//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Pertanyaan Kritis Mengenai Buddhisme  (Read 220401 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline adi lim

  • Sebelumnya: adiharto
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 4.993
  • Reputasi: 108
  • Gender: Male
  • Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta
Re: Pertanyaan Kritis Mengenai Buddhisme
« Reply #195 on: 27 December 2010, 09:29:32 PM »
Saya juga tidak memaksakan pendapat saya kepada Anda. Beda pendapat boleh-boleh saja khan dalam Buddhisme? Kalo nggak ya mana mungkin ada Theravada dan Mahayana. Asal dalam hal-hal yang pokok kita setuju.

Jadi dari 7 persamaan pokok Theravada dan Mahayana yang saya ungkapkan  sebelumnya itu, hanya satu ini (ahimsa sebagai sila tertinggi) yang bro Indra gak sependapat? Atau ada lagi?

saya tidak sependapat :)) :))

 _/\_
Seringlah PancaKhanda direnungkan sebagai Ini Bukan MILIKKU, Ini Bukan AKU, Ini Bukan DIRIKU, bermanfaat mengurangi keSERAKAHan, mengurangi keSOMBONGan, Semoga dapat menjauhi Pandangan SALAH.

Offline Adhitthana

  • Sebelumnya: Virya
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.508
  • Reputasi: 239
  • Gender: Male
Re: Pertanyaan Kritis Mengenai Buddhisme
« Reply #196 on: 27 December 2010, 11:27:25 PM »
hmmm, sepertinya ada yang mau adu domba nih, ckckckck

Kayaknya ini "teman lama" om kumis  ;D
cuma ganti kulit n penampilan ......
  Aku akan mengalami Usia tua, aku akan menderita penyakit, aku akan mengalami kematian. Segala yang ku Cintai, ku miliki, dan ku senangi akan Berubah dan terpisah dariku ....

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Pertanyaan Kritis Mengenai Buddhisme
« Reply #197 on: 28 December 2010, 12:06:49 AM »
Saya juga tidak memaksakan pendapat saya kepada Anda. Beda pendapat boleh-boleh saja khan dalam Buddhisme? Kalo nggak ya mana mungkin ada Theravada dan Mahayana. Asal dalam hal-hal yang pokok kita setuju.

Jadi dari 7 persamaan pokok Theravada dan Mahayana yang saya ungkapkan  sebelumnya itu, hanya satu ini (ahimsa sebagai sila tertinggi) yang bro Indra gak sependapat? Atau ada lagi?

saya lebih suka membahas satu demi satu. setelah mengenai ahimsa ini kita tuntaskan, baru saya akan mempertimbangkan apakah akan melanjutkan ke hal yg lain atau tidak.

Offline adi lim

  • Sebelumnya: adiharto
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 4.993
  • Reputasi: 108
  • Gender: Male
  • Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta
Re: Pertanyaan Kritis Mengenai Buddhisme
« Reply #198 on: 28 December 2010, 06:39:21 AM »
http://en.wikipedia.org/wiki/Jainism
1.Non-violence (Ahimsa) – to cause no harm to living beings.
http://id.wikipedia.org/wiki/Pancasila_(Buddha)
1.Aku bertekad melatih diri untuk menghindari pembunuhan (nilai kemanusiaan) guna mencapai samadi.
1.Pānātipātā veramani sikkhapadam samādiyāmi
http://en.wikipedia.org/wiki/Five_Precepts
1. I undertake the training rule to abstain from taking life

Bahasa boleh beda tapi intinya sama. Jangan tercekat dengan kata-kata atau bahasa

jangan dipaksakan 'sama' dengan alasan bahasa beda tapi intinya sama.
itu sama saja pembenaran utk anda sendiri.


 _/\_
Seringlah PancaKhanda direnungkan sebagai Ini Bukan MILIKKU, Ini Bukan AKU, Ini Bukan DIRIKU, bermanfaat mengurangi keSERAKAHan, mengurangi keSOMBONGan, Semoga dapat menjauhi Pandangan SALAH.

Offline Thema

  • Teman
  • **
  • Posts: 64
  • Reputasi: 2
  • Gender: Male
  • Think Most Talk More
Re: Pertanyaan Kritis Mengenai Buddhisme
« Reply #199 on: 28 December 2010, 07:08:04 AM »
Quote
Adhitthana

Sejak kapan dalam ajaran Buddha menempatkan Ahimsa sebagai sila tertinggi? 
apa bunyi/isi yg terkandung dalam ahimsa ?? 

Loe mao bikin aliran baru lagi yaah?? 

Quote
Raynoism:
iya, ga pernah tuh ahimsa sebagai sila tertinggi...kalo jain iya......orang ga bunuh hewan, tetep aja hewan itu mati suatu saat...hal2 yang tidak kekal seperti kehidupan dan usaha mempertahankan kehidupan bukanlah hal yang berharga dan layak untuk dilekati.....cuma nibbana saja.....

Karena tanggapan bro Adhitthana dan bro Raynoism sejenis maka saya tanggapi barengan aja. Maaf kalau penjelasannya sangat panjang.

Pertama-tama, adalah mengenai ahimsa itu sendiri. A-himsa umumnya diterjemahkan sebagai non-violence / anti kekerasan namun arti sebenarnya adalah ‘tidak kejam/keras’ . Himsa itu artinya kejam/keras atau kekejaman/kekerasan.

Tindak kekerasan fisik seperti memukul, menampar, menendang, melukai dengan senjata, memperkosa, membunuh, dll adalah bentuk-bentuk kekejaman.

