Adhitthana
Sejak kapan dalam ajaran Buddha menempatkan Ahimsa sebagai sila tertinggi?
apa bunyi/isi yg terkandung dalam ahimsa ??
Loe mao bikin aliran baru lagi yaah??
Raynoism:
iya, ga pernah tuh ahimsa sebagai sila tertinggi...kalo jain iya......orang ga bunuh hewan, tetep aja hewan itu mati suatu saat...hal2 yang tidak kekal seperti kehidupan dan usaha mempertahankan kehidupan bukanlah hal yang berharga dan layak untuk dilekati.....cuma nibbana saja.....
Karena tanggapan bro Adhitthana dan bro Raynoism sejenis maka saya tanggapi barengan aja. Maaf kalau penjelasannya sangat panjang.
Pertama-tama, adalah mengenai ahimsa itu sendiri. A-himsa umumnya diterjemahkan sebagai
non-violence / anti kekerasan namun arti sebenarnya adalah
‘tidak kejam/keras’ . Himsa itu artinya kejam/keras atau kekejaman/kekerasan.
Tindak kekerasan fisik seperti memukul, menampar, menendang, melukai dengan senjata, memperkosa, membunuh, dll adalah bentuk-bentuk kekejaman.
Tapi kekejaman/kekerasan yang paling ekstrem adalah pembunuhan. Lama-lama ahimsa diidentikkan dengan mengindari pembunuhan saja.
Karena itu ketika Buddha hidup, ahimsa identik dengan
menghindari pembunuhan padahal arti sesungguhnya lebih luas dari itu, mencakup semua bentuk kekejaman/kekerasan fisik.
Ahimsa adalah ajaran khas Jainisme. Selain itu, Jainisme mengajarkan mengenai Jiva yang erat kaitannya dengan ahimsa.
Istilah Jiva ini diserap dalam bahasa Indonesia sebagai Jiwa yang artinya lebih kurang sama dengan Roh.
Padahal Jiva sendiri sebenarnya berarti ‘hidup’ atau ‘kehidupan’. Jadi pengertian Jiva jelas sedikit berbeda dengan pengertian Atta/Atman/Roh.
Menurut Jainisme bahkan tumbuhan pun punya Jiva karena tumbuhan adalah makhluk ‘hidup’ (kepercayaan ini kemudian direvisi oleh Buddhisme yang menganggap tumbuhan sebagai bukan makhluk hidup).
Jadi menebang pohon atau mencabut rumput pun oleh Jainisme sudah dianggap membunuh ‘kehidupan’ alias sudah membunuh ‘Jiva’ dan berarti sudah melakukan ‘Himsa’ / Kekerasan.
Dalam Vinaya, kalau tidak salah, ada aturan Bhikkhu tidak boleh menebang pohon. Ini jelas-jelas adalah jejak aturan Jainisme yang diserap ke dalam Vinaya Buddhisme.
Dan jangan lupa bahwa orang yang diangap paling kompeten dalam Vinaya adalah Upali, seorang mantan Jainisme.
Apa yang dikonsumsi pengikut Jainisme sehari-hari bila tumbuhan pun dianggap sebagai makhluk hidup yang tidak boleh dibunuh ? Kalau penganut Jainisme itu seorang Savaka / Sravaka (= Upasaka dalam Buddhisme, Sravaka dalam Buddhisme kemudian punya arti lain) maka dia hanya akan mengkonsumsi buah-buahan yang umumnya tidak membunuh pohon-nya misalnya buah mangga, jambu, dll atau biji-bijian seperti gandum/padi dengan syarat mereka hanya mengambil bijinya dan tidak memotong batangnya apalagi mencabut akarnya.
Sedangkan seorang Sadhu (=bhikkhu dalam Buddhisme) selain hanya mengkonsumsi buah-buahan dan biji-bijian seperti Savaka, ditambah dengan aturan membatasi makan yaitu hanya makan sekali sehari (tradisi ini masih dapat dilihat dalam vihara Theravada) dan itupun dalam porsi yang sangat sedikit.
Sadhu suka melakukan puasa karena menurut mereka tubuh ini adalah sarangnya keinginan/nafsu (dan konsep yang sama diadopsi sebagai ‘tanha’ dalam Buddhisme) dan nafsu/tanha itu harus dilawan sekuat tenaga termasuk nafsu makan. Karena itu kadang ada Sadhu yang berpuasa sekian puluh hari tidak makan sama sekali! Ini adalah tradisi penyiksaan diri. Buddha pernah terjerumus ke dalamnya.
