Sependapat dengan Bro Adi Lim. Dengan menambahkan sedikit, mungkin ini malah kesempatan baik bagi kita untuk berbagi bagaimana seorang Buddhis berpandangan sesuai ajaran 'jalan tengah' Sang Buddha.
Sejauh pengertian saya.. Meski menurut Sang Buddha sesuatu yang dapat dilekati sebagai atta yang sifatnya tetap dan memuaskan itu tidak ada, bukan berarti perbuatan dan akibat perbuatan tidak ada. Perbuatan sendiri berakar pada LDM atau AL,AD,AM.
Ada 2 pandangan ekstrim dari dulu hingga sekarang maupun nanti mengenai ini: sassatavada, pandangan eternalis dan ucchedavada, pandangan annihilasionis/nihilis. Pandangan eternalis berpendapat bahwa atta itu ada, karena itu perbuatan ada demikian pula akibat perbuatan. Pandangan nihilis berpendapat bahwa atta itu tidak ada, karena itu perbuatan itu tidak ada apalagi akibat perbuatan. Contoh dalam literatur Buddhis adalah Purana Kassapa, seorang guru dengan pandangan ucchedavada yang menganggap tidak adanya perbuatan (dapat dibaca di
DCpedia.)
Sedangkan Sang Buddha dengan solusi ajaran Jalan Tengahnya memang mengajarkan mengenai tidak ada diri (atta) tetapi bukan berarti tidak ada perbuatan dan akibat dari perbuatan. [Ini pernah dibahas oleh Sam. Peace Mind dalam 1 thread terdahulu mengenai siapa yang terlahir kembali dan menerima akibat kamma].
Karenanya Sang Buddha menekankan bahwa perbuatan berakar pada LDM yang belum muncul hendaknya tidak dibiarkan muncul, perbuatan berakar pada LDM yg telah muncul hendaknya dihentikan. Sebaliknya perbuatan berakar pada AL,AD,AM yang belum muncul hendaknya dimunculkan, perbuatan berakar pada AL,AD,AM yang telah muncul hendaknya dikembangkan ke puncaknya. Jika diselidiki lebih lanjut, Sang Buddha biasanya akan memberi formula JMB8 sebagai jenis perbuatan (kamma) yang berakar pada AL,AD,AM yang menuntun pada berakhirnya kamma dan kelahiran kembali, karena menurut beliau inilah jenis kamma bukan gelap dan bukan terang yang membawa pada berakhirnya kamma.
Tambahan:
Menurut Sang Buddha pula, keinginan akan pencerahan, keinginan akan mencapai nibbana, keinginan menjadi arahanta bukanlah jenis keinginan yang di'haram'kan dan harus dikurangi, karena itu pula Sang Buddha tidak menyebut jenis keinginan ini sebagai tanha melainkan chanda.
Ingat-ingat nasehat Buddha mengenai ajaran ini: "Deep, is this phenomenon, hard to see, hard to realize, tranquil, refined, beyond the scope of conjecture, subtle, to-be-experienced by the wise. For those with other views, other practices, other satisfactions, other aims, other teachers, it is difficult to know..."
Sukhi hotu