Tapi kekejaman/kekerasan yang paling ekstrem adalah pembunuhan. Lama-lama ahimsa diidentikkan dengan mengindari pembunuhan saja.

Karena itu ketika Buddha hidup, ahimsa identik dengan menghindari pembunuhan padahal arti sesungguhnya lebih luas dari itu, mencakup semua bentuk kekejaman/kekerasan fisik.

Ahimsa adalah ajaran khas Jainisme. Selain itu, Jainisme mengajarkan mengenai Jiva yang erat kaitannya dengan ahimsa.

Istilah Jiva ini diserap dalam bahasa Indonesia sebagai Jiwa yang artinya lebih kurang sama dengan Roh.

Padahal Jiva sendiri sebenarnya berarti ‘hidup’ atau ‘kehidupan’. Jadi pengertian Jiva jelas sedikit berbeda dengan pengertian Atta/Atman/Roh.

Menurut Jainisme bahkan tumbuhan pun punya Jiva karena tumbuhan adalah makhluk ‘hidup’ (kepercayaan ini kemudian direvisi oleh Buddhisme yang menganggap tumbuhan sebagai bukan makhluk hidup).

Jadi menebang pohon atau mencabut rumput pun oleh Jainisme sudah dianggap membunuh ‘kehidupan’ alias sudah membunuh ‘Jiva’ dan berarti sudah melakukan ‘Himsa’ / Kekerasan.

Dalam Vinaya, kalau tidak salah, ada aturan Bhikkhu tidak boleh menebang pohon. Ini jelas-jelas adalah jejak aturan Jainisme yang diserap ke dalam Vinaya Buddhisme.

Dan jangan lupa bahwa orang yang diangap paling kompeten dalam Vinaya adalah Upali, seorang mantan Jainisme.
 
Apa yang dikonsumsi pengikut Jainisme sehari-hari bila tumbuhan pun dianggap sebagai makhluk hidup yang tidak boleh dibunuh ? Kalau penganut Jainisme itu seorang Savaka / Sravaka (= Upasaka dalam Buddhisme, Sravaka dalam Buddhisme kemudian punya arti lain)  maka dia hanya akan mengkonsumsi buah-buahan yang umumnya tidak membunuh pohon-nya misalnya buah mangga, jambu, dll atau biji-bijian seperti gandum/padi dengan syarat mereka hanya mengambil bijinya dan tidak memotong batangnya apalagi mencabut akarnya.

Sedangkan seorang Sadhu (=bhikkhu dalam Buddhisme) selain hanya mengkonsumsi buah-buahan dan biji-bijian seperti Savaka, ditambah dengan aturan membatasi makan yaitu hanya makan sekali sehari (tradisi ini masih dapat dilihat dalam vihara Theravada) dan itupun dalam porsi yang sangat sedikit.

Sadhu suka melakukan puasa karena menurut mereka tubuh ini adalah sarangnya keinginan/nafsu (dan konsep yang sama diadopsi sebagai ‘tanha’ dalam Buddhisme) dan nafsu/tanha itu harus dilawan sekuat tenaga termasuk nafsu makan. Karena itu kadang ada Sadhu yang berpuasa sekian puluh hari tidak makan sama sekali! Ini adalah tradisi penyiksaan diri. Buddha pernah terjerumus ke dalamnya.

By the way, penggunaan istilah ‘Sadhu, Sadhu, Sadhu’ yang kini artinya lebih kurang adalah ‘Damai, Damai, Damai’ pada akhir artikel ‘Buddhisme’ jelas diambil dari istilah ‘pertapa Jainisme’ yang memang cinta kehidupan dan ‘cinta damai’ alias anti perang karena dalam perang pasti ada pembunuhan alias ada kehidupan yang tercabut dari akarnya.

Sang Buddha tertarik melepaskan kehidupan duniawinya dan menjadi pertapa setelah Beliau melihat orang tua, sakit, mati dan seorang Sadhu / pertapa Jainisme yang bersamadhi dengan begitu tenang dan damai yang memberiNya dorongan untuk mengikuti jejak Sadhu itu.
 
Bahkan setelah Gotama menjadi Buddha pun, Beliau sebagai mantan Jainisme tetap menghargai Lima Ikrar Jainisme, yang mana Ahmisa sebagai Ikrar Tertinggi dalam Jainisme ditempatkan di urutan pertama/teratas/tertinggi.

Buddha Gotama memperkenalkan Pancasila kepada orang awam yang sebenarnya merupakan revisi dari Lima Ikrar Jainisme. (Kalau tak percaya silahkan periksa ke link wikipedia yang telah saya berikan untuk sila ahimsa/tak membunuh itu, bandingkan antara Lima Ikrar Jainisme dan Panca Sila Buddhisme, sungguh mirip sekali.).

Khusus mengenai puasa makan yang sangat menyiksa diri, Buddha menentangnya dengan keras karena Beliau sendiri nyaris meninggal karena itu. Jadi Buddha kemudian mengambil tradisi Jain lain yang lebih moderat yaitu hanya makan sekali sehari, dan pola makannya pun tidak melulu buah-buahan/biji-bijan namun lebih longgar dengan boleh makan sayur/umbi (yang menurut Jainisme ini sudah melanggar ikrar Ahimsa).

Bagaimanapun juga, Buddha Gotama tetap menjunjung tinggi ‘Ahimsa’ (yang telah Beliau revisi maknanya) sebagai Sila Tertinggi yang diurutkan di nomor satu alias paling atas.

