Saya katakan masih ada kilesa jika dianggap bodhisatva dari sisi non mahayanis jika ada yg menganggap sebagai Bodhisatva. Karena setahu saya Bodhisatva menurut Mahayanis Bodhisatva tidak ada lagi kilesa CMIIW.Nyatanya dari pandangan diatas masih terjebak pandangan yg keliru mengenai definisi pencapaian arahat. Mencapai arahat(sudah dijelaskan diatas-membayangkan....). Dengan belum melihat jelas keseluruhan tilakhana secara lengkap hingga padamnya LDM itu lah masih ada tersisa kilesa.Karena dalam latihan2 nyata untuk merealisasikan nibana tidak ada namanya membayangkan, membayangkan adalah delusi juga. Saya rasa anda tau Vipasanna(pandangan terang- yg melihat langsung dan membayangkan saja
Okey, soal ini saya menolak untuk menilai apakah memang Bodhidharma masih memiliki kilesa atau tidak. Sama halnya seperti saya tidak akan menilai apakah Paauk Sayadaw, Mahasi Sayadaw, Ajahn Chah, dll. masih memiliki kilesa atau tidak. Saya tidak berniat berspekulasi soal ini
maklum pencapaian saya belum cukup untuk menilai pencapaian para guru-guru di atas.
Bahkan dijhana 8 dikatakan persepsi dan non persepsi ini juga perangkap yg lebih halus seakan-akan beyond konsep total dan berpikir kilesa sudah hilang . Untuk benar-benar mengetahui harus ditembus melalui vipasanna. Makanya kata2 tersebut diatas harus dibandingkan dengan sutta yg bersifat praktikal yg langsung menuntun kita pada latihan merealisasikan nibbana. Coba Anda baca tentang Sunlun Sayadaw, Paauk Sayadaw dan Mahasi Sayadaw tentang latihannya apakah membayangkan atau tidak dan apa saja jebakan batmannya, perhatikan pula teknik latihannya dan bandingkan dengan sutta2 yg ada. Kalau ada contoh dari Zen ttg latihan vipasannanya atau prakteknya Boddhidharma serta referensi pendukungnya maka akan lebih bagus. Agar kita tidak berkutat pada teori saja yg mana kata2nya dapat dibolak balik sehingga jalannya diskusi benar2 untuk melihat fakta dan mendukung latihan kita dalam praktek Dhamma.
Landasan kekosongan dan Landasan bukan persepsi dan bukan tanpa-persepsi termasuk dalam arupadhatu, meskipun demikian, perlu diingat bahwa Sang Buddha pun masih mengajarkan pada siswa-siswa-Nya untuk menembus kedua pencapaian ini. Bahkan pada waktu Buddha merenungkan siapa yang layak menerima Buddhadharma sesaat Beliau mencapai penerangan sempurna, maka perhatiannya tertuju pada Alara Kalama dan Uddaka Ramaputta yang menurut pengetahuan-Nya kilesanya paling minim. Alara Kalama dan Uddaka Ramaputta adalah Guru yang mengajarkan pada Sang Buddha tentang Landasan Kekosongan dan Landasan bukan persepsi dan bukan tanpa-persepsi. Dengan demikian, Landasan Kekosongan dan Landasan bukan persepsi dan bukan tanpa-persepsi adalah kondisi yang paling mendekati penerangan sempurna yang dicapai oleh Buddha Gotama.
Apa yang diajarkan oleh Bodhidharma adalah pencerahan seketika yang tidak mengikuti penembusan melalui Jhana 1, 2, 3 dan seterusnya, namun langsung menembus Landasan kekosongan dan Landasan bukan persepsi dan bukan tanpa-persepsi guna mendekati kondisi yang paling dekat dengan Nirvana.
Mungkin demikian, jika penjelasan saya sesuaikan dengan pemahaman tingkat-tingkat pencapaian dalam Sutta Pitaka Pali. Meskipun perlu dipertimbangkan bahwa apa yang dimaksud oleh Bodhidharma sebagai nirvana dalam ceramahnya bukanlah Nirvana sempurna seperti yang ditembus oleh Anuttara Samyak Sambodhi. Namun dalam Mahayana dikenal "nirvana mikro" yang umumnya disebut sebagai Bodhicitta (Pikiran Kebuddhaan). Bodhicitta direalisasi oleh Bodhisattva yang mempraktikkan enam paramita. Sedangkan Nirvana Sempurna hanya direalisasi oleh Anuttara Samyak Sambodhi.
