Pertama, praktik seperti apakah yang telah dilakukan oleh Sang Buddha hingga Beliau tercerahkan; ke dua, ke dalam Dhamma apakah Sang Buddha tercerahkan; dan ke tiga, Pengetahuan (atau Pandangan Terang) apakah yang mencirikan Pencerahan Sang Buddha. Jelas bahwa ketiga pertanyaan ini dapat dijawab melalui bagian-bagian yang bersesuaian dari khotbah pertama yang telah dibahas sebelumnya. Adalah karena fakta ini maka, setelah bagian ke tiga khotbah ini, Sang Buddha dapat menyatakan, bagaikan auman singa, bahwa selama Pandangan TerangNya dengan tiga lingkaran spiral yang mencakup dua belas hal belum lengkap dan berkembang sempurna dan murni, maka selama itu ia tidak dalam posisi yang dapat menyatakan bahwa Beliau telah tercerahkan. Adalah ketika Pandangan Terang itu telah murni sempurna maka Beliau dapat menyatakan dirinya sebagai Buddha, Yang Tercerahkan., melalui penemuanNya sendiri. Itulah pencerahan oleh diri sendiri karena fakta bahwa Pandangan Terang itu muncul secara spontan, terjadi dari dalam, tidak didengar, dipelajari atau disarankan oleh siapapun.

Mempelajari isi dari Sutta, kita menemukan bahwa bahkan cara melepaskan keduniawian atau ketidak-melekatan adalah karena tekadNya sendiri. Beliau telah meninggalkan cara praktik dari berbagai tradisi dan guru pada masa itu satu demi satu selama pencariannya akan jalan yang ‘Benar’. Ini terjadi hingga Beliau menemukan dan mengikuti apa yang Beliau yakini benar. Bukan hingga Beliau telah mengikuti, telah mengembangkannya hingga sempurna dan tingkat terakhir, maka Beliau memperoleh Pandangan Terang ke dalam Empat Kebenaran Mulia yang belum pernah Beliau dengar atau pelajari dari siapapun. Pandangan Terang itu spontan, tidak bergantung pada instruksi orang lain, dihasilkan dari supremasi praktik. Ini memuncak dengan gelar Yang Tercerahkan oleh diri sendiri yang Beliau peroleh, klimaks dari pencarian dan pencapaianNya, Sang Buddha.

Dengan khotbah pertama di taman rusa Isitapatana di Kota Benares (atau Baranasi) yang merujuk pada negeri Kasi, sebaiknya dijelaskan secara lebih terperinci kisah-kisah latar belakang sehubungan dengan tempat-tempat itu.

Negeri Kasi. Menurut naskah-naskah Buddhis, negeri Kasi telah berkembang bahkan sebelum masa Sang Buddha. Ini bersama dengan negeri Kosala yang berbatasan. Dapat dipahami bahwa istilah Kàsã merujuk pada suku orang-orang Arya yang telah menetap di wilayah itu atau merujuk pada raja yang memerintah di wilayah itu di masa lalu.

Kata Baranasi oleh beberapa orang dianggap berasal dari kata ‘barana’ dan ‘Asi’. Ini merujuk pada sungai Barana di utara dan sungai Asi di selatan. Tetapi oleh orang-orang lain ini dipercaya sebagai titik pertemuan sungai Gangga dan sungai Varuna, dengan kepercayaan tambahan bahwa masih ada sungai lain yang mengalir di bawahnya dan bertemu dengan dua sungai yang disebutkan di atas. Akan tetapi, jelas adalah pertemuan kedua sungai, kombinasi nama itu yang menghasilkan kata ‘Baranasi.’