Revisinya berbunyi menghindari ‘pembunuhan’ makhluk ‘hidup’ dengan makna ‘makhluk hidup’ yang mengalami pergeseran. Tumbuhan, apapun jenisnya, biji-bijian, umbi-umbian, sayur-sayuran, dll tidak lagi dianggap sebagai makhluk hidup sehingga boleh dimakan.

Bahkan hewan yang masih dianggap makhluk hidup pun oleh Buddhisme Theravada  boleh dimakan dagingnya dalam kasus tertentu dengan syarat tertentu.

Di pihak lain, Buddhisme Mahayana melarang pembunuhan hewan untuk diambil dagingnya, yang oleh Theravada, Mahayana dianggap mengikuti anjuran sesat Devadatta, padahal sesungguhnya tidaklah demikian.

Penduduk India sudah ratusan tahun mengenal tradisi Sadhu Jainisme, ketika Bhikhhu mulai muncul. Bagi penduduk India saat itu, Bhikkhu adalah sejenis Sadhu gaya baru.

Penduduk India tetap menghormati kebiasaan Ahimsa ala Jainisme. Jadi mereka memberikan makanan tak ber‘jiwa’ kepada Bhikkhu, dengan lebih banyak variasi, tidak hanya buah dan biji, namun juga umbi dan sayur, karena makna ‘jiwa’ yang sudah bergeser tersebut.

Penduduk India tak berani memberikan daging kepada Bhikkhu karena takut menerima karma buruk bila kondisi dan syarat tertentu itu tak bisa dipenuhi. Lagipula mereka merasa syarat itu mustahil dipenuhi seperti syarat bahwa hewan itu tidak dengan sengaja dibunuh untuk dipersembahkan kepada bhikkhu.

Ditambah lagi mayoritas penduduk India jarang makan daging, mereka hanya makan daging sesekali ketika ada korban sapi/domba yang diselenggarakan para Brahmana (kebiasaan Brahmana ini kemudian berangsur-angsur berubah setelah dipengaruhi/ dikritik Buddhisme dan Jainisme sehingga sapi kemudian menjadi hewan suci yang tidak boleh dibunuh/dikorbankan dalam agama Hindu namun perlu waktu hingga ratusan tahun setelah Sang Buddha parinibbana untuk mengubah kebiasaan korban ala Brahmana yang mirip tradisi korban ala Is*lam saat Idul Adha itu).

Jadi dapat dipastikan bahwa tradisi pola makan vegetarian Mahayana, baik bhiksu/ni maupun awamnya, diturunkan dari tradisi Buddhisme di India saat itu dan bukan karena mengikuti anjuran Devadatta.

Dalam tradisi Mahayana, makan daging sama saja dengan membunuh hewan dan bertentangan dengan maitri karuna seorang Bodhisattva. Namun Mahayana hanya mewajibkan vegetarian pada bhiksu/ni, sedangkan umat awam tidak diwajibkan, melainkan hanya dianjurkan untuk mengurangi makan daging, dan kalau bisa tidak makan daging sama sekali tentu dianggap lebih bagus lagi. Mahayana mengkaitkan praktek vegetarian sebagai praktek dari sila pertama yang ‘tidak membunuh kehidupan’.

‘Pembunuhan’ yang paling dilarang dalam Buddhisme (baik Theravada maupun Mahayana)  adalah pembunuhan sesama manusia.

Nah sekarang coba simak kembali yang saya kutip dari wikipedia di bawah ini

Quote
http://en.wikipedia.org/wiki/Jainism
1.Non-violence (Ahimsa) – to cause no harm to living beings.

http://id.wikipedia.org/wiki/Pancasila_(Buddha)
1.Aku bertekad melatih diri untuk menghindari pembunuhan (nilai kemanusiaan) guna mencapai samadi.
1.Pānātipātā veramani sikkhapadam samādiyāmi

http://en.wikipedia.org/wiki/Five_Precepts
1.   I undertake the training rule to abstain from taking life

Jainisme menyebutkan ahimsa sebagai tidak melukai makhluk hidup. Dipakai kata harm/melukai karena ini memang sesuai dengan yang dimaksud sebagai tindak kekejaman/kekerasan dalam Jainisme seperti yang sudah saya uraikan sebelumnya.

Lalu di wikipedia versi Indonesia ada kata-kata ‘menghindari pembunuhan (nilai kemanusiaan)’ .
{Kutipan wikipedia versi Indonesia ini sempat dikritik Bro Indra yang mengatakan bahwa tidak ada kaitan sila menghindari pembunuhan dengan Samadhi, dan kayaknya Bro Indra benar, karena sepanjang yang saya tahu, Theravada tak mengkaitkan sila ini dengan Samadhi, entah siapa yang menulis di wikipedia tersebut, tapi lupakan/hapus embel-embel Samadhi itu, maka kita akan menemukan kemiripannya)

Lalu di wikipedia versi Inggris: saya melatih aturan/sila untuk tidak mengambil kehidupan Perhatikan pemakaian kata life / kehidupan yang menunjukkan jejak ajaran Jainisme. Padahal bisa saja ditulis ‘not kill’ atau “no killing” yang lebih singkat bukan? Daripada ‘to abstain from taking life’ yang kepanjangan dan bertele-tele.  Dan di sini nggak ada embel-embel Samadhi. Haaaa…Kok versi Englishnya beda ama Indonesianya. Gak tau ah.. Gelap.  ;D

Setelah saya jelaskan panjang lebar, apakah bro Adhit dan bro Ray bisa memahami statement saya mengenai Ahimsa sebagai Sila Tertinggi? .

