//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Sūtra Hukum Sebab Musabab yang Saling Bergantungan  (Read 3866 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline xenocross

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.189
  • Reputasi: 61
  • Gender: Male
Sūtra Hukum Sebab Musabab yang Saling Bergantungan
« on: 05 November 2017, 03:53:06 PM »
Sūtra Hukum Sebab Musabab yang Saling Bergantungan
རྟེན་ཅིང་འབྲེལ་བར་འབྱུང་བའི་མདོ།
The Sūtra on Dependent Arising
Pratītyasamutpādasūtra

Sutra Mahayana berjudul Ajaran Mulia tentang Hukum Sebab Musabab yang Saling Bergantungan

འཕགས་པ་རྟེན་ཅིང་འབྲེལ་བར་འབྱུང་བ་ཞེས་བྱ་བའི་ཐེག་པ་ཆེན་པོའི་མདོ།
ʼphags pa rten cing ʼbrel bar ʼbyung ba zhes bya ba theg pa chen poʼi mdo
The Noble Mahāyāna Sūtra on Dependent Arising
Āryapratītyasamutpādanāmamahāyānasūtra


Toh 212
Degé Kangyur vol. 62 (mdo sde, tsha), folios 125a–125b

Translated by the Buddhavacana Translation Group
under the patronage and supervision of 84000: Translating the Words of the Buddha.

Pendahuluan
Topik dari sūtra ini, seperti terlihat dari judulnya, adalah doktrin Buddhis mengenai ‘kemunculan bergantungan’ dari fenomena yang berkondisi. Konsep ini dianggap oleh banyak Buddhis sebagai esensi dari Ajaran, Dharma. Hukum Sebab Musabab yang Saling Bergantungan seringkali dijabarkan sebagai urutan dari dua belas mata rantai (nidāna) sebab dan akibat yang dimulai dari ketidaktahuan dan berakhir pada kematian. Skema ini ditemukan dalam banyak kitab suci, dan adalah topik utama dari dua kitab yang mendahului sūtra yang sekarang dibahas di dalam Degé Kangyur, Śālistambha¬sūtra (Sūtra  Batang Padi, Toh 210) , dan Pratītya¬samutpādādi¬vibhaṅga¬nirdeśa¬sūtra (Sūtra yang Mengajarkan Hukum Sebab Musabab yang Saling Bergantungan dengan Awalnya dan Pembagian, Toh 211).

Ajaran mengenai Hukum Sebab Musabab yang Saling Bergantungan diringkas oleh pernyataan (dhāraṇī)  yang terkenal dalam bentuk sajak, menyatakan bahwa Buddha mengajarkan sebab munculnya fenomena dan juga sebab lenyapnya. Formula sajak ini barangkali paling dikenal dari kisah dalam Vinaya yang menceritakan kisah hidup Śāriputra. Kisah tersebut menceritakan Upatiṣya (nama panggilan Śāriputra sebelum dia bertemu Buddha) pertama kali mendengar tentang Buddha dari Aśvajit, salah seorang dari lima petapa yang menemani Buddha  dan murid paling awal. Ketika Upatiṣya bertanya pada Aśvajit untuk meringkaskan esensi dari ajaran Buddha, Aśvajit menjawabnya dengan melafalkan sajak ini. Segera setelah ia mendengarnya, Upatiṣya langsung mencapai buah realisasi pemenang arus.

Tetapi di dalam sūtra yang diterjemahkan disini, sajak yang sama diajarkan kepada Avalokiteśvara oleh Buddha sendiri.  Sang Buddha kemudian mengajarkan pada para muridnya untuk memasukkannya ke dalam stūpa untuk menghasilkan kebajikan Brahmā, jenis kebajikan yang istimewa. Praktik memasukkan sajak ini, dan juga menulis atau mengukirkannya ke gambar-gambar religius, sepertinya menjadi populer di pertengahan kedua milenium pertama, dan dicatat oleh Xuanzang pada abad ke tujuh. Pernyataan ini dapat ditemukan terukir di, atau dimasukkan dalam, caitya atau stūpa miniatur di tempat-tempat suci di dunia Buddhis seperti Sarnath, Bodh Gaya, dan Rājagṛha, sejauh ke timur sampai Kedah dan Jawa, dan sejauh ke barat sampai ke Afghanistan. Praktik ini diteruskan oleh orang Tibet di milenium kedua dan sampai hari ini masih dianggap oleh Buddhis sebagai tindakan bajik.