Istilah Isipatana , secara literal berarti tempat jatuhnya para petapa atau rishi. Ada dua interpretasi untuk arti ini. Pertama adalah bahwa di sanalah adalah tempat di mana lima ratus Paccekabuddha datang melalui angkasa dan mendadak meninggal dunia, dengan tubuh-tubuh mereka berjatuhan pada saat yang bersamaan. Arti lainnya adalah, bahwa di sana lima ratus Paccekabuddha – yang berarti jumlah yang banyak, tidak harus berjumlah persis lima ratus – datang dari hutan untuk beristirahat. Menurut arti ini, ‘tempat jatuhnya’ dapat digunakan untuk menyiratkan ‘tempat pertemuan’ atau ‘tempat peristirahatan’. Istilah ‘rishi’, secara literal berarti seorang yang mencari, menyiratkan mereka yang mencari kualitas-kualitas mulia. Sebelumnya kata ini digunakan untuk merujuk pada para petapa Buddhis atau para Bhikkhu. Namun belakangan, dalam beberapa khotbah Sang Buddha, kata ini juga digunakan untuk menyiratkan mereka yang mencari kualitas-kualitas mulia dalam Buddhisme. Karena itu rujukan pada para siswa Sang Buddha sebagai ‘rishi’ atau ‘isã’ berarti mereka yang mencari Dhamma.

Sehubungan dengan kata majemuk ‘migadaya’, kata daya kadang-kadang diterjemahkan sebagai ‘hutan’. Dengan demikian migadaya berarti hutan tempat kediaman rusa. Dalam pengertian lain, kata ‘dava’ juga digunakan dalam arti hutan. Dengan demikian migadava juga berarti hutan tempat kediaman rusa. Dalam pengertian lain lagi, ‘daya’ berarti ‘memberi’. Oleh karena itu kata ‘migadaya’ berarti tempat di mana rusa-rusa diberikan perlindungan. Ini berarti rusa-rusa, termasuk burung-burung, di wilayah itu diperbolehkan hidup dengan aman, perburan atau pembunuhan atas mereka adalah terlarang. Dengan kata lain, tempat itu adalah suaka bagi rusa-rusa.

Kemakmuran negeri Kasi. Di sebutkan dalam beberapa tempat dalam Jataka mengenai tingkatan tinggi dari kemakmuran moral Kasi. Dalam Rajovada jataka , terdapat seorang raja bernama Brahmadatta. Akan tetapi, nama ini, merujuk pada dinasti yang memerintah negeri itu bukan pada seorang raja tertentu. Dikatakan bahwa ia memerintah negerinya dengan adil, dengan mengokohkan dirinya dalam keadilan dan memutuskan kasus-kasus dengan jujur dan tanpa memihak. Ia memerintah dalam kedamaian dan kebahagiaan yang dikenal dan dipuji hingga jauh. Ia sering bepergian dengan menyamar untuk mengetahui oleh dirinya sendiri bagaimana kehidupan warganya, dan tidak menemukan seorangpun yang mengeluh.

Pada suatu ketika ia bepergian dengan kereta bersama kusirnya ke wilayah perbatasan yang berbatasan dengan negeri Kosala. Rajanya bernama Bhallika, yang, seperti juga Brahmadatta, adalah raja yang adil dan lebih suka bepergian dengan menyamar untuk mengetahui sendiri kesejahteraan warganya. Pada saat yang sama kereta Raja Bhallika bertemu dengan kereta Raja Brahmadatta di jalan yang sempit di wilayah perbatasan. Kedua kusir saling menolak memberi jalan pada yang lain. Untuk menyelesaikan persoalan itu, mereka saling menanyakan status dari raja mereka dan mengetahui bahwa kedua raja berusia sama dan memiliki kekayaan dan kekuatan militer yang sama. Oleh karena itu, hal-hal ini tidak dapat menjadi kriteria untuk memutuskan siapa yang lebih unggul dan berhak untuk jalan terlebih dulu. Oleh karena itu yang tersisa adalah Dhamma atau tingkat kebajikan dari kedua raja, yang akan menjadi dasar keputusan.