Saya mengeluarkan statement tersebut setelah saya mempelajari dengan seksama berbagai ajaran/aliran keagamaan dan filosofi yang tumbuh dan berkembang ketika Buddha Gotama hidup terutama Jainisme dan Brahmanisme.

Kalau memang istilah Tertinggi terasa tidak tepat bagi bro berdua, baiklah saya ganti dengan istilah Pertama saja,

Juga kalau istilah Ahimsa terasa tidak pas maka saya revisi dengan Tidak Membunuh saja

Jadi saya revisi dari Ahimsa sebagai Sila Tertinggi menjadi Tidak Membunuh sebagai Sila Pertama , Puas?

Dengan revisi ini saya harap tidak menimbulkan penafsiran yang bukan-bukan seolah-olah saya hendak mendirikan agama baru. =)) =))

Think most :?? Talk more ;D

Offline Thema

  • Teman
  • **
  • Posts: 64
  • Reputasi: 2
  • Gender: Male
  • Think Most Talk More
Re: Pertanyaan Kritis Mengenai Buddhisme
« Reply #200 on: 28 December 2010, 07:11:24 AM »
Quote
Indra:

Ketika saya mencoba untuk membantah teori anda tentang sila tertinggi, anda menambahkan term and condition baru tentang citta yg telah berkembang sempurna. mohon anda menjelaskan tentang bagaimana citta yg sempurna ini? atau mungkin lebih baik anda menjelaskan terlebih dulu secara lengkap teori anda tentang ahimsa sebagai sila tertinggi lengkap dengan segala term & conditionnya agar saya dapat memahami maksud anda dan tidak perlu mengajukan pertanyaan2 bodoh.

Bro Indra yang baik, penjelasan mengenai Ahimsa sebagai sila tertinggi sudah saya jelaskan di posting sebelumnya, yang sekaligus menjawab bro Ray dan bro Adhit.

Mengenai citta seorang bayi, saya balik bertanya kepada Anda, apakah citta seorang bayi sama atau berbeda dengan citta seorang dewasa? Itu yang menjawab istilah citta yang belum berkembang sempurna , bukan citta sempurna (artinya berbeda lho kalau kata ‘belum berkembang’ dihilangkan). Coba Bro Indra simak lagi komentar saya itu.

Quote
ketika seseorang membunuh orang lain, apakah dia bisa berkata: "jangan dianggap saya membunuh, saya hanya membantunya agar segera reinkarnasi sehingga ia dapat memperoleh kehidupan yg lebih baik dalam kehidupan berikutnya." dan ia selamat dari hukuman?

Tidak.

Quote
contoh ini adalah sehubungan dengan ad hominem yg anda lakukan, anda mengatakan "jangan dianggap ad hominem", tetapi kenyataannya, bukannya menilai tulisan saya, anda malah mengomentari pribadi saya. apakah menurut anda ini adalah ad hominem atau bukan?

Ya deh. Sekali lagi kalau itu dianggap sebagai ad hominem, saya minta maaf. Sorry. ^:)^ Peace.

Quote
walaupun saya mempelajari ajaran Theravada namun saya pribadi tidak berani dan tidak pernah mengaku sebagai theravadin. penilaian anda terhadap saya hanyalah spekulasi anda.

Bro, saya tidak begitu mengerti dengan kalimat Bro di atas, apakah maksudnya Bro Indra bukan pengikut Theravada walaupun mempelajari Theravada ---- atau --- Bro Indra adalah pengikut Theravada namun tidak mau disebut Theravadin, yang mungkin istilah Theravadin ini memiliki makna khusus yang berbeda dengan yang saya mengerti? Yang mana dalam pengertian saya Theravadin = pengikut Theravada.

Think most :?? Talk more ;D

Offline Thema

  • Teman
  • **
  • Posts: 64
  • Reputasi: 2
  • Gender: Male
  • Think Most Talk More
Re: Pertanyaan Kritis Mengenai Buddhisme
« Reply #201 on: 28 December 2010, 07:12:38 AM »
Quote
Nah, benerkan....itulah yang anda inginkan. Memberi umpan dan menikmati. Karena kecenderungan anda yang berpikir, anda menemukan suatu rahasia besar.Dan anda menikmati itu. Anda sudah tahu,bro Indra akan menjawab seperti itu. Tapi 1 hal, seorang yang berpikiran kritis tidak akan mudah digoyahkan apa yang dia yakini.

Seharusnya dengan kemampuan anda yang seperti itu anda bisa membuat dana dhamma yang besar dengan mengajarkan orang supaya mengerti Buddhisme. Karena anda SANGAT AHLI dalam mengenali dan mempelajari kecenderungan seseorang.

Nggak sangat ahli, Sis. Buktinya kata bro Indra saya salah tuh. :(

Jujur, saya tidak menduga Bro Indra akan menjawab seperti itu, makanya saya terkejut dengan jalan pikirannya. :o

Dan saya sama sekali tidak menikmatinya, saya bukan tipe orang seperti itu Sis, tapi saya malah merasa aneh dengan jalan pikiran Bro Indra, mengapa lagi bahas sila ehhh… kok dihubungkan dengan bayi. :??