Xuanzang mengatakan bahwa objek-objek ini dianggap relik Dharma (dharmaśarīra). Kitab suci Buddhis menjadi dikenali sebagai sebuah tipe relik Buddha dari masa penyebaran awal Mahāyāna, yang meyakini bahwa memuja kata-kata Buddha dianggap setara, jika tidak melebihi, memuja Buddha itu sendiri.  Sumber kitab suci, seperti misalnya Śālistambasūtra (Toh 210), lebih jauh menyamakan Hukum Sebab Musabab yang Saling Bergantungan dengan Dharma itu sendiri.  Maka, memasukkan atau mengukirkan sajak ‘kemunculan bergantungan’ memberi kekuatan pada sebuah objek seperti halnya potongan relik jasad Buddha memberi kekuatan.  Dimasukkan dalam terjemahan Tibet dari sūtra ini adalah transliterasi sanskerta dari sajak tersebut, yang menyiratkan bahwa sajak tersebut digunakan seperti mantra atau dhāraṇī, suku kata sanskerta dianggap ampuh sebagai manifestasi dari Dharma dan dari Buddha itu sendiri.

Sūtra ini ditemukan di tiga tempat dalam Kangyur , dan juga dalam versi singkat di dua lokasi lain. Sampai ini dituliskan, kita tidak mengetahui versi asli sanskerta, dan walaupun ada beberapa kesalahan pengejaan dan inkonsistensi yang ditemukan di beberapa versi, tidak ada variasi signifikan di antara kitab-kitab Tibet yang tersedia.

Terjemahan

Sutra Mahayana Mengenai Hukum Sebab Musabab yang Saling Bergantungan

Hormat kepada semua Buddha dan Bodhisattva!

Demikianlah yang telah kudengar. Yang Terberkahi sedang berada di alam Tiga Puluh Tiga Dewa, duduk di atas singasana Indra. Bersama beliau adalah para Siswa Sravaka seperti Yang Mulia Aśvajit; Para Bodhisattva Mahāsattva seperti Yang Mulia Maitreya, Yang Mulia Avalokiteśvara, dan Vajrapāṇi, yang dihiasi oleh kualitas berharga yang tak terukur; dan juga berbagai dewa seperti Brahmā yang agung, tuan dari dunia Sahā, Nārāyaṇa, Sang Īśvara agung, Śakra, raja para dewa, dan Pañcaśikha, raja para gandharva.
Pada saat itu, Sang Bodhisattva Mahāsattva Avalokiteśvara bangkit dari tempat duduknya dan, mengatur jubah atasnya pada satu bahu, berlutut dengan menempatkan lutut kanannya pada puncak Gunung Meru. Dengan kedua tangan dirangkapkan, ia memberi hormat kepada Yang Terberkahi dan mengatakan kepada beliau kata-kata ini:

“Yang Terberkahi, para dewa ini semua berkeinginan untuk mendirikan sebuah stūpa. Sekarang karena mereka telah hadir di persamuan ini, mohon ajarkanlah mereka Dharma sehingga ‘kebajikan Brahmā’ mereka meningkat, dan semua kebajikan dari bhiksu, bhiksuni, upasaka, dan upasika akan jauh lebih meningkat dibandingkan semua jenis makhluk di dunia ini bersama dengan para dewa, Māra, dan Brahmā, termasuk para petapa dan brahmana.”
 
Menjawab hal ini, Yang Terberkahi mengucapkan bait-bait dari ‘kemunculan bergantungan’:
 
ye dharmā hetuprabhavā hetuṃ teṣāṃ tathāgato hy avadat
teṣāṃ ca yo nirodha evaṃvādī mahāśramaṇaḥ


“Semua fenomena yang muncul dari sebab,
Sang Tathāgata telah mengajarkan sebabnya,
Begitu juga kelenyapannya;
Demikianlah yang dinyatakan Sang Petapa Agung.

 “Avalokiteśvara, demikianlah adanya. Hukum Sebab Musabab yang Saling Bergantungan adalah Tubuh Dharma (dharmakāya) dari semua Tathāgata. Seseorang yang melihat ‘kemunculan bergantungan’ melihat Sang Tathāgata. Avalokiteśvara, jika seorang Putra atau Putri dari Keluarga Mulia  yang berkeyakinan mendirikan, di sebuah tempat terpencil, sebuah stūpa seukuran gooseberry, dengan pilar tengah seukuran jarum dan payung seukuran bunga pohon bakula, dan memasukkan bait ‘kemunculan bergantungan’ ini yang adalah dharmadhātu, dia akan menciptakan ‘kebajikan Brahmā’. Ketika orang-orang seperti itu meninggalkan dunia ini dan mati, mereka akan dilahirkan kembali di alam Brahmā. Ketika mereka meninggalkan dunia itu dan mati, mereka akan dilahirkan kembali dengan keberuntungan yang setara dengan para dewa di Alam Murni

Setelah Yang Terberkahi bersabda, para Sravaka, Bodhisattva, seluruh persamuan, dan seluruh alam bersama dengan para dewa, manusia, asura, dan gandharva bersukacita dan memuji ucapan Sang Bhagavā.