Menjelaskan kebajikan rajanya, kusir Raja Bhallika dari Kosala mengatakan bahwa rajanya melawan kekerasan dengan kekerasan dan kebaikan dengan kebaikan. Ia juga menjawab baik dibalas dengan baik dan jahat dibalas dengan jahat. Demikianlah Raja Bhallika, kata kusirnya.

Menjawab ini, kusir Raja Brahmadatta berkata bahwa rajanya menaklukkan kemarahan dengan tidak marah, kejahatan dengan kebaikan dan kesengsaraan dengan kedermawanan.

Pernyataannya menyelesaikan permasalahan itu, dengan kusir Bhallika mengakui keunggulan moral dari Raja Brahmadatta dan setuju memberi jalan kepadanya.

Kisah lain. Ada kisah lain di balik kisah perlindungan yang diberikan kepada rusa-rusa . Ini merujuk pada satu Raja Brahmadatta yang memerintah negeri Kasi yang menyukai daging rusa dan secara rutin pergi berburu rusa. Ia juga memerintahkan orang-orang agar membantunya dalam setiap perjalanannya berburu rusa. Begitu sering sehingga orang-orang menjadi lelah akan hal ini, karena mereka dipaksa untuk meninggalkan pekerjaan mereka setiap kali raja pergi berburu. Oleh karena itu mereka berencana untuk menyediakan suatu daerah tertentu dimana sejumlah besar rusa akan diarahkan, menunggu untuk dibunuh setiap hari. Setelah ini dilakukan, rusa-rusa yang terkurung di sana terbagi dalam dua kelompok, pemimpin salah satu kelompok bernama Nigrodha, dan pemimpin kelompok lain bernama Sakka. Keduanya adalah binatang yang indah sehingga ketika raja melihat mereka, ia terpesona oleh keindahan mereka dan menganugerahkan pengampunan, mengecualikannya dari pembantaian.

Dengan rusa-rusa yang terkurung itu, kadang-kadang raja datang sendiri, dan kadang-kadang ia memerintahkan koki kerajaan untuk datang mewakilinya, untuk membunuh rusa sebagai makanan setiap harinya. Bintang-binatang itu merasakan takdir mereka berlari untuk menyelamatkan hidup mereka, bahkan beberapa binatang terluka sebelum salah satu dari mereka tertangkap. Melihat itu kedua pemimpin rusa bertemu dan berdiskusi dan akhirnya sepakat bahwa, karena mereka pasti akan mati, akan sangat membantu mereka menghindari kesulitan dan kebingungan yang tidak perlu jika salah satu dari mereka secara sukarela menerima takdirnya setiap hari ketika tiba gilirannya. Ini dilakukan dengan cara salah satu dari mereka menunggu di tiang pembantaian. Dengan kesepakatan ini, semua berjalan dengan baik selama beberapa waktu di mana salah satu dari binatang-binatang itu menunggu dengan tenang di tiang pembantaian setiap hari.

Pada suatu hari tibalah giliran seekor rusa betina yang sedang hamil dan waktu kelahirannya semakin dekat. Ia pergi menemui sang pemimpin untuk memohon penundaan hingga ia melahirkan anaknya. Tetapi sang pemimpin tetap pada keputusannya, karena tidak dapat menemukan penggantinya. Mendengar hal ini rusa betina itu mendatangi pemimpin kelompok lainnya yang bernama Nigrodha. Setelah mempelajari persoalan itu, Nigrodha, tergerak oleh belas kasihan dan melihat tidak ada pengganti dirinya, menawarkan untuk menyerahkan dirinya sendiri untuk menggantikan si rusa betina dan pergi ke tiang pembantaian untuk menunggu kematiannya. Ketika si koki datang dan melihat Nigrodha di sana, ia tidak berani menyentuh binatang itu, karena mengetahui bahwa binatang itu telah dianugerahi pengampunan oleh raja. Ia menghadap raja dan menceritakan kejadian itu kepada raja. Ketika raja datang ke tempat itu dan diberitahukan kisah yang melatar-belakangi, ia tergerak oleh pengorbanan diri sang pemimpin dan berpikir bahwa bahkan seekor binatang dapat memiliki kualitas mulia demikian. Mengapa, ia berpikir, seorang manusia kehilangan hal yang sama? Dengan sikap adil ia menganugerahkan pengampunan kepada seluruh rusa, melarang pembunuhan mereka sejak saat itu.