Kemudian, setelah membongkar file-file di otak saya, saya teringat bahwa Theravada biasanya membantah nilai luhur vegetarianisme Mahayana dengan menggunakan perbandingan sarkastik antara seorang vegetarian dengan seekor sapi yang herbivore, dengan gaya pertanyaan yang mirip sekali dengan Bro Indra. ;D

Jadi saya langsung menebak Bro Indra dari Theravada. Tapi sekali lagi, ternyata tebakan saya salah, Sis Sri.  :))

Nah lho?  Sis Sri koq juga ‘SANGAT AHLI’ mempelajari kecenderungan pikiran saya?  Wah seharusnya Sis Sri juga punya kemampuan membuat dana dhamma yang besar. =))

Think most :?? Talk more ;D

Offline Thema

  • Teman
  • **
  • Posts: 64
  • Reputasi: 2
  • Gender: Male
  • Think Most Talk More
Re: Pertanyaan Kritis Mengenai Buddhisme
« Reply #202 on: 28 December 2010, 07:16:05 AM »
Setelah mendapat banyak masukan dari rekan-rekan sekalian, saya harus merevisi ulang rumusan persamaan PEMIKIRAN antara Theravada dan Mahayana agar lebih fokus dari tujuh menjadi dua saja yaitu

1)   An-atta [Pali] / An-atman [Sanskrit ] yang dengan Dukkha dan Anicca [Pali] / Anitya [Sanskrit] membentuk Tilakkhana (= Tiga Corak = Anatta – Dukkha – Anicca) sebagai ajaran paling basic dari Buddhisme.
2)   Pari-nibbana [Pali] / Pari-nirvana [Sanskrit] yang Non Nihilis dan Non Eternalis

Kesampingkan dulu Sila Samadhi Prajna alias Ariya Magga ataupun Non Theisme

Jadi, sekali lagi, menurut saya, hanya ada DUA PERSAMAAN PEMIKIRAN yang sangat basic antara Theravada dan Mahayana :
1)    ANATTA
2)    PARINIBBANA yang bukan nihilis bukan eternalis.

Think most :?? Talk more ;D

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Pertanyaan Kritis Mengenai Buddhisme
« Reply #203 on: 28 December 2010, 08:29:56 AM »
Karena tanggapan bro Adhitthana dan bro Raynoism sejenis maka saya tanggapi barengan aja. Maaf kalau penjelasannya sangat panjang.

Pertama-tama, adalah mengenai ahimsa itu sendiri. A-himsa umumnya diterjemahkan sebagai non-violence / anti kekerasan namun arti sebenarnya adalah ‘tidak kejam/keras’ . Himsa itu artinya kejam/keras atau kekejaman/kekerasan.

Tindak kekerasan fisik seperti memukul, menampar, menendang, melukai dengan senjata, memperkosa, membunuh, dll adalah bentuk-bentuk kekejaman.

Tapi kekejaman/kekerasan yang paling ekstrem adalah pembunuhan. Lama-lama ahimsa diidentikkan dengan mengindari pembunuhan saja.

Karena itu ketika Buddha hidup, ahimsa identik dengan menghindari pembunuhan padahal arti sesungguhnya lebih luas dari itu, mencakup semua bentuk kekejaman/kekerasan fisik.

Ahimsa adalah ajaran khas Jainisme. Selain itu, Jainisme mengajarkan mengenai Jiva yang erat kaitannya dengan ahimsa.

Istilah Jiva ini diserap dalam bahasa Indonesia sebagai Jiwa yang artinya lebih kurang sama dengan Roh.

Padahal Jiva sendiri sebenarnya berarti ‘hidup’ atau ‘kehidupan’. Jadi pengertian Jiva jelas sedikit berbeda dengan pengertian Atta/Atman/Roh.

Menurut Jainisme bahkan tumbuhan pun punya Jiva karena tumbuhan adalah makhluk ‘hidup’ (kepercayaan ini kemudian direvisi oleh Buddhisme yang menganggap tumbuhan sebagai bukan makhluk hidup).

Jadi menebang pohon atau mencabut rumput pun oleh Jainisme sudah dianggap membunuh ‘kehidupan’ alias sudah membunuh ‘Jiva’ dan berarti sudah melakukan ‘Himsa’ / Kekerasan.

Dalam Vinaya, kalau tidak salah, ada aturan Bhikkhu tidak boleh menebang pohon. Ini jelas-jelas adalah jejak aturan Jainisme yang diserap ke dalam Vinaya Buddhisme.

Dan jangan lupa bahwa orang yang diangap paling kompeten dalam Vinaya adalah Upali, seorang mantan Jainisme.
 
Apa yang dikonsumsi pengikut Jainisme sehari-hari bila tumbuhan pun dianggap sebagai makhluk hidup yang tidak boleh dibunuh ? Kalau penganut Jainisme itu seorang Savaka / Sravaka (= Upasaka dalam Buddhisme, Sravaka dalam Buddhisme kemudian punya arti lain)  maka dia hanya akan mengkonsumsi buah-buahan yang umumnya tidak membunuh pohon-nya misalnya buah mangga, jambu, dll atau biji-bijian seperti gandum/padi dengan syarat mereka hanya mengambil bijinya dan tidak memotong batangnya apalagi mencabut akarnya.

Sedangkan seorang Sadhu (=bhikkhu dalam Buddhisme) selain hanya mengkonsumsi buah-buahan dan biji-bijian seperti Savaka, ditambah dengan aturan membatasi makan yaitu hanya makan sekali sehari (tradisi ini masih dapat dilihat dalam vihara Theravada) dan itupun dalam porsi yang sangat sedikit.

Sadhu suka melakukan puasa karena menurut mereka tubuh ini adalah sarangnya keinginan/nafsu (dan konsep yang sama diadopsi sebagai ‘tanha’ dalam Buddhisme) dan nafsu/tanha itu harus dilawan sekuat tenaga termasuk nafsu makan. Karena itu kadang ada Sadhu yang berpuasa sekian puluh hari tidak makan sama sekali! Ini adalah tradisi penyiksaan diri. Buddha pernah terjerumus ke dalamnya.