By the way, penggunaan istilah ‘Sadhu, Sadhu, Sadhu’ yang kini artinya lebih kurang adalah ‘Damai, Damai, Damai’ pada akhir artikel ‘Buddhisme’ jelas diambil dari istilah ‘pertapa Jainisme’ yang memang cinta kehidupan dan ‘cinta damai’ alias anti perang karena dalam perang pasti ada pembunuhan alias ada kehidupan yang tercabut dari akarnya.
Sang Buddha tertarik melepaskan kehidupan duniawinya dan menjadi pertapa setelah Beliau melihat orang tua, sakit, mati dan
seorang Sadhu / pertapa Jainisme yang bersamadhi dengan begitu tenang dan damai yang memberiNya dorongan untuk mengikuti jejak Sadhu itu.
Bahkan setelah Gotama menjadi Buddha pun, Beliau sebagai mantan Jainisme tetap menghargai Lima Ikrar Jainisme, yang mana Ahmisa sebagai Ikrar Tertinggi dalam Jainisme ditempatkan di urutan pertama/teratas/tertinggi. Buddha Gotama memperkenalkan
Pancasila kepada orang awam yang sebenarnya merupakan revisi dari
Lima Ikrar Jainisme. (Kalau tak percaya silahkan periksa ke link wikipedia yang telah saya berikan untuk sila ahimsa/tak membunuh itu, bandingkan antara Lima Ikrar Jainisme dan Panca Sila Buddhisme, sungguh mirip sekali.).
Khusus mengenai puasa makan yang sangat menyiksa diri, Buddha menentangnya dengan keras karena Beliau sendiri nyaris meninggal karena itu. Jadi Buddha kemudian mengambil tradisi Jain lain yang lebih moderat yaitu hanya makan sekali sehari, dan pola makannya pun tidak melulu buah-buahan/biji-bijan namun lebih longgar dengan boleh makan sayur/umbi (yang menurut Jainisme ini sudah melanggar ikrar Ahimsa).
Bagaimanapun juga, Buddha Gotama tetap menjunjung tinggi ‘Ahimsa’ (yang telah Beliau revisi maknanya) sebagai Sila Tertinggi yang diurutkan di nomor satu alias paling atas.
Revisinya berbunyi
menghindari ‘pembunuhan’ makhluk ‘hidup’ dengan makna ‘makhluk hidup’ yang mengalami pergeseran. Tumbuhan, apapun jenisnya, biji-bijian, umbi-umbian, sayur-sayuran, dll tidak lagi dianggap sebagai makhluk hidup sehingga boleh dimakan.
Bahkan hewan yang masih dianggap makhluk hidup pun oleh Buddhisme Theravada boleh dimakan dagingnya dalam kasus tertentu dengan syarat tertentu.
Di pihak lain, Buddhisme Mahayana melarang pembunuhan hewan untuk diambil dagingnya, yang oleh Theravada, Mahayana dianggap mengikuti anjuran sesat Devadatta, padahal sesungguhnya tidaklah demikian.
Penduduk India sudah ratusan tahun mengenal tradisi Sadhu Jainisme, ketika Bhikhhu mulai muncul. Bagi penduduk India saat itu, Bhikkhu adalah sejenis Sadhu gaya baru.
Penduduk India tetap menghormati kebiasaan Ahimsa ala Jainisme. Jadi mereka memberikan makanan tak ber‘jiwa’ kepada Bhikkhu, dengan lebih banyak variasi, tidak hanya buah dan biji, namun juga umbi dan sayur, karena makna ‘jiwa’ yang sudah bergeser tersebut.
Penduduk India tak berani memberikan daging kepada Bhikkhu karena takut menerima karma buruk bila kondisi dan syarat tertentu itu tak bisa dipenuhi. Lagipula mereka merasa syarat itu mustahil dipenuhi seperti syarat bahwa hewan itu tidak dengan sengaja dibunuh untuk dipersembahkan kepada bhikkhu.