Kisah-kisah Jataka dalam Buddhisme. Terlihat bahwa sebagian besar kisah Jàtaka dalam naskah-naskah Buddhis diceritakan terjadi di negeri Kasi. Ini menunjukkan fakta bahwa negeri ini telah berkembang maju sebelum masa Sang Buddha. Akan tetapi, kekuasaaannya menjadi menurun hingga negeri itu dikuasai oleh Kosala, yang merupakan negeri yang lebih kuat pada masa itu. Akan tetapi, tidak jelas apakah, pada masa Sang Buddha, negeri itu masih berdiri sendiri atau tidak. Tetapi jelas, masih berhubungan dengan negeri Kosala dan Magadha, sesuatu dari kedua negeri ini yang patut dicatat adalah sebagai berikut.

Negeri Magadha pada masa Sang Buddha diperintah oleh raja bernama Bimbisara, dengan ibukota bernama Kota Ràjagaha, sedangkan pada saat yang sama Kosala beribukota Savatthi dan Pasenadi sebagai rajanya. Kedua negeri terikat oleh hubungan perkawinan, masing-masing raja adalah saudara ipar dari raja lainnya. Ini berarti adik perempuan Raja Pasenadi adalah ratu dari Raja Bimbisara, yang saudara perempuannya adalah ratu dari Pasenadi. Pada saat mengawinkan adik perempuan Pasenadi dengan Bimbisara, Raja Mahàkosala atau Mahapasenadi, ayah dari Raja Pasenadi sekarang, menmganugerahkan Kasikagama atau Kota Kasika sebagai hadiah kebesaran dan harta pribadi untuk puterinya.

Akan tetapi, Penguasa negeri Kasi tidak jelas diketahui. Ini karena hanya sedikit berhubungan dengan Buddhisme, yang membuat kisahnya hanya sedikit disebut dalam naskah-naskah Buddhis. Akan tetapi, menurut Komentar Vinaya (Disiplin)  seorang raja Kasi berhubungan darah dengan Raja pasenadi dari Kosala. Juga di tempat lain , raja Kasi dikatakan pernah mengirimkan kain dari bahan yang sangat halus sebagai hadiah untuk Tabib Jivaka, yang telah menyembuhkan penyakit kronisnya. Kain Kasi terkenal bernilai tinggi dan mahal. Negeri ini juga terkenal sebagai pusat kegiatan religius, khususnya di Kota Baranasi pada masa Sang Buddha. Tempat ini dikenal sebagai tempat pertemuan berbagai guru religius, terutama enam guru terkenal pada masa itu, yang masing-masing memiliki sejumlah besar murid. Dari naskah-naskah, kita mengetahui bahwa Brahmanisme dan Jainisme berkembang berdampingan. Pada pusat, atau jantung ajaran dan praktik religius inilah Sang Buddha menghadirkan hasil dari pencarian dan penemuanNya.


KHOTBAH PERTAMA: ‘RODA’ DHAMMA

Khotbah di Taman ini,
Suaka bagi rusa-rusa liar,
Bagi umat Buddha adalah tanda,
Buddha memulai,

Memutar Roda Dhamma,
Kepada Lima Petapa,
Untuk menuntun mereka menuju pantai,
Nibbàna kehidupan.

Hari itu adalah Malam Purnama Bulan asalha,
Ketika Brahmana Kondanna,
Yang terberkahi dengan kelahiran mulia
Menjadi Sotapanna.