By the way, penggunaan istilah ‘Sadhu, Sadhu, Sadhu’ yang kini artinya lebih kurang adalah ‘Damai, Damai, Damai’ pada akhir artikel ‘Buddhisme’ jelas diambil dari istilah ‘pertapa Jainisme’ yang memang cinta kehidupan dan ‘cinta damai’ alias anti perang karena dalam perang pasti ada pembunuhan alias ada kehidupan yang tercabut dari akarnya.

Sang Buddha tertarik melepaskan kehidupan duniawinya dan menjadi pertapa setelah Beliau melihat orang tua, sakit, mati dan seorang Sadhu / pertapa Jainisme yang bersamadhi dengan begitu tenang dan damai yang memberiNya dorongan untuk mengikuti jejak Sadhu itu.
 
Bahkan setelah Gotama menjadi Buddha pun, Beliau sebagai mantan Jainisme tetap menghargai Lima Ikrar Jainisme, yang mana Ahmisa sebagai Ikrar Tertinggi dalam Jainisme ditempatkan di urutan pertama/teratas/tertinggi.

Buddha Gotama memperkenalkan Pancasila kepada orang awam yang sebenarnya merupakan revisi dari Lima Ikrar Jainisme. (Kalau tak percaya silahkan periksa ke link wikipedia yang telah saya berikan untuk sila ahimsa/tak membunuh itu, bandingkan antara Lima Ikrar Jainisme dan Panca Sila Buddhisme, sungguh mirip sekali.).

Khusus mengenai puasa makan yang sangat menyiksa diri, Buddha menentangnya dengan keras karena Beliau sendiri nyaris meninggal karena itu. Jadi Buddha kemudian mengambil tradisi Jain lain yang lebih moderat yaitu hanya makan sekali sehari, dan pola makannya pun tidak melulu buah-buahan/biji-bijan namun lebih longgar dengan boleh makan sayur/umbi (yang menurut Jainisme ini sudah melanggar ikrar Ahimsa).

Bagaimanapun juga, Buddha Gotama tetap menjunjung tinggi ‘Ahimsa’ (yang telah Beliau revisi maknanya) sebagai Sila Tertinggi yang diurutkan di nomor satu alias paling atas.

Revisinya berbunyi menghindari ‘pembunuhan’ makhluk ‘hidup’ dengan makna ‘makhluk hidup’ yang mengalami pergeseran. Tumbuhan, apapun jenisnya, biji-bijian, umbi-umbian, sayur-sayuran, dll tidak lagi dianggap sebagai makhluk hidup sehingga boleh dimakan.

Bahkan hewan yang masih dianggap makhluk hidup pun oleh Buddhisme Theravada  boleh dimakan dagingnya dalam kasus tertentu dengan syarat tertentu.

Di pihak lain, Buddhisme Mahayana melarang pembunuhan hewan untuk diambil dagingnya, yang oleh Theravada, Mahayana dianggap mengikuti anjuran sesat Devadatta, padahal sesungguhnya tidaklah demikian.

Penduduk India sudah ratusan tahun mengenal tradisi Sadhu Jainisme, ketika Bhikhhu mulai muncul. Bagi penduduk India saat itu, Bhikkhu adalah sejenis Sadhu gaya baru.

Penduduk India tetap menghormati kebiasaan Ahimsa ala Jainisme. Jadi mereka memberikan makanan tak ber‘jiwa’ kepada Bhikkhu, dengan lebih banyak variasi, tidak hanya buah dan biji, namun juga umbi dan sayur, karena makna ‘jiwa’ yang sudah bergeser tersebut.

Penduduk India tak berani memberikan daging kepada Bhikkhu karena takut menerima karma buruk bila kondisi dan syarat tertentu itu tak bisa dipenuhi. Lagipula mereka merasa syarat itu mustahil dipenuhi seperti syarat bahwa hewan itu tidak dengan sengaja dibunuh untuk dipersembahkan kepada bhikkhu.

Ditambah lagi mayoritas penduduk India jarang makan daging, mereka hanya makan daging sesekali ketika ada korban sapi/domba yang diselenggarakan para Brahmana (kebiasaan Brahmana ini kemudian berangsur-angsur berubah setelah dipengaruhi/ dikritik Buddhisme dan Jainisme sehingga sapi kemudian menjadi hewan suci yang tidak boleh dibunuh/dikorbankan dalam agama Hindu namun perlu waktu hingga ratusan tahun setelah Sang Buddha parinibbana untuk mengubah kebiasaan korban ala Brahmana yang mirip tradisi korban ala Is*lam saat Idul Adha itu).

Jadi dapat dipastikan bahwa tradisi pola makan vegetarian Mahayana, baik bhiksu/ni maupun awamnya, diturunkan dari tradisi Buddhisme di India saat itu dan bukan karena mengikuti anjuran Devadatta.

Dalam tradisi Mahayana, makan daging sama saja dengan membunuh hewan dan bertentangan dengan maitri karuna seorang Bodhisattva. Namun Mahayana hanya mewajibkan vegetarian pada bhiksu/ni, sedangkan umat awam tidak diwajibkan, melainkan hanya dianjurkan untuk mengurangi makan daging, dan kalau bisa tidak makan daging sama sekali tentu dianggap lebih bagus lagi. Mahayana mengkaitkan praktek vegetarian sebagai praktek dari sila pertama yang ‘tidak membunuh kehidupan’.