Ditambah lagi mayoritas penduduk India jarang makan daging, mereka hanya makan daging sesekali ketika ada korban sapi/domba yang diselenggarakan para Brahmana (kebiasaan Brahmana ini kemudian berangsur-angsur berubah setelah dipengaruhi/ dikritik Buddhisme dan Jainisme sehingga sapi kemudian menjadi hewan suci yang tidak boleh dibunuh/dikorbankan dalam agama Hindu namun perlu waktu hingga ratusan tahun setelah Sang Buddha parinibbana untuk mengubah kebiasaan korban ala Brahmana yang mirip tradisi korban ala Is*lam saat Idul Adha itu).
Jadi dapat dipastikan bahwa tradisi pola makan vegetarian Mahayana, baik bhiksu/ni maupun awamnya, diturunkan dari tradisi Buddhisme di India saat itu dan bukan karena mengikuti anjuran Devadatta.
Dalam tradisi Mahayana, makan daging sama saja dengan membunuh hewan dan bertentangan dengan maitri karuna seorang Bodhisattva. Namun Mahayana hanya mewajibkan vegetarian pada bhiksu/ni, sedangkan umat awam tidak diwajibkan, melainkan hanya dianjurkan untuk mengurangi makan daging, dan kalau bisa tidak makan daging sama sekali tentu dianggap lebih bagus lagi. Mahayana mengkaitkan praktek vegetarian sebagai praktek dari sila pertama yang ‘tidak membunuh kehidupan’.
‘Pembunuhan’ yang paling dilarang dalam Buddhisme (baik Theravada maupun Mahayana) adalah pembunuhan sesama manusia.
Nah sekarang coba simak kembali yang saya kutip dari wikipedia di bawah ini
http://en.wikipedia.org/wiki/Jainism
1.Non-violence (Ahimsa) – to cause no harm to living beings.
http://id.wikipedia.org/wiki/Pancasila_(Buddha)
1.Aku bertekad melatih diri untuk menghindari pembunuhan (nilai kemanusiaan) guna mencapai samadi.
1.Pānātipātā veramani sikkhapadam samādiyāmi
http://en.wikipedia.org/wiki/Five_Precepts
1. I undertake the training rule to abstain from taking life
Jainisme menyebutkan ahimsa sebagai
tidak melukai makhluk hidup. Dipakai kata harm/melukai karena ini memang sesuai dengan yang dimaksud sebagai tindak kekejaman/kekerasan dalam Jainisme seperti yang sudah saya uraikan sebelumnya.
Lalu di wikipedia versi Indonesia ada kata-kata
‘menghindari pembunuhan (nilai kemanusiaan)’ .
{Kutipan wikipedia versi Indonesia ini sempat dikritik Bro Indra yang mengatakan bahwa tidak ada kaitan sila menghindari pembunuhan dengan Samadhi, dan kayaknya Bro Indra benar, karena sepanjang yang saya tahu, Theravada tak mengkaitkan sila ini dengan Samadhi, entah siapa yang menulis di wikipedia tersebut, tapi lupakan/hapus embel-embel Samadhi itu, maka kita akan menemukan kemiripannya)
Lalu di wikipedia versi Inggris: saya melatih aturan/sila untuk tidak mengambil
kehidupan Perhatikan pemakaian kata life / kehidupan yang menunjukkan jejak ajaran Jainisme. Padahal bisa saja ditulis ‘not kill’ atau “no killing” yang lebih singkat bukan? Daripada ‘to abstain from taking life’ yang kepanjangan dan bertele-tele. Dan di sini nggak ada embel-embel Samadhi. Haaaa…Kok versi Englishnya beda ama Indonesianya. Gak tau ah.. Gelap.
Setelah saya jelaskan panjang lebar, apakah bro Adhit dan bro Ray bisa memahami statement saya mengenai
Ahimsa sebagai Sila Tertinggi? .
Saya mengeluarkan statement tersebut setelah saya mempelajari dengan seksama berbagai ajaran/aliran keagamaan dan filosofi yang tumbuh dan berkembang ketika Buddha Gotama hidup terutama Jainisme dan Brahmanisme.
Kalau memang istilah
Tertinggi terasa tidak tepat bagi bro berdua, baiklah saya ganti dengan istilah
Pertama saja,
Juga kalau istilah
Ahimsa terasa tidak pas maka saya revisi dengan
Tidak Membunuh saja
Jadi saya revisi dari
Ahimsa sebagai Sila Tertinggi menjadi
Tidak Membunuh sebagai Sila Pertama , Puas?
Dengan revisi ini saya harap tidak menimbulkan penafsiran yang bukan-bukan seolah-olah saya hendak mendirikan agama baru.