Masalahnya adalah ada perbedaan konsep pencapaian nirvana antara Theravada dan Mahayana yang memang menyebabkan perdebatan dalam topik ini. Terutama pandangan Mahayana bahwa Bodhisattva mampu menunda realisasi Nirvana Absolut dan tetap mempertahankan kondisi "nirvana mikro" (Bodhicitta) dalam setiap tindakannya. Sedangkan bagi Theravada, tidak ada bedanya antara Nirvana yang direalisasi oleh Sang Buddha dengan yang dicapai oleh siswa-siswanya. Perbedaan ini, tampaknya berkaitan dengan persoalan yang pelik dan sulit dibuktikan oleh kedua belah pihak, karena menyangkut tentang Nirvana yang hanya memang bisa dipahami oleh yang menembusnya.
Dalam hal ini, Mahayana menganggap bahwa terjadinya kesalahpahaman para Sravaka bahwa "nirvana mikro" adalah Nirvana Mutlak.Dalam hal ini, Bodhidharma sebagai Mahayanis, dan sesuai dengan pencapaiannya, membenarkan bahwa Para Sravaka belum mencapai "pantai seberang." Sedangkan Para Arahat (Pacceka Buddha) mencapai "pantai seberang," namun Para Bodhisattva melampaui "pantai ini" ataupun "pantai seberang." Tentu saja ini hanyalah gambaran kasar, bukan mencerminkan pencapaian sesungguhnya ataupun identitas seperti apapun yang diberikan padanya. Seorang Guru yang dinamai sebagai "Arahat" jika ia memiliki kualitas seperti halnya seorang Bodhisattva maka ia adalah "yang melampaui pantai ini ataupun pantai seberang". Seorang Guru yang meski dijuluki siswa Mahayana sebagai "Bodhisattva" namun jika kualitasnya adalah Sravaka, ia tetap adalah "yang belum mencapai pantai seberang." Dalam hal ini, mohon kita tidak terlalu terikat dengan label-label seperti "Sravaka", "Arahat", "Bodhisattva," dsb-nya. Bukankah bagi Bodhidharma kata-kata dan wujud justru adalah cerminan dari delusi?
Oleh karena itu, saya sepakat dengan anda bahwa dalam membahas hal seperti ini diskusi yang berbelit-belit hanya akan memperumit keadaan, karena selama ini saya selalu menolak membahas hal ini. Sebaliknya saya kurang setuju dengan pandangan bahwa cukup dengan penjabaran teknik-teknik meditasi dan dukungan referensi sutta ataupun sutra dapat menjernihkan persoalan ini. Sekali lagi, cara penjabaran demikian dengan menyusun deskripsi pencapaiannya secara detil tahap demi tahap yang kemudian dikait-kaitan dengan referensi sutta tidak membuktikan suatu pendekatan lebih baik daripada lainnya, sebab bagaimanapun yang tejadi hanyalah usaha memberikan pembenaran terhadap suatu metode tertentu.
Buat apa kita menggambarkan naga, jika kita sama sekali tidak pernah melihat naga. Gambaran demikian hanya membuat kita terus bertanya-tanya tentang wujud naga sepanjang pencarian kita. Jika ternyata naga tesebut sebenarnya bertentangan dengan imajinasi kita, maka walaupun ia ada di depan kita tidak mengenalinya.
Cukup berpegang teguh pada Sila, Samadhi dan Prajna. Maka dengan berjalannya waktu kita akan mengenal dengan sendirinya.