‘Pembunuhan’ yang paling dilarang dalam Buddhisme (baik Theravada maupun Mahayana)  adalah pembunuhan sesama manusia.

Nah sekarang coba simak kembali yang saya kutip dari wikipedia di bawah ini

Jainisme menyebutkan ahimsa sebagai tidak melukai makhluk hidup. Dipakai kata harm/melukai karena ini memang sesuai dengan yang dimaksud sebagai tindak kekejaman/kekerasan dalam Jainisme seperti yang sudah saya uraikan sebelumnya.

Lalu di wikipedia versi Indonesia ada kata-kata ‘menghindari pembunuhan (nilai kemanusiaan)’ .
{Kutipan wikipedia versi Indonesia ini sempat dikritik Bro Indra yang mengatakan bahwa tidak ada kaitan sila menghindari pembunuhan dengan Samadhi, dan kayaknya Bro Indra benar, karena sepanjang yang saya tahu, Theravada tak mengkaitkan sila ini dengan Samadhi, entah siapa yang menulis di wikipedia tersebut, tapi lupakan/hapus embel-embel Samadhi itu, maka kita akan menemukan kemiripannya)

Lalu di wikipedia versi Inggris: saya melatih aturan/sila untuk tidak mengambil kehidupan Perhatikan pemakaian kata life / kehidupan yang menunjukkan jejak ajaran Jainisme. Padahal bisa saja ditulis ‘not kill’ atau “no killing” yang lebih singkat bukan? Daripada ‘to abstain from taking life’ yang kepanjangan dan bertele-tele.  Dan di sini nggak ada embel-embel Samadhi. Haaaa…Kok versi Englishnya beda ama Indonesianya. Gak tau ah.. Gelap.  ;D

Setelah saya jelaskan panjang lebar, apakah bro Adhit dan bro Ray bisa memahami statement saya mengenai Ahimsa sebagai Sila Tertinggi? .

Saya mengeluarkan statement tersebut setelah saya mempelajari dengan seksama berbagai ajaran/aliran keagamaan dan filosofi yang tumbuh dan berkembang ketika Buddha Gotama hidup terutama Jainisme dan Brahmanisme.

Kalau memang istilah Tertinggi terasa tidak tepat bagi bro berdua, baiklah saya ganti dengan istilah Pertama saja,

Juga kalau istilah Ahimsa terasa tidak pas maka saya revisi dengan Tidak Membunuh saja

Jadi saya revisi dari Ahimsa sebagai Sila Tertinggi menjadi Tidak Membunuh sebagai Sila Pertama , Puas?

Dengan revisi ini saya harap tidak menimbulkan penafsiran yang bukan-bukan seolah-olah saya hendak mendirikan agama baru. =)) =))



Bro Thema,

berbeda dengan anda yg telah mempelajari dengan seksama berbagai ajaran/aliran agama, kami di sini hanyalah orang-orang yg sedang mempelajari Buddhism. IMO, urutan dalam sila/vinaya hanyalah sekedar pengurutan menurut kelompoknya, sama sekali bukan berdasarkan skala prioritas. Dalam Vinaya hanya membunuh manusia yg masuk dalam kelompok parajika, dan vinaya mencuri dan berhubungan seks juga masuk dalam kelompok yg sama. bagaimana anda menjelaskan hal ini?

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Pertanyaan Kritis Mengenai Buddhisme
« Reply #204 on: 28 December 2010, 08:40:01 AM »
Mengenai citta seorang bayi, saya balik bertanya kepada Anda, apakah citta seorang bayi sama atau berbeda dengan citta seorang dewasa? Itu yang menjawab istilah citta yang belum berkembang sempurna , bukan citta sempurna (artinya berbeda lho kalau kata ‘belum berkembang’ dihilangkan). Coba Bro Indra simak lagi komentar saya itu.
saya setuju bahwa citta pada bayi memang belum berkembang sempurna. jadi apakah teori anda hanya terbatas pada makhluk dengan citta yg sudah terkembang?

Quote
Ya deh. Sekali lagi kalau itu dianggap sebagai ad hominem, saya minta maaf. Sorry. ^:)^ Peace.
pada awal perkenalan anda, anda sudah mengajak agar diskusi dilakukan tanpa melakukan ad hominem. tapi setelah berjalan baru 2 atau 3 hari anda sendiri yg melakukan ad hominem, yg saya khawatir ini bukan suatu ketidaksengajaan. kita tidak bisa membunuh seseorang kemudian berkata "maaf" dan urusan selesai, bukan?

Quote
Bro, saya tidak begitu mengerti dengan kalimat Bro di atas, apakah maksudnya Bro Indra bukan pengikut Theravada walaupun mempelajari Theravada ---- atau --- Bro Indra adalah pengikut Theravada namun tidak mau disebut Theravadin, yang mungkin istilah Theravadin ini memiliki makna khusus yang berbeda dengan yang saya mengerti? Yang mana dalam pengertian saya Theravadin = pengikut Theravada.
sekali lagi, saya hanyalah seorang yg sedang mempelajari Buddhism dalam hal ini Theravada, saya tidak berani mengklaim bahwa saya seorang theravadin padahal saya blm menguasai ajaran theravada apalagi mempraktikkan ajarannya. selain sedang mempelajari Theravada saya juga mempelajari Mahayana, jadi apakah itu menjadikan saya seorang Mahayanist, atau seorang Thema juga?