Kolofon

Demikianlah Sutra Mahayana Mengenai Hukum Sebab Musabab yang Saling Bergantungan telah selesai.
Diterjemahkan dan disunting oleh cendekiawan India Surendrabodhi dan penyunting utama dan penerjemah Yang Mulia Yeshe Dé.
Diterjemahkan ke Inggris oleh Buddhavacana Translation Group di bawah pengawasan 84000.co
http://read.84000.co/#UT22084-062-012/title
diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Xenocross. Semua kesalahan dalam terjemahan bahasa Indonesia adalah tanggung jawab Xenocross.

Catatan Kaki


1. N. Ross Reat, The Śalistamba Sūtra (Dehli: Molital Baranasidas, 1993)

2.  Di dalam Mūlasarvāstivāda-vinaya, kisah ini ada di dalam Pravrajyavastu, bab pertama Vinayavastu (Toh 1) Degé Kangyur vol. 1 (’dul ba, ka), folios 32b et seq..
Di dalam Kanon Pali, cerita yang sama dikisahkan Vinayapiṭaka: Mahāvagga I.23.1-10). Lihat Oldenberg (1997, pp 39-41). Versi inggris dapat dibaca di https://suttacentral.net/en/pi-tv-kd1#on-the-going-forth-of-sariputta-and-moggallana

3.  Patut dicermati juga, merujuk pada cerita sebelumnya, nama Aśvajit disebutkan secara spesifik, dan namanya adalah yang satu-satunya disebut untuk mewakili sekelompok murid Sravaka di dalam persamuan, sesuatu yang tidak biasa.

4.  Bentor menyebutkan figur berpengaruh Buddhis Tibet seperti Jetsün Trakpa Gyaltsen (rje btsun grags pa rgyal mtshan), Dalai Lama ke-5 Ngawang Lobsang Gyatso (ngag dbang blo bzang rgya mtsho), dan Jamgön Kongtrül Lodrö Thayé (’jam mgon kong sprul blo gros mtha ’yas) semua menyebutkan sajak mengenai Ketersalingtergantungan (dependent arising /rten ’brel snying po) di antara Lima Dhāraṇī Besar (gzungs chen sde lnga) yang dimasukkan ke dalam stūpa. Lihat Bentor, Yael. “On The Indian Origins of the Tibetan Practice of Depositing Relics and Dharanis in Stupas and Images.” In Journal of the American Oriental Society 115.2 (1995), p 254.

5.  Identifikasi Dharma dengan Buddha sendiri sebenarnya sudah ada di kitab suci paling awal, misalnya dalam Samyutta Nikaya 22.87 Vakkali Sutta. “Vakkali, Seseorang yang melihat Dhamma, melihat Aku; seseorang yang melihat Aku, melihat Dhamma“ (yo kho vakkali dhammaṃ passati so maṃ passati, yo maṃ passati so dhammaṃ passati)

6.  “Bhikṣu, siapapun yang melihat Ketersalingtergantungan melihat Dharma. Siapapun yang melihat Dharma melihat Buddha.”
Variasi dalam kanon pali: “Seorang yang melihat kemunculan bergantungan melihat Dhamma; seorang yang melihat Dhamma melihat kemunculan bergantungan.” (Majjhima Nikaya 28: Mahāhatthipadopama Sutta)

7.  Persamaan ini dinyatakan secara eksplisit dalam Sutra Mengenai Jasa Pahala Membuat Stupa yang Disabdakan Buddha, Fo-shuo tsao t'a kung-te chingc; Taisho 699, vol. 16, p. 801.

8.  Koleksi kanonikal kitab suci buddhis yang ada di Tibet.

9.  Kulaputra dan Kuladhita secara literal berarti "putra / putri keluarga". Kula = keluarga.

Keluarga disini yang dimaksud adalah Keluarga Buddha. Terjemahan tibet memakai istilah "putra silsilah", yaitu silsilah Buddha. Artinya adalah para Bodhisattva atau mereka yang menempuh jalan Bodhisattva.

Kulaputra juga bisa diterjemahkan menjadi "putra / putri keluarga terhormat, putra /putri keluarga baik". Terjemahan chinese biasanya memakai istilah "putra /putri berbakti, putra / putri dari keluarga baik"

10.  Śuddhāvāsa, lima alam tertinggi di Alam Brahma Berbentuk, yang hanya dapat dicapai oleh Anagami.


Satu saat dari pikiran yang dikuasai amarah membakar kebaikan yang telah dikumpulkan selama berkalpa-kalpa.
~ Mahavairocana Sutra