Ini Arahat sravaka artinya dibawah arahat seperti sravaka Buddha dibawah Sammasambuddha? istilahnya ngak jelas Dan menurut mahayana emang ada berapa jenis arahat? Karena sepengetahuan saya cara mereka berlatih dan pandangan mereka ttg nibbana pun sejalan dengan Sang Buddha. Dan ini jelas dalam Tipitaka Pali bagaimana Sang Buddha menjelaskan ttg perealisasian nibbana oleh para arahat. Contoh Bahiya , Sariputta dll. Nah permasalahannya jika Mahayana mengakui Tipitaka Pali juga tetapi terjadi pendefinisian bahwa arahat masih ada kilesa maka kontradiktif bukan? Kembali pertanyaan saya yg awal juga "Pertanyaanya apakah yg telah mempelajari zen dapat melihat langsung berakhirnya delusi atau adakah referensi sutta yg dimilikinya dapat menjelaskan secara praktek? jika ada bisa dishare disini...agar menambah wawasan kita bersama?" Kalau di satipathana sutta, bahiya sutta dan kitab komentar visuddhi magga sangat jelas rincian latihan/praktek untuk menghilangkan kilesa. Itu maksud pertanyaan saya agar lebih jelas lagi.
Dikatakan dalam Mahayana, Arahat terlepas dari Kilesavarana (Rintangan Kekotoran Batin), namun Bodhisattva terlepas dari Kilesavarana (Rintangan kekotoran batin) dan Jneyavarana (Rintangan Paham). Maka dalam Mahayanapun diakui bahwa Arahat lepas dari kekotorna batin. Meskipun demikian untuk mencapai Anuttara Samyak Sambodhi, ia harus bebas dari Jneyavarana. Menurut saya pribadi, Jneyavara berkaitan dengan keempat corak yang disebut dalam Sutra Maha Kesadaran Yang Sempurna, yang terdiri dari ‘corak aku’, ‘corak manusia’, ‘corak makhluk’ dan ‘corak kehidupan’.
‘Corak aku’ muncul ketika seseorang berusaha membuktikan dirinya merealisasi nirvana yang tenang dan suci. Ia meyakini bahwa nirvana dalah kondisi batin. Keyakinan ini membuktikan bahwa dirinya masih diliputi oleh sebuah kesadaran subjektif yang mencerminkan keakuan. Pandangan ini muncul karena adanya keyakinan dari semula bahwa hanya “aku” yang bisa mencapai nirvana, sehingga ia memisahkan antara “pengalaman internal” dengan “pengalaman eksternal”. Jika seseorang merasa mencapai Nirvana dengan pemikiran demikian maka ia sebenarnya ia belum merealisasi Nirvana yang sebenarnya.
‘Corak manusia’ adalah kecenderungan di mana ketika seseorang merasa dirinya telah merealisasi nirvana dan ia kemudian menganggap bahwa ia mencapai nirvana, maka ia terjebak pada anggapan yang sebenarnya masih mencerminkan bahwa ia masih memiliki kedirian.
‘Corak makhluk’ adalah rintangan yang muncul ketika ia berhasil menyadari bahwa ‘corak aku’ dan ‘corak manusia’ pada dasarnya adalah kosong tanpa inti, namun ia kemudian menganggap dirinya telah lepas dari corak aku dan corak manusia, sehingga ia merasa menjadi suci. Karena ia masih belum terlepas dari kesan ‘menganggap dirinya’, maka pikiran tersebut adalah ‘Corak makhluk’.
Singkatnya: membuktikan dirinya telah mencapai pencerahan adalah Corak Aku, menganggap dirinya telah sadar adalah Corak Manusia, pemahaman bahwa ia tidak memiliki corak apapun adan Corak Makhluk.
Selanjutnya, karena memiliki ‘daya paham’ akan corak-corak tersebut maka ia dikatakan memiliki Corak kehidupan. Karena bagaimanapun ‘daya paham’ mencerminkan adanya ‘pemahaman’ itu sendiri, yang berarti seseorang masih berjebak dalam diri. Bahkan kesadaran dan daya pengertian yang akan ketiga corak itu sendiri pun pada dasarnya adalah debu, oleh karena itu ‘daya pemahaman’ dan ‘daya sadar’ demikian juga dilepas.
Dalam hal ini, ke-Bodhisattva-an sebenarnya adalah kondisi yang bebas dari keempat corak sehingga dengan demikian meskipun ia tetap tinggal dalam samsara, namun ia tidak pernah melekat padanya. Sedangkan Arahat dan Sravaka diyakini masih memiliki keempat Corak ini.
Demikianlah yang kuketahui. Mohon maaf jika ada kesalahan ucap yang menyebabkan ketidaksenangan.