Menjadi saksi Buddha
Atas tingginya Dhamma,
Bermahkotakan keberhasilan cemerlang
Melampaui kedua ekstrim.

Demikianlah lahir Permata Ketiga
Menandai hari Saïgha
Agung bagaikan mahkota
Dalam diri Koõóa¤¤a.

Berdasarkan pada Empat Kebenaran Mulia
Adalah Khotbah Pertama Buddha
Dinyatakan bagaikan “Auman Singa”
Membelah hingga kaki langit diujung terjauh.

Ini bagi umat Buddha untuk mengingatkan
Mereka akan betapa berharganya
Harta yang dapat mereka temukan
Dan menjadi saksi Buddha

Jangan seperti rusa-rusa itu
Yang tidak mampu menghargai
Walaupun mereka mendengarkan
Namun tidak mampu menembus

Makna dari kata-kata Sang Buddha,
Yang hanya menyerupai suatu suara.
Betapapun banyaknya mereka mendengar,
Tidak ada makna yang dapat ditemukan.

Semoga keyakinan kokoh
Pada Pencerahan Sang Buddha
Sebelum nafas kita lenyap
Dan demikianlah kehidupan kita dilewatkan.

---- Bab 1 selesai -----

Indra:
BAB 2
EMPAT KEBENARAN MULIA

Berikut ini adalah penjelasan singkat atas Khotbah Pertama

Kebenaran Mulia Pertama tentang Penderitaan. Kata Dukkha, secara etimologi merujuk pada apa yang tidak stabil atau tidak berubah, dapat diinterpretasikan dalam dua kategori.

Pertama, istilah ini menunjuk pada segala sesuatu, yang setelah terlahir, mengalami perubahan, menjadi usang dan akhirnya lenyap. Secara sederhana, ini merujuk pada kebenaran atas apapun yang dilahirkan pasti mengalami kematian. Ini sungguh adalah Dukkha (tidak peduli apapun terjemahannya dalam Bahasa Indonesia) karena tidak dapat selalu stabil setiap saat. Jika ia mampu terus-menerus ada tanpa mengalami perubahan maka ia tidak akan usang dan lenyap. Ini adalah sifat dari Dukkha (sebutlah sebagai sifat dari penderitaan, kesakitan, atau ketidak-memuaskan jika anda menginginkannya), yang mencakup segala sesuatu di dunia, termasuk dunia itu sendiri. Tidak ada apapun yang, setelah terlahir, tidak akan mengalami pelenyapan atau kematian, perbedaannya hanya pada berapa cepat atau lambat proses itu terjadi.

Dalam Sutta atau Khotbah, konsep Dukkha lebih spesifik. Menunjuk secara langsung ke dalam, menunjuk pada Dukkha yang mengendalikan tubuh, menguraikannya sebagai kelahiran, usia tua dan kematian. Manifestasi demikian harus dijelaskan, misalnya, penderitaan dan kesakitan yang dialami pada saat melahirkan (oleh ibu dan bayi). Ini lebih kabur daripada jelas. Riwayatnya, melihat hanya dengan manfaat dari masa lalu. Bahkan apa yang disebut “menjadai tua” juga memiliki beberapa aspek positif dan menyenangkan – dari anak-anak hingga dewasa, yang secara halus disebut ‘tumbuh menjadi muda’. Perubahan demikian, jelas sebagaimana adanya dalam berbagai cara, diterima sebagai aspek perubahan yang estetis dan indah, bukannya dianggap sebagai suatu aspek dukkha. Hanya ketika perubahan telah mulai menurun maka aspek yang nyata dan negative dari Dukkha menjadi lebih nyata. Dukkha kematian, pada kenyataannya, pada tahap tertentu, adalah menyesatkan. Karena kebenaranya adalah bahwa Dukkha apapun yang ada (yaitu, kesakitan, betapapun menyakitkan) muncul sesaat sebelum kematian. Pada saat-saat kritis tidak dapat diketahui bagaimana Dukkha terjadi. Rasa takut akan kematian, pada kenyataannya, adalah ketakutan sebelum kematian. Selama masih ada ketakutan, maka selama itu tidak mungkin ada kematian. Tetapi pada saat kematian, tidak ada ketakutan demikian, yaitu, tidak ada perasaan takut, tidak ada perasaan bahwa itu adalah Dukkha. Semua ini menunjukkan bagaimana masih ada makna tersembunyi yang harus diungkapkan demi suatu pemahaman yang lebih langsung dan lebih jernih dari apa itu Dukkha yang sesungguhnya dimaksudkan.