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Pertanyaan Kritis Mengenai Buddhisme
« Reply #205 on: 28 December 2010, 08:42:19 AM »
Nah lho?  Sis Sri koq juga ‘SANGAT AHLI’ mempelajari kecenderungan pikiran saya?  Wah seharusnya Sis Sri juga punya kemampuan membuat dana dhamma yang besar. =))

Bagaimanakah hubungan antara mempelajari kecenderungan pikiran anda dengan kemampuan membuat dana dhamma yg besar?

Offline Sostradanie

  • Sebelumnya: sriyeklina
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.375
  • Reputasi: 42
Re: Pertanyaan Kritis Mengenai Buddhisme
« Reply #206 on: 28 December 2010, 12:55:10 PM »

Nggak sangat ahli, Sis. Buktinya kata bro Indra saya salah tuh. :(

Jujur, saya tidak menduga Bro Indra akan menjawab seperti itu, makanya saya terkejut dengan jalan pikirannya. :o
Baguslah jika anda tahu, anda tidak benar.

Quote
Dan saya sama sekali tidak menikmatinya, saya bukan tipe orang seperti itu Sis, tapi saya malah merasa aneh dengan jalan pikiran Bro Indra, mengapa lagi bahas sila ehhh… kok dihubungkan dengan bayi. :??

Kemudian, setelah membongkar file-file di otak saya, saya teringat bahwa Theravada biasanya membantah nilai luhur vegetarianisme Mahayana dengan menggunakan perbandingan sarkastik antara seorang vegetarian dengan seekor sapi yang herbivore, dengan gaya pertanyaan yang mirip sekali dengan Bro Indra. ;D
Jika anda tidak menikmatinya, maka anda tidak perlu membuat gambar tertawa dan bergulingan. Karena membuat gambar lagi tertawa untuk memberikan persepsi kepada orang bahwa anda sedang tertawa.

Saya tidak merasa sarkastik dengan pertanyaan bro indra. Karena pertanyaannya masih berhubungan dan bisa diterima dipikiran saya.Bagaimana dengan seorang idiot yang untuk melap air liur-nya saja tidak bisa?Apakah dia lebih baik karena tidak mampu melakukan pembunuhan?

Dan karena anda mengingat sesuatu yang lain sehingga anda menyamakan dengan situasi orang yang bertanya.Apakah itu namanya kecenderungan?Sehingga anda langsung menyebut lebay/berlebihan gitu lho?Kecenderungan pikiran andakah yang bekerja menganggap itu khas theravadin atau kecenderungan bro indra yang bertanya seperti itu khas theravadin.


Quote
Jadi saya langsung menebak Bro Indra dari Theravada. Tapi sekali lagi, ternyata tebakan saya salah, Sis Sri.  :))
Bukankah ini menunjukkan anda orang yang ahli?Anda menebak dan langsung mengungkapkan...INILAH KECENDERUNGAN THERAVADA.Karena 1 atau 2 orang yang kebetulan belajar dari aliran theravada, anda menyamakan semuanya dengan menyebut theravadin.

Quote
Nah lho?  Sis Sri koq juga ‘SANGAT AHLI’ mempelajari kecenderungan pikiran saya?  Wah seharusnya Sis Sri juga punya kemampuan membuat dana dhamma yang besar. =))
Saya tidak ahli,tapi saya berkata berdasarkan apa yang saya lihat.Anda baca ulang saja postingan anda..

PEMUSNAHAN BAIK ADANYA (2019)

Offline adi lim

  • Sebelumnya: adiharto
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 4.993
  • Reputasi: 108
  • Gender: Male
  • Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta
Re: Pertanyaan Kritis Mengenai Buddhisme
« Reply #207 on: 28 December 2010, 02:54:30 PM »
Bukankah ini menunjukkan anda orang yang ahli?Anda menebak dan langsung mengungkapkan...INILAH KECENDERUNGAN THERAVADA.Karena 1 atau 2 orang yang kebetulan belajar dari aliran theravada, anda menyamakan semuanya dengan menyebut theravadin.
Saya tidak ahli,tapi saya berkata berdasarkan apa yang saya lihat.Anda baca ulang saja postingan anda..


kebanyakan manusia banyak baca banyak lupa, :))
tapi ada juga yang banyak posting banyak juga lupa atau pura2 lupa =))
karena LDM masih tebal tanpa disadari, harap maklum sis ???
 
 _/\_
Seringlah PancaKhanda direnungkan sebagai Ini Bukan MILIKKU, Ini Bukan AKU, Ini Bukan DIRIKU, bermanfaat mengurangi keSERAKAHan, mengurangi keSOMBONGan, Semoga dapat menjauhi Pandangan SALAH.

Offline Thema

  • Teman
  • **
  • Posts: 64
  • Reputasi: 2
  • Gender: Male
  • Think Most Talk More
Re: Pertanyaan Kritis Mengenai Buddhisme
« Reply #208 on: 29 December 2010, 06:32:13 AM »
Bro Indra & Sis Sriyeklina

Please calm down. Where is your No Self? Lost I think. :'( 

-------------------------------------------------------------------------------

>:D : Hey, you won’t and you can’t find No Self here, numb dumb! Coz in the beginning there is No Self at all here. It’s a B site - nothing but Great Emptiness here. You’d better go to A site to find some better Existing Self in the Great Existence there.
Think most :?? Talk more ;D

Offline K.K.

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 8.851
  • Reputasi: 268
Re: Pertanyaan Kritis Mengenai Buddhisme
« Reply #209 on: 29 December 2010, 10:29:36 AM »
Tipikal sekali. Kalau sudah tidak berkutik, bawa-bawa 'no-self'. :D Ada-ada saja para 'suciwan' ini.