Oleh karena itu, mungkin saja, bahwa makna sebenarnya yang disiratkan oleh Dukkha pada dasarnya adalah makna literal, dengan sikap batin atau reaksi yang ditambahkan atau berhubungan dengannya. Untuk mengulangi, makna literal atau etimologis menunjukkan kondisi alami dan sesuai sifatnya sebagai kondisi yang terus-menerus berubah, tidak mampu tetap stabil atau kokoh. Ini, seperti disebutkan sebelumnya, mencakup dunia itu sendiri dan segala sesuatu di dalamnya. Sekarang ini, seperti biasanya, termasuk apa yang merupakan tubuh kita, yang, setelah terlahir, menjalani proses tumbuh menjadi muda, kemudian tumbuh menjadi tua, menjadi usang dan rusak yaitu kematian. Ini adalah makna dasar dari kata Dukkha.

Sekarang yang ke dua, aspek pendamping dari kata ini. Ini berasal dari reaksi atau sikap seseorang terhadap aspek alami dan mendasar yang dijelaskan di atas. Reaksi ini berdasarkan pada Taõhà atau keinginan (atau kegemaran, sebutlah apa yang anda kehendaki), yang darinya muncul aspek kembar yaitu, Upàdàna atau keterikatan atau kemelekatan. Adalah dua ini yaitu keinginan dan kemelekatan yang secara kolektif yang pada gilirannya memunculkan serangkaian Dukkha batin seperti kesedihan, ratapan, dukacita dan kegelisahan. Tanpa si jahat kembar ini, seperti halnya pada Sang Buddha dan para siswa Arahant, maka tidak ada Dukkha yang ke dua, kategori pendamping untuk mempengaruhi mereka dalam cara apapun atau dalam tingkat apapun. Mereka telah menyadari oleh diri sendiri bagaimana segala sesuatu yang berkondisi itu, termasuk jasmani mereka, dikuasai oleh hukum kejadian atau alam. Kejadian alami demikian, setelah dikondisikan untuk terlahir atau menjelma, secara intrinsik – dan oleh karena itu tidak terhindarkan – pasti mengalami perubahan, kemunduran, keusangan, dan lenyap: secara kiasan, menuju ke ketiadaan. Tanpa Kilesa (kekotoran secara umum) atau Taõhà (khususnya Keinginan) yang berfungsi sebagai rantai penghubung, belenggunya putus dan Dukkha dari kategori ke dua menjadi padam.

Adalah karena fakta inilah maka aspek lain dari Dukkha yang disebut Taõhà atau Keinginan disebutkan. Melaluinya muncul ‘kembaran’nya yang disebut Upàdàna atau kemelekatan, yang membawa berbagai penderitaan batin. Kebenaran ke dua ini disebut Samudaya, asal-mula penderitaan yaitu Dukkha.

Sekarang, dengan padamnya Keinginan atau Kemelekatan muncullah padamnya Dukkha. Apapun yang muncul tidak dapat mempengaruhi batin. Ini dapat dilihat ketika kita melihat sekeliling, mengamati segala sesuatu, dan kejadian-kejadian, pada saat terjadi. Dengan faktor yang mengintervensi yaitu Keinginan dan Kemelekatan (termasuk ketidak-senangan dan kejijikan seperti biasanya), kemunculan ini tentu menurunkan Dukkha jika termasuk dalam kategori ‘yang tidak menyenangkan’. Sebaliknya, tanpa si jahat itu, hanya akan ada Keseimbangan yang mengecewakan dan menjemukan di tengah-tengah segala situasi, apakah menyenangkan atau tidak menyenangkan. Dengan demikian, tidak aka nada Dukkha, khususnya yang berasal dari batin. ‘peristiwa-peristiwa’ yang terlihat, dan dianggap, sebagaimana adanya – sebagai terlahir, berlangsung, memudar dan lenyap.

Dengan Magga atau Sang Jalan yang dimaksudkan adalah proses mengembangkan batin atau menghaluskan hingga sejauh munculnya kebijaksanaan (di antara kualitas mulia lainnya) yang dengannya Keinginan dan kemelekatan yang disebutkan di atas dilenyapkan. Ini adalah makna ringkas dari Jalan Mulia Berunsur Delapan, Kebenaran Mulia Ke empat. Apa yang perlu dicatat adalah bahwa pengetahuan sebagai hasil dari Kebijaksanaan itu harus memungkinkan seseorang untuk mengatasi dan menaklukkan Kekotoran seperti Keinginan dan Kemelekatan. Oleh karena itu maka jalan itu haruslah cukup praktis dan cukup kuat. Jika prasyarat ini tidak tercapai, maka ia hanya mengetahui namanya namun tidak mampu mengatasi dan mencabut kekotoran itu. Apa yang memungkinkan seseorang untuk melakukannya adalah, menurut Khotbah Pertama, tiga tahapan yang mencakup masing-masing Kebenaran Mulia, yang menghasilkan dua belas aspek berbentuk spiral dari Nana atau Pandangan Terang.

Sekarang, Tiga Tahap Pandangan Terang adalah sebagai berikut:

1.   Pertama adalah Saccanana, Pandangan Terang ke dalam apa itu Empat Kebenaran Mulia.
2.   Ke dua adalah Kiccanana, Pandangan Terang ke dalam apa yang harus dilakukan sehubungan dengan masing-masing dari Empat Kebenaran Mulia.
3.   Ke tiga adalah Katanana, Pandangan Terang ke dalam apa yang telah dilakukan dengan sempurna sehubungan dengan masing-masing dari Empat Kebenaran Mulia.

Memahami ketiga tahapan Pandangan Terang berturut-turut dapat menjadi jelas melalui perbandingan dengan kinerja dari tugas-tugas seseorang dalam beberapa aspek kehidupannya. Pertama, ia perlu mengetahui apa yang merupakan tugas atau tanggung jawabnya. Dengan kata lain, ini adalah mengetahui sejauh mana tanggung jawab yang harus ia pikul. Ini dapat dilakukan dengan mempelajari fakta-fakta dan data yang dikumpulkan dari sebanyak mungkin sumber. Ini diperlukan bagi seseorang yang memikirkan tugas-tugas dalam pekerjaannya, keluarganya dan aspek sosil lainnya. Ini serupa dengan “Saccanana” – pada tahap duniawi, mengetahui apa yang merupakan batas-batas tugas dan kinerjanya.

Setelah mengetahui ini, ia berusaha untuk memenuhi sebatas kemampuannya apa yang dibutuhkan darinya. Ini serupa dengan Kiccanana pada tahap duniawi. Pengamatannya sendiri yang memastikan bahwa tidak ada lagi yang belum dilakukan adalah sesuai dengan Kata¤àõa yang memberikan kepuasan dan kegembiraan yang selayaknya padanya.

Contoh lain dari tahap duniawi dapat dilihat dalam kasus seorang dokter, yang pertama-tama harus mengetahi penyakit apakah yang harus ia sembuhkan, - juga penyebab dan gejala-gejalanya secara terperinci. Kemudian ia memanfaatkan apa yang telah ia pelajari dari pengalaman, mengetahui seberapa baik menanggulangi sindrom dan memberikan hasil terbaik untuk menyembuhkan penyakit. Setelah itu, melalui pengalaman professional dan praktik, ia mampu mengendalikan, dan kemudian menyembuhkan penyakit, memulihkan kesehatan pasien (yang mungkin saja dirinya sendiri). Ini telah ia capai dan, tentu saja, berhak untuk bangga akan kinerjanya. Semua ini berfungsi untuk memberikan gagasan atas ketiga ¥àõa sehubungan dengan Empat Kebenaran Mulia.

Sekarang kembali kepada Empat Kebenaran Mulia itu sendiri. Terbukti bahwa Sang Buddha telah dengan jelas memberikan penjelasan untuk masing-masingnya, menunjukkan apa yang secara komprehensif disiratkan oleh, pertama, Dukkha atau Penderitaan, kemudian oleh penyebab atau asal-mulanya. Dalam merujuk pada padamnya Dukkha, Beliau secara jelas menunjukkan apa yang harus dipadamkan dan sewaktu menyebutkan Jalan yang menuju padamnya, sekali lagi Beliau secara sistematis menjelaskannya pada pendengarNya. Sekarang bagi umat Buddha adalah disarankan untuk memutuskan apakah penjelasan Beliau dapat kita terima atau tidak, apakah itu Dukkha seperti lahir, tua dan mati, atau asal-mula Dukkha yaitu Keinginan, kemudian padamnya dan akhirnya Sang Jalan yang menuju ke sana. patokan tingkat penerimaan atas fenomena-fenomena adalah oleh sendiri, melalui keyakinannya, terlepas apakah disebutkan oleh Sang Buddha atau guru lainnya. Penerimaan melalui keyakinan seseorang demikian adalah, dengan kata lain, berasal dari dalam. Ini karena Empat Kebenaran, apakah Dukkha, penyebabnya, dan seterusnya, bukan merujuk pada yang di luar. Oleh karena itu, pencapaiannya, dimulai dari, atau berdasarkan pada, di mana keseluruhan tema itu berasal-mula, kalau tidak maka tidak dapat disebut Sacca¤àõa, Pandangan Terang ke dalam sifat dari masing-masing dari Empat Kebenaran. Suatu perbandingan dapat dilakukan, katakanlah, melihat empat orang yang berjalan bersama-sama. Untuk mengetahui segala sesuatu sehubungan dengan mereka seperti ciri-ciri, kebiasaan, kecenderungan dan kapasitas mereka mengumpamakan apa yang disebut Saccanana sehubungan dengan Empat Kebenaran.

Tahap ke dua disebut Kiccanana, Pandangan Terang ke dalam apa yang harus dilakukan atas Kebenaran-kebenaran itu. Dukkha yaitu segala manifestasi yang dijelaskan sebelumnya harus diketahui yaitu menentukan atau mendeteksi hingga tingkat yang selengkapnya, atau sedalam-dalamnya. Batasannya jelas, - tidak boleh melewati. Sekarang, penyebabnya, dalam bentuk atau tingkat apapun, harus secara total ditinggalkan atau dilenyapkan. Padamnya harus dicapai, sementara Sang Jalan yang menuju ke sana harus dikembangkan atau dilatih, - sekali lagi hingga tingkat yang selengkapnya, atau setinggi-tingginya. Semua ini merupakan sikap batin yang benar terhadap masing-masing dari Empat Kebenaran, dengan masing-masing sikap berfungsi di dalam apa yang menjadi pendekatan yang sesuai atau menjadi pendamping tanpa tumpang tindih dengan yang lainnya.

Navigation

[0] Message Index

[#] Next page

